BAB I
PENDAHULUAN
Lamun atau sejenis rumput yang hidup di dasar laut adalah anggota tumbuhan
berbunga yang telah beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di dalam lingkungan air
asin. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat
tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal[1]. Semua lamun adalah
tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun,
bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat.
Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae). Lamun tumbuh berkawanan dan
biasa menempati perairan laut hangat dangkal dan menghubungkan ekosistem
mangrove dengan terumbu karang. Wilayah perairan laut yang ditumbuhi lamun
disebut padang lamun, dan dapat menjadi suatu ekosistem tersendiri yang khas.
Padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi lamun sebagai
vegetasi yang dominan (Wimbaningrum, 2003). Suatu substrat padang lamun dapat
ditumbuhi oleh satu jenis lamun atau lebih (Kirkman, 1985 dalam Kiswara dan
Winardi 1997). Menurut den Hartog (1970), lamun merupakan tumbuhan berbunga
yang tumbuh dan berkembang baik pada dasar perairan laut dangkal mulai dari
daerah pasang surut (zona intertidal) sampai dengan daerah subtoral. Padang lamun
yang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir memiliki keanekaragaman
hayati yang kaya dan merupakan penyumbang nutrisi yang sangat potensia bagi
perairan di sekitarnya mengingat produktivitasnya yang tinggi. Pada ekosistem
padang lamun, berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan
tingkat keanerkaragaman yang tinggi (pksplipb.or.id.2009),
Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya cahaya,
temperatur, kekeruhan, ketersediaan nutrien, kedalaman, arus, gelombang dan
2
salinitas. Menurut Kenyon et al. 1997, panjang daun lamun berkorelasi dengan
temperatur air dan kedalaman minimum rata-rata perairan. Faktor lain yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun adalah substrat. Substrat berperan
menentukan stabilitas kehidupan lamun yaitu sebagai media tumbuh bagi lamun
sehingga tidak terbawa arus dan gelombang, media untuk daur dan sebagai sumber
unsur hara. Perbedaan komposisi jenis substrat dapat menyebabkan perbedaan
komposisi jenis lamun, juga dapat mempengaruhi perbedaan kesuburan dan
pertumbuhan lamun. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa perbedaan komposisi
ukuran butiran pasir akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun
dan proses dekomposisi dan mineralisasi yang terjadi di dalam substrat (Kiswara,
1992).
Berdasarkan hal tersebut maka penulis meyakini perlu ada penelitian lanjutan
mengenai kandungan dan kualitas substrat (substrat berpasir, substrat berlumpur dan
substrat berpasir dengan serpihan baru karang) yang mempengaruhi pertumbuhan
kerapatan lamun jenis yang ada di Desa Ujung Indah Kabupaten Barru.
1.2. Rumusan masalah
1. Terdapat substrat manakah yang memiliki kualitas yang baik.
2. Terdapat substrat manakah yang memiliki kerapatan pertumbuhan lamun yang
baik.
3. Berpengaruhkah kualitas substrat terhadap kerapatan lamun
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) hidup di laut lepas dan dekat
permukaan air laut, ikan tuna sirip kuning memiliki panjang maksimum mencapai 195
cm pada umumnya berukuran antara 50-150 cm, Bentuknya lonjong memanjang
seperti torpedo dan agak memipih dari sisi ke sisi. Memiliki 2 sirip punggung yang
terpisah oleh celah yang kecil, Sirip dada (pectoral) lumayan panjang, biasanya
mencapai pangkal bagian depan sirip dorsal kedua, namun tidak melewati pangkal
bagian belakang, Punggung berwarna biru gelap metalik, berangsur-angsur berubah
5
menjadi kekuningan atau keperakan pada bagian perut. ikan ini memakan ikan-ikan
kecil, cumi-cumi dan udang (Saanin 1984)
Morfologi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dapat dilihat pada
Gambar 1.
Komposisi kimia daging tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin, dan
musim. Perubahan yang nyata terjadi pada kandungan lemak sebelum dan sesudah
memijah, dan bagian tubuh yang satu dengan yang lainnya. Ketebalan lapisan lemak
dibawah kulit berubah menurut umur dan musim. Lemak yang paling banyak terdapat
di dinding perut yang berfungsi sebagai gudang lemak (Murniyati dan Sunarman,
2000). Semakin bertambah usia maka kandungan lemaknya semakin tinggi, ikan yang
6
bermigrasi dalam kondisi buruk dapat menurunkan lemaknya, pada masa setelah
bertelur lemak ikan meningkat dan ikan yang tinggal di habitat yang kaya makanan
juga banyak mengandung lemak (Soen’an, 2004).
Komposisi kimia ikan tuna dapat dilihat pada tabel 1, sedangkan komposisi
asam amino ikan tuna per 100 gram dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Komposisi kima ikan tuna (%)
Sumber: Departement of Health, Education and Walfare (1972); Kim et al. (2009)
secara autolisis adalah dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir pada jaringan
tubuh. Penguraian protein dan lemak dalam autolisis menyebabkan perubahan rasa,
tekstur, dan penampakan ikan (FAO 1995). Kecepatan autolisis tidak dapat
dihentikan namun hanya dapat memperlambat laju proses autolisis. Kegiatan enzim
dapat direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan,
dan pengasaman atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan ikan (Ilyas, 1983).
Semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat
cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya (FAO 1995).
2. Kemunduran Mutu Secara Oksidasi
Oksidasi adalah reaksi antara suatu senyawa kimia dengan oksigen.
Kemunduran mutu ikan tuna yang disebabkan oleh proses oksidasi dapat
mengakibatkan perubahan warna daging ikan tuna dari merah segar menjadi coklat
(Faustman dan Cassens,1990).
3. Penurunan Mutu Akibat Histidin dan Histamin
Histamin terbentuk dari degradasi histidin yang dikatalis oleh enzim
histidine dekarboksilase. Senyawa histamin tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya
dalam daging ikan menjadi berbahaya. Senyawa histamin bersifat racun dan dapat
menimbulkan keracunan yang disebut “Scromboid Food Poisoning”. Kandungan
histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dari spesies ikan lainnya, sehingga
kadar histamin dapat meningkat jika dilakukan penyimpanan dan penanganan yang
salah (Widiastuti, 2010).
Penyimpanan ikan pada kondisi suhu rendah sejak ikan ditangkap hingga
dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan
dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri
penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Widiastuti, 2010).
Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan
tuna yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang kurang baik sehingga dapat
mempengaruhi mutu. Penanganan lebih awal akan sangat berpengaruh terhadap
kualitas mutu yang dihasilkan. Menurut Widiastuti (2010) perubahan fisik ikan yang
terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air adalah:
1. Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih saat ikan
mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya. Ikan yang
terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan
menjadi memar dan luka-luka.
2. Ikan mati akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari
ujung ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan tergantung
dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Kerusakan ikan akan mulai
terlihat yaitu berupa perubahan-perubahan seperti, berubahnya warna insang,
sisik lebih mudah lepas, berubahnya bau dari segar menjadi asam.
3. Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya
tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk
dikonsumsi atau busuk.
hilang, sehingga bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan menyerang
tubuh ikan. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan tempat hidupnya.
Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil penguraiannya dalam proses
autolisis. Penguraian yang dilakukan oleh bakteri ini (disebut bacterial
decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau
busuk, seperti amoniak, dan lain-lain.
2.5 Histamin
Ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu histidin bebas dan histidin
yang terikat dalam protein dan hanya histidin bebas sebagai asam amino bebas yang
dapat mengalami dekarboksilase menjadi histamin (Kimata 1961;Taylor 1983).
Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuhnya tidak bisa lagi melindungi
dari serangan bakteri, dan bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan
memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino
bebas lainnya menjadi histamin. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi
(>200C). Pendinginan dan pembekuan yang cepat, segera setelah ikan mati
merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan
scombrotoxin (histamin). Histamin tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan
dibawah suhu 50C. Pembekuan yang terlalu lama (24 minggu) diduga akan
menginaktifkan bakteri pembentuk enzim dekarboksilase dan diduga pula dapat
mengurangi pembentukan histamin. Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa
kenaikan pembentukan histamin dapat terus berjalan walaupun dalam keadaan
penyimpanan beku (Taylor dan Alasalvar 2002).
Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim
dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada daging
ikan menjadi histamin. Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada insang
dan isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri
ini karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme. Bakteri ini
akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan. Penyebaran
bakteri biasanya terjadi pada saat proses pembuangan insang dan penyiangan
(Sumner et al. 2004). Bakteri pembentuk histamin umumnya adalah bakteri mesofilik
(Shahidi dan Botta 1994). Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut
dan spesifikasinya dapat dilihat pada table 3.
Table 2. bakteri yang mendekarboksilasi Histidin
Kadar histamin ikan yang dipakai sebagai indikator tingkat kerusakan dan
persyaratan bagi kesehatan masyarakat dari berbagai negara (USA, Kanada, Jerman,
Denmark dan Swedia) berbeda-beda tetapi umumnya berkisar antara 10 hingga 30 mg
/100 gram. Food And Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna,
mahi-mahi dan ikan sejenis, 5 mg histamin/100 g daging ikan merupakan level yang
harus diwaspadai sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg
histamin/100g daging ikan merupakan level yang membahayakan atau dapat
menimbulkan keracunan, Oleh karena itu jika ditemukan ikan dengan kandungan
histamin 5 mg/100 gram daging ikan pada satu unit, maka terdapat kemungkinan
pada unit yang lain 50 mg/100 (Dahyar, 2009) dalam Supriadi (2011).
2.5.4. Bahaya histamin terhadap kesehatan
Tingkat bahaya histamin pada daging ikan tuna dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan
BAB III
METODOLOGI
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengujian histamin dapat dilihat pada
tabel 4 dan 5
Tabel 4. Alat yang Digunakan dalam Pengujian Histamin
Dimana :
19
Rumus pengujian dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) adalah sebagai berikut :
𝑘𝑡𝑠
BNJ = q (∑p dbs α) √ 𝑟
Dimana :
q = Nilai pada tabel q
p = Perlakuan
dbs = Derajat bebas sisa
α = 0,05
kts = Kuadrat tengah sisa
20
DAFTAR PUSTAKA
Ahira, 2010. Mengenal Ikan Tuna. www.anne ahira.com [Diakses , Juli 2019]
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006a. Tuna Segar untuk Sashimi. SNI 01-
2693.3-2006. Jakarta: BSN.
Dahyar, 2009. dalam Supriadi. 2011. Analisa Kadar Histamin pada Produk Tuna
(Thunnus sp) Loin dengan Metode Spektroflorometer. Polititeknik Pertanian
Negeri Pangkajene dan Kepulauan. Pangkep
Dalgaard P, Emborg J, Køjlby A, Sørensen ND, Ballin NZ. 2008. Improving Seafood
Product for The Customer. England: Woodhead Publishing Limited
Limited.
Departement of Health, Education and Walfare. 1972. Food composition table for use in
East Asia. http:www.fao.org [Agustus, 2019]
Faustman dan Cassens,1990. dalam Dhias Wicaksono 2009 Asemen Resiko Histamin
Selama Proses Pengolahan Pada Industri Tuna Loin. IPB. Bogor
FAO] Food and Agricultural Organization. 2004.The world tuna industry -an analysis
of imports, prices, and of their combined impact on tuna catches and fishing
capacity. FAO.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh
Fish. Huss HH, editor. Rome: FAO.
[FDA] Food and Drug Administration. 2001. Fish and Fisheries Products Hazards
and Control Guidance. Ed ke-3. Washington DC. www.fda.gov [Diakses
Juni 2019].
[FDA] Food and Drug Administration. 2010. Detention without physical examination
of seafood and seafood products from specific manufacturers/shippers due to
decomposition and/or histamines. http://www.fda.gov [Agustus 2019]
[FDA] Food and Drug Administration 2001. Detention without physical examination
of seafood and seafood products from specific manufacturers/shippers due to
decomposition and/or histamines. http://www.fda.gov [Diakses Juni 2019]
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya
Kimata,1961 dalam Supriadi. 2011. Analisa Kadar Histamin pada Produk Tuna
(Thunnus sp) Loin dengan Metode Spektroflorometer. Polititeknik Pertanian
Negeri Pangkajene dan Kepulauan. Pangkep
Lerke PA, Werner SB, Taylor SL, Guthertz LS. 1978. Scombroid poisoning. The
Western J of Medicine 129: 381–386.
Pubchem. 2005. Cadaverine Compound Summary. Pubchem. ncbi. nlm. nih. Gov
(Diakses 15 Juli, 2019)
Saanin H, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan 2. Bina Cipta,
Jakata 120 hal.
Shalaby AR. 1996. Significance of biogenic amines to food safety and human health.
Food Research International 29 (7): 675-690.
23
Silva CCG, Ponte DJB, Dapkecivius MLNE. 1998. Storage temperature effect on
histamine formation in big eye tuna and skipjack. J of Food Science 63 (4):
644-6
Saanin H, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan 2. Bina Cipta,
Jakata 120 hal.
Widiastuti I. 2008. Analisis mutu ikan tuna selama lepas tangkap pada perbedaan
preparasi dan waktu penyimpanan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut pertanian Bogor.
23