Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lamun atau sejenis rumput yang hidup di dasar laut adalah anggota tumbuhan
berbunga yang telah beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di dalam lingkungan air
asin. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat
tumbuh dengan baik dalam lingkungan laut dangkal[1]. Semua lamun adalah
tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun,
bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat.
Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae). Lamun tumbuh berkawanan dan
biasa menempati perairan laut hangat dangkal dan menghubungkan ekosistem
mangrove dengan terumbu karang. Wilayah perairan laut yang ditumbuhi lamun
disebut padang lamun, dan dapat menjadi suatu ekosistem tersendiri yang khas.
Padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi lamun sebagai
vegetasi yang dominan (Wimbaningrum, 2003). Suatu substrat padang lamun dapat
ditumbuhi oleh satu jenis lamun atau lebih (Kirkman, 1985 dalam Kiswara dan
Winardi 1997). Menurut den Hartog (1970), lamun merupakan tumbuhan berbunga
yang tumbuh dan berkembang baik pada dasar perairan laut dangkal mulai dari
daerah pasang surut (zona intertidal) sampai dengan daerah subtoral. Padang lamun
yang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir memiliki keanekaragaman
hayati yang kaya dan merupakan penyumbang nutrisi yang sangat potensia bagi
perairan di sekitarnya mengingat produktivitasnya yang tinggi. Pada ekosistem
padang lamun, berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan
tingkat keanerkaragaman yang tinggi (pksplipb.or.id.2009),
Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya cahaya,
temperatur, kekeruhan, ketersediaan nutrien, kedalaman, arus, gelombang dan
2

salinitas. Menurut Kenyon et al. 1997, panjang daun lamun berkorelasi dengan
temperatur air dan kedalaman minimum rata-rata perairan. Faktor lain yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun adalah substrat. Substrat berperan
menentukan stabilitas kehidupan lamun yaitu sebagai media tumbuh bagi lamun
sehingga tidak terbawa arus dan gelombang, media untuk daur dan sebagai sumber
unsur hara. Perbedaan komposisi jenis substrat dapat menyebabkan perbedaan
komposisi jenis lamun, juga dapat mempengaruhi perbedaan kesuburan dan
pertumbuhan lamun. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa perbedaan komposisi
ukuran butiran pasir akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun
dan proses dekomposisi dan mineralisasi yang terjadi di dalam substrat (Kiswara,
1992).
Berdasarkan hal tersebut maka penulis meyakini perlu ada penelitian lanjutan
mengenai kandungan dan kualitas substrat (substrat berpasir, substrat berlumpur dan
substrat berpasir dengan serpihan baru karang) yang mempengaruhi pertumbuhan
kerapatan lamun jenis yang ada di Desa Ujung Indah Kabupaten Barru.
1.2. Rumusan masalah
1. Terdapat substrat manakah yang memiliki kualitas yang baik.
2. Terdapat substrat manakah yang memiliki kerapatan pertumbuhan lamun yang
baik.
3. Berpengaruhkah kualitas substrat terhadap kerapatan lamun

1.3. Tujuan dan Kegunaan


Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kualitas substrat dari beberapa jenis substrat yang ditumbuhi
lamun.
2. Untuk mengetahui pada jenis substrat manakah yang memiliki kerapatan
pertumbuhan lamun yang baik.
3. Untuk mengetahui pengaruh kualitas terhadap kerapatan lamun.
3

Kegunaan peneliatan ini adalah diharapkan dapat menambah ilmu


pengetahuan dalam bidang perikanan khususnya mengetahui tentang kualitas substrat
dari beberapa jenis substrat yang ditumbuhi lamun serta mengetahu pengaruh kualitas
pertumbuhan kerapatan pada jenis substrat berdasarkan kualitas substrat.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Tuna (Thunnus Sp)


Padang lamun merupakan hamparan tumbuhan lamun yang menutupi suatu area
laut dangkal yang dapat terbentuk dari satu jenis lamun saja (monospesifik) atau lebih
(mixed vegetation) dengan kerapatan yang padat ataupun jarang (Azkab, 2006).
Di Indonesia ditemukan 12 jenis lamun dari 60 jenis lamun yang ada di dunia.
Dua belasjenis ini berasal dari dua familia, yaitu familia Hydrocharitaceae dan
familia Cymodoceaceae dapat ditemukan di Indonesia (Green dan Short, 2003
danTomascik et al., 1997). Dari seluruh jenis lamun yang ada di Indonesia, Enhalus
acoroides merupakan lamun yang berukuran paling besar dengan pertumbuhan yang
lambat dan tersebar hampir di seluruh perairan laut Indonesia. Lamun
Enhalusacoroides memiliki perakaran yang kuat sehingga dapat berfungsi sebagai
pengikat sedimen dan juga dapat menyerap nutrienyang terdapat didalam substrat
(Susetiono, 2004).
Enhalus acoroidesmemiliki helaian daun yang lurus, kaku dan panjang lebih dari
50 cmserta lebar lebih dari 1,5 cm dan berbentuk seperti pita (Susetiono, 2004).
Ujung daun membulat dan terkadang agak bergerigi.
2.2 Morfologi Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares)

Ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) hidup di laut lepas dan dekat
permukaan air laut, ikan tuna sirip kuning memiliki panjang maksimum mencapai 195
cm pada umumnya berukuran antara 50-150 cm, Bentuknya lonjong memanjang
seperti torpedo dan agak memipih dari sisi ke sisi. Memiliki 2 sirip punggung yang
terpisah oleh celah yang kecil, Sirip dada (pectoral) lumayan panjang, biasanya
mencapai pangkal bagian depan sirip dorsal kedua, namun tidak melewati pangkal
bagian belakang, Punggung berwarna biru gelap metalik, berangsur-angsur berubah
5

menjadi kekuningan atau keperakan pada bagian perut. ikan ini memakan ikan-ikan
kecil, cumi-cumi dan udang (Saanin 1984)

Morfologi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Yellowfin Tuna (Thunnus albacares)


www.sangiangsea.wordpress.com

2.3 Komposisi kimia Ikan Tuna

Komposisi kimia daging tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin, dan
musim. Perubahan yang nyata terjadi pada kandungan lemak sebelum dan sesudah
memijah, dan bagian tubuh yang satu dengan yang lainnya. Ketebalan lapisan lemak
dibawah kulit berubah menurut umur dan musim. Lemak yang paling banyak terdapat
di dinding perut yang berfungsi sebagai gudang lemak (Murniyati dan Sunarman,
2000). Semakin bertambah usia maka kandungan lemaknya semakin tinggi, ikan yang
6

bermigrasi dalam kondisi buruk dapat menurunkan lemaknya, pada masa setelah
bertelur lemak ikan meningkat dan ikan yang tinggal di habitat yang kaya makanan
juga banyak mengandung lemak (Soen’an, 2004).

Komposisi kimia ikan tuna dapat dilihat pada tabel 1, sedangkan komposisi
asam amino ikan tuna per 100 gram dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Komposisi kima ikan tuna (%)

Species Air Protein Lemak Karbohidrat Abu

Bluefin 68,70 28,30 1,40 0,10 1,50


Southern 65,60 23,60 9,30 0,10 1,40
Yellow Fin 74,20 22,20 2,10 0,10 1,40
Skipjack 70,40 25,80 2,00 0,40 1,40
Marlin 72,10 25,40 3,00 0,10 1,40
Mackerel 62,50 19,80 16,50 0,10 1,10

Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000).

Tabel 2. Komposisi Asam Amino Ikan Tuna Per 100 gram

Asam amino Kandungan mg/100g


Threonine 1079
Tryptophane 342,5
Valine 1477,5
Histidine 1476,5
Arginine 1487
Alanine 1569,5
7

Aspartic acid 2260


Glutamic acid 3171
Glysine 971,5
Proline 1088,5
Serine 953,5

Sumber: Departement of Health, Education and Walfare (1972); Kim et al. (2009)

2.4 Proses Penurunan Mutu Ikan Tuna

Ikan tuna yang mati setelah ditangkap akan mengalami serangkaian


perubahan yang mengarah pada proses penurunan mutu yang disebabkan oleh tiga
kegiatan utama yaitu penurunan secara bakteriologis, kimia, dan fisik. Seluruh proses
perubahan ini pada akhirnya dapat mengarah pada pembusukan (Murniyati dan
Sunarman 2000).

2.4.1 Kemunduran Mutu Secara Kimiawi

Penurunan mutu secara kimia adalah penurunan mutu yang berhubungan


dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri
dari penurunan mutu secara autolisis, oksidasi dan akibat histidin. (Hadiwiyoto,1993)
dalam Anonim, (2000).
1. Kemunduran Mutu Secara Autolisis
Autolisis adalah penguraian protein dan lemak menjadi senyawa yang lebih
sederhana seperti asam amino dan asam lemak. Menurut Ilyas (1983) enzim yang
berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolysis (pengurai protein) dan enzim liposis
(pengurai lemak). Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur, dan
kenampakan yang berubah. Penurunan mutu secara autolisis berlangsung sebagai aksi
kegiatan enzim yang merupakan proses penguraian pertama setelah ikan tuna mati.
Kecepatan autolisis sangat tergantung pada suhu, semakin rendah suhu semakin
lambat kecepatan autolisis (Afrianto, 2008). Salah satu ciri-ciri terjadinya perubahan
8

secara autolisis adalah dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir pada jaringan
tubuh. Penguraian protein dan lemak dalam autolisis menyebabkan perubahan rasa,
tekstur, dan penampakan ikan (FAO 1995). Kecepatan autolisis tidak dapat
dihentikan namun hanya dapat memperlambat laju proses autolisis. Kegiatan enzim
dapat direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan,
dan pengasaman atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan ikan (Ilyas, 1983).
Semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat
cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya (FAO 1995).
2. Kemunduran Mutu Secara Oksidasi
Oksidasi adalah reaksi antara suatu senyawa kimia dengan oksigen.
Kemunduran mutu ikan tuna yang disebabkan oleh proses oksidasi dapat
mengakibatkan perubahan warna daging ikan tuna dari merah segar menjadi coklat
(Faustman dan Cassens,1990).
3. Penurunan Mutu Akibat Histidin dan Histamin
Histamin terbentuk dari degradasi histidin yang dikatalis oleh enzim
histidine dekarboksilase. Senyawa histamin tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya
dalam daging ikan menjadi berbahaya. Senyawa histamin bersifat racun dan dapat
menimbulkan keracunan yang disebut “Scromboid Food Poisoning”. Kandungan
histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dari spesies ikan lainnya, sehingga
kadar histamin dapat meningkat jika dilakukan penyimpanan dan penanganan yang
salah (Widiastuti, 2010).
Penyimpanan ikan pada kondisi suhu rendah sejak ikan ditangkap hingga
dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan
dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri
penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Widiastuti, 2010).

2.4.2 Kemunduran Mutu Secara Fisik


9

Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan
tuna yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang kurang baik sehingga dapat
mempengaruhi mutu. Penanganan lebih awal akan sangat berpengaruh terhadap
kualitas mutu yang dihasilkan. Menurut Widiastuti (2010) perubahan fisik ikan yang
terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air adalah:
1. Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih saat ikan
mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya. Ikan yang
terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan
menjadi memar dan luka-luka.
2. Ikan mati akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari
ujung ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan tergantung
dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Kerusakan ikan akan mulai
terlihat yaitu berupa perubahan-perubahan seperti, berubahnya warna insang,
sisik lebih mudah lepas, berubahnya bau dari segar menjadi asam.
3. Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya
tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk
dikonsumsi atau busuk.

2.4.3. Kemunduran Mutu Secara Bakteriologis

Penurunan mutu secara bakteriologis yaitu suatu proses penurunan mutu


yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari lingkungan dan dalam
tubuh ikan (Junianto 2003). Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi
aktivitas bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan. Bakteri yang hidup dalam saluran
pencernaan, insang, saluran darah, serta permukaan kulit tidak dapat menyerang
bagian-bagian tubuh ikan karena masih memiliki daya tahan terhadap serangan
bakteri (Sarmono, 2002)
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), ikan yang telah mati tidak dapat
mempertahankan aktivitas bakteri karena kemampuan daya tahan tubuh ikan telah
10

hilang, sehingga bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan menyerang
tubuh ikan. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan tempat hidupnya.
Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil penguraiannya dalam proses
autolisis. Penguraian yang dilakukan oleh bakteri ini (disebut bacterial
decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau
busuk, seperti amoniak, dan lain-lain.

2.5 Histamin

Histamin merupakan senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam


amino histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase (Pupcham, 2005).
Histamin merupakan kelompok dari amin biogenik, yaitu bahan aktif yang diproduksi
secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat
pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging merah, keju dan makanan
fermentasi (Keer et al. 2002). Histamin merupakan salah satu senyawa amin biogenik
yang dianggap sebagai penyebab utama keracunan makanan yang berasal dari ikan,
terutama dari kelompok scombroid. (Indriati et al. 2006).
Pembentukan histamin berbeda-beda untuk setiap spesies dan biasanya
tergantung pada kandungan histidin, jenis dan jumlah bakteri yang mengkontaminasi,
suhu pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi mikroba, dan cara
penanganan dan penyimpanan ikan (Pan 1984). Kadar histamin tertinggi terdapat
pada bagian depan tubuh ikan (depan perut), sedangkan terendah terdapat pada
bagian ekor (Lerke et al. 1978).
Menurut Gonowiak et al. (1990) diacu dalam Mangunwardoyo (2007),
hanya ikan yang mengandung histidin bebas di atas 100 mg/100g daging yang
mampu menghasilkan histamin. Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna
lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainya sehingga meningkatkan potensi
peningkatan kadar histamin khususnya pada penyimpanan dan penanganan yang
salah (Keer et,al 2002).
11

Beberapa jenis ikan terutama dari famili Scombroidae mempunyai


kandungan histidin bebas yang tinggi, seperti : tuna mata besar mencapai 491
mg/100g daging, mahi-mahi 344 mg/g, cakalang 1192 mg/100g, tuna ekor kuning
740 mg/100g, kembung 600 mg/100g dan albakore yang tertinggi, sampai 2 g/100g
daging (Antoine 1999 diacu dalam Mangunwardoyo 2007).

2.5.1 Suhu Terbentuknya Histamin

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya histamin.


Berbagai kajian telah menunjukkan bahwa kadar histamin cenderung mengalami
peningkatan pada kondisi penyimpanan dan penanganan yang tidak baik terkait
dengan suhu (Silva et al. 1998). Hasil penelitian mengenai suhu optimum dan batas
suhu terendah untuk pembentukan histamin sangat bervariasi. Suhu optimum
pembentukan histamin adalah 25 ºC oleh Morganella morganii dan Proteus vulgaris,
tetapi pada suhu 15 ºC histamin masih diproduksi dalam level yang signifikan pada
daging (Kim et al. 2001). Menurut Guizani et al.(2005), produksi histamin pada suhu
0 ºC sebesar 0,61 mg/kg pada hari ke-17, pada suhu 8 ºC hari ke-8 produksi histamin
meningkat cepat sebanyak 15 mg/100 g. Pembentukan histamin terjadi dengan sangat
cepat pada penyimpanan suhu 20 ºC, yakni naik hingga 10 kali lipat setelah
penyimpanan selama 24 jam sebesar 11,14 mg/100g tuna. Food and Drug
Administration (FDA 2011) menetapkan batas kritis suhu untuk pembentukan
histamin pada pusat ikan, yakni 4,4 ºC, Indonesia menetapkan suhu pusat ikan tuna
juga sebesar 4,4 ºC (BSN 2006), sedangkan Uni Eropa menentukan suhu pusat ikan
tuna, yakni suhu lebur es atau sekitar 0-2 ºC (EU 2004; Dalgaard 2008).

2.5.2 Perubahan Histidin Menjadi Histamin


12

Ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu histidin bebas dan histidin
yang terikat dalam protein dan hanya histidin bebas sebagai asam amino bebas yang
dapat mengalami dekarboksilase menjadi histamin (Kimata 1961;Taylor 1983).
Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuhnya tidak bisa lagi melindungi
dari serangan bakteri, dan bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan
memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino
bebas lainnya menjadi histamin. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi
(>200C). Pendinginan dan pembekuan yang cepat, segera setelah ikan mati
merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan
scombrotoxin (histamin). Histamin tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan
dibawah suhu 50C. Pembekuan yang terlalu lama (24 minggu) diduga akan
menginaktifkan bakteri pembentuk enzim dekarboksilase dan diduga pula dapat
mengurangi pembentukan histamin. Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa
kenaikan pembentukan histamin dapat terus berjalan walaupun dalam keadaan
penyimpanan beku (Taylor dan Alasalvar 2002).
Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim
dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada daging
ikan menjadi histamin. Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada insang
dan isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri
ini karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme. Bakteri ini
akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan. Penyebaran
bakteri biasanya terjadi pada saat proses pembuangan insang dan penyiangan
(Sumner et al. 2004). Bakteri pembentuk histamin umumnya adalah bakteri mesofilik
(Shahidi dan Botta 1994). Bakteri penghasil histamin yang terdapat pada ikan laut
dan spesifikasinya dapat dilihat pada table 3.
Table 2. bakteri yang mendekarboksilasi Histidin

Bakteri yang Mendekarboksilasi Spesifikasi


Histidin
13

Hafnia. Gram negatif,batang, fakultatif anaerobik


Klebsiella sp. Gram negative, batang, fakultatif anaerobik
Escherichia coli Gram negatif, batang fakultatif anaerobik
Clostridium sp. Gram positif, batang fakultatif anaerobik
Lactobacillus sp. Gram positif, batang, fakultatif anaerobik
Enterobacter sp Gram negatif, batang, fakultatif anaerobik
Proteus sp Gram negatif, batang, fakultatif anaerobik

Sumber : Fuji (1994) dalam Widiastuti, 2008


2.5.3 Perbedaan Daging Gelap dan Daging Putih Ikan Tuna dalam
Pembentukan Histamin
Berdasarkan penelitian Ririekhayan, 2012 semua daging ikan yang berwarna
gelap mengandung histidin bebas tinggi, Sebaliknya ikan-ikan berdaging putih,
rendah kandungan histidin bebasnya. Perbedaan ikan berdaging gelap dengan
berdaging putih dalam pembentukan histamin yang disebabkan oleh bakteri
pembusuk, ikan yang berdaging gelap menghasilkan banyak histamin daripada ikan
yang berdaging putih (Kimata, 1961).
Jenis ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan merah, justru
daging-daging putihlah yang tinggi histaminnya. Daging yang merah jauh lebih sedikit.
Untuk konsumsi manusia, daging merah lebih aman daripada daging putihnya bila
dipandang dari segi histamin. Hal itu disebabkan daging merah tinggi kandungan trimetil
amina oksida (TMAO) yang berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin
(Winarno,1993).

2.5.4 Standar Mutu Histamin

Beberapa negara telah menentukan batas kandungan histamin pada produk-


produk perikananya, misalnya Amerika Serikat, Swedia dan Chekoslovakia
menetapkan kandungan histamin maksimal 50 mg/100 gr (Ababouch, 1989)
14

Kadar histamin ikan yang dipakai sebagai indikator tingkat kerusakan dan
persyaratan bagi kesehatan masyarakat dari berbagai negara (USA, Kanada, Jerman,
Denmark dan Swedia) berbeda-beda tetapi umumnya berkisar antara 10 hingga 30 mg
/100 gram. Food And Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna,
mahi-mahi dan ikan sejenis, 5 mg histamin/100 g daging ikan merupakan level yang
harus diwaspadai sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg
histamin/100g daging ikan merupakan level yang membahayakan atau dapat
menimbulkan keracunan, Oleh karena itu jika ditemukan ikan dengan kandungan
histamin 5 mg/100 gram daging ikan pada satu unit, maka terdapat kemungkinan
pada unit yang lain 50 mg/100 (Dahyar, 2009) dalam Supriadi (2011).
2.5.4. Bahaya histamin terhadap kesehatan

Keracunan histamin disebabkan oleh konsumsi ikan yang mengandung histamin


dengan level yang tinggi (Bremer et al. 2003). Gejala keracunan histamin meliputi sakit
kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan
kerongkongan terasa terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah (Eitenmiller
et al. 1982). Gejala keracunan histamin dapat terjadi sangat cepat, sekitar 30 menit
setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. (Bremer et al. 2003).

Tingkat bahaya histamin pada daging ikan tuna dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan

Kadar histamin per 100 g Tingkatan bahaya

<5 mg Aman dikomsumsi


5-20 mg Kemungkinan toksik
20-100 mg Berpeluang toksik
>100 mg Toksik

Sumber: Shalaby (1996), dalam Anonim (2009)


15

BAB III

METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2019 di laboratorium


CV. Inti makmur Jl. Kima 6 Blok F1/A2 Makassar.
3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam pengujian histamin dapat dilihat pada
tabel 4 dan 5
Tabel 4. Alat yang Digunakan dalam Pengujian Histamin

Nama Alat Fungsinya


16

- Plastik Sebagai tempat sampel


- Pisau Memotong ikan yang diambil sebagai sampel
- Penggerus Menghaluskan sampel
- Timbangan Untuk mengetahui berat sampel yang akan diuji
- Botol schott Sebagai tempat hasil menyaring sampel yang akan diuji
- Kertas saring Sebagai penyaring sampel yang akan diuji
- Corong Tempat diletakkan kertas saring
- Mikropipet Untuk memindahkan dan mengocok larutan
- Pipet ukur Untuk memindahkan larutan yang diketahui banyaknya
- Well Tempat larutan yang akan diuji absorbansinya ke dalam
stat fax
- Papan well Tempat well diletakkan
- Tissu Sebagai tempat ditapkan well
- Stat Fax Untuk membaca hasil uji histamine

Bahan yang Digunakan dalam Penngujian Histamin

Nama Bahan Fungsinya

- Ikan tuna Sampel yang digunakan untuk diuji kadar histaminya


- Aquades Sebagai pelarut sampel
- Buffer Untuk mendeteksi dan mengikat histamin poada
sampel yang diuji
- Washing buffer Untuk menghilangkan antigen yang tidak terikat pada
sampel yang diuji
- Blanko 0 ppm Sebagai larutan standar dengan konsentrasi 0 ppm
- Blanko 2,5 ppm Sebagai larutan standar dengan konsentrasi 2,5 ppm
- Blanko 5 ppm Sebagai larutan standar dengan konsentrasi 5 ppm
17

- Blanko 10 ppm Sebagai larutan standar dengan konsentrasi 10 ppm


- Blanko 20 ppm Sebagai larutan standar dengan konsentrasi 20 ppm
- Blanko 50 ppm Sebagai larutan standar dengan konsentrasi 50 ppm
- Concugate solution Sebagai antibodi kedua yang terikat dengan suatu
enzim dan akan mencari zat yang telah terikat
- Substrak chromogent Untuk menunjukkan hasil positif atau negatif dalam
suatu sampel
- Stop solution Untuk menghentikan reaksi enzim dengan sustrak

3.3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Perlakuan


dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Penyimpanan 0 hari pada suhu 4,40C terhadap daging ikan tuna (perut,
daging merah, daging putih)
2. Penyimpanan 3 hari pada suhu 4,40C terhadap daging ikan tuna (perut,
daging merah, daging putih)
3. Penyimpanan 7 hari pada suhu 4,40C terhadap daging ikan tuna (perut,
daging merah, daging putih)
3.4 Prosedur Penelitian

Presedur pengujian histamin meliputi :


1. Ditimbang sampel sebanyak 10 gram dan dihaluskan
2. Dimasukkan dalam plastik yang sudah steril yang sudah diisi kode sesuai
dengan urutan sample
3. Ditambahkan Aquadest sebanyak 90 ml kedalam plastik
4. Dikocok 20 detik, diamkan 5 menit
5. Dikocok 20 detik, diamkan 5 menit
6. Dikocok 20 detik, diamkan selama 30 detik
18

7. Disaring dengan menggunakan kertas saring yang dilipat ke dalam wadah


bersih (Botol schoot)
8. Ekstract Sample (Uji Histamin)
9. Isi setiap sumur merah dengan 100 µL reagen konjugat (reagen dengan
botol label biru)
10. Tambahkan 100 µL ekstrak sample yang telah dihomogenkan dengan
buffer 10 ml (pada test tube) ke dalam sumur merah
11. Mix 3 kali hingga reagent dan sample tercampur
12. Ambil 100 µL cairan pada sumur merah ke sumur antibody
13. Tunggu 10 menit
14. Buang keluar content pada sumur antibody kemudian isi setiap sumur
dengan diluted wash buffer lalu buang, ulangi pencucian dengan wash
buffer hingga 3 kali
15. Keringkan sumur hingga tiada cairan tersisa
16. Tambahkan 100 µL reagen substrat (botol label hijau) ke sumur antibody
yang sudah kering dan tunggu 10 menit
17. Tambahkan 100 µL reagen penyetop merah (botol label merah) ke setiap
sumur
18. Baca hasil dengan Mesin Stat Fax

3.5 Analisis Data

Data hasil uji kadar histamin dianalisis menggunakan program Microsoft


Excel. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) Faktorial dengan tiga kali ulangan. Model Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Faktorial yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ) ij + εijk

Dimana :
19

Yijk =Pengamatan pada satuan percobaan ke k yang memperoleh


kombinasi perlakuan taraf ke i dari faktor α dan taraf ke j dari faktor β
µ =Mean populasi
αi =Pengaruh taraf ke i dari faktor α
βj =Pengaruh taraf ke j dari faktor β
(αβ) ij = Pengaruh taraf ke i dari faktor α dan taraf ke j dari faktor
εijk = Pengaruh acak satuan ke k yang memperoleh kombinasi perlakuan
Apabilah hasil analisis menunjukkan hasil yang berbeda nyata maka
dilakukan uji lanjut yaitu uji Beda Nyata Jujur (BNJ) yang bertujuan untuk
mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
parameter yang dianalisis.

Rumus pengujian dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) adalah sebagai berikut :

𝑘𝑡𝑠
BNJ = q (∑p dbs α) √ 𝑟

Dimana :
q = Nilai pada tabel q
p = Perlakuan
dbs = Derajat bebas sisa
α = 0,05
kts = Kuadrat tengah sisa
20

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan Liviawaty, E, 2008. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius,


Yogyakarta.

Ahira, 2010. Mengenal Ikan Tuna. www.anne ahira.com [Diakses , Juli 2019]

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006a. Tuna Segar untuk Sashimi. SNI 01-
2693.3-2006. Jakarta: BSN.

Dahyar, 2009. dalam Supriadi. 2011. Analisa Kadar Histamin pada Produk Tuna
(Thunnus sp) Loin dengan Metode Spektroflorometer. Polititeknik Pertanian
Negeri Pangkajene dan Kepulauan. Pangkep

Dalgaard P, Emborg J, Køjlby A, Sørensen ND, Ballin NZ. 2008. Improving Seafood
Product for The Customer. England: Woodhead Publishing Limited
Limited.

Departement of Health, Education and Walfare. 1972. Food composition table for use in
East Asia. http:www.fao.org [Agustus, 2019]

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2017. Statistik Perikanan Tangkap


Indonesia 2017. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia
21

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 20018. Statistik Ekspor Hasil


Perikanan 2018. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia.

[EC] European Commission. 2004. Regulation (EC) No 853/2004 of the European


Parliament and of the Council of 29 April 2004 laying down specific
hygiene rules for food of animal origin. Official J of European Union (226):
22-82.

Faustman dan Cassens,1990. dalam Dhias Wicaksono 2009 Asemen Resiko Histamin
Selama Proses Pengolahan Pada Industri Tuna Loin. IPB. Bogor

FAO] Food and Agricultural Organization. 2004.The world tuna industry -an analysis
of imports, prices, and of their combined impact on tuna catches and fishing
capacity. FAO.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh
Fish. Huss HH, editor. Rome: FAO.

[FDA] Food and Drug Administration. 2001. Fish and Fisheries Products Hazards
and Control Guidance. Ed ke-3. Washington DC. www.fda.gov [Diakses
Juni 2019].

[FDA] Food and Drug Administration. 2010. Detention without physical examination
of seafood and seafood products from specific manufacturers/shippers due to
decomposition and/or histamines. http://www.fda.gov [Agustus 2019]

[FDA] Food and Drug Administration 2001. Detention without physical examination
of seafood and seafood products from specific manufacturers/shippers due to
decomposition and/or histamines. http://www.fda.gov [Diakses Juni 2019]
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya

Hadiwiyoto,1993.Waspadaihistamine-pada-ikan. http://www. chem-istry.org/


author/Redaksi_chem-is-try_org/. (Diakses 15 Juli, 2019)

Ilyas, S. 1988. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Yayasan Wijayakusuma.


Jakarta
Indriati N, Rispayeni, Heruwati ES. 2006. Studi bakteri pembentuk histamin pada ikan
kembung peda selama proses pengolahan. Jurnal Pascpanen dan bioteknologi
Kelautan dan Perikanan. 2(1) : 88-99.

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya


22

Keer M, Paul L, Sylvia A .2002. Effect of Storage Condition on Histamin Formation


in Fresh and Canned Tuna. Commision by Food Safety Unit. Dalam
www.foodsafety.vic.gov.au. (Diakses Juli 2019)

Kerr M, Lawicki P, Aguirre S, Rayner C. 2002. Eff ect of storage conditions on


histamine formation in fresh and canned tuna. [Research Report]. Victorian
Government Departemen of Human Services, Werribee, 20 p.

Kimata,1961 dalam Supriadi. 2011. Analisa Kadar Histamin pada Produk Tuna
(Thunnus sp) Loin dengan Metode Spektroflorometer. Polititeknik Pertanian
Negeri Pangkajene dan Kepulauan. Pangkep

Lerke PA, Werner SB, Taylor SL, Guthertz LS. 1978. Scombroid poisoning. The
Western J of Medicine 129: 381–386.

Murniyati dan Sunarman 2000 Pendinginan Pembekuan dan Pengawetan Ikan.


Kanasius. Jakarta

New Zealand Ministry of Health. 2001. Scombroid (Histamine) Poisoning.


Environmental Science & Research ltd.
Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta : Penerbit Djambatan.

Pubchem. 2005. Cadaverine Compound Summary. Pubchem. ncbi. nlm. nih. Gov
(Diakses 15 Juli, 2019)

Saanin H, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan 2. Bina Cipta,
Jakata 120 hal.

Sumner J, Ross T, Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in the Fish


Industry. Roma: FAO.
Sugandhi. 2007. Permasalahan dan kiat eksportir tuna. Seminar Tuna Nasional
Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Jakarta : Asosiasi Tuna Nasional.

Shalaby AR. 1996. Significance of biogenic amines to food safety and human health.
Food Research International 29 (7): 675-690.
23

Silva CCG, Ponte DJB, Dapkecivius MLNE. 1998. Storage temperature effect on
histamine formation in big eye tuna and skipjack. J of Food Science 63 (4):
644-6

Saanin H, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan 2. Bina Cipta,
Jakata 120 hal.

Soen’an, 2004 dalam http://theant19-dedhy.blogspot.com/2010/04/penurunan- mutu-


ikan-tuna.html (Diakses, 6 Juni 2014)

Sumner J, Ross T, Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in the Fish


Industry. Roma: FAO.
Taylor T, Alasalvar C. 2002. Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical
Applications. Berlin: Springer.

Widiastuti I. 2008. Analisis mutu ikan tuna selama lepas tangkap pada perbedaan
preparasi dan waktu penyimpanan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut pertanian Bogor.

23

Anda mungkin juga menyukai