Anda di halaman 1dari 18

HUKUM PERKAWINAN

DISUSUN OLEH :

1. Alvi Delta Viani (1830103168)


2. Arpan apriansyah (1830103171)
3. Nafha Tazkia (1810103045)

Dosen Pengampu : Hijriyana Safithri,SH.,MH

Pogram Studi Hukum Pidana Islam


Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami lantunkan atas kehadirat ALLAH SWT. Atas rahmat
dan karunia yang dilimpahkannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata

Harapan kami dalam pembuatan makalah ini dapat membantu mahasiswa dalam
pembelajaran serta memberi kontribusi yang lebih baik bagi mahasiswa dan dosen.
Kami menyadari bahwa baik isi maupun cara penyusunan makalah ini belum
sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
langkah penulisan berikutnya. Demikianlah mudah-mudahan makalah ini berguna dan
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Palembang, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………1

A. Latar Belakang………………………………………………………………....1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………….….1
C. Tujuan Masalah………………………………………………………….…….1

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………….2

A. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia………………………………………2


B. Pengertian Perkawinan dan bentuk-bentuk perkawinan…………..…………2
C. Perkawinan menurut KUH per……………………………………..…………..3

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………...

A. Kesimpulan…………………………………………………………………....14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta
membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya
bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad
yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami
isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah
serta saling menyantuni antara keduanya.

B. Rumusan Masalah
a) Apa dasar hukum perkawinan diindonesia?
b) Apa pengertian perkawinan dan bentuk - bentuk perkawinan?
c) Apa perkawinan menurut KUH Per?

C. Tujuan
a) Untuk mengetahui dasar hukum perkawinan di indonesia.
b) Untuk mengetahui perkawinan dan bentuk – bentuk perkawinan.
c) Untuk mengetahui bagaimana perkawinan menurut KUH Per.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia

Dasar hukum yang berlaku sekarang ialah:

a. Buku I dari Kitab UU Hukum Perdata(KUH Per) yaitu Bab IV-XI.


b. UU No. 1 Tahum 1974 tentang perkawinan.
c. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
d. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan.
e. Peraturan pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang perubahan dan tambahan peratturan
pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS.
f. Instruksi presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(Pasal 1-170 KHI).

B. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi ini
melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Oleh sebab itulah
beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat penting terhadap iinstitusi yang
bernama perkawinan. Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda, memberikan definisi
bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dan wanita yan diakui oleh negara
untuk bersama atau brsekutu yang kekal. Esensi dari yang dikemukakan oleh para pakar tersebut
adalah bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum.1

Perkawinan dalam bahsa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi dan al-
dammu wa al-takhadul. Terkadang disebut juga dengan al-dammu wa al-jam’u, atau ibarat ‘an
al-wath wa al-aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Bernjak dari makna
etimologis inilah para ulama fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.

1
Titik Triwulan, HUKUM PERDATA DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL, Jakarta: Kencana, 2011, Cet. 3, Hal. 99.

2
Untuk lebih jelasnya beberapa definisi akan diuraikan dibawah ini seperti yang dijelaskan oleh
Wahbah al-Zuhaily sebagai berikut.

“Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’(persetubuhan) dengan seorang wanita,


atau melakukan wathi’, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan
baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.”2

Menurut pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Adapun di dalam ketentuan pasal-pasal yang terdapat di KUH Per, tidak memberikan
pengertian mengenai perkawinan. Menurut KHI pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut
HKI adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidan untuk menanti
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3

Jadi, penulis menyimpulkan bahwa perkawinan adalah terbentuknya ikatan yang sakral
antara seorang pria dan seorang wanita serta bersedianya kedua belah pihak berkomitmen
bersama untuk membangun rumah tangga yang bahagia dunia dan akhirat.

C. Bentuk-Bentuk Perkawinan

Pada dasarnya, bentuk-bentuk perkawinan dapat dilihat sebagai berikut.

1) Dilihat dari segi jumlah suami atau istri

Apabila ditinjau dari segi jumlah suami atau istri maka bentuk perkawinan terdiri
atas:

a) Perkawinan monogami, perkawinan antara seoang pria dan seorang wanita.


b) Perkawinan poligami, perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu
wanita atau pun sebaliknya. Ini dapat dibedakan lagi menjadi 2 macam, yaitu:

2
Amiur Nuruddin, HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA: STUDI KRITIS PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DAN
FIKIH, UU NO. 1/1974 SAMPAI KHI, Jakarta: Kencana, 2016, Cet. 6, Hal.38.
3
Simanjuntak, HUKUM PERDATA INDONESIA, Jakarta: Kencana, 2015, Cet. 1, Hal. 33-34.

3
 Poligini, perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita.
 Poliandri, perkawinan antara seorang wanita dan lebih dari satu pria.
2) Dilihat dari segi asal suami-istri

Jika ditinjau dari segi asal suami-istri, maka bentuk perkawinan terdiri atas:

a) Perkawinan eksogami ialah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan
suku dan ras.
b) Perkawinan endogami ialah perkawinan anatara seorang pria dan wanita yang
berasal dari suku dan ras yang sama.
c) Perkawinan homogami ialah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial
yang sama.
d) Perkawinan heterogami ialah perkawinan antara seorang pria dan wanita dari
lapisan sosial yang berlainan.

Disamping bentuk-bentuk perkawinan diatas, terdapat pula bentuk-bentuk perkawinan


yang lainnya, yaitu:

1) Perkawinan cross cousin ialah perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak saudara
laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah.
2) Perkawinan pararel cousin ialah perkawinan antara anak-anak dari ayah mereka
bersaudara atau ibu mereka bersaudara.
3) Perkawinan eleutherogami ialah seseorang bebas untuk memilih jodohnya dalam
perkawinan, baik itu dari klan sendiri maupun dari klan lainnya.4

D. Perkawinan Menurut KUHPer


1. Asas Monogami dalam Perkawinan

Hukum perkawinan yang diatur dalam KUH Per berasakan monogami dan berlaku
mutlak. Artinya, setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri saja, begitu pula
sebaliknya.

4
Simanjuntak, HUKUM PERDATA INDONESIA, Jakarta: Kencana, 2015, Cet. 1, Hal. 34-35.

4
2. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Menurut hukum perdata barat (KUH Per), syarat sahnya perkawinan antara lain:

a) Berlaku asas monogami (pasal 27 KUH Per).


b) Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (pasal 28 KUH Per).
c) Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (pasal 29 KUH Per).
d) Ada masa tunggu bagi wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejka perkawinan terkhir
bubar (pasal 34 KUH Per).
e) Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua
mereka (pasal 35 KUH Per). Mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan
berikut:
 Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya,
harus ada izin dari wali pengawas (pasal 36 KUH Per).
 Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka yan memberikan izin adalah kakek nenek (pasal 37 KUH
Per).
 Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari
bapak atau ibu yang mengakuinya (pasal 39 KUH Per).
 Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, selama belum
dewasa tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali (pasal 40 KUH Per).
 Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, tetap harus
mendapat izin dari orang tuanya, apabila orang tua tidak mau, maka bisa meminta
dari hakim (pasal 42 KUH Per).
f) Tidak terkena larangan perkawinan (pasal 30-33 KUH Per).

3. Larangan Perkawinan

Didalam KUH Per ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang antara lain:

a) Mereka yang bertalian keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah atau
dalam garis keturunan menyamping (pasal 30 KUH Per).

5
b) Ipar laki-laki dna ipar perempuan; paman atau paman orang tua dan anak perempuan
saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki
saudara atau cucu laki saudara (pasal 31 KUH Per).
c) Kawan berzinanya setelah dinyatakan salah karena berzina oleh putusan hakim (pasal 32
KUH Per).
d) Mereka yang memperbarui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika
belum lewat 1 tahun (pasal 33 KUH Per).

4. Perjanjian Perkawinan

Janji-janji tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka umum hakim akan
berlangsungnya perkawinan dan menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga, akibat kecideraan
ynag dilakukan terhdapnya. Segala persetujuan untuk ganti-rugi dalam hal ini adalah batal (pasal
58 ayat 1 KUH Per).

Anak yang dibawah umur tidak boleh bertindak sendiri dan harus diwakili oleh
orangtuanya atau walinya, oleh uu diadakan pengecualiannya. Menururt pasal 151 KUH Per,
seorag anka yang belum dewasa yang memenuhi syarat untuk kawin, diperbolehkan bertindak
sendiri daam menyetujui perjanjian perkwinan, asalkan ia “dibantu” oleh orang tua atau wali.5

Setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan
berlangsung, dan perjanjian mulai berlaku semenjaak saat perkawinan dilangsungkan (pasal 147
KUH Per). Perjanjian perkawinan ini, mulai berlaku bagi pihak ketiga sejak hari pendaftaranya
dikapniteraan pengadilan negeri setempat, dimana pernikahan itu telah dilangsungkan (pasal 152
KUH Per). Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan ini bagaimnanpun caranya
tidak boleh diubah (pasal 149 KUH Per).

Didalam ketentuan pasal 139-143 KUH Per diatur mengenai hal yang tidak dapat dimuat
dalam perjanjian perkawinan.

5
Simanjuntak, HUKUM PERDATA INDONESIA, Jakarta: Kencana, 2015, Cet. 1, Hal. 38-39.

6
5. Pemberiathuan, Pencatatan dan Pengumuman Perkawinan

Semua orang yang hendak kawin harus memberitahukan kehendak perkawinan kepada
pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu dari kedua belah pihak (pasal 50 KUH Per). Dan
tentang pemberitahuan harus dibuat akta oleh pegawai capil (pasla 51 KUH Per).

Menurut pasla 52 KUH Per sebelum perkawinan dilangsungkan, pegawai capil harus
mengumumkan dengan jalan menenmpelkan sepucuk surat pada pintu utama di papan
pengumuman. Surat itu harus dtempel selam 10 hari. Pengumuman itu tidak boleh dilangsungkan
pada hari minggu, atau hari tahun baru, paskah, natal, dan mikraj nabi.

Surat itu berisi nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami-istri, apabila
sebelumnya pernah kawin, maka disebutkan juga istri atau suami terdauhulu. Berisi pula hari,
tempat dan jam berlangsung. Kemudian ditandatangani oleh pegawai capil.

Jika kedua calon suami-istri tidak berdomisili ditempat yang sama, maka pengumuman
harus dilakukan oleh pegawai capil sitempat tiggal masing-masing. Pihak hak (pasal 58 KUHP
per), pengumuman hanya berlaku selama 1 bulan : dan apabila dalam waktu itu tidak
dilangsungkan perkawinan, maka perkawinan tidak boleh dilangsukan lagi, dan untuk itu
pengumuman harus diulang sekali lagi (pasal 57 KUHP Per), pada masanya, suatu perkawinan
dapat dibuktikan dengan adanya akta perkawinan (pasal 100 KUHP Per)

6. Pelaksanaan Perkawinan
Menurut pasal 71 KUH Per, sebelum melangsungkan peekawianan, pegawai catatan sipil
harus meminta supaya diperlihatkan kepadannya:
a) Akta perkawinan calon suami – istri masing – masing
b) akta yang memperlihatkan adanya perantaraan pengadilan negri
c) jiika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta
kematian suami atau didalam hal ketidakahadiran suami atau siteri yang dahulu,
turunan izin hakim untuk kawin
d) akta kematian segala mereka yang sedianya harus memberikan izin kawin
e) dispensasi kawin yang telah diberikan

7
f) izin bagi para perwira dan militer rendahan yang diperlukan untuk kawin

pegawai catatat sipil berhak untuk menolak untuk melangsungkan perkawinan


berdasarkan atas kurang lengkapnya surat – surat yang diperlukan.

7. Pencegahan Perkawinan
Menurut ketentuan pasal 61 – 65 KUH Per, para pihak yang berhak mencegah
berlangsungnya suatu perkawinan, antara lain:
a) Bapak atau ibu mereka
b) Kakek atau nenek
c) Paman dan bibi
d) Wali atau wali pengawas
e) Pengampuh atau pengampuh pengawas
f) Saudara laki-laki atau perempuan
g) Suami yang cerai mencegah perkawinan bekas istrinya sebelum 300 hari lewat,
setelah pembubaran perkawinan
h) Jawatan kejaksaaan

Sementara alasana-alasan pencegahan perkawinan ini menurut pasal 61 KUH Per


antara lain:

a) Tidak mengindahla izin kawin dari orang tuanya.


b) Belum mencapai uasia 30 tahun.
c) Salh satu pihak ditaruh dibawah pengampuan, karena ketidaksempurnaan akal
budinya.
d) Salah satu pihak tidak memenuhhi syarat-syarat untuk kawin.
e) Jika pengumuman kawin tidak teah berlangsung.
f) Jika salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan, karena tabiatnya yang boros
dan perkawinan mereka tampaknya akan membawa ketidakbahagiaan.

8
8. Pembatalan Perkawinan

Menurut pasal 85 KUH Per, pembatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh
hakim, menurut pasal 86 KUH Per pembatalan suatu perkawinan, dapat dituntut oleh:

a) Orang yang karena perkawinan lebih dahulu telah terikat dengan salah satu dari
suami-istri.
b) Suami atau istri itu sendiri.
c) Para keluarga dalam garis lurus keatas.
d) Jawatan kejaksaan.
e) Setiap orang yang berkepentingan atas pembatalan perkawinan itu.

9. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Menurut KUH Per, hak dan kewaiban suami-istri antara lain:

a) Suami dan istri harus setia dan tolong menolong (pasal 103 KUH Per).
b) Suami-istri wajib memelihara dan mendidik anaknya (pasal 104 KUH Per).
c) Setiap suami adlah kepala dalam persatuan suami-istri (pasal 105 ayat 1 KUH Per).
d) Suami wajib memberi bantuan kepada istrinya (pasal 105 ayat 2 KUH Per).
e) Setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya (pasal 105 ayat 3
KUH Per).
f) Suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (pasal 105 ayat 4 KUH Per).
g) Suami tidak diperbolehkan memindahtangankan atau membenai harta kekayaan tak
bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan istri (pasal 105 ayat 5 KUH Per).
h) Setipa istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (pasal 106 ayat 1 KUH P er).
i) Setiap istri waib tinggal bersama suaminya (pasal 106 ayat 2 KUH Per).
j) Setiap suami wajib membantu istrinya dimuka hakim (pasla 110 KUH Per).
k) Setiap istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suaminya (pasal 118 KUH Per).

Menurut pasal 111 KUH Per bantuan si suami kepada istrinya tidak diperlukan apabila:

a) Si istri dituntut di muka hakim karena suatu perkara pidana.

9
b) Si istri mengajukan tuntutan kepada suaminya untuk mendapatkan perceraian,
pemisahan meja dan tempat tidur, atau pemisahan harta kekayaan.

10. Harta Benda Dalam Perkawinan


a. Persatuan Harta Kekayaan
1) Pengrusan Harta Kekayaan Persatuan

Menururt pasal 119 KUH Per prinsip harta benda perkawinan yaitu hart apersatuan bulat
antara suami dan istri, adapun yang berwenang bertindak atas harta benda perkawinan
adalah suami, baik untuk harta pribadi istri (pasal 105 KUH Per yaitu suami sebagai
kepala perkawinan) atau harta persatuan (pasal 124 ayat 1 KUH Per) yaitu suami sebagai
kepala harta persatuan.

Menurut pasal 124 ayat (2) KUH Per suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan,
dan membebani harta kekayaanpersatuaan, tanpa campur tangan si istri, kecuali dalam
hal – hal berikut ini :

(a) Tidak diperbolehkan menghibahkan barang – barang tak bergerak dan semua barang
bergerak dari persatuan, kecusli untuk memberikan kedudukan kepada anak –
anaknya (pasal 124 ayat 3 KUH Per)
(b) Tidak diperbolehkan juga menghibahkan suatu barang bergerak tertentu, meskipun
diperjanjikan bahwa ia tetap menikmati oakai hasil atas barang itu (pasal 124 ayat 4
KUH Per)
(c) Meskipun ada persatuan, di dalam suatu perjanjian kawin dapat ditentukan, bahwa
barang tak bergerak dan piutang atas nama istri yang jatuh dalam persatuan tanpa
persetujuan si istri, tidak dapat dipindah – tangankan ataau dibebani (pasal 140 ayat 3
KUH Per)
2) Bubarnya harta persatuaan
Menurut pasal 126 KUH Per, harta kekayaan persatuan demi hukum mejadi bubar
karena:
(a) Kematian salah satu pihak

10
(b) Berlangsunya perkawinan baru si istri atas persetujuan sang hakim setelah adanya
keadaan tak hadir si suami
(c) Perceraian
(d) Perpisahan meja dan tempat tidur
(e) Perpisahan hrta kekayaan

b. Pemisahan harta kekayaan


1) Alasan – alasan pemsahan harta kekayaan
Menurut pasal 186 ayat (1) KUH Per, sepanjang perkawinan, setiap istri berhak
memajukan tuuntutan kepada hakim akan pemisahaan harta kekayaan, yaitu dalam
hal – hal sebagai berikut :
(a) Jika si suami karena kelakuannya yang nyata – nyata tak baik, telah memboroskan
harta kekayaan persatuan, dan membahayakan keselamatan keluarga
(b) Jika si suami tidak ada ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta
kekayaannya sendiri, sehingga jaminan akan terpeliharanya harata si istri menjadi
kurang
(c) Jika si suami tidal baik caranya dalam mengurus harta kekayaan si istri, sehingga
kekayaanya ini terancam bahaya
2) Akibat – akibat pemisahan harta kekayaan
Menurut pasal 189 KUH Per, kekuatan persatuan pengadilam perihal pemisahan harta
kekayaan berlaku surut sampai hari tuntutan diajukan. Sebagai akibat dari pemisahan
harta kekayaan itu, timbul hal – hal sebagai berikut :
(a) Istri wajib memberikan sumbangan guna membiayai rumah tangga dan
pendidikan anak – anaknya (pasal 193 KUH Per)
(b) Istri memperoleh kebebasan untuk mengurusi sendiri harta kekayaanya dan
bolehlah ia mempergunakan barang bergeraknya sesukanya dari pengadilan negri
(pasal 194 KUH Per)
3) Penyatuan kembali harta kekaaan yang sudah dipisah
Persatuan setelah dibubarkan karena pemisahan harta kekayaan boleh dipulihkan
kembali dengan persetujuan suami – istri, persetujuan yang demikisan itu diadakan

11
dengan cara memuatkannya dala sebuah akta autentik (pasal 196 KUH Per). Suami –
istri wajib mengumumkan pemulilhan kembali akan persatuan harta kekayaan dengan
terang – terangan (pasal 198 KUH Per)

11. Putusnya perkawinan


a. Alasan – alasan putusnya perkawinan
Menurut pasal 199 KUH Per, perkawinan pturs atau bubar karena :
1) Kematian
2) Kepergian suami atau istri selama 10 tahun dan diiukuti dengan perkawinan baru
dengan orang lain
3) Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja makan dan tempat tidur selama 5
tahun
4) Perceraian
b. Perpisahan meja dan tempat tidur

Adalah perpisahan suami dan istri yang tidak mengakhiri pernikahaan. Akibat yang
terpenting adalah meniadakan keawijaban bagi suami istri untuk tinggal bersama, walaupun
akibatnya di bidang hukum harta benda sama dengan perceraian.

c. Perceraian

Perceraian adalah pengakhiran suami perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan
hakim atas tuntutan salah satu pihak atau kedua bela pihak dalam perkawinan.

Alasan – alasan perceraian menurut pasal 209 KUH Per yang dapat mengakibatan
perceraian :

a) Zina.
b) Meninggalkan tempat tinggal dengan itikad jahat selama 5 tahun.
c) Mendapatkan hukuman penjara 5 tahun karena dipersalahkan melakukan
kejahatan
d) Penganiyayan berat

12
Tata cara perceraian

a) Gugatan perceraian, tuntutan untuk perceraian perkawinan harus diajukan ke


pengadilan negri tempat tinggal suami sebenarnya.
b) Gugatan perceraian gugur, diatur dalampasal 216 dan 220 KUH Per hak untuk
menuntut perceraian gugur.
c) Pemeriksaan di pengadilan
d) Pengutusan pengadilan

Akibat perceraian, putusnya perkawinan karna perceraian diatur dalam pasal 222, 227,
229, 232 KUH Per.

12. Perkawinan diluar indonesia

Menurut pasal 83 KUH Per perkawinan yang dilangsungkan diluar indonesia baik antara
wni satu sama lain, maupun antara mereka dengan warga negara lain adalah sah, apabila
perkawinan dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negri, dimana perkawinan itu
dilangsungkan, dan suami istri wni tidak melanggar ketentuan – ketentuan dalam KUH Per.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkkan keluarga sebagai salah satu unsur
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaram, yang diatur oleh aturan hukum dalam hukum
tertulis (hukum negara) maupun hukum yang tidak tetulis (hukum adat).

Dan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan sudah diatur dalam peraturan negara baik
dan bentuk tertulis, dan hukum adat, keyakinan dan agama. Permasalahan dalam suatu
prkawinan merupakan suatu kewajaran selama masih dalam bentuk kontrol dan batas kewajaran.

14
Daftar Pustaka

Simanjuntak. 2015. HUKUM PERDATA INDONESI. Jakarta: Kencana. Cet. 1.

Triwulan, Titik. 2011. HUKUM PERDATA DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL. Jakarta:
Kencana. Cet. 3.

Nuruddin, Amiur. 2016. HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA: STUDI KRITIS


PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DAN FIKIH, UU NO. 1/1974 SAMPAI KH., Jakarta:
Kencana. Cet. 6.

15

Anda mungkin juga menyukai