Anda di halaman 1dari 7

Materi : Stratifikasi Sosial

Pengertian Stratifikasi Sosial

Menurut Soerjono Soekanto (1982) didalam setiap masyarakat dimana pun selalu dan
pasti terdapat sesuatu yang dihargai. Sesuatu tersebut dapat berupa kekayaan, ilmu
pengetahuan, status “darah biru”, dan lain-lain. Namun harus diketahui bahwa didalam
masyarakat tidak semua hal yang dihargai itu sama, seperti pada masyarakat pedesaan tanah
sewa dan hewan ternak sering kali dianggap lebih berharga dari pada gelar akademis, berbeda
dengan masyarakat perkotaan yang merupakan kebalikan dari hal tersebut. (Narwoko and
Bagong, 2004)

Hal ini membentuk yang dinamakan dengan pelapisan masyarakat, semakin kompleks
suatu masyarakat semakin kompleks lapisan-lapisan di masyarakat. Pitirim A.Sorokin
mengemukakan bahwa sistem pelapisan masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum
dalam setiap masyarakat yang hidup secara teratur. (Narwoko and Bagong, 2004)

Lebih lanjut lagi Sorokin menjelaskan bahwa startifikasi sosial adalah pembedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarki). Perwujudannya
dapat berupa adanya kelas-kelas secara tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dapat dikatakan
bahwa dasar dan inti dari stratifikasi masyarakat adalah ketidakseimbangan dalam pembagian
hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab sosial dan pengaruhnya di antara anggota-
anggota masyarakat. (Narwoko and Bagong, 2004)

Bentuk konkret dari lapisan-lapisan masyarakat tersebut bermacam-macam, namun


dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu:

1. Kelas berdasarkan factor ekonomis


2. Kelas berdasarkan factor politis
3. Kelas berdasarkan jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat

Karakteristik Stratifikasi Sosial

Stratifikasi Sosial berbeda dengan Ketidaksamaan Sosial. Ketidaksamaan sosial


berkaitan dengan dengan adanya perbedaan derajat dalam pengaruh atau prestise sosial antar
individu dalam suatu masyarakat yang relative homogeny. Dua ciri ketidaksamaan sosial,
antara lain:
1. Ketidaksamaan sosial hanya mengenai perbedaan pertise atau pengaruh antar
individu satu terhadap individu lainnya. Jadi ketidaksamaan sosial bukan berkenaan
dengan derajat kekuasaan atau kekayaan.
2. Ketidaksamaan sosial mengimplikasikan ketidaksamaan antar-individu, bukan
antar kelompok yang berlainan.

Stratifikasi sosial lebih berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok-kelompok
bertingkat dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya memiliki kekuasaan,
hak-hak istimewa dan prestise yang tidak sama pula. Terdapat 3 aspek yang merupakan
karakterstik stratifikasi sosial, yaitu:

1. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan


2. Perbedaan dalam gaya hidup (life style)
3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumberdaya.

Unsur-unsur Stratifikasi Sosial

Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem pelapisan sosial dalam masyarakat adalah:

1. Kedudukan (status)
Kedudukan adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial,
sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut, atau tempat suatu
kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain didalam kelompok yang
lebih besar. (Narwoko and Bagong, 2004)
Sementara kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam
masyarakat sehubungan dengan orang lain dalam arti lingkungan pergaulannya,
prestisenya, hak-hak dan kewajibannya. (Narwoko and Bagong, 2004)
Menurut Pitirim Sorokin terdapat beberapa rinci yang digunakan untuk
mengukur kedudukan (status) orang lain, antara lain:
a. Jabatan atau Pekerjaan
b. Pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan
c. Kekayaan
d. Politis
e. Keturunan
f. Agama
Dalam masyarakat kedudukan atau status seringkali dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:

a) Ascribed status artinya sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat


tanpa memerhatikan perbedaan seseorang, kedudukan ini didapatkan karena
kelahiran. Misalnya kedudukan anak seorang bangsawan akan menjadi
bangsawan pula, dll.
b) Achieved status artinya kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan
usaha-usaha yang sengaja dilakukan, bukan diperoleh karena kelahiran
bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung pada kemampuannya masing-
masing. Misalnya setiap orang bisa menjadi dokter, hakim, guru, dll.
2. Peran (Role)
Peran atau role merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status), seseorang
yang telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan suatu peran. Keduanya
tidak dapat dipisahkan karena tidak ada peran tanpa status dan sebaliknya.
(Narwoko and Bagong, 2004)
Peran melekat pada diri seseorang berbeda dengan posisi atau tempatnya dalam
pergaulan di masyarakat. Peran paling sedikit mencakup 3 hal, yaitu:
1. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat.
2. Suatu konsep ikhwal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat.
3. Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Peranan dapat membimbing seseorang dalam berperilaku karena fungsi peran
itu sendiri adalah:
1. Memberi arah pada proses sosialisasi
2. Pewaris tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan pengetahuan.
3. Mempersatukan kelompok atau masyarakat
4. Menghidupkan sistem pengendalian dan control sehigga dapat melestarikan
kehidupan masyarakat.

Peranan sosial dalam masyarakat dapat diklasifikasikan menurut bermacam-


macam cara sesuai dengan banyaknya sudut pandang. Berdasarkan pelaksanaannya
peranan sosial dapat dibedakan menjadi dua: (Hendropuspio, 1989:185).
1. Peranan yang diharapkan (expected role), cara ideal dalam pelaksanaan
peranan menurut penilaian masyarakat. Misalnya peranan hakin, peranan
protokolar, diplomatic dan sebagainya.
2. Peranan yang disesuaikan (actual role), yaitu cara bagaimana sebenarnya
peranan itu dijalankan, pelaksanaannya lebih luwes dan dapat disesuaikan
dengan kondisi ataupun situasi.

Berdasarkan dengan cara memperolehnya peranan bisa dibedakan menjadi:

1. Peranaan bawaan (ascribed role), peranan yang diperoleh secara otomatis


bukan karena usaha, misalnya peranan sebagai nenek, anak, bupati,dll
2. Peranan pilihan (achieves role), peranan yang diperoleh atas dasar
keputusannya sendiri, misalnya seseorang yang memutuskan untuk
melanjutkan pendidikannya ke Universtitas setelah lulus dari SMA.

Terjadinya Stratifikasi Sosial

Terjadinya stratifikasi sosial atau sistem pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu

1. Sistem Pelapisan terjadi dengan sendirinya atau tanpa disengaja. Hal ini dapat
terjadi pada lapisan yang didasarkan oleh umur, jenis kelamin, kepandaian, dan sifat
keaslian keanggotaan kerabat kepala masyarakat,dll.
2. Sistem pelapisan terjadi karena dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Hal ini biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan
wewenang yang resmi dalam organisasi formal seperti pemerintah, perusahaan,
partai politik, angkatan bersenjata dll. Kekuasaan dan wewenang merupakan suatu
unsur khusus dalam sistem pelapisan masyarakat yang mempunyai sifat lain dari
pada uang, tanah, dan benda ekonomis lainnya,

Sifat Sistem Pelapisan Masyarakat

Terdapat dua sifat dari sistem pelapisa dalam masyarakat yaitu,

1. Bersifat tertutup (closed social stratification), dikatakan tertutup apabila setiap


anggota masyarakatnya tetap berada dalam status yang sama dengan orang tuanya,
entah lebih rendah atau lebih tinggi. Sifat ini membatasi kemungkinan
berpindahnya seseorang dari lapisan satu ke lapisan lainnya. Contoh masyarakat
India yang memiliki sistem kasta.
2. Bersifat terbuka (opened social stratification), keterbukaan sebuah sistem sosial
dapat dinilai dari mudah-tidaknya seseorang yang mempunyai status tertentu
memperoleh status dalam lapisan yang lebih tinggi. Sifat ini memungkinkan setiap
anggota masyarakat untuk memiliki kesempatan untuk berusaha dengan
kemampuannya sendiri. Contoh seorang karyawan dari mana pun asalnya, jika
memiliki kemampuan yang memadai mampu bersaing dengan karyawan lain secara
professional.

Perspektif tentang Stratifikasi Sosial

a. Pebedaan Asumsi Dasar


Antar penganut pendekatan fungsional dan konflik keduanya masing-masing
memiliki pendapat yang saling bertolak belakang. Fungsionalis bertumpu pada
tradisi konservasi yang melihat stratifikasi penting untuk memenuhi “kebutuhan
sosial” masyarakat secara keseluruhan. (Narwoko and Bagong, 2004)
Sedangkan konflik mempertanyakan eksistensi dan makna dari pengertian
“kebutuhan sosial”, dan curiga bahwa dibalik alasan pelapisan sosial itu dibutuhkan
bagi kelangsungan sistem sosial sebenarnya kamuflase dari kebutuhan-kebutuhan
untuk memperoleh barang dan jasa yang bernilai berharga. (Narwoko and Bagong,
2004)
b. Pendekatan Fungsional
Menurut Kingsley Davis dan Wilbert Moore stratifikasi dibutuhkan demi
keberlangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan pelbagai macam jenis
pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi sosial masyarakat tidak akan terangsang untuk
menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan
proses belajar yang lama dan mahal. (Narwoko and Bagong, 2004)
Sehingga menurut pendekatan fungsional stratifikasi sosial adalah suatu hal
yang “diperlukan” agar masyarakat dapat berfungsi. Ada hal yang harus dilakukan
masyarakat agar stratifikasi sosial dapat berfungsi, yaitu:
1. Masyarakat harus menanamkan keinginan untuk mengisi posisi-posisi tertentu
pada individu-individu yang sesuai untuk itu.
2. Setelah orang-orang nyaman dengan posisi tersebut, masyarakat harus
menanamkan keinginan untuk menjalankan peranannya sesuai dengan posisi
tersebut.
c. Pendekatan Konflik
Menurut Karl Marx adanya pelapisan sosial bukan merupakan hasil dari
consensus karena semua anggota masyarakat menyetujui dan membutuhkan hal itu
tetapi lebih dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus menerima apa adanya
perbedaan itu sebab mereka tidak memiliki kemampuan untuk menentangnya.
Para penganut pendekatan konflik segala pemberian kesempatan yang tidak
sama dan semua bentuk diskriminasi dinilai menghambat orang. Misalnya, ada yang
menanggap bahwa sistem seleksi perguruan tinggi cenderung menguntungkan
orang-orang dari kalangan atas. (Narwoko and Bagong, 2004)

Cara Mempelajari Stratifikasi Sosial

Menurut Zanden (1979) didalam sosiologi dikenal tiga pendekatan untuk mempelajari
stratifikasi sosial,

a. Pendekatan Objektif
Usaha untuk memilha-milah masyarakat ke dalam beberapa lapiasan dilakukan
menurut ukuran-ukuran yang obyektif berupa variable yang mudah diukur secara
kuantitatif. (Narwoko and Bagong, 2004)
b. Pendekatan Subjektif
Munculnya pelapisan sosial dalam masyarakat tidak diukur dengan kriteria-
kriteria yang obyektif melainkan dipilih menurut kesadaran subyektif warga
masyarakat itu sendiri. (Narwoko and Bagong, 2004)
c. Pendekatan Reputasional
Pelapisan sosial disusun dengan cara subjek penelitian diminta menilai status
orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut ke dalam suatu skala tertentu.
(Narwoko and Bagong, 2004)

DAFTAR PUSTAKA
Narwoko, J. and Bagong, S. (2004). Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan. 4th ed. Jakarta:
KENCANA PRENADA MEDIA GRUP, p.448.

Anda mungkin juga menyukai