Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh
M. Agus Kuswanto
NIM 1110013000110
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh
M. Agus Kuswanto
NIM 1110013000110
Di bawah Bimbingan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
melalui pendekatan deskriptif, sedangkan paradigma yang digunakan adalah
paradigma stilistika. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik simak catat
yakni membaca kumpulan cerpen Saksi Mata, kemudian mencatat hasil temuan gaya
bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen tersebut.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu
yang telah direncanakan. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda
Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir
zaman.
Proses penulisan skripsi ini tidak luput dari berbagai hambatan, namun dapat
dilalui berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu memberikan
kemudahan dan bimbingan kepada penulis;
3. Dona Aji Karunia Putra, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu
memberikan semangat.
iii
4. Makyun Subuki, M. Hum selaku penasehat akademik sekaligus Pembimbing
Skripsi yang selalu memberikan bimbingan dan arahan selama perkuliahan
serta dalam penyusunan skripsi;
8. Nenek tercinta H. Sunah yang selalu memberikan doa, nasihat, dan bimbingan
kepada penulis selama perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini;
9. Drs. Moh. Yasin, M. Pd., dan Susilawati yang selalu memberikan arahan,
motivasi, dan materi selama perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi
ini;
10. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya PBSI C yang telah menjadi
teman belajar selama perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini dan
menjadikan suasana di dalam dan luar kelas lebih indah;
11. Teman-teman Sabilussalam angkatan 2012, Hilman Tohari, Arif Azami, dan
lainnya yang pernah menjadi bagian dari keluarga penulis dan telah
memberikan ilmu kepada penulis;
iv
12. Ninik Siti Khodijah dan Wawan Hernadi Indrianto yang memberikan doa,
nasihat, dan arahan kepada penulis selama perkuliahan hingga proses
penyelesaian skripsi ini;
13. Maisyatul Wasiah, Nurul Aliyah, Rica Dalie, Titiek Muryani, Rizka Argafani,
Nurfayerni yang telah menjadi teman berbagi cerita kepada penulis selama
perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini;
14. Teman kosan H. Misun, M. Indra Kusuma dan Nur Wakhidurrohman yang
telah menjadi keluarga penulis selama menetap di Ciputat dan banyak
memberikan bantuan kepada penulis;
15. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih
atas partisipasi dalam penyelesaian skripsi ini;
Semoga semua bantuan, bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan
mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan memberi sumbangsih bagi penelitian di bidang sastra serta bagi
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penulis juga berharap adanya saran dan
kritik membangun terhadap karya tulis ini.
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK ............................................................................................................... i
ABSTRACT ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 3
C. Pembatasan Masalah ...................................................................................... 3
D. Perumusan Masalah ....................................................................................... 4
E. Tujuan Penelitian............................................................................................ 4
F. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4
G. Metodologi Penelitian .................................................................................... 5
vi
B. Hakikat Cerpen ............................................................................................ 14
1. Asal Mula Cerpen .................................................................................... 14
2. Pengertian Cerpen .................................................................................... 14
3. Karakteristik Cerpen ................................................................................ 15
4. Unsur Intrinsik Cerpen ............................................................................. 16
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah ................................................................. 22
D. Penelitian Yang Relevan .............................................................................. 24
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................................ 64
B. Saran .............................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 51
1
2
kata-kata atau kalimat yang memiliki makna tersendiri. Kata atau kalimat
yang diungkapkan tersebut sangat berbeda bentuknya satu dengan yang
lain. Oleh karena itu, setiap seseorang mempunyai gaya penulisan dan ciri
khas tersendiri dalam mengungkapkan apa yang ingin mereka sampaikan.
Salah satu pengolahan bahasa yang digunakan seseorang adalah
gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan cara seseorang mengungkapkan
pikiran dan perasaanya melalui bahasa yang khas, yang memperlihatkan
jiwa dan kepribadian pemakaian bahasa. Gaya bahasa memungkinkan
seseorang dapat menilai watak, pribadi, dan kemampuan seorang
pengarang. Gaya bahasa dapat menambah intensitas perasaan pengarang
serta menambah ketajaman penyampaian sikap pengarang.
Gaya bahasa juga mencakup berbagai figur bahasa antara lain
metafor, simile, antitesis, hiperbola, dan paradoks. Pada umumnya gaya
bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa
digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau
objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi
lebih segar dan berkesan. Gaya bahasa juga mencakup arti kata, citra,
perumpamaan, serta simbol dan alegori.2
Gaya bahasa yang juga identik dengan gaya khas seseorang dapat
digambarkan melalui lisan atau tulisan. Gaya bahasa yang diungkapkan
seseorang melalui lisan seperti cara berkomunikasi sehari-hari, yang dapat
menunjukkan karakter setiap individu, sedangkan gaya bahasa yang
diungkapkan dengan tulisan dapat dituangkan melalui cerita atau
pemaparan naratif.
Salah satu penggunaan gaya bahasa melalui tulisan adalah seperti
yang digambarkan Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan cerpennya
Saksi Mata. Dalam kumpulan cerpen Saksi Mata tersebut, Seno banyak
menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang menunjukkan kekhasan
sosok Seno Gumira Ajidarma. Gaya bahasa tersebut adalah berupa
2
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 51-52
3
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.
1. Kurangnya pengetahuan siswa mengenai penggunaan gaya bahasa
dalam karya sastra, khususnya cerpen.
2. Secara keseluruhan, kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma menarik untuk dikaji karena di dalamnya sangat banyak
menggunakan unsur gaya bahasa (majas), sehingga perlunya
pemahaman lebih mendalam mengenai cerita tersebut.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi yang telah diuraikan di atas, maka untuk
menghindari pembahasan yang terlalu luas peneliti tidak akan membahas
mengenai gaya (style) penulis, atau pun diksi. Namun, peneliti akan
memfokuskan pembahasan pada penggunaan gaya bahasa berupa majas
perbandingan (majas simile) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saksi
Mata karya Seno Gumira Ajidarma tersebut. Oleh karena itu, peneliti
dapat mengangkat permasalahan tersebut menjadi sebuah skripsi yang
4
D. Perumusan Masalah
Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan terarah, maka
diperlukan perumusan masalah dalam sebuah penelitian. Adapun
perumusan masalah dama penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma?
2. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di
sekolah?
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma
2. Mengetahui implikasi penggunaan majas perbandingan tersebut dalam
pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah
F. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khazanah
keilmuan dalam pengajaran di bidang bahasa dan sastra Indonesia,
khususnya mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan
pembelajaran sastra.
b. Manfaat Praktis, antara lain:
1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari
masalah yang dirumuskan. Selain itu, dapat menjadikan motivasi
bagi penulis untuk mengadakan penelitian lain yang lebih baik.
2. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan
rujukan untuk mengadakan penelitian mengenai kajian tentang
5
gaya bahasa (majas) tidak hanya dalam kajian ilmu sastra, tetapi
juga dalam bidang-bidang ilmu yang lain.
3. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan
acuan dalam pembelajaran bahasa dan sastra, khususnya mengenai
majas perbandingan dalam cerpen.
4. Bagi institusi, hasil penelitian ini sebagai sumbangan penelitian
mengenai majas perbandingan. Dan diharapkan dapat menjadi
pedoman atau acuan dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia.
G. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan cara pemecahan masalah
penelitian yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud
mendapatkan fakta dan simpulan agar dapat memahami, menjelaskan,
meramalkan, dan mengendalikan keadaan.3 Berkut ini bagan yang
digunakan dalam metodologi penelitian ini:
Metodologi Penelitian
3
Syamsudin dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 14
6
1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah cara pandang umum seseorang (peneliti)
terhadap fenomena atau realitas. Dengan kata lain, paradigma adalah
cara kita melihat suatu realitas, misalnya fenomena berbahasa.4 Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan aspek stilistika karena peneliti
berusaha mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa yang berwujud
majas perbandingan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saksi Mata
karya Seno Gumira Ajidarma.
2. Metode Penelitian
Metode adalah cara menerapkan teknik yang digunakan dalam
penelitian. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
teknik simak, yakni yang berusaha menyimak penggunaan bahasa
dalam kumpulan cerpen Saksi Mata. Setelah menyimak penggunaan
bahasa, peneliti menggunakan teknik catat untuk mencatat dan
menandai kalimat yang mengandung gaya bahasa perbandingan yang
ada dalam kumpulan cerpen tersebut.
Selanjutnya, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kualitatif, yakni memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan
menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Metode kualitatif memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan
kontens keberadaannya.5
Metode penelitian kualitatif yang digunakan penulis yaitu
analisis isi. Menurut teori Ratna, metode analisis isi ini menekankan
pada isi pesan. Oleh karena itulah, metode analisis isi dilakukan dalam
dokumen-dokumen yang padat isi. Dalam karya sastra, misalnya,
dilakukan untuk meneliti gaya tulisan seorang pengarang.6
4
Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 14
5
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h. 46
6
Ibid., h. 49
7
4. Objek Penelitian
Objek adalah sesuatu yang diteliti. Dalam hal ini berupa bahasa
dalam sebuah karya sastra. Objek dalam penelitian ini adalah
penggunaan majas perbandingan yang terdapat dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.
5. Prosedur Penelitian
a. Membaca kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma
b. Mencermati kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma yang di dalamnya terdapat gaya bahasa perbandingan.
c. Menandai kata atau kalimat yang termasuk ke dalam gaya bahasa
perbandingan.
d. Menganalisis gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen
Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.
e. Memberikan simpulan tentang jenis gaya bahasa perbandingan
yang ada dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
1
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002),
h. 163
2
Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 167
3
Peter Barry. Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. (Yogyakarta: Jalasutra,
2010), h. 235
4
Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa, 2012), h. 104
9
10
2. Pengertian Gaya
Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa
Latin stilus dan mengandung arti leksikal ‗alat untuk menulis‘.5Gaya
bahasa atau style adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau
pemakai bahasa.6 Menurut Nikolas Coupland, stylistic analysis is the
analysis of how style resource are put to work ceratively. Analiysing
linguistic style again needs to include an aesthetic dimension.7
Dengan kata lain, gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri.
Wahyudi dalam bukunya berpendapat bahwa gaya adalah cara seorang
pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna
dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca.
Ada tiga masalah yang erat hubungannya dengan pembicaraan
masalah gaya. Pertama, masalah media berupa kata dan kalimat.
Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan keindahan.
Terakhir, seluk-beluk ekspresi pengarangnya sendiri yang akan
berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan, maupun
konteks sosial-masyarakat yang melatarbelakanginya.
Dari beberapa pengertian tentang gaya di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa gaya bahasa atau gaya seorang dengan yang lain
jelas berbeda, baik dari segi komposisi bahasa, struktur kalimat, dan
penggunaan ejaan.
5
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1987), h. 72
6
Abdul Chaer, Bahasa Jurnalistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 87
7
Nikolas Coupland, Style: Language Variation and Identity, (New York: Cambridge
University Press, 2007), h. 3
11
3. Pengertian Majas
Pada hakikatnya majas (figure of speech) adalah suatu bentuk
pernyataan dengan cara memakai sesuatu untuk mengatakan tentang
sesuatu yang lain. Pemakaian sesuatu untuk sesuatu yang lain sering
kali (jika tidak boleh dikatakan: selalu) berupa pengedepanan suatu ide
secara tidak langsung melalui analogi. Dengan demikian, di samping
mampu mengonkretkan dan menghidupkan bahasa, majas juga sering
lebih ringkas daripada padanannya yang terungkap dalam kata biasa.8
Majas, kiasan, atau „figure of speech‟ adalah bahasa kias, bahasa
indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek
dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan sutau benda
atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek
kata, penggunaan majas tertentu dapat merubah serta menimbulkan
nilai rasa atau konotasi tertentu.9
Sementara itu, Nurgiantoro mengatakan bahwa pemajasan (figure
of speech) merupakan teknik pengungkapan bahasa,
penggayabahasaan, yang maknanya tak menunjuk pada makna harfiah
kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang
ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi ia merupakan gaya yang
sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa
kias.10
4. Majas Perbandingan
Dilihat dari jenisnya, majas (yang secara salah kaprah sering pula
disebut gaya bahasa, perhiasan bahasa, atau bahasa kiasan itu) dapat
dikelompok dalam tiga golongan; (1) majas perbandingan, (2) majas
pertentangan, dan (3) majas pertautan. Namun, dalam praktiknya tidak
8
Agus Sri Danardana, Anomali Bahasa, (Pekanbaru: Palagan Press, 2011), h. 12-13
9
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 112
10
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2013) h. 297
12
2. Metafora
Tarigan berpendapat bahwa metafora adalah sejenis gaya
bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di
dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan,
sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi obyek; dan yang satu lagi
merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita
11
Sri Danardana, Op. Cit., h. 12-13
12
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa 1986), h. 9-10
13
Nurgiantoro,Op. Cit.,h. 400
13
3. Personifikasi
Nurgiantoro berpendapat bahwa personifikasi merupakan
bentuk pemajasan yang member sifat-sifat benda mati dengan sifat-
sifat kemanusiaan.Artinya, sifat yang diberikan itu sebenarnya
hanya dimiliki oleh manusia.Maka majas ini juga disebut sebagai
majas pengorangan, sesuatu yang diorangkan, seperti halnya orang.
Sifat-sifat itu dapat berupa ciri fisik, sifat karakter, tingkah laku
verbal dan nonverbal, berpikir, berperasaan, bersikap, dan lain-lain
yang hanya manusia yang memiliki atau dapat
melakukannya..benda-benda laian yang bersifat nonhuman,
termasuk makhluk-makhluk tertentu, binatang, dan fakta alam yang
lain tidak memilikinya.15Contoh: Pohon nyiur melambai-lambai,
ombak yang memakan manusia itu.
4. Depersonifikasi
Gaya bahasa depersonifikasi atau pembendaan adalah
kebalikan dari gaya bahasa personifikasi atau penginsanan. Kalau
personifikasi, menginsankan atau memanusiakan benda-benda,
maka depersonifikasi justru membendakan manusia atau insan.
Biasanya gaya bahasa depersonifikasi ini terdapat dalam kalimat
pengandaian yang secara eksplisit memanfaatkan kata kalau dan
sejenisnya sebagai penjelas gagasan atau harapan.16 Contoh: Kalau
dikau menjadi bunga, maka Aku kumbangnya, Andai kamu
menjadi langit, maka dia menjadi tanah.
14
Tarigan, Op. Cit., h. 15
15
Nurgiantoro, Op. Cit., h. 401-402
16
Tarigan, Op. Cit., h. 21
14
B. Hakikat Cerpen
1. Asal Mula Cerita Pendek Indonesia
Genre cerita pendek di Indonesia, secara resmi diakui baru
muncul pada tahun1930-an. Muhammad Kasim mengumpulkan
cerpen-cerpennya dalam buku Teman Duduk pada tahun 1936,
kemudian Suman Hs. Menerbitkan cerpennya pada tahun 1938 dengan
judul Kawan Bergelut. Keduanya diterbitkan oleh penerbit pemerintah
colonial, Balai Pustaka.Sementara itu genre cerpen ini telah ditemukan
lebih tua dalam bahasa Sunda, yakni dengan terbitnya buku kumpulan
cerpen pengarang G.S. yang berjudul Dogdog Pangrewong (Selingan
Belaka) pada tahun 1930.17
2. Pengertian Cerpen
Cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian
peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik
antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan
alur.Peristiwa dalam cerita berwujud hubungan antartokoh, tempat,
dan waktu yang membentuk satu kesatuan.18
Selanjutnya Ellery Sedgwik dalam Tarigan mengatakan bahwa
―cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu
kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa
pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang
tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with
irrelevance”.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian cerpen di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa cerita pendek adalah cerita yang
panjangnya minimal 4-5 halaman dan habis dibaca sekali duduk. Di
17
Jakob Sumarjo, Kesustraan Melayu-Rendah Masa Awal, (Yogyakarta: Galang Press,
2004), h. 103
18
Heru Kurniawan dan Sutardi, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012), h. 59
15
dalam cerpen juga harus terdapat tokoh, penokohan, dan inti dari cerita
(tidak berbelit-belit ceritanya).
3. Karakteristik Cerpen
Tarigan membagi ciri-ciri khas cerpen sebagai berikut:
a. Ciri-ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan intensif.
b. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak.
c. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik
perhatian.
d. Cerita pendek harus mngandung interpretasi pengarang tentang
konsepsinya mengenai kehidupan, baik seara langsung maupun
tidak langsung.
e. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan suatu efek dalam pikiran
pembaca.
f. Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa
jalan ceritalah yang pertama menarik perasaan, dan baru kemudian
menarik pikiran.
g. Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang
dipilih dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan dalam pikiran pembaca.
h. Dalam sebuah cerita pendek, sebuah insiden yang terutama
menguasai jalan cerita.
i. Cerita pendek harus mempunyai seorang pelaku utama.
j. Cerita pendek harus mempunyai satu efek atau kesan yane
menarik.
k. Cerita pendek bergantung pada satu situasi.
l. Cerita pendek memberikan impresi tunggal.
m. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek.
n. Cerita pendek menyajikan satu emosi.
16
19
Tarigan, Op Cit., h. 180-181
20
Aminuddin, Op. Cit., h. 91
21
Tarigan, Op. Cit., h. 125
17
22
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142-
143
18
23
Tarigan, Op. Cit., h. 133-134
24
Aminuddin, Op. Cit., h. 83
25
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 26
26
Siswanto, Op. Cit., h. 159
19
4. Latar (Setting)
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas
tumpu.Abrams dalam Aminuddin mengemukakan latar cerita adalah
tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time),
dan kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode
atau bagian-bagian tempat.28Berikut ini akan dijelaskan unsur-unsur
latar.
27
Siswanto, Loc. Cit.,
28
Siswanto, Op. Cit., h. 149
20
1. Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertenttu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
2. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ―kapan‖
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi.Masalah ―kapan‖ tersebut biasanya dihubungkan dengan
waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan
dengan peristiwa sejarah.Pengetahuan dan persepsi pembaca
terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba
masuk ke dalam suasana cerita.Pembaca berusaha memahami dan
menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang
berasal dari luar cerita yang bersangkutan.
3. Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yng
diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup
kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiasat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-
lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan
sebelumnya. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status
sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah,
atas.29
29
Nurgiantoro, Op. Cit., h. 227-234
21
5. Sudut Pandang
Sudut pandang/ titik pandang adalah tempat sasrtrawan
memandang ceritanya.Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang
tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dengan gayanya sendiri.30Seorang
pencerita dapat dikatakan sebaga pencerita akuan apabila pencerita
tersebut dalam bercerita menggunakan kata ganti orang pertama: aku
atau saya. Pencerita akuan dapat menjadi salah seorang pelaku atau
disebut narrator acting. Sebagai narrator acting, ia bisa mengetahui
semua gerak fisik maupun psikisnya. Narrator acting yang demikian
ini biasanya bertindak sebagai pelaku utama yang serba tahu.Tidak
semua narrator acting sebagai pencerita yang serba tahu.Terdapat
kemungkinan narrator acting ini hanya mengetahui gerak-gerik fisik
dari para pelaku yang bertindak sebagai pelaku bawahan.
Di samping bertindak sebagai pencerita yang terlibat atau
narrator acting, seorang pencerita juga bisa bertindak sebagai
pengamat.Pencerita semacam ini biasanya disebut pencerita
diaan.Pencerita diaan dalam bercerita biasanya menggunakan kata
ganti orang ketiga. Adapun penunjuk kebahasaan yang digunakan
biasanya: dia, ia, atau mereka.
Narrator pengamat ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
narrator pengamat yag serba tahu dan narrator pengamat terbatas atau
objektif. Narrator pengamat serba tahu merupakan suatu teknik
penceritaan dengan cara pencerita menuturkan ceritanya melalui satu
atau lebih tokoh-tokohnya.Sedangkan narrator pengamat terbatas
adalah pengarang menuturkan ceritanya melalui kesan-kesan atau
impresi dari satu tokoh. Pengetahuan pencerita tentang apa yang terjadi
dalam cerita terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar melalui
gerak fisik saja.31
30
Siswanto, Op. Cit., h. 151
31
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis,(Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), h. 115-116
22
6. Amanat
Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri
sastrawan dan pembacanya.Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa disebut
amanat.Amanat gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.Di
dalam karya sastra modern, amanat ini biasanya tersirat; di dalam
karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.32
32
Siswanto, Op. Cit., h. 162
33
Ibid., h. 168-169
23
34
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16-25
35
Ibid., h. 41
25
gaya bahasa berupa majas, antara lain: majas repetisi, hiperbola, simile,
klimaks, sarkasme, personifikasi, antithesis, dan majas retoris. Gaya
bahasa yang ditemukan tersebut juga mempunyai fungsi masing-masing
terhadap penggambaran cerita.
Penelitian lain dilakukan oleh Nur Saputri Puji Lestari dengan
judul ―Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Sepasang Maut Karya Moh.
Wan Anwar dan Alternatif Pembelajarannya di SMK, IKIP PGRI,
Semarang‖. Dalam kesimpulannya, di dalam kumpulan cerpen itu terdapat
berbagai macam gaya bahasa antara lain: gaya bahasa tak resmi, gaya
bahasa percakapan, hiperbola, simile, repetisi epizeukis. Berikut ini akan
diberikan contoh beberapa kutipan:
1. Gaya bahasa tak resmi, seperti pada kutipan:
―Aku baca juga sajak itu semata – mata agar aku tak
kehilangan jejakmu.Agar aku bisa menjawab kalau suatu
hari kau bertanya lagi tentang laut di matamu.Tetapi
anehnya aku semakin tak mengerti apakah laut dan
bagaimana merumuskannya.Bagaimana pula yang dianggap
sebagai rahang laut dalam sajak yang kau berikan itu.Aku
tahu sajak itu berlatar laut.Aku memang melihat gambaran
laut dalam sajak itu‖.
―Tetapi pada suatu sore tiba – tiba saja kau sudah duduk di
kursi beranda rumahku.Rambutmu kusut, parasmu kisut,
senyummu kecut, dan matamu, ah, matamu, bola matamu itu
mulai surut.Sore memang tidak seredup kehadiranmu‖.
Langit bersih, awan cuma tipis, dan lembayung
memuncratkan emas ke seluruh penjuru angkasa.Kuseduh
teh hangat agar lenyap segala pucat dan hasrat meloncat dari
tatapmu.Tapi kau Cuma mengucap terima kasih dan
mengatakan bahwa kau mampir hanya sekejap.
2. Majas pertentangan
a. Litotes, seperti pada kutipan: ―Mata Mak Cik berkaca-kaca. Seribu
terima kasih seolah tak cukup baginya‖.
b. Antitesis, seperti pada kutipan:
28
―Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia
terlanjur jengkel‖.
A. Deskripsi Data
Sumber data yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah
kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen
tersebut secara keseluruhan menceritakan tentang insiden pembantaian
yang terjadi di Kota Dili, Timor-Timor. Sedangkan data yang akan
dianalisis dalam penelitian ini adalah kutipan kalimat yang mengandung
majas perbandingan dalam keseluruhan cerpen yang ada dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata. Dalam hal ini, majas perbandingan yang akan
dianalisis adalah majas simile atau perumpamaan.
Penelitian ini akan membahas tentang bagaimana majas simile
(perumpamaan) yang digunakan oleh pengarang dalam kumpulan cerpen
Saksi Mata ini jika dihubungkan dengan kejadian-kejadian pembanataian
masa lalu yang terjadi di Kota Dili Timor-Timor. Penelitian ini
menggunakan pendekatan stilistika karena peneliti berusaha
mendeskripsikan majas perbandingan yang ada dalam kumpulan cerpen
Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.
B. Analisis Data
Berdasarkan hasil membaca dan menyimak keseluruhan cerpen
yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen berjudul Saksi Mata karya
Seno Gumira Ajidarma, yang terdiri dari 16 cerpen yakni Saksi Mata,
Telinga, Manuel, Maria, Salvador, Rosario, Listrik, Pelajaran Sejarah,
Misteri Kota Ningi, Klandestin, Darah Itu Merah, Jenderal, Seruling
Kesunyian, Salazar, Junior, Kepala di Pagar Da Silva, dan Sebatang Pohon
di Luar Desa, ditemukan 47 majas simile atau perumpamaan yang terdapat
dalam keseluruhan cerpen. Berikut analisisnya:
30
31
itu untuk memberi tanda kepada semua yang ada di dalam rumah Da
Silva kalau potongan kepala itu adalah kepala Rosalina.
Pada kalimat “seperti ada cahaya yang meluncur dari mata itu”
mengandung arti bahwa pada sorotan mata itu masih ada harapan dan
pencerahan untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan sekarang. Dan
selanjutnya pada kalimat “seperti ingin bercerita” mengandung arti
bahwa sorotan mata Rosalina memang penuh arti dan seolah seperti
sorotan mata orang yang sedang ingin bercerita kepada orang lain
tentang apa yang dirasakannya saat ini.
dapat menerima dengan lapang dada balasan yang datang kepada kita
itu.
pada kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma sangat
banyak mengandung gaya bahasa atau majas. Penggunaan gaya bahasa
atau majas dalam cerita juga dapat memperindah dan memperhalus bahasa
terhadap apa yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang dalam cerita
tersebut. Terkait dengan hal itu, maka sumbangan atau kontribusi gaya
bahasa yang ingin disampaikan Seno dalam keseluruhan cerita tersebut
dapat menunjukkan unsur intrinsik cerita yang berupa latar (setting) dan
penokohan, tetapi yang paling dominan adalah penggambaran latar
suasana dalam cerita.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan pada kumpulan cerpen
Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma, maka diperoleh hasil simpulan
sebaga berikut.
1. Dalam keseluruhan kumpulan cerpen Saksi Mata diperoleh gaya bahasa
perbandingan yang berupa majas simile atau perumpamaan sebanyak 47
data dari 16 cerpen. Majas simile yang digunakan Seno dalam
penggambaran cerita dapat memberikan gambaran seolah-olah semua
kejadian dalam cerita terjadi dengan nyata. Selanjutnya, majas simile yang
digunakan pengarang dalam kumpulan cerpen Saksi Mata dapat
memberikan kontribusi atau sumbangan yang ingin disampaikan Seno
dalam membangun unsur intrinsik cerpen secara keseluruhan. Sumbangan
atau kontribusi tersebut adalah dapat menggambarkan unsur intrinsik yang
berupa latar (setting) dan penokohan dalam cerita, tetapi yang paling
dominan adalah menggambarkan latar suasana, baik suasana batin maupun
suasana luar batin.
2. Implikasi penggunaan gaya bahasa dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia dapat diterapkan pada siswa kelas X semester 1 dalam aspek
membaca, dengan standar kompetensi memahami wacana sastra melalui
kegiatan membaca puisi dan cerpen, dan kompetensi dasar menganalisis
keterkaiatan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
Dengan kompetensi tersebut, siswa diharapkan mampu mengidentifikasi
unsur intrinsik berupa tema, penokohan, gaya bahasa, dan amanat, serta
mampu mengaitkan unsur-unsur intrinsik tersebut dengan kehidupan
sehari-hari.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan di atas, ada beberapa saran yang
diajukan oleh penulis sebagai berikut.
1. Diharapkan kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma ini
dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra, terutama gaya bahasa
64
65
Coupland, Nicolas. Style: Language Variation and Identity. New York: Cambridge
University Press. 2007.
Kurniawan, Heru dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
2012.
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi
Aksara. 2010.
66
67
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.