Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1
Perkembangan simantri sudah sangat pesat di Bali hingga saat ini, yang dimulai
diluncurkan pada tahun 2009 hingga awal tahun 2018 telah terbentuk 632 simantri
yang sudah tersebar di seluruh Kabupaten/ Kota-kota di Bali. Simantri berpotensi
sangat besar untuk menghasilkan biogas di Bali, namun hasil biogas dari simantri
belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh para petani, dan menyebabkan
pemanasan lingkungan, hanya saja digunakan untuk keperluan memasak. Dengan
banyaknya simantri yang terbentuk di Bali kebutuhan untuk pengolahan limbah
hewan akan semakin meningkat. Pengolahan limbah yang semakin meningkat
membuat produksi biogas tentunya juga akan meningkat. Salah satu cara untuk
meningkatkan penggunaan biogas agar tidak menyebabkan pemanasan global
adalah dengan cara memanfaatkan biogas tersebut (Wijaya, 2018). Menurut Ditjen
PPHP (2009) Indonesia memiliki jumlah hewan ternak yang tergolong besar terdiri
dari 16.034.337 ekor sapi potong, 621.980 ekor sapi perah dan 1.378.153 ekor
kerbau. Satu ekor sapi mampu menghasilkan 4 kg kotoran per hari oleh karena itu
kotoran sapi dapat diproyeksikan mencapai 72,1 juta kg. Oleh karena itu apabila
biogas yang dihasilkan sebesar 0,31 m3/kg kotoran padatan, maka akan dihasilkan
biogas sebanyak 22,35 juta m3 biogas. Biogas sebanyak ini dapat menghematan
13,86 juta liter minyak, 10,28 juta kg LPG, 17,88 liter bensin, dan 78,23 ribu ton
kayu bakar. Dengan demikian, kotoran yang dihasilkan oleh ternak sapi layak
digunakan segai bahan baku untuk pembuatan Biogas.
Selain biogas yang dihasilkan dari kotoran sapi, biogas juga dapat
dikembangkan melalui limbah cair kelapa sawit yang disebut dengan Palm Oil Mill
Effluent (POME) dan limbah industri tapioka yang dapat dimanfaatkan untuk
menghasilkan energi yang berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca
melalui penangkapan gas metana dan pengubahan biogas menjadi energi listrik.
Menurut Ditjen EBTKE (2018) salah satu sumber bahan baku bioenergi adalah
kelapa sawit, menurut data lahan kelapa sawit di Indonesia 14 juta hektar yang
mampu menghasilkan 146 juta ton setiap tahunnya, kemudian diolah menjadi 35
juta ton Crude Palm Oil (CPO), 28,7 juta ton limbah cair (POME), kemudian 26,3
juta ton, dan 18 juta ton fiber yang dihasilkan setiap tahunnya. Teknologi yang telah
banyak digunakan untuk mengambil biogas dari POME adalah Covered Lagoon.
Teknologi ini dilakukan dengan menutup kolam limbah konvensional dengan bahan
2
reinforced polypropylene sehingga berfungsi sebagai anaerobic degester, biogas
akan tertangkap dan terkumpul di dalam cover (Wibowo, 2014).
Dengan teknologi ini, akan dihasilkan biogas sebanyak ±20 m 3/ton TBS. Jadi jika
kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam akan menghasilkan biogas ±600 m 3/jam,
atau setara dengan energi sebesar 3.720 kWh. Jika energi tersebut digunakan untuk
membangkitkan listrik dengan menggunakan gas engine (efisiensi 35%) maka akan
dapat dibangkitkan listrik sebesar 1.303 kWh atau 1,3 MW. Teknologi yang
berbeda adalah dengan menggunakan anaerobic degester. Teknologi ini lebih
efektif baik dalam pengolahan limbah POME sehingga akan dihasilkan biogas
dalam jumlah yang lebih besar. Pengolahan POME dilakukan dengan membuat
instalasi anaerobic digester. Komponen utama teknologi ini adalah sebuah reaktor
yang senantiasa terkontrol. Dengan demikian proses penguraian senyawa organik
secara anaerobic dapat diatur, baik komposisi, mikrobia maupun termperaturnya
untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan tingkat BOD yang lebih rendah
dari 100 mg/l (Wibowo, 2014). Biogas yang dihasilkan ±28 m3/ton TBS. Jadi jika
kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam akan dihasilkan biogas ±840 m 3/jam, atau
setara dengan energi sebesar 5.208 kWh. Energi listrik yang dapat dibangkitkan
dengan gas engine (efisiensi 35%) adalah sebesar 1.822 kWh, atau 1,8 MW.
3
Gambar 1.2 Anaerobic Degester
Sumber : Wibowo, 2014
Dengan asumsi yang sama, maka potensi pendapatan adalah sebesar Rp. 12,8
M/tahun. Sedangkan pada industri tapioka tradisional, menghasilkan air limbah
yang cukup besar, dapat mencapai sekitar 4-5 m 3 dari setiap ton ubi kayu yang di
olah. Air limbah yang dihasilkan masih mengandung konsentrasi bahan organik
sangat tinggi. Pada umumnya sistem pengolahan air limbah industri tapioka yang
saat ini diterapkan adalah pengolahan limbah secara biologis aerobik yang masih
menghasilkan gas CO2 (karbon diokasida) dan CH4 (metana). Kedua gas tersebut
merupakan gas rumah kaca yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan
global. Hasil pengukuran emisi gas di permukaan kolam aerobik industri tapioka
PD Semangat Jaya di daerah Lampung, diketahui bahwa setiap ton ubi kayu dapat
menghasilkan sekitar 24,4 m3 biogas dengan kandungan metana sekitar 59,8% -
64,75 % (Wintolo dan Isdiyanto, 2011).
4
Pada saat ini genset sudah terdiri dari berbagai jenis dan pengembangannya, ada
genset yang berpenggerak mesin 4 langah, mesin 2 langkah, dan mesin diesel. Dari
segi bahan bakar yang digunakan, gensetpun sudah tidak terbatas hanya pada
bensin dan solar sebagai bahan bakarnya, melainkan ada juga yang sudah
menggunakan biogas dan LPG sebagai bahan bakar alternatif pengganti bensin dan
solar. Seperti contohnya mesin diesel dapat dikonversi untuk hidup dengan
menggunakan bahan bakar gas secara efisien. Mesin-mesin ini disebut “mesin
bahan bakar ganda” atau “mesin diesel gas”, biasanya memiliki bahan bakar gas
yang dicampur dengan udara di silinder mesin, baik melalui pencampuran langsung
dalam intake manifold dengan udara atau melalui injeksi langsung ke silinder
(Yilmaz, 2017).
5
1. Mesin yang digunakan adalah mesin 4 langkah silinder tunggal yang
memiliki 7,4 Hp berbahan bakar bensin dengan daya 6000 Watt yang
memiiki kompresi sebesar 8 Bar.
2. Bahan bakar bensin yang digunakan adalah jenis Pertalite
3. Biogas yang di gunakan adalah biogas yang dihasilkan dari kotoran
ternak sapi Bali yang di produksi di simantri.
6
7