Penerapan demokrasi pada periode ini belum berjalan dengan baik. Hal yang demikian itu
disebabkan situasi dan kondisi yang belum memungkinkan. Selama periode ini negara lebih
banyak disibukkan dengan upaya-upaya untuk mempertahankan kemerdekaan dari berbagai
kemungkinan serangan yang dilakukan penjajah dalam merongrong kemerdekaan Indonesia.
Pelaksanaan demokrasi baru terbatas pada berfungsinya pers yang mendukung revolusi
kemerdekaan.
Adapun, elemen-elemen demokrasi yang lain belum sepenuhnya terwujud, karena situasi dan
kondisi yang tidak memungkinkan. Hal ini dikarenakan pemerintah harus memusatkan seluruh
energinya bersama-sama rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga
kedaulatan negara, agar negara kesatuan tetap hidup (Kemendikbud, 2017: 54).
Sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh UUD 1945 adalah presidensial. Akan tetapi dua
bulan setelah penetapan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara Indonesia, sistem
pemerintahannya mengalami pergeseran menjadi parlementer.
Pada periode ini kekuasaan pemerintahan cenderung tersentralisasi. Hal yang demikian itu
dikarenakan lembaga-lembaga legislatif seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
ataupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) belum dapat
dibentuk.
Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan bahwa sebelum lembaga-lembaga seperti
MPR, DPR, atau DPA dibentuk, kekuasaannya dipegang oleh Presiden yang dibantu oleh
komite nasional (KNIP). Inilah yang menyebabkan kekuasaan Presiden pada saat itu sangat
besar.
Maklumat Pemerintah No. X Tanggal 16 Oktober 1945 tentang Perubahan Fungsi KNIP
menjadi Fungsi Parlemen.
Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November 1945 mengenai Pembentukan Partai Politik.
Maklumat Pemerintah Tanggal 14 November 1945 mengenai Perubahan dari Kabinet
Presidensial ke Kabinet Parlementer (Yuliastuti dkk, 2011:69).
Irawan (2007: 58) menggambaran pada awal kemerdekaan muncul peregeseran gagasan
ketatanegaraan yaitu gagasan pluralisme ke gagasan organisme. Gagasan pluralisme adalah
gagasan yang lebih mengedepankan peranan negara dan peranan masyarakat dalam
ketatanegaraan.
Semangat gagasan pluralisme yang sangat dijunjung tinggi oleh elite politik Indonesia
menandai berakhirnya pemusatan kekuasaan yang dimiliki presiden. Semangat akan
gagasan pularisme ini diakomodasi dalam rapat Komite Nasional pada 16 Oktober 1945 yang
mengusulkan agar komite diserahahi tanggungjawab legislatif dan menetapkan Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN).
Berdasarkan rapat komite ini lahirlah Maklumat Pemerintah No. X Tanggal 16 Oktober 1945
tentang Perubahan Fungsi KNIP menjadi Fungsi Parlemen. Maklumat Pemerintah tersebut
memuat diktum yang intinya, sebagai berikut.
Komite Nasional Pusat sebelum terbentuk MPR dan DPR (hasil pemilihan umum) diserahi
kekuasaan legislatif dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;
Menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan
gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang dipilih diantara mereka dan
yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat (Irawan, 2007: 59).
Dengan lahirnya maklumat tersebut menegaskan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh
KNIP. Hal tersebut tentunya tidak lagi sejalan dengan amanah Pasal IV Aturan Peralihan UUD
1945 yang menugasi KNIP sebagai pembantu presiden. Dengan adanya maklumat ini berarti
pula kekuasaan presiden dalam bidang legislatif berkurang.
Berdasarkan maklumat ini berarti sistem pemerintahan yang semula presidensial mengalami
perubahan menjadi sistem pemerintahan parlementer. Presiden tidak lagi merangkap jabatan
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan melainkan hanya kepala negara saja. Dari
pernyataan tersebut sekali lagi kekuasaan presiden mengalami pengurangan.
Gagasan pluralistik atau demokrasi yang pluralistik terwakili oleh lahirnya Maklumat
Pemerintah Tanggal 14 Nopember 1945. Maklumat tersebut secara mendasar telah merubah
sistem ketatanegaraan kearah pemberian porsi yang besar kepada peranan rakyat dalam
partisipasinya menyusun kebijakan pemerintahan negara (Irawan, 2007: 59).