Anda di halaman 1dari 29

11

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Tindak Tutur

Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam

setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa

pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Menurut

pengalaman nyata, bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah

tutur individual. Karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari

pengkajian tindak tutur. Tindak tutur merupakan perwujudan konkret fungsi-

fungsi bahasa, yang merupakan pijakan analisis pragmatik (Rahardi, 2005).

Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan

keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam

menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti

tindakan dalam tuturannya. Kalimat “Disini panas sekali!” dapat memiliki

bermacam arti di berbagai situasi berbeda. Bisa jadi, si penutur hanya menyatakan

fakta keadaan udara saat itu, meminta orang lain membukakan jendela atau

menyalakan AC, atau bahkan keluhan. Oleh karena itu, kemampuan

sosiolinguistik, termasuk pemahaman mengenai tindak tutur sangat diperlukan

dalam berkomunikasi karena manusia akan sering dihadapkan dengan kebutuhan


12

untuk memahami dan menggunakan berbagai jenis tindak tutur, dimana masing-

masing jenis tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai macam strategi.

2.2 Hakikat Tindak Tutur

Austin (dalam Rusminto, 2012: 76) mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak

hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar

tuturan itu.

Tindak tutur adalah teori yang mencoba mengkaji makna bahasa yang didasarkan

pada hubungan tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya. Kajian

tersebut didasarkan pada pandangan bahwa (1) tuturan merupakan sarana utama

komunikasi dan (2) tuturan baru memiliki makna jika direalisasikan dalam tindak

komunikasi nyata, misalnya membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, atau

permintaan (Searle, dalam Rusminto 2012: 76).

Di dalam pragmatik, tuturan merupakan suatu bentuk tindakan dalam konteks

situasi tutur sehingga aktivitasnya disebut tindak tutur. Rustono (1999: 31)

mengemukakan bahwa tindak tutur (speech act) merupakan entitas yang bersifat

sentral dalam pragmatik.Oleh karena sifatnya yang sentral itulah, tindak tutur

bersifat pokok di dalam pragmatik. Mengujarkan sebuah tuturan tertentu bisa

dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh) di samping

memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu. Dalam berkomunikasi setiap

penutur akan melakukan kegiatan mengujarkan tuturan.


13

2.3 Jenis-Jenis Tindak Tutur

Austin (dalam Rusminto, 2012: 77) mengklasifikasikan tindak tutur atas tiga

klasifikasi yaitu (1) tindak lokusi (locutionary act), (2) tindak ilokusi

(illocutionary act), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary act).

Berikut ini uraian dari masing-masing tindak tutur tersebut.

2.3.1 Tindak Tutur Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak proposisi yang berada pada kategori mengatakan

sesuatu (an act of saying something)(Austin dalam Rusminto, 2012:77). Oleh

karena itu, yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi tuturan yang

diungkapkan oleh penutur.

Leech (dalam Rusminto, 2012: 77) menyatakan bahwa tindak bahasa ini lebih

kurang dapat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna

dan acuan.

Contoh: “It is hot here”, makna lokusinya berhubungan dengan suhu udara di

tempat itu. Contoh lain „Saya lapar‟, seseorang mengartikan „Saya‟ sebagai orang

pertama tunggal (si penutur), dan „lapar‟ mengacu pada „perut kosong dan perlu

diisi‟, tanpa bermaksud untuk meminta makanan. Dengan kata lain, tindak tutur

lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau

tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.

2.3.2 Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan

tindakan tertentu dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu (an act of

doing somethings in saying somethings) (Austin dalam Rusminto, 2012: 77).

Contohnya, ” Saya lapar‟. Jika tindak tutur lokusi berkaitan dengan makna, maka
14

tindak ilokusi berkaitan dengan maksud yang dibawakan oleh preposisinya. Jadi,

dalam kalimat “saya lapar” memiliki maksud meminta makanan.

2.3.3 Tindak Perlokusi

Tindak perlokusi adalah efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap

mitra tutur, sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan

(Austin dalam Rusminto, 2012: 77-78). Tindakan tersebut seperti janji, tawaran,

atau pertanyaan yang terungkap dalam tuturan.

Misalnya kata „Saya lapar‟, yang dituturkan oleh si penutur menimbulkan efek

kepada mitra tutur, yaitu dengan reaksi memberikan atau menawarkan makanan

kepada penutur.

2.4 Peristiwa Tutur

Tindak tutur dan peristiwa tutur sangat erat terkait. Keduanya merupakan dua

gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Peristiwa tutur

merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam

satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan

rangkaian dari sejumlah tindak tutur (inggris: speech act) yang terorganisasikan

untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, tindak tutur selalu berada dalam

peristiwa tutur. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di

atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan

keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam

menghadapi situasi tertentu. Jika dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan
15

peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan

dalam tuturannya.

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam

satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan

tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu

(Chaer dan Agustina, 2009:47). Oleh karena itu, interaksi yang terjadi antara

seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan

bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tuturan. Peristiwa

serupa juga dapat ditemukan dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di

kantor, dan sebagainya.

Bagaimana dengan percakapan di bus kota atau kereta api yang terjadi antara para

penumpang yang tidak saling kenal (pada mulanya) dengan topik pembicaraan

yang tidak menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang berganti-ganti,

apakah dapat disebut sebagai peristiwa tutur?secara sosiolinguistik percakapan

tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur sebab pokok

percakapan tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa tujuan,

dilakukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-cakap dan

menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti (Chaer dan Agustina, 2009:48).

Bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan

tujuan tertentu.. Di dalam peristiwa tutur, bermacam-macam tuturan dapat

diekspresikan untuk menyatakan satu tujuan tuturan, dan bermacam-macam

tuturan dapat dinyatakan untuk tujuan yang sama.


16

Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan

bertutur. Komponen ini yang melatarbelakangi tuturan karena semua tuturan

memiliki suatu tujuan (Tarigan, 2009:33). Oleh karena itu, penutur perlu

menguasai cara bertutur dengan baik agar segala tuturan yang ingin disampaikan

kepada lawan tuturnya dapat diterima dengan baik pula.

2.5 Kesantunan Bertutur

2.5.1 Teori Kesantunan

Leech (1983) adalah salah seorang pakar yang memberi teori kesantunan

berbahasa. Leech (dalam Chaer, 2010: 56) mengajukan teori kesantunan

berdasarkan prinsip kesantunan (politenes principles) yang di

jabarkan menjadi maksim (ketentuan). Keenam maksim itu adalah maksim (1)

kearifan (tact). (2) kedermawanan (Generosity), (3) pujian (agreement), (6)

simpati (simphaty) (Leech, dalam Rusminto, 2012: 111-118).

Berikut ini uraian dari keenam maksim tersebut.

1. Maksim Kearifan

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.

b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.

Contoh:

A : “Mari saya bawakan tas Anda.”

B : “Tidak usah.”

Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si A

sungguh memaksimalkan keuntungan bagi si B.


17

2. Maksim Kedermawanan

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

a. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin.

b. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.

Contoh :

Anak kos A : “ Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok,

yang kotor.”

Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok!”

Informasi indeksial:

Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada sebuah rumah

kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak

yang satunya.

Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia

berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan

beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi

tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan

dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan

keseharian hidupnya.

3. Maksim Pujian

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

a. Kecamlah orang lain sesedikit mungkin;

b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin.


18

Contoh :

Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas

Bussines English.”

Dosen B : “ Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari

sini.”

Informasi indeksial:

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam

ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi. Pemberitahuan yang

disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B.

Pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau

penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam

pertuturan itu, dosen B berperilaku santun.

4. Maksim Kerendahan Hati

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

a. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin;

b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.

Contoh :

Sekretaris A : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!”

Sekretaris B : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”

Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior

pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka.

Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati
19

dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut

terasa santun.

1. Maksim Kesepakatan

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

a. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dengan orang lain terjadi

sesedikit mungkin.

b. Usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain terjadi

sebanyak mungkin.

Contoh :

Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”

Yuyun : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”

Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada

saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas.

Tuturan di atas terasa santun karena Yuyun mampu membina kecocokan dengan

Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi

santun.

2. Maksim Simpati

Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

a. Kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain.

b. Tingkatkanlah rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan

orang lain.
20

Contoh :

Ani : “Tut, nenekku meninggal.”

Tuti : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”

Informasi Indeksial:

Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan

erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.

Dari tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani.

Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan

dianggap orang yang santun.

Sedangkan Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan

sebagai berikut.

1. Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang

itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.

2. Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan

dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.

3. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih

santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).

2.5.2 Skala Kesantunan

Leech (dalam Chaer, 2010:66-69) membagi skala kesantunan sebagai berikut.

a. Skala kerugian dan keuntungan (cost benefit scale), merujuk kepada besar

kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak

tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri


21

penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya,

semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap

tidak santunlah tuturan itu.

b. Skala pilihan (optionality scale) mengacu pada banyak atau sedikitnya

pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di

dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur

atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan

dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu

sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan

si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun.

c. Skala ketidaklangsungan (indirectness scale) merujuk kepada peringkat

langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan

itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu.

Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan,

akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

d. Skala keotoritasan (authority scale) merujuk kepada hubungan status

sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan.

Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan

dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi

semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di

antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan

tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

e. Skala jarak sosial (social distance scale) merujuk kepada peringkat

hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah
22

pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat

sosial diantara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan

itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara

penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang

digunakan itu.

2.5.3 Kesantunan Linguistik dan Kesantunan Pragmatik

Wujud kesantunan yang menyangkut ciri linguistik akan melahirkan kesantunan

linguistik, sedangkan wujud kesantunan yang menyangkut ciri nonlinguistik akan

melahirkan kesantunan pragmatik (Rahardi, 2005:158). Dapat disimpulkan bahwa

kesantunan secara langsung menggunakan bahasa disebut kesantunan linguistik

atau langsung, sedangkan kesantunan secara pragmatik merupakan kesantunan

yang menyangkut ciri nonlinguistik, diungkapkan secara tersirat dan tidak

langsung. Dalam pertuturan, kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik

banyak dijumpai dalam tuturan kalimat imperatif. Kalimat imperatif mengandung

maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu

sebagaimana diinginkan si penutur. Kalimat imperatif biasanya diungkapkan

dengan kisaran dari tuturan yang sangat keras atau kasar hingga ke tuturan yang

paling halus atau santun (Rahardi, 2005: 79). Dengan demikian, jika kita ingin

memerintah atau meminta harus diperhatikan kesantunannya dengan

menggunakan penanda kesantunan dalam kesantunan linguistik atau dengan

diungkapkan secara tidak langsung atau disebut kesantunan pragmatik.


23

2.5.3.1 Kesantunan Linguistik

Rahardi (2005:118) mengemukakan bahwa kesantunan linguistik tuturan

imperatif dalam bahasa indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut : (1) panjang-

pendek tuturan, (2) urutan tuturan, (3) intonasi tuturan dan syarat-syarat kinesik,

(4) pemakaian ungkapan penanda kesantunan.

2.5.3.1.1 Panjang-Pendek Tuturan

Di dalam masyarakat bahasa dan kebudayaan Indonesia, panjang atau pendek

suatu tuturan menjadi penentu tuturan tersebut mempunyai makna santun dan

penutur dapat diidentifikasi dengan sangat jelas. Secara umum, dapat dikatakan

bahwa semakin panjang suatu tuturan yang digunakan akan semakin santunlah

tuturan itu. Selain itu, pada masyarakat bahasa Indonesia basa basi sangat penting

kemunculannya pada saat kegiatan bertutur.

Berikut ini disajikan contoh-contoh dari tuturan yang pendek ke tuturan yang

panjang.

(1) “Bacakan materi diskusi kita!”

(2) “Bacakan materi diskusi kita kepada para peserta!”

(3) “Tolong, bacakan materi diskusi kita kepada para peserta!”

Informasi indeksial:

Dituturkan oleh seorang moderator kepada penyaji materi dalam kegiatan diskusi

di kelas.
24

Tuturan di atas jika dilihat dari panjang pendeknya tuturan, tuturan pertama

terlihat sangat pendek sehingga unsur memerintahnya secara langsung,

sedangkan tuturan ketiga menggunakan penanda kesantunan tolong sehingga dari

tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan yang paling panjang memiliki

kesantunan yang lebih tinggi.

2.5.3.1.2 Urutan Tuturan sebagai Penentu Kesantunan Linguistik

Pada kegiatan bertutur yang sesungguhnya seseorang sering mengutarakan

maksud-maksud tertentu dengan cara mengatur tata urutan tuturan tersebut.

Tuturan yang ditata urutannya dapat terkesan lebih santun.

Berikut ini disajikan contoh.

(1) Ruangan ini akan digunakan rapat, bersihkan meja ini! Cepat!

(2) Cepat! Bersihkan meja ini! Ruangan ini akan digunakan rapat.

Tuturan pertama yang memerhatikan tata letak dan urutan terlihat lebih santun.

2.5.3.1.3 Intonasi dan Syarat-Syarat Kinesik sebagai Penentu Tuturan

Kesantunan Linguistik

Sunaryanti (dalam Rahardi, 2005:123) menyatakan bahwa intonasi adalah tinggi-

rendah suara, panjang-pendek suara, keras-lemah suara, jeda, irama, dan timbre

yang menyertai tuturan.dapat dikatakan bahwa panjang pendek suatu tuturan

menentukan peringkat kesantunan pemakaian tuturan dalam bahasa Indonesia.

Disamping intonasi, kesantunan juga dipengaruhi oleh syarat-syarat kinesik yang

dimunculkan lewat bagian-bagian tubuh penutur seperti : (1) ekspresi wajah, (2)
25

sikap tubuh, (3) gerakan jari-jemari, (4) gerakan tangan, (5) ayunan tangan, (6)

gerakan pundak, (7) goyangan pinggul, (8) gelengan kepala.

2.5.3.1.4 Ungkapan-Ungkapan Penanda Kesantunan sebagai Penentu

Kesantunan Linguistik

Ungkapan penanda kesantunan itu merupakan realisasi dari tuturan yang

disampaikan secara santun. Penanda tersebut meliputi hal sebagai berikut.

1. Penanda kesantunan tolong sebagai penentu kesantunan linguistik

2. Penanda kesantunan mohon sebagai penanda kesantunan linguistik

3. Penanda kesantunan silakan sebagai penanda kesantunan linguistik

4. Penanda kesantunan mari sebagai penanda kesantunan linguistik

5. Penanda kesantunan biar sebagai penanda kesantunan linguistik

6. Penanda kesantunan ayo sebagai penanda kesantunan linguistik

7. Penanda kesantunan coba sebagai penanda kesantunan linguistik

8. Penanda kesantunan harap sebagai penanda kesantunan linguistik

9. Penanda kesantunan sudi/kiranya/sudikah/sudi apalah kiranya sebagai

penanda kesantunan lingustik.

2.5.3.2 Kesantunan Pragmatik

Makna pragmatik bahasa Indonesia dapat dituturkan dengan cara yang berbeda-

beda. Pragmatik imperatif kebanyakan wujudkan dengan tuturan nonimperatif

pragmatik imperatif banyak diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan

interogatif. Penggunaan tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna imperatif

itu, biasanya mengandung unsur ketidaklangsungan (Rahardi, 2005: 134). Dengan


26

demikian, dalam tuturan pragmatik imperatif, semakin tidak langsung maka

semakin santun tuturan tersebut.

2.5.3.2.1 Kesantunan Pragmatik dalam Tuturan Deklaratif

Selain menggunakan kesantunan linguistik, seperti yang telah diungkapkan di

atas, kesantunan dapat dilakukan dengan cara kesantunan pragmatik. Kesantunan

pragmatik imperatif dapat dituturkan menggunakan tuturan deklaratif. Rahardi

(2005: 135) membedakan kesantunan pragmatik yang dituturkan dengan tuturan

deklaratif menjadi beberapa macam sebagai berikut.

1. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Suruhan

Tuturan imperatif suruhan dapat diungkapkan menggunakan tuturan deklaratif.

Dalam kegiatan bertuturnya, penutur menggunakan tuturan nonimperatif,

sehingga seolah-olah terdengar halus karena dituturkan secara deklaratif, tidak

langsung menyuruh. Berikut ini contoh tuturannya.

Contoh :

Dosen : “Tugas menerjemahkan surat-surat bisnis sekarang ini tidak dapat

dikerjakan tanpa menggunakan kamus.”

Informasi indeksial :

Tuturan itu disampaikan oleh seorang dosen bahasa Inggris kepada para

mahasiswanya di dalam kelas saat mengajar penerjemahan.


27

2. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Ajakan

Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya, makna pragmatik ajakan ternyata

banyak diwujudkan dengan menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklaratif.

Pemakaian tuturan yang demikian lazimnya memiliki ciri ketidaklangsungan

sangat tinggi. Karena tuturan itu memiliki ciri ketidaklangsungan sangat tinggi,

dapat dikatakan bahwa di dalam tuturan itu terkandung maksud-maksud

kesantunan. Berikut ini contoh tuturan dengan wujud kesantunan pragmatik

ajakan dalam tuturan deklaratif.

Ibu : “Ayah, nanti sore ibu tidak ada pengajian. Kata Pak Kades akan ada

rapat dalam rangka memperingati satu Muharam di masjid kita.”

Ayah : “Iya, nanti dengan Ayah saja berangkatnya.”

Informasi indeksial :

Dituturkan seorang istri pada suaminya agar sang suami bersedia menemani

untuk menghadiri pertemuan di balai desa.

3. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Permohonan

Di dalam komunikasi yang sesungguhnya, seringkali didapatkan bahwa makna

imperatif memohon tidak diungkapkan dengan tuturan-tuturan memohon. Bentuk

deklaratif ternyata banyak digunakan untuk menyatakan makna pragmatik

memohon. Dengan menggunakan tuturan deklaratif itu, tuturan yang semula

terlalu kentara memohon, akan menjadi tidak kentara dan dapat dipandang lebih

santun (Rahardi, 2005: 138). Berikut ini contohnya :


28

Guru :”Pak, sepertinya siang ini banyak guru yang akan ke

Kantor Dinas Pendidikan untuk mengumpulkan berkas

sertifikasi.”

Kepala Sekolah :”Kalau begitu, rapat kita tunda besok saja.”

4. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Persilaan

Dalam komunikasi sehari-hari, seringkali ditemukan bahwa makna pragmatik

imperatif persilaan diungkapkan dengan menggunakan tuturan yang berkonotasi

deklaratif. Dengan cara yang demikian, makna pragmatik imperatif persilaan itu

dapat diungkapkan dengan lebih santun (Rahardi, 2005: 140).

Contoh tuturan berikut untuk memperjelas uraian di atas.

Mahasiswa : ”Maaf Pak, apakah kami dapat datang ke rumah untuk

meyerahkan bab I dan bab II sekaligus?”

Dosen : ” Baik. Pukul lima sore saya ada di rumah.”

5. Tuturan Deklaratif sebagai Ekspresi Pragmatik Larangan

Makna imperatif larangan seringkali diungkapkan dengan menggunakan tuturan

yang berkonstruksi deklaratif. Dengan demikian, ciri ketidaklangsungan tuturan

tersebut sangat tinggi. Karena mengandung ketidaklangsungan yang tinggi,

tuturan tersebut juga terkandung maksud-maksud kesantunan (Rahardi, 2005:

141).
29

Berikut contoh tuturan deklaratif yang menyatakan makna imperatif larangan.

(1) “Memecahkan berarti membeli.”

Informasi indeksial : bunyi peringatan di sebuah toko swalayan.

(2) “Tidak menerima tamu, sedang ada rapat.”

Informasi indeksial : bunyi peringatan di depan ruang kepala personalia

sebuah perusahaan.

2.5.3.2.2 Kesantunan Pragmatik dalam Tuturan Interogatif

Sama halnya dengan tuturan deklaratif, tuturan interogatif digunakan untuk

menyatakan makna kesantunan imperatif. Berbagai macam tuturan interogatif

yang menyatakan makna imperatif sebagai berikut.

1. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Perintah

Biasanya tuturan interogatif digunakan untuk menanyakan sesuatu kepada

mitra tutur. Dalam kegiatan bertutur sehari-hari sering dijumpai tuturan

interogatif yang digunakan yang bermakna pragmatik perintah.

Contoh :

(1) Komandan : “Apakah lokasi sudah diamankan?”

(2) Prajurit : “Kami akan segera kembali ke lokasi, Komandan.”

Informasi: :

Tuturan ini merupakan cuplikan sebuah instruksi militer seorang pemimpin

kepada anak buahnya pada saat diadakan apel siaga.


30

2. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Ajakan

Maksud imperatif ajakan akan terasa lebih santun jika diungkapkan dengan

tuturan interogatif daripada diungkapkan dengan tuturan imperatif. Berikut ini

contoh tuturan interogatif yang menyatakan makna imperatif ajakan.

(1) Anak : “ Aduh Pak, perutku sakit. Masih lama tidak ya?”

Bapak : “ Sebentar Nak, Bapak nyalakan motor dulu.”

Informasi indeksial :

Tuturan ini disampaikan seorang anak yang perutnya sakit karena lapar kepada

bapaknya dan mengajak sang bapak membeli makanan ke pasar.

3. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Permohonan

Dalam kegiatan bertutur sehari-hari, sering dijumpai tuturan interogatif yang

memiliki maksud imperatif permohonan. Dengan digunakannya tuturan

interogatif itu, maksud imperatif permohonan akan dapat diungkapkan dengan

lebih santun (Rahardi, 2005: 145-146).

Berikut ini contoh tuturan interogatif yang menyatakan makna pragmatik

imperatif permohonan.

Pasien : “Dokter, apakah saya akan diberi obat antibiotik lagi?Tahun lalu saya

alergi karena obat itu lho Dok.”

Informasi indeksial :

Dituturkan oleh seorang pasien kepada dokter di ruang praktik. Tuturan

diungkapkan dengan tuturan interogatif dengan maksud permohonan agar tidak

diberi obat yang menyebabkan alergi.


31

4. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Persilaan

Bentuk persilaan dengan tuturan nonimperatif lazimnya digunakan dalam situasi

formal dengan penuh basa basi. Situasi yang dapat ditemukan misalnya dalam

kegiatan resmi dan perayaan tertentu (Rahardi, 2005: 147).

Misalnya :

Siswa : “Sudah ditunggu pak, apakah Bapak bersedia pidato

sekarang?”

Kepala Sekolah : “Apakah para pesertanya sudah di dalam?”

Informasi indeksial :

Dituturkan seorang siswa kepada kepala sekolah untuk mempersilakan memberi

pidato pada peringatan HUT sekolah.

5. Tuturan Interogatif sebagai Ekspresi Pragmatik Larangan

Di dalam menyatakan makna imperatif larangan dapat digunakan tuturan

interogatif agar terdengar santun.

Misalnya :

Guru : “Siapa yang mau mendapat hukuman karena ribut di kelas?

Informasi indeksial :

Dituturkan seorang guru di kelas yang siswanya sedang gaduh.


32

2.5.4 Konteks

Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain.

Bahasa membutuhkan konteks tertentu dalam pemakaiannya, demikian juga

sebaliknya konteks baru memiliki fungsi dalam situasi interaksi yang diciptakan,

tetapi fungsi bahasa juga membentuk dan menciptakan situasi tertentu dalam

interaksi yang sedang terjadi (Duranti dalam Rusminto, 2012:54).

2.5.4.1 Jenis-Jenis Konteks

Dengan cara yang lebih konkret, Syafi‟ie (dalam Rusminto, 2012: 55)

membedakan konteks ke dalam empat klasifikasi yaitu sebagai berikut.

1. Konteks fisik yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam

suatu komunikasi.

2. Konteks epitemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama

diketahui oleh penutur dan mitra tutur.

3. Konteks linguistik yang terdiri atas kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran

yang mendahului atau mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa

komunikasi, konteks linguistik ini disebut juga dengan istilah koteks.

4. Konteks sosial yakni relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan

antara penutur dan mitra tutur.


33

2.5.4.2 Unsur-Unsur Konteks

Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 48-49) mengatakan bahwa suatu

peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang disingkat menjadi

SPEAKING, yakni sebagai berikut.

a. Setting and Scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur

berlangsung, sedangkan scene mengacu para situasi tempat dan waktu atau

situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang

berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi yang bahasa yang berbeda.

Berada di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola

dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang

perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dalam keadaan sunyi. Di

lapangan sepak bola seseorang biasa berbicara keras-keras tetapi di ruang

perpustakaan sedapat mungkin pelan.

b. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa

pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima

(pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai

pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah di masjid, khotib sebagai

pembicara dan jamaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status

sosial partisipan sangat menentukan ragam atau gaya bahasa yang digunakan.

Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam bahasa yang berbeda

ketika berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan ketika

berbicara dengan teman sebayanya.

c. Ends merujuk pada maksud dan tujuan yang diharapkan dari pertuturan.
34

d. Act Sequences mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran itu

berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan

hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.

e. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan

disampaikan; dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan

sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan

dengan gerak tubuh dan isyarat.

f. Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur

lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga

mengacu pada kode ujaran yang digunakan seperti bahasa, dialek, fragam,

dan register.

g. Norms of Interaction and Interpretation mengacu pada norma atau aturan

yang dipakai pada suatu peristiwa tutur, juga mengacu pada norma penafsiran

terhadap ujaran dari lawan bicara.

h. Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah,

doa, dan sebagainya.

2.6 Diskusi

2.6.1 Pengertian Diskusi

Diskusi berasal dari bahasa latin, yakni discutere yang berarti membeberkan

masalah. Sesuai dengan hakikatnya, diskusi merupakan suatu proses berpikir

bersama untuk memahami suatu masalah dan menemukan sebabnya (Yustinah,

2008 : 108). Sejalan dengan pendapat di atas, Parera (1988: 183) mengemukakan

bahwa diskusi merupakan satu bentuk pembicaraan secara teratur dan terarah.
35

Diskusi adalah salah satu metode pembelajaran agar siswa dapat berbagi

pengetahuan, pandangan, dan keterampilannya. Tujuan diskusi adalah untuk

mengeksplorasi pendapat atau pandangan yang berbeda dan untuk

mengidentifikasi berbagai kemungkinan (Arsjad dan Mukti, 1988: 40).

2.6.2 Keunggulan Diskusi

Arsjad dan Mukti (1988 40) mengemukakan keunggulan diskusi antara lain

sebagai berikut.

1. Diskusi lebih banyak melatih siswa/mahasiswa berpikir secara logis,

karena dalam diskusi ada proses adu argumentasi.

2. Argumentasi yang dikemukakan mendapat penilaian dari anggota yang

lain, sehingga hal ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir dalam

memecahkan suatu masalah.

3. Umpan balik dapat diterima secara langsung, sehingga hal ini dapat

memperbaiki cara berbicara si pembicara, baik yang menyangkut faktor

kebahasaan maupun nonkebahasaan.

4 Peserta yang pasif dapat dirangsang supaya aktif berbicara oleh moderator

atau peserta lain.

5. Para peserta diskusi turut memberikan saran, turut mempertimbangkan

gagasan yang berbeda-beda, dan turut merumuskan persetujuan bersama

tanpa emosi untuk menang sendiri.


36

2.6.3 Manfaat Diskusi

Diskusi memiliki manfaat sebagai berikut.

1. Pelaksanaan sikap demokrasi.

2. Pengujian sikap toleransi.

3. Pengembangan kebebasan pribadi.

4. Pengembangan latihan berfikir.

5. Penambahan pengetahuan dan pengalaman.

6. Kesempatan pengejawantahan sikap intelijen dan kreatif.

Parera ( 1988: 184) mengemukakan bentuk-bentuk diskusi sebagai berikut.

a. Yang terbatas : konferensi, komisi, wawancara, brainstorming.

b. Yang terbuka/umum : debat, forum, seminar, panel, simposium, diskusi

kelompok, mimbar (wawancara TV dan radio).

2.6.4 Tujuan Diskusi

Tujuan diskusi dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal sebagai berikut.

1. Tujuan dan kebutuhan logis

Diskusi menjadi tempat konsultasi untuk menambah pengetahuan,

mendapat informasi, meluaskan pengalaman, dan meminta pandangan.

Disamping itu, diskusi menjadi tempat koordinasi karena adanya kontak

dan komunikasi

2. Tujuan dan kebutuhan manusia

Diskusi menjadi tempat untuk mendapatkan pengakuan/penghargaan,

menampilkan kelompok atau individu, menyatakan partisipasi,

memberikan dan mendapat informasi serta menunjukkan interaksi.


37

3. Tujuan dan kebutuhan diskusi itu sendiri

Diskusi menjadi tempat tukar menukar informasi, tempat mempertajam

pengertian dan pendapat, tempat konsultasi dan pengunggahan pendapat,

tempat menyiasati, menganalisis, menyelesaikan masalah, memberikan

motivasi dan keyakinan, mengembangkan kerja sama dan meramalkan

partisipasi.

Unsur-Unsur dalam Diskusi

Parera (1988: 184) menyatakan diskusi memiliki beberapa unsur sebagai berikut.

1. Unsur manusia yaitu moderator, pembicara/pemrasaran, dan

pendengar/peserta diskusi.

2. Unsur materi yaitu tema atau topik pembicaraan.

3. Unsur fasilitas yaitu ruangan, tempat duduk, alat-alat tulis.

Proses Berpikir dalam Diskusi

Diskusi adalah kegiatan berbicara dan mengeluarkan pendapat, maka jelaslah ada

tuntutan kemampuan dan keterampilan yang harus dimiliki yaitu sebagai berikut.

a. Kemampuan mengutarakan pendapat dengan bahasa.

b. Kemampuan mengutarakan pendapat secara analitis, logis, dan kreatif.

2.6.5 Kesantunan Berdiskusi

Di dalam diskusi terdapat ketentuan yang harus dipatuhi. Peraturan itu

menyangkut tata krama berdiskusi, dan lazimnya disebut santun diskusi. Ada

beberapa hal yang merupakan santun diskusi, yakni sebagai berikut.


38

1) Seorang moderator tidak boleh memihak, dan harus bertindak adil pada

setiap peserta.

2) Seorang moderator tidak boleh menguasai seluruh jalannya diskusi, dan

harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta.

3) Setiap peserta diskusi harus dapat menghargai peserta lain

berbicara/berpendapat, sehingga tidak memotong pembicaraan, sekalipun

kurang sependapat dengan pendapat yang dikemukakan peserta lain.

4) Setiap peserta harus mematuhi tata tertib diskusi dan

mengendalikanpembicaraannya sehingga pembicarannya relevan dengan

topik yang didiskusikan dan tidak melenceng dari tema atau tujuan diskusi.

5) Setiap peserta diskusi harus patuh pada moderator sehingga ia berbicara

setelah diperbolehkan oleh moderator.

6) Jika peserta diskusi kurang sependapat dengan pendapat peserta lain, ia

tidak boleh menolak secara kasar. Jika keberatan pada pendapat peserta lain,

disampaikan dengan kata-kata yang halus, sopan, dan tidak menyakiti hati,

serta memberikan argumentasi yang logis dan meyakinkan.

7) Setiap peserta harus berlapang dada dalam menerima hasil diskusi.

Kegiatan diskusi akan berjalan baik dan lancar jika peserta diskusi mengetahui

tata cara diskusi dan tugas-tugasnya sebagai peserta. Tarigan (2009: 46)

menguraikan tugas-tugas peserta diskusi sebagai berikut.

1. Turut mengambil bagian dalam diskusi.

2. Berbicaralah hanya kalau ketua mempersilakan kita.

3. Berbicaralah dengan tepat dan tegas.


39

4. Kita harus dapat menunjang pernyataan-pernyataan kita dengan fakta

fakta, contoh-contoh, atau pendapat-pendapat para ahli.

5. Ikutilah dengan seksama dan penuh perhatian terhadap diskusi yang

sedang berlangsung.

6. Dengarkanlah dengan penuh perhatian.

7. Bertindaklah dengan sopan santun dan bijaksana.

Di samping ada sikap-sikap untuk menyukseskan diskusi, tentu saja ada sikap-

sikap yang dapat menghambat jalannya sebuah diskusi.

Sikap-sikap yang dapat menghambat diskusi dan dapat mengurangi kesantunan

dalam diskusi yaitu sebagai berikut.

1. Sikap agresif dan reaksioner.

2. Sikap menutup diri, takut mengeluarkan pendapat.

3. Terlalu banyak bicara, bicara berbelit-belit atau bicara berbisik-bisik

dengan teman di samping.

4. Menunjukkan sikap acuh tak acuh (Parera, 1988: 188).

Anda mungkin juga menyukai