Anda di halaman 1dari 84

GAYA BAHASA PERBANDINGAN

DALAM KUMPULAN CERPEN SAKSI MATA KARYA SENO


GUMIRA AJIDARMA
SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh

M. Agus Kuswanto
NIM 1110013000110

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
LEMBAR PENGESAHAN

GAYA BAHASA PERBANDINGAN


DALAM KUMPULAN CERPEN SAKSI MATA KARYA SENO
GUMIRA AJIDARMA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI
SEKOLAH

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh
M. Agus Kuswanto
NIM 1110013000110

Di bawah Bimbingan

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
ABSTRAK
M. AGUS KUSWANTO, 1110013000110, “Gaya Bahasa Perbandingan dalam
Kumpulan Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma serta Implikasinya
terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Makyun Subuki, M.
Hum.2015.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan; 1) Gaya bahasa perbandingan


yang digunakan Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan cerpennya Saksi Mata; 2)
Implikasi dari hasil gaya bahasa tersebut terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
melalui pendekatan deskriptif, sedangkan paradigma yang digunakan adalah
paradigma stilistika. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik simak catat
yakni membaca kumpulan cerpen Saksi Mata, kemudian mencatat hasil temuan gaya
bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan


berupa majas simile yang terdapat dalam keseluruhan kumpulan cerpen Saksi Mata
dapat memberikan gambaran seolah-olah semua kejadian dalam cerita yang tadinya
bersifat abstrak atau tidak nyata menjadi seperti benar-benar terjadi. Perumpamaan
yang digunakan Seno dalam kumpulan cerpen Saksi Mata ini menggambarkan tragedi
pembantaian di Timor-Timor. Gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen
Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma dapat diimplikasikan ke dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas X semester 1 dengan kompetensi
dasar menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-
hari.

Kata Kunci: Cerita Pendek, Gaya Bahasa Perbandingan, Saksi Mata.


ABSTRACT
M. AGUS KUSWANTO, 1110013000110, "Comparison Language Stylein a set of
Saksi Mata short stories of Seno Gumira Ajidarma work and its Implications towards
Learning Indonesian Language and Literature", Department of Education Indonesian
Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syarif
Hidayatullah State Islamic University Jakarta, Supervisor: Makyun Subuki, M. Hum.
2015.
The purpose of this study is to describe; 1) Comparison language style which is used
by Seno Gumira Ajidarma in the short story collection of Saksi Mata; 2) The
implications of the results of comparison language style towards learning Indonesian
language and literature.
The method used in this study is a qualitative descriptive approach, while the
paradigm used is the paradigm Stylistics. Research technique used is simak catat a
short story collection of Saksi Mata then record the results in the comparison
language style of the short story collection.
Based on the results of this study concluded that stylistic comparisons simile form of
figure of speech contained in the overall is short story collection of Saksi Mata can
draw a picture if all the abstract events in the story to be like really happened. Seno
metaphors used in the short story colletion of Saksi Mata describes the massacres in
Timor-Timor. Comparison language style in short story collection of Saksi Mata by
Seno GumiraAjidarma can be implicated in learning Indonesian language and
literature 10th grade 1st semester students with the basic competence to analyze the
linkages of intrinsic elements of a short story with everyday life.

Keywords: Short Story, Comparison Language Style, Saksi Mata.

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu
yang telah direncanakan. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda
Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir
zaman.

Skripsi berjudul “Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen Saksi


Mata Karya Seno Gumira Ajidarma Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah” disusun guna memenuhi persyaratan
memperoleh gelar sarjana pendidikan (S. Pd) pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Proses penulisan skripsi ini tidak luput dari berbagai hambatan, namun dapat
dilalui berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:

1. Dr. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu memberikan
kemudahan dan bimbingan kepada penulis;

3. Dona Aji Karunia Putra, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang selalu
memberikan semangat.

iii
4. Makyun Subuki, M. Hum selaku penasehat akademik sekaligus Pembimbing
Skripsi yang selalu memberikan bimbingan dan arahan selama perkuliahan
serta dalam penyusunan skripsi;

5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas


Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmu pengetahuan
selama perkuliahan;

6. Ayahanda Suparno dan Luluk Mukhayaroh selaku orangtua penulis yang


senantiasa mendoakan, memberikan motivasi dan arahan, serta menjadi
penasihat terbaik selama perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini.
Tidak lupa juga Ibunda Siti Alimah (Almh) yang semasa hidupnya banyak
memberikan pelajaran berharga kepada penulis.

7. Adik-adik tercinta, Ainur Rokhim, Nur Khabibatul Lailiah, M. Khoirul


Anwar, dan M. Faiz Mahbubillah yang selalu memberikan semangat dan
mewarnai hari-hari penulis.

8. Nenek tercinta H. Sunah yang selalu memberikan doa, nasihat, dan bimbingan
kepada penulis selama perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini;

9. Drs. Moh. Yasin, M. Pd., dan Susilawati yang selalu memberikan arahan,
motivasi, dan materi selama perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi
ini;

10. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya PBSI C yang telah menjadi
teman belajar selama perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini dan
menjadikan suasana di dalam dan luar kelas lebih indah;

11. Teman-teman Sabilussalam angkatan 2012, Hilman Tohari, Arif Azami, dan
lainnya yang pernah menjadi bagian dari keluarga penulis dan telah
memberikan ilmu kepada penulis;

iv
12. Ninik Siti Khodijah dan Wawan Hernadi Indrianto yang memberikan doa,
nasihat, dan arahan kepada penulis selama perkuliahan hingga proses
penyelesaian skripsi ini;

13. Maisyatul Wasiah, Nurul Aliyah, Rica Dalie, Titiek Muryani, Rizka Argafani,
Nurfayerni yang telah menjadi teman berbagi cerita kepada penulis selama
perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini;

14. Teman kosan H. Misun, M. Indra Kusuma dan Nur Wakhidurrohman yang
telah menjadi keluarga penulis selama menetap di Ciputat dan banyak
memberikan bantuan kepada penulis;

15. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih
atas partisipasi dalam penyelesaian skripsi ini;

Semoga semua bantuan, bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan
mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan memberi sumbangsih bagi penelitian di bidang sastra serta bagi
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penulis juga berharap adanya saran dan
kritik membangun terhadap karya tulis ini.

Jakarta, November 2014

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

SURAT PERNYATAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ............................................................................................................... i

ABSTRACT ............................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 3
C. Pembatasan Masalah ...................................................................................... 3
D. Perumusan Masalah ....................................................................................... 4
E. Tujuan Penelitian............................................................................................ 4
F. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4
G. Metodologi Penelitian .................................................................................... 5

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN


A. Hakikat Gaya................................................................................................ 9
1. Stilistika ................................................................................................... 9
2. Pengertian Gaya ....................................................................................... 10
3. Pengertian Majas ...................................................................................... 11
4. Majas Perbandingan ................................................................................. 11

vi
B. Hakikat Cerpen ............................................................................................ 14
1. Asal Mula Cerpen .................................................................................... 14
2. Pengertian Cerpen .................................................................................... 14
3. Karakteristik Cerpen ................................................................................ 15
4. Unsur Intrinsik Cerpen ............................................................................. 16
C. Pembelajaran Sastra di Sekolah ................................................................. 22
D. Penelitian Yang Relevan .............................................................................. 24

BAB III HASIL PENELITIANDAN PEMBAHASAN


A. Deskripsi Data ............................................................................................. 30
B. Analisis Data ................................................................................................ 30
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia .......... 61

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................................ 64
B. Saran .............................................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bahasa merupakan sebuah ungkapan perasaan seseorang terhadap
apa yang dialaminya. Bahasa juga bersifat komunikatif yang berfungsi
sebagai alat komunikasi antara individu yang satu dengan yang lain.
Penggunaan bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan sosial sehari-hari. Tanpa adanya bahasa, maka komunikasi
sosial tidak akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini, bahasa sangat
berperan dalam menyampaikan gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang.
Bahasa itu unik, artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang
tidak dimiliki oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik,
maka artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak
dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi,
sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem
lainnya.1
Melalui sistem, bahasa membentuk sebuah lambang atau simbol
yang mengandung banyak pemaknaan terhadap setiap apa yang diucapkan
oleh masing-masing individu. Setiap individu memiliki keterampilan
berbahasa, seberapapun tingkat atau kualitas keterampilan tersebut. Saat
berkomunikasi itulah seseorang menggunakan keterampilan berbahasa
yang dimilikinya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin jelaslah
maksud yang ingin diungkapkannya. Setiap individu juga memiliki
keterampilan berbahasa secara optimal, namun ada pula yang sangat lemah
keterampilan berbahasanya. Oleh karena itu, diperlukan adanya latihan
untuk menunjang keoptimalan berbahasa setiap individu.
Berkenaan dengan peran bahasa sebagai ungkapan perasaan atau
pikiran seseorang, maka tak jarang seseorang mengutarakan berbagai
macam perasaannya melalui bahasa. Ungkapan perasaan itu dapat berupa

1
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 51

1
2

kata-kata atau kalimat yang memiliki makna tersendiri. Kata atau kalimat
yang diungkapkan tersebut sangat berbeda bentuknya satu dengan yang
lain. Oleh karena itu, setiap seseorang mempunyai gaya penulisan dan ciri
khas tersendiri dalam mengungkapkan apa yang ingin mereka sampaikan.
Salah satu pengolahan bahasa yang digunakan seseorang adalah
gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan cara seseorang mengungkapkan
pikiran dan perasaanya melalui bahasa yang khas, yang memperlihatkan
jiwa dan kepribadian pemakaian bahasa. Gaya bahasa memungkinkan
seseorang dapat menilai watak, pribadi, dan kemampuan seorang
pengarang. Gaya bahasa dapat menambah intensitas perasaan pengarang
serta menambah ketajaman penyampaian sikap pengarang.
Gaya bahasa juga mencakup berbagai figur bahasa antara lain
metafor, simile, antitesis, hiperbola, dan paradoks. Pada umumnya gaya
bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa
digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau
objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi
lebih segar dan berkesan. Gaya bahasa juga mencakup arti kata, citra,
perumpamaan, serta simbol dan alegori.2
Gaya bahasa yang juga identik dengan gaya khas seseorang dapat
digambarkan melalui lisan atau tulisan. Gaya bahasa yang diungkapkan
seseorang melalui lisan seperti cara berkomunikasi sehari-hari, yang dapat
menunjukkan karakter setiap individu, sedangkan gaya bahasa yang
diungkapkan dengan tulisan dapat dituangkan melalui cerita atau
pemaparan naratif.
Salah satu penggunaan gaya bahasa melalui tulisan adalah seperti
yang digambarkan Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan cerpennya
Saksi Mata. Dalam kumpulan cerpen Saksi Mata tersebut, Seno banyak
menggunakan berbagai macam gaya bahasa yang menunjukkan kekhasan
sosok Seno Gumira Ajidarma. Gaya bahasa tersebut adalah berupa

2
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 51-52
3

penggunaan majas perbandingan yang terdiri atas simile, metafora,


personifikasi, dan depersonifikasi. Dengan penggunaan majas
perbandingan dalam kumpulan cerpen tersebut, Seno berusaha
membandingkan dan menganalogikan dua hal yang berbeda makna, tetapi
memiliki kesamaan yang dapat dihubungkan satu sama lain.
Berdasarkan uraian di atas, timbul ketertarikan peneliti untuk
mengetahui secara mendalam mengenai penggunaan gaya bahasa dalam
kumpulan cerpen. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengangkat
permasalahan dari fakta di atas menjadi sebuah skripsi yang berjudul Gaya
Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata Karya Seno
Gumira Ajidarma serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di Sekolah.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.
1. Kurangnya pengetahuan siswa mengenai penggunaan gaya bahasa
dalam karya sastra, khususnya cerpen.
2. Secara keseluruhan, kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma menarik untuk dikaji karena di dalamnya sangat banyak
menggunakan unsur gaya bahasa (majas), sehingga perlunya
pemahaman lebih mendalam mengenai cerita tersebut.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi yang telah diuraikan di atas, maka untuk
menghindari pembahasan yang terlalu luas peneliti tidak akan membahas
mengenai gaya (style) penulis, atau pun diksi. Namun, peneliti akan
memfokuskan pembahasan pada penggunaan gaya bahasa berupa majas
perbandingan (majas simile) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saksi
Mata karya Seno Gumira Ajidarma tersebut. Oleh karena itu, peneliti
dapat mengangkat permasalahan tersebut menjadi sebuah skripsi yang
4

berjudul Gaya Bahasa Perbandingan dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata


Karya Seno Gumira Ajidarma serta Implikasinya terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.

D. Perumusan Masalah
Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan terarah, maka
diperlukan perumusan masalah dalam sebuah penelitian. Adapun
perumusan masalah dama penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma?
2. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di
sekolah?

E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui penggunaan gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma
2. Mengetahui implikasi penggunaan majas perbandingan tersebut dalam
pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah

F. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat menambah khazanah
keilmuan dalam pengajaran di bidang bahasa dan sastra Indonesia,
khususnya mengenai penggunaan gaya bahasa perbandingan dan
pembelajaran sastra.
b. Manfaat Praktis, antara lain:
1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari
masalah yang dirumuskan. Selain itu, dapat menjadikan motivasi
bagi penulis untuk mengadakan penelitian lain yang lebih baik.
2. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan
rujukan untuk mengadakan penelitian mengenai kajian tentang
5

gaya bahasa (majas) tidak hanya dalam kajian ilmu sastra, tetapi
juga dalam bidang-bidang ilmu yang lain.
3. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan
acuan dalam pembelajaran bahasa dan sastra, khususnya mengenai
majas perbandingan dalam cerpen.
4. Bagi institusi, hasil penelitian ini sebagai sumbangan penelitian
mengenai majas perbandingan. Dan diharapkan dapat menjadi
pedoman atau acuan dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia.

G. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan cara pemecahan masalah
penelitian yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud
mendapatkan fakta dan simpulan agar dapat memahami, menjelaskan,
meramalkan, dan mengendalikan keadaan.3 Berkut ini bagan yang
digunakan dalam metodologi penelitian ini:

Metodologi Penelitian

Paradigma Metode Teknik

Stilistika Kualitatif Simak Catat


dengan
Analisis isi
Majas (figure
of speech)

3
Syamsudin dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 14
6

1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah cara pandang umum seseorang (peneliti)
terhadap fenomena atau realitas. Dengan kata lain, paradigma adalah
cara kita melihat suatu realitas, misalnya fenomena berbahasa.4 Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan aspek stilistika karena peneliti
berusaha mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa yang berwujud
majas perbandingan yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saksi Mata
karya Seno Gumira Ajidarma.

2. Metode Penelitian
Metode adalah cara menerapkan teknik yang digunakan dalam
penelitian. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
teknik simak, yakni yang berusaha menyimak penggunaan bahasa
dalam kumpulan cerpen Saksi Mata. Setelah menyimak penggunaan
bahasa, peneliti menggunakan teknik catat untuk mencatat dan
menandai kalimat yang mengandung gaya bahasa perbandingan yang
ada dalam kumpulan cerpen tersebut.
Selanjutnya, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kualitatif, yakni memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan
menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Metode kualitatif memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan
kontens keberadaannya.5
Metode penelitian kualitatif yang digunakan penulis yaitu
analisis isi. Menurut teori Ratna, metode analisis isi ini menekankan
pada isi pesan. Oleh karena itulah, metode analisis isi dilakukan dalam
dokumen-dokumen yang padat isi. Dalam karya sastra, misalnya,
dilakukan untuk meneliti gaya tulisan seorang pengarang.6

4
Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 14
5
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h. 46
6
Ibid., h. 49
7

Jadi, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan


analisis isi yang berusaha menjelaskan setiap majas perbandingan yang
terdapat dalam dokumen, yang dalam hal ini adalah kumpulan cerpen
Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

3. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik simak karena cara yang digunakan untuk
memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa.7
Selanjutnya, dalam teknik catat ini dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik catat sebagai gandengan teknik simak bebas libat
cakap, yaitu mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitiannya
dari penggunaan bahasa secara tertulis tersebut.8
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik simak
catat, yaitu dengan cara data tersebut dibaca dan diteliti, kemudian
pengumpulan data dilakukan dengan menandai dan mencatat kalimat
atau hal yang mengandung majas perbandingan dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.
Dalam menjalankan teknik, diperlukan adanya data. Data itu
diperoleh dari berbagai macam sumber yang terdiri dari sumber data
primer dan sumber data sekunder. Berikut adalah sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini.

a. Sumber Data Primer


Sumber data primer merupakan sumber data yang diambil
langsung dari karya sastra itu sendiri. Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah gaya bahasa perbandingan yang terdapat
dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma
yang diterbitkan oleh Bentang tahun 2010.
7
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, dan Tekniknya, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h.92
8
Ibid., h. 93-94
8

b. Sumber Data Sekunder


Sumber data sekunder adalah kajian lain atau hasil penelitian
lain yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini dari beberapa
aspek untuk melihat persamaan dan perbedaan. Sumber data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber lain
atau berupa hasil penelitian tentang jenis gaya dan fungsinya dalam
kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

4. Objek Penelitian
Objek adalah sesuatu yang diteliti. Dalam hal ini berupa bahasa
dalam sebuah karya sastra. Objek dalam penelitian ini adalah
penggunaan majas perbandingan yang terdapat dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

5. Prosedur Penelitian
a. Membaca kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma
b. Mencermati kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma yang di dalamnya terdapat gaya bahasa perbandingan.
c. Menandai kata atau kalimat yang termasuk ke dalam gaya bahasa
perbandingan.
d. Menganalisis gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan cerpen
Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.
e. Memberikan simpulan tentang jenis gaya bahasa perbandingan
yang ada dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira
Ajidarma.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Hakikat Gaya Bahasa


1. Stilistika
Secara etimologis stylitics berkaitan dengan style (bahasa
inggris). Style artinya gaya, sedangkan stylistics, dengan demikian
dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya.1Menurut Ratna,
stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa.
Tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Jadi,
dalam pengertian yang paling luas, stilistika sebagai ilmu tentang gaya,
meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia.2
Selanjutnya, Peter Barry mengungkapkan bahwa stilistika adalah
pendekatan kritis yang menggunakan metode dan temuan ilmu
linguistic dalam analisis teks sastra.Yang dimaksud linguistik di sini
lebih pada kajian ilmiah tentang bahasa dan struktur-strukturnya,
ketimbang pembelajaran bahasa-bahasa individu.3
Atar Semi juga mengungkapkan bahwa pendekata stilistika
beranggapan bahwa kemampuan sastrawan mengeksploitasi bahasa
dalam segala dimensi merupakan suatu puncak kreativitas yang dinilai
sebagai akibat. Aplikasi dari pendekatan ini tidak hanya tertuju pada
analisis pemakaian gaya bahasa yang indah dan menarik, tetapi juga
terhadap keandalan penulis dalam mengekspresikan gagasan lewat
bahasa secara kreatif.4
Jadi secara umum stilistika adalah kajian tentang gaya bahasa
yang digunakan dalam karya sastra. Gaya bahasa di sini mencakup

1
Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2002),
h. 163
2
Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 167
3
Peter Barry. Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. (Yogyakarta: Jalasutra,
2010), h. 235
4
Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa, 2012), h. 104

9
10

penggunaan berbagai macam bahasa di dalam sebuah karya sastra yang


menghasilkan pemaknaan baik dari kata, kalimat, atau wacana yang
digunakan pengarang.

2. Pengertian Gaya
Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa
Latin stilus dan mengandung arti leksikal ‗alat untuk menulis‘.5Gaya
bahasa atau style adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau
pemakai bahasa.6 Menurut Nikolas Coupland, stylistic analysis is the
analysis of how style resource are put to work ceratively. Analiysing
linguistic style again needs to include an aesthetic dimension.7
Dengan kata lain, gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri.
Wahyudi dalam bukunya berpendapat bahwa gaya adalah cara seorang
pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna
dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca.
Ada tiga masalah yang erat hubungannya dengan pembicaraan
masalah gaya. Pertama, masalah media berupa kata dan kalimat.
Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan keindahan.
Terakhir, seluk-beluk ekspresi pengarangnya sendiri yang akan
berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan, maupun
konteks sosial-masyarakat yang melatarbelakanginya.
Dari beberapa pengertian tentang gaya di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa gaya bahasa atau gaya seorang dengan yang lain
jelas berbeda, baik dari segi komposisi bahasa, struktur kalimat, dan
penggunaan ejaan.

5
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1987), h. 72
6
Abdul Chaer, Bahasa Jurnalistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 87
7
Nikolas Coupland, Style: Language Variation and Identity, (New York: Cambridge
University Press, 2007), h. 3
11

3. Pengertian Majas
Pada hakikatnya majas (figure of speech) adalah suatu bentuk
pernyataan dengan cara memakai sesuatu untuk mengatakan tentang
sesuatu yang lain. Pemakaian sesuatu untuk sesuatu yang lain sering
kali (jika tidak boleh dikatakan: selalu) berupa pengedepanan suatu ide
secara tidak langsung melalui analogi. Dengan demikian, di samping
mampu mengonkretkan dan menghidupkan bahasa, majas juga sering
lebih ringkas daripada padanannya yang terungkap dalam kata biasa.8
Majas, kiasan, atau „figure of speech‟ adalah bahasa kias, bahasa
indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek
dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan sutau benda
atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek
kata, penggunaan majas tertentu dapat merubah serta menimbulkan
nilai rasa atau konotasi tertentu.9
Sementara itu, Nurgiantoro mengatakan bahwa pemajasan (figure
of speech) merupakan teknik pengungkapan bahasa,
penggayabahasaan, yang maknanya tak menunjuk pada makna harfiah
kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang
ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi ia merupakan gaya yang
sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa
kias.10

4. Majas Perbandingan
Dilihat dari jenisnya, majas (yang secara salah kaprah sering pula
disebut gaya bahasa, perhiasan bahasa, atau bahasa kiasan itu) dapat
dikelompok dalam tiga golongan; (1) majas perbandingan, (2) majas
pertentangan, dan (3) majas pertautan. Namun, dalam praktiknya tidak

8
Agus Sri Danardana, Anomali Bahasa, (Pekanbaru: Palagan Press, 2011), h. 12-13
9
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 112
10
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2013) h. 297
12

jarang orang menggunakan dua-tiga majas sekaligus dalam sebuah


tuturan.11
Menurut Henry Guntur Tarigan, ragam majas dibagi menjadi
empat macam: 1) Majas perbandingan yang meliputi perumpamaan
(simile), metafora, pesonifikasi, 2) Majas pertentangan yang meliputi
hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsisi, zeugma,
3) Majas pertautan yang meliputi metonimia, sinekdoke, kilata (alusi),
eufimisme, ellipsis, inversi, gradasi. 4) Majas perulangan yang
meliputi aliterasi, antanaklasis, kiasmus, repetisi. Dalam hal ini,
penulis akan memfokuskan pada majas perbandingan yang digunakan
oleh Tarigan. Berikut penjelasannya:
1. Simile (perumpamaan)
Yang dimaksud dengan perumpamaan di sini adalah
padanan kata simile dalam bahasa Inggris. Kata simile berasal dari
bahasa latinyang bermakna „seperti‟. Perumpamaan adalah
perbandingan dua hal yang pada hakekatnya berlainan dan yang
sengaja kita anggap sama. Perbandingan itu secara eksplisit
dijelaskan oleh pemakaian kata seperti, sebagai, ibarat, umpama,
baka, laksana, dan sejenisnya.12Dalam penuturan bentuk ini,
sesuatu yang disebut pertama dinyatakan mempuyai persamaan
sifat dengan sesuatu yang disebut belakangan.13Contoh: Wajahnya
laksana bulan purnama, rumahnya ramai bak pasar malam.

2. Metafora
Tarigan berpendapat bahwa metafora adalah sejenis gaya
bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di
dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan,
sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi obyek; dan yang satu lagi
merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita
11
Sri Danardana, Op. Cit., h. 12-13
12
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa 1986), h. 9-10
13
Nurgiantoro,Op. Cit.,h. 400
13

menggantikan yang belakang itu menjadi yang terdahulu


tadi.14Contoh: Ayah menjaditulang punggung keluarga,
perpustakaan adalah gudang ilmu.

3. Personifikasi
Nurgiantoro berpendapat bahwa personifikasi merupakan
bentuk pemajasan yang member sifat-sifat benda mati dengan sifat-
sifat kemanusiaan.Artinya, sifat yang diberikan itu sebenarnya
hanya dimiliki oleh manusia.Maka majas ini juga disebut sebagai
majas pengorangan, sesuatu yang diorangkan, seperti halnya orang.
Sifat-sifat itu dapat berupa ciri fisik, sifat karakter, tingkah laku
verbal dan nonverbal, berpikir, berperasaan, bersikap, dan lain-lain
yang hanya manusia yang memiliki atau dapat
melakukannya..benda-benda laian yang bersifat nonhuman,
termasuk makhluk-makhluk tertentu, binatang, dan fakta alam yang
lain tidak memilikinya.15Contoh: Pohon nyiur melambai-lambai,
ombak yang memakan manusia itu.

4. Depersonifikasi
Gaya bahasa depersonifikasi atau pembendaan adalah
kebalikan dari gaya bahasa personifikasi atau penginsanan. Kalau
personifikasi, menginsankan atau memanusiakan benda-benda,
maka depersonifikasi justru membendakan manusia atau insan.
Biasanya gaya bahasa depersonifikasi ini terdapat dalam kalimat
pengandaian yang secara eksplisit memanfaatkan kata kalau dan
sejenisnya sebagai penjelas gagasan atau harapan.16 Contoh: Kalau
dikau menjadi bunga, maka Aku kumbangnya, Andai kamu
menjadi langit, maka dia menjadi tanah.

14
Tarigan, Op. Cit., h. 15
15
Nurgiantoro, Op. Cit., h. 401-402
16
Tarigan, Op. Cit., h. 21
14

B. Hakikat Cerpen
1. Asal Mula Cerita Pendek Indonesia
Genre cerita pendek di Indonesia, secara resmi diakui baru
muncul pada tahun1930-an. Muhammad Kasim mengumpulkan
cerpen-cerpennya dalam buku Teman Duduk pada tahun 1936,
kemudian Suman Hs. Menerbitkan cerpennya pada tahun 1938 dengan
judul Kawan Bergelut. Keduanya diterbitkan oleh penerbit pemerintah
colonial, Balai Pustaka.Sementara itu genre cerpen ini telah ditemukan
lebih tua dalam bahasa Sunda, yakni dengan terbitnya buku kumpulan
cerpen pengarang G.S. yang berjudul Dogdog Pangrewong (Selingan
Belaka) pada tahun 1930.17

2. Pengertian Cerpen
Cerpen (cerita pendek sebagai genre fiksi) adalah rangkaian
peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik
antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan
alur.Peristiwa dalam cerita berwujud hubungan antartokoh, tempat,
dan waktu yang membentuk satu kesatuan.18
Selanjutnya Ellery Sedgwik dalam Tarigan mengatakan bahwa
―cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu
kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa
pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang
tidak perlu atau “a short-story must not be cluttered up with
irrelevance”.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian cerpen di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa cerita pendek adalah cerita yang
panjangnya minimal 4-5 halaman dan habis dibaca sekali duduk. Di

17
Jakob Sumarjo, Kesustraan Melayu-Rendah Masa Awal, (Yogyakarta: Galang Press,
2004), h. 103
18
Heru Kurniawan dan Sutardi, Penulisan Sastra Kreatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012), h. 59
15

dalam cerpen juga harus terdapat tokoh, penokohan, dan inti dari cerita
(tidak berbelit-belit ceritanya).

3. Karakteristik Cerpen
Tarigan membagi ciri-ciri khas cerpen sebagai berikut:
a. Ciri-ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan intensif.
b. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak.
c. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik
perhatian.
d. Cerita pendek harus mngandung interpretasi pengarang tentang
konsepsinya mengenai kehidupan, baik seara langsung maupun
tidak langsung.
e. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan suatu efek dalam pikiran
pembaca.
f. Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa
jalan ceritalah yang pertama menarik perasaan, dan baru kemudian
menarik pikiran.
g. Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang
dipilih dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan dalam pikiran pembaca.
h. Dalam sebuah cerita pendek, sebuah insiden yang terutama
menguasai jalan cerita.
i. Cerita pendek harus mempunyai seorang pelaku utama.
j. Cerita pendek harus mempunyai satu efek atau kesan yane
menarik.
k. Cerita pendek bergantung pada satu situasi.
l. Cerita pendek memberikan impresi tunggal.
m. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek.
n. Cerita pendek menyajikan satu emosi.
16

o. Jumlah kata-kata yag terdapat dalam cerita pendek biasanya di


bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata (atau kira-
kira 33 halaman kuarto spasi rangkap.19
Dari beberapa pendapat tentang ciri-ciri atau karakteristik cerpen,
maka dapat disimpulkan bahwa ciri utama cerpen adalah padat dan
singkat, terdapat tokoh dan penokohan yang jelas, serta bahasa yang
digunakan menarik.

C. Unsur-unsur Intrinsik Cerpen


Prosa fiksi yang terdiri dari cerpen dan novel, keduanya
mempunyai unsur-unsur pembangun yang sama. Unsur-unsur itu meliputi
tokoh, penokohan, alur, sudut pandang, dan amanat. Oleh karena itu,
cerpen dan novel dapat dianalisis menggunakan unsur-unsur yang sama.
Berikut akan dipaparkan penjelasan mengenai unsur intrinsik cerpen.
1. Tema
Istilah tema menurut Scharbach berasal dari bahasa Latin yang
berarti ‗tempat meletakkan suatu perangkat‘.Disebut demkian karena
tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehinga berperanan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya.20
Brooks dan Warren dalam Tarigan mengatakan bahwa tema
adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Sementara Brooks,
Purser, dan Warren dalam buku lain mengatakan bahwa tema adalah
pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan
atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun
dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.21
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema
adalah gagasan atau ide yang mendasari suatu cerita.Ide atau gagasan

19
Tarigan, Op Cit., h. 180-181
20
Aminuddin, Op. Cit., h. 91
21
Tarigan, Op. Cit., h. 125
17

tersebut digunakan oleh pengarang untuk membuat atau menuliskan


sebuah cerita agar pembaca dapat mengetahui inti cerita tersebut.

2. Tokoh dan Perwatakan


Aminuddin dalam Siswanto mengatakan bahwa tokoh adalah
pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh disebut penokohan.Tokoh dalam karya rekaan
selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak
tertentu.Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan
disebut perwatakan.22
Lubis dalam Tarigan mengemukakan bahwa ada beberapacara
yang dapat dipergunakan oleh pengarang unuk melukiskan rupa,
watak, atau pribadi para tokoh tersebut, antara lain:
a. Physical description (melukiskan bentuk lahir dari pelakon)
b. Portrayal of thought stream or of conscious thought (melukiskan
jalan pikiran pelakon atau apa yang terlintas dalam pikirannya)
c. Reaction to events (melukiskan bagaimana reaksi pelakon itu
terhadap kejadian-kejadian)
d. Direct author analysis (pengarang dengan langsung menganalisis
watak pelakon)
e. Discussion of environment (pengarang melukiskan keadaan sekitar
pelakon )
f. Reaction of others about/ to character (pengarang melukiskan
bagaimana pandangan-pandangan pelakon lan dalam suatu cerita
terhadap pelakon utama itu)
g. Conversation of other about character (pelakon-pelakon lainnya
dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelakon utama,

22
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142-
143
18

dengan demikian maka secara tidak langsung pembaca dapat kesan


tentang segala sesuatu yang mengenai pelakon utama itu).23

3. Plot atau alur


Pengertian alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita.24Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-
peristiwa dalam sebuah cerita.25
Selanjutnya, Abrams dalam Siswanto mengatakan bahwa alur
ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita.Sudjiman juga mengungkapkan dalam Siswanto
bahwa alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk
mencapai efek tertentu.Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan
temporal (waktu) dan oleh ubungan kausal (sebab akibat).26
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa alur
adalah rangkaian cerita yang terjalin secara utuh dan padu yang
dibentuk melalui tahapan-tahapan cerita.
Aminuddin dalam Siswanto membagi tahapan-tahapan peristiwa
dalam cerita sebagai berikut.
1. Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau
drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang
dikenalkan dari tokoh ini misalnya nama, asal, ciri fisik, dan
sifatnya.
2. Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara
dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan.
Pertentangan ini dapat terjadi dlam diri satu tokoh, antara dua

23
Tarigan, Op. Cit., h. 133-134
24
Aminuddin, Op. Cit., h. 83
25
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 26
26
Siswanto, Op. Cit., h. 159
19

tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau lingkungannya, antara


tokoh dan alam, serta antara tokoh dan tuhan. Ada konflik lahir dan
konflik batin.
3. Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan
atau drama yang mengembangkan tikaian. Dalam tahap ini, konflik
terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan berbagai
kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.
4. Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan yang melukiskan puncak
ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional
pembaca. Klimaks merupakan puncak rumitan yang diikuti oleh
krisis atau titik balik.
5. Krisis adalah bagian alur yang mengawali penyelesaian. Saat
dalam alur yang ditandai oleh perubahan alur cerita menuju
selesainya cerita.
6. Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai klimaks. Pada
tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan
perkembangan lakuan ke arah selesaian.
7. Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan. Dalam tahap ini
semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dijelaskan, dan
rahasia dibuka.27

4. Latar (Setting)
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas
tumpu.Abrams dalam Aminuddin mengemukakan latar cerita adalah
tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time),
dan kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode
atau bagian-bagian tempat.28Berikut ini akan dijelaskan unsur-unsur
latar.

27
Siswanto, Loc. Cit.,
28
Siswanto, Op. Cit., h. 149
20

1. Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertenttu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
2. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ―kapan‖
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi.Masalah ―kapan‖ tersebut biasanya dihubungkan dengan
waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan
dengan peristiwa sejarah.Pengetahuan dan persepsi pembaca
terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba
masuk ke dalam suasana cerita.Pembaca berusaha memahami dan
menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang
berasal dari luar cerita yang bersangkutan.
3. Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yng
diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup
kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiasat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-
lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan
sebelumnya. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status
sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah,
atas.29

29
Nurgiantoro, Op. Cit., h. 227-234
21

5. Sudut Pandang
Sudut pandang/ titik pandang adalah tempat sasrtrawan
memandang ceritanya.Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang
tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dengan gayanya sendiri.30Seorang
pencerita dapat dikatakan sebaga pencerita akuan apabila pencerita
tersebut dalam bercerita menggunakan kata ganti orang pertama: aku
atau saya. Pencerita akuan dapat menjadi salah seorang pelaku atau
disebut narrator acting. Sebagai narrator acting, ia bisa mengetahui
semua gerak fisik maupun psikisnya. Narrator acting yang demikian
ini biasanya bertindak sebagai pelaku utama yang serba tahu.Tidak
semua narrator acting sebagai pencerita yang serba tahu.Terdapat
kemungkinan narrator acting ini hanya mengetahui gerak-gerik fisik
dari para pelaku yang bertindak sebagai pelaku bawahan.
Di samping bertindak sebagai pencerita yang terlibat atau
narrator acting, seorang pencerita juga bisa bertindak sebagai
pengamat.Pencerita semacam ini biasanya disebut pencerita
diaan.Pencerita diaan dalam bercerita biasanya menggunakan kata
ganti orang ketiga. Adapun penunjuk kebahasaan yang digunakan
biasanya: dia, ia, atau mereka.
Narrator pengamat ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
narrator pengamat yag serba tahu dan narrator pengamat terbatas atau
objektif. Narrator pengamat serba tahu merupakan suatu teknik
penceritaan dengan cara pencerita menuturkan ceritanya melalui satu
atau lebih tokoh-tokohnya.Sedangkan narrator pengamat terbatas
adalah pengarang menuturkan ceritanya melalui kesan-kesan atau
impresi dari satu tokoh. Pengetahuan pencerita tentang apa yang terjadi
dalam cerita terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar melalui
gerak fisik saja.31

30
Siswanto, Op. Cit., h. 151
31
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis,(Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), h. 115-116
22

6. Amanat
Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri
sastrawan dan pembacanya.Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa disebut
amanat.Amanat gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.Di
dalam karya sastra modern, amanat ini biasanya tersirat; di dalam
karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.32

D. Pembelajaran Sastra di Sekolah


Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk
mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses
kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini
adalah kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra.Dengan
pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca,
memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.
Pendidikan sastra yang mengapresiasi prosa rekaan akan
mengembangkan kompetensi anak untuk memahami dan menghargai
keindahan karya sastra yang tercermin pada setiap unsur prosa rekaan
dengan secara langsung membaca karya sastranya.33Dan salah satu
pembelajaran prosa rekaan adalah pembelajaran cerpen di sekolah.
Pengajaran sastra akan membantu pendidikan secara utuh apabila
cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan
menunjung pembentukan watak.
1. Membantu keterampilan berbahasa
Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti
akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin
ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara, dan menulis yang
masing-masing erat hubungannya. Dalam pengajaran sastra, siswa

32
Siswanto, Op. Cit., h. 162
33
Ibid., h. 168-169
23

dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu


karya yang dibacakan oleh guru, teman, atau lewat pita rekaman.
2. Meningkatkan pengetahuan budaya
Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam
dengan keseluruhannya.Apabila kita dapat merangsang siswa-siswa
untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa
itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri tidak lebih
penting disbanding dengan keterkaitannya satu sama lain sehingga
dapat saling menopang dan memperjelas apa yang ingin disampaikan
lewat karya sastra itu.
3. Mengembangkan cipta dan rasa
Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu
dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat
penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta dapat
ditambah lagi yang bersifat religius. Karya sastra, sebenarnya dapat
memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-
kecakapan semacam itu. Oleh karena itu, dapatlah ditegaskan,
pengajara sastra yang dilakukan dengan benar akan dapat menyediakan
kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut
lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga
pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan
pengajaran dalam arti yang sesungguhnya.
4. Menunjang pembentukan watak
Dalam nilai pengajaran sastra, ada dua tuntutan yang dapat
diungkapkan sehubungan watak.Pertama, pengajaran sastra hendaknya
mampu membina perasaan yang lebih tajam.Dibanding pelajaran-
pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk
mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup
manusia seperti kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kebanggaan diri
sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian,
perceraian, dan kematian.
24

Tuntutan kedua sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah


bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam
usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang
antara lain meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan
penciptaan.34
Pembelajaran cerpen selalu diajarkan di sekolah baik tingkat dasar,
menengah, atau tingkat atas.Bahkan di perguruan tinggi pun, pembelajaran
cerpen masih diterapkan.Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran karya
sastra di semua jenjang sangat dibutuhkan guna meningkatkan kreativitas
dan keterampilan siswa dalam kegiatan berbahasa dan bersastra.
Berhubungan dengan pengajaran cerpen di sekolah, hendaknya
seorang guru memiliki metode atau teknik yang digunakan agar siswa
mampu mencapai kompetensi yang diinginkan.Rahmanto
mengungkapkan, salah satu metode yang dapat digunakan adalah
membaca ekstensif yang cocok untuk berbagai bahan bacaan seperti novel
dan cerpen yang memungkinkan adanya praktik latihan membaca cepat
serta berlangsung terus menerus dengan minat sendiri.Bahan-bahan bacaan
ekstensif ini cocok untuk diberikan sebagai aktivitas membaca di
rumah.Tujuan akhir dari pembinaan membaca ekstensif ini dimaksudkan
untuk membina minat baca siswa berdasarkan motivasi dari dalam,
sehingga siswa dapat memiliki kesenangan (hobi) membaca tanpa paksaan
satau dorongan dari guru.35

E. Penelitian yang Relevan


Hasil penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan acuan dan
masukan dalam penelitian ini antara lain penelitian yang dilakukan oleh
Alfian Rokhmansyah dalam skripsinya yang berjudul ―Jenis Gaya dan
Fungsinya dalam Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma
(Sebuah Kajian Stilistika). Dalam penelitian tersebut, ditemukan beberapa

34
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16-25
35
Ibid., h. 41
25

gaya bahasa berupa majas, antara lain: majas repetisi, hiperbola, simile,
klimaks, sarkasme, personifikasi, antithesis, dan majas retoris. Gaya
bahasa yang ditemukan tersebut juga mempunyai fungsi masing-masing
terhadap penggambaran cerita.
Penelitian lain dilakukan oleh Nur Saputri Puji Lestari dengan
judul ―Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Sepasang Maut Karya Moh.
Wan Anwar dan Alternatif Pembelajarannya di SMK, IKIP PGRI,
Semarang‖. Dalam kesimpulannya, di dalam kumpulan cerpen itu terdapat
berbagai macam gaya bahasa antara lain: gaya bahasa tak resmi, gaya
bahasa percakapan, hiperbola, simile, repetisi epizeukis. Berikut ini akan
diberikan contoh beberapa kutipan:
1. Gaya bahasa tak resmi, seperti pada kutipan:
―Aku baca juga sajak itu semata – mata agar aku tak
kehilangan jejakmu.Agar aku bisa menjawab kalau suatu
hari kau bertanya lagi tentang laut di matamu.Tetapi
anehnya aku semakin tak mengerti apakah laut dan
bagaimana merumuskannya.Bagaimana pula yang dianggap
sebagai rahang laut dalam sajak yang kau berikan itu.Aku
tahu sajak itu berlatar laut.Aku memang melihat gambaran
laut dalam sajak itu‖.

2. Gaya bahasa percakapan, seperti pada kutipan:


―Laut telah berubah, pasir mungkin akan segera gelap.‖
Sejenak saja!
―Laut telah meninggalkanku.‖
Kapan kita bisa bertemu lagi?
―tidak tahu.‖
Minggu depan!
―Ya, kalau aku belum dijemput peri – peri dari laut.‖
Peri dari laut?Apa maksudmu? Jangan kau buat aku
dungudihadapanmu! Tapi kau keburu ngeloyor pergi
meninggalkankuyang ternganga seperti rahang laut dalam
sajak yang pernah kauberikan padaku.Aku memang tak
pernah bisa memahamimu,tetapi sekali – kali kau tuduh aku
tak pernah mencintaimu.

3. Hiperbola, seperti pada kutipan:


26

―Tetapi pada suatu sore tiba – tiba saja kau sudah duduk di
kursi beranda rumahku.Rambutmu kusut, parasmu kisut,
senyummu kecut, dan matamu, ah, matamu, bola matamu itu
mulai surut.Sore memang tidak seredup kehadiranmu‖.
Langit bersih, awan cuma tipis, dan lembayung
memuncratkan emas ke seluruh penjuru angkasa.Kuseduh
teh hangat agar lenyap segala pucat dan hasrat meloncat dari
tatapmu.Tapi kau Cuma mengucap terima kasih dan
mengatakan bahwa kau mampir hanya sekejap.

4. Simile, seperti pada kutipan:

―Andai kukira seandainnya uang dan tenagamu sanggup


untuk mengitari seluruh laut dimuka bumi, kau akan
melakukannya. Laut bagimu seperti takdir, kemanapun kau
beringsut laut akan bertau. Ke manapun kau mengalir laut
selalu hadir‖.

5. Repetisi epizeukis, seperti pada kutipan:

―Setiap kau bicara tentang laut, pengalamanmu bersentuhan


dengan laut, kerinduanmu tentang laut, aku bahkan kadang
melihat laut bergemuruh dimatamu. Sekali waktu, ketika kau
mengungkapkan pergulatanmu dengan laut membentang
bening di bola matamu‖.

―Entah sudah berapa ribu kali aku mengamati bola matamu,


kelopak matamu, bulu matamu, alismu, tulang disekitar
matamu, dan aku selalu merasa bertemu laut. Tetapi getar
apa yang ada di bola matamu, lengkung alismu, deretan bulu
matamu, lekuk tulang di sekitar matamu, sungguh aku tak
pernah bisa menangkapnya‖.

Selanjutnya, penelitian lain juga dilakukan oleh Novita Rihi


Amalia yang berjudul ―Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-nilai Pendidikan
Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata‖, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta. Dalam penelitiannya diperoleh beberapa gaya bahasa, antara
lain: majas perbandingan, majas perulangan, dan majas pertentangan.
Akan tetapi, majas yang paling dominan adalah majas personifikasi. Di
bawah ini akan diberikan contoh beberapa kutipannya:
1. Majas perbandingan:
27

a. Hiperbola. Seperti pada kutipan:


―Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang panting
lupa diri karena dikejar-kejar seorang tokoh paling antagonis‖.
―Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakkan dengan
keras sehingga seluruh kancing bajuku putus.Kancing-kancing
itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku
meronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang, dan
terlepas!.

b. Personifikasi. Seperti pada kutipan:


―Dataran ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang
dilantakkkan tenaga dahsyat kataklismik.Sedangkan di belahan
yang lain, semburat ultraviolet menari-nari di atas permukaan
laut yang bisu berlapis minyak‖.

“Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja


hantu‖.

―Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam


beruntun beruntun seorang petinju‖.

“Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan


seperti batangan baja stainless, dan menciptakan pedang
cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat
menerobos sudut-sudut gelap yang pengap‖.

c. Simile. Seperti pada kutipan:

―Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti sirkus itu tak


lain Arai!‖.

―Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa


baru seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat,
pencet sana, melendung sini‖.

―Laksana terumbu karang yang menjadi rumah ikan di dasar


laut, gubuk itu akan segera menjadi sarang luak, atapnya akan
menjadi lumbung, telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya
akan menjadi istana liang kumbang‖.

2. Majas pertentangan
a. Litotes, seperti pada kutipan: ―Mata Mak Cik berkaca-kaca. Seribu
terima kasih seolah tak cukup baginya‖.
b. Antitesis, seperti pada kutipan:
28

―Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia
terlanjur jengkel‖.

―Mereka yang kuat tenaga dan kuat nyalinya siang malam


mencedok pasir gelas untuk mengisi tongkang‖.

―Terbukti banyak sekali wanita cantik sehat walafiat jiwa


raganya, rela diusir keluarganya gara-gara jatuh cinta setengah
mati pada pemain gitar‖.

3. Majas penegasan yang terdapat dalam penelitian Novita adalah majas


repetisi. Seperti pada kutipan berikut:
―Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali‖.
―Maka aria adalah seorang pemimpi yang sesungguhnya
seorang pemimpi sejati‖.
―Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak pernah lagi—tak
pernah walau sekali—orang melihat Laksmi tersenyum

Persamaan dari ketiga penelitian di atas dengan penelitian yang


penulis lakukan adalah sama-sama menganalisis tentang gaya bahasa,
sedangkan perbedaannya adalah jika penelitian Alfian Rokhmansyah
menganalisis tentang bentuk gaya bahasa dan fungsinya dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata, sedangkan penulis hanya berfokus pada majas
perbandingan saja, yakni pada majas simile. Objek yang digunakan oleh
penelitian Alfian sama dengan objek yang digunakan oleh peneliti, yakni
kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.
Selanjutnya, perbedaan lainnya adalahpenelitian Nur Saputri yang
berjudul ―Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Sepasang Maut Karya
Moh.Wan Anwar dan Alternatif Pembelajarannya di SMK. Penelitian ini
membahas tentang keseluruhan gaya bahasa secara umum, tetapi yang
paling dominan adalah gaya bahasa repetisi. Gaya bahasa repetisi yang
terlihat di antaranya adalah pada kata laut, matamu,yang menegaskan
tentang suatu kehidupan seorang manusia yang hanya bergantung pada
laut, dan seluruh hidupnya dihabiskan dengan menyelami sebuah laut.
Serta penelitian Novita Rihiyang juga membahas tentang gaya
bahasa dan nilai-nilai pendidikan dalam novel. Dalam penelitian yang
dilakukan Novita, gaya bahasa dijelaskan secara rinci mulai dari gaya
29

bahasa perbandingan, pertentangan, penegasan, dan perulangan, tetapi


gaya bahasa yang paling dominan adalah personifikasi, ditambah dengan
penelitian tentang nila-nilai pendidikan. Majas personifikasi dalam
penelitian novita berfungsi untuk memberikan gambaran pada cerita yang
seolah-olah dapat dirasakan dengan nyata.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data
Sumber data yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah
kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen
tersebut secara keseluruhan menceritakan tentang insiden pembantaian
yang terjadi di Kota Dili, Timor-Timor. Sedangkan data yang akan
dianalisis dalam penelitian ini adalah kutipan kalimat yang mengandung
majas perbandingan dalam keseluruhan cerpen yang ada dalam kumpulan
cerpen Saksi Mata. Dalam hal ini, majas perbandingan yang akan
dianalisis adalah majas simile atau perumpamaan.
Penelitian ini akan membahas tentang bagaimana majas simile
(perumpamaan) yang digunakan oleh pengarang dalam kumpulan cerpen
Saksi Mata ini jika dihubungkan dengan kejadian-kejadian pembanataian
masa lalu yang terjadi di Kota Dili Timor-Timor. Penelitian ini
menggunakan pendekatan stilistika karena peneliti berusaha
mendeskripsikan majas perbandingan yang ada dalam kumpulan cerpen
Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

B. Analisis Data
Berdasarkan hasil membaca dan menyimak keseluruhan cerpen
yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen berjudul Saksi Mata karya
Seno Gumira Ajidarma, yang terdiri dari 16 cerpen yakni Saksi Mata,
Telinga, Manuel, Maria, Salvador, Rosario, Listrik, Pelajaran Sejarah,
Misteri Kota Ningi, Klandestin, Darah Itu Merah, Jenderal, Seruling
Kesunyian, Salazar, Junior, Kepala di Pagar Da Silva, dan Sebatang Pohon
di Luar Desa, ditemukan 47 majas simile atau perumpamaan yang terdapat
dalam keseluruhan cerpen. Berikut analisisnya:

30
31

(1) “Dari lubang pada bekas tempat kedua matanya


mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada
warna merah yang lebih merah dari merahnya darah
yang mengucur perlahan-lahan dan terus-menerus dari
lubang itu.” (SM: 8)

Data no.1 menggambarkan keadaan tokoh Saksi Mata yang


bersaksi di persidangan tanpa kedua matanya. Dari lubang kedua
matanya mengalir darah berwarna merah yang mengucur terus-
menerus secara perlahan. Darah yang mengalir dari lubang kedua mata
Saksi Mata tersebut seolah-olah berwarna lebih merah dari darah yang
biasa mengalir dalam tubuh manusia. Dan darah tersebut seolah
mengalahkan warna merah yang lain selain warna darah yang keluar
dari lubang kedua mata Saksi Mata.
Penggambaran warna darah dalam kutipan tersebut
digambarkan pengarang seolah-olah di ruang pengadilan tidak ada
warna merah lain yang dapat menggambarkan darah yang mengalir
dari lubang kedua mata tokoh Saksi Mata. Pengarang menggunakan
perumpamaan warna darah yang seolah-olah tidak ada warna merah
selain darah yang mengalir tersebut karena ingin menggambarkan
bahwa kejadian yang dialami oleh Saksi Mata terjadi begitu kejam dan
sadis. Penggambaran warna darah tersebut juga digambarkan
pengarang untuk memberikan penekanan dan penjelasan bahwa darah
yang mengalir dari kedua mata Saksi Mata itu menjadi saksi
kekejaman para penjahat yang dengan sadis tega mencongkel kedua
mata tokoh Saksi Mata tersebut.
Pada data no. 1 tersebut juga dapat menggambarkan unsur
intrinsik cerita berupa suasana yang mengerikan yang dialami oleh
tokoh Saksi Mata. Hal itu dibuktikan dengan kalimat “mengucur darah
yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari
merahnya darah” yang menggambarkan bahwa pada lubang kedua
matanya mengucur darah yang begitu deras. Hal itu juga dapat
32

menggambarkan bahwa kejadian pembantaian terjadi begitu kejam dan


sadis, tanpa memerdulikan satu sama lain.

(2) “Ruang pengadilan jadi riuh kembali. Seperti


dengungan seribu lebah.”(SM: 10)
(3) “Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti
di warung kopi.”(SM:10)

Data no. 2 menggambarkan tentang keadaan ruang persidangan


yang ramai dan riuh oleh suara para hadirin yang mendengarkan
kesaksian tokoh Saksi Mata di ruang pengadilan. Para hadirin menjadi
ramai dan bersuara ketika tokoh Saksi Mata mengungkapkan kejadian
yang dialaminya sampai kedua matanya hilang dan mengeluarkan
darah. Pada data no. 2, pengarang menganalogikan suara para hadirin
seperti dengungan seribu lebah yang mengaung-ngaung. Kegaduhan
yang terjadi di dalam ruang persidangan sangat ramai sekali sekali
sampa tidak jelas apa yang sedang para hadirin gaduhkan.
Data no. 3 yang masih menggambarkan keadaan yang sama di
ruang pengadilan. Para hadirin langsung berbicara sendiri satu sama
lain yang membuat suasana persidangan semakin panas. Hal itu karena
para hadirin telah mendengar kesaksian tokoh Saksi Mata yang
menurut para hadirin dan Pak Hakim tidak masuk akal. Pada data no. 3
lagi-lagi pengaranag menggambarkan keadaan ramai itu dengan
perumpamaan beberapa orang yang sedang bergunjing di warung kopi.
Pengarang menggunakan perumpamaan itu karena biasanya di warung
kopi terdapat beberapa orang yang sedang asyik mengobrol serta
mengumbar pembicaraan mengenai orang lain. Dari data no. 2 dan 3
tersebut kita dapat mengetahui keadaan yang terjadi di ruang
persidangan ketika tokoh Saksi Mata bersaksi untuk mencari keadilan.
Akan tetapi, para hadirin seolah tidak dapat menerima alasan dan cerita
dari tokoh Saksi Mata karena tidak masuk akal dan dianggap hanya
kebohongan belaka. Selanjutnya, pada data no. 2 dan 3 tersebut juga
33

dapat menggambarkan unsur intrinsik cerita berupa latar tempat dalam


cerita yakni di ruang pengadilan.

(4) “Darah masih menetes perlahan-lahan, tapi terus-


menerus dari lubang hitam bekas mata Saksi Mata
yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan.”
(SM: 11)

Data no. 4 menggambarkan tentang keadaan tokoh Saksi Mata


yang bersaksi di ruang persidangan dengan kondisi kedua matanya
hilang dan mengalir darah dari kedua mata tersebut. Saksi Mata
bersaksi di persidangan seorang diri tanpa ditemani siapapun. Dan ia
berdiri di tengah-tengah ruang persidangan dalam keadaan berdiri dan
tenpa bergerak sedikitpun. Saksi Mata itu bersaksi di ruang pengadilan
dengan berdiri dan diam tanpa menoleh yang diibaratkan seperti
patung yang disertai dengan keluarnya darah yang masih terus menetes
dari lubang kedua matanya. Saksi Mata dengan keadaan kedua
matanya yang hilang menjadi sebab pergerakannya tidak bebas atau
tidak leluasa bergerak, bahkan berjalan-jalan. Hal itu dikarenakan
tokoh Saksi Mata tidak mempunyai kedua matanya sehingga ia tidak
bisa melihat keadaan di sekelilingnya. Oleh karena itu, pengarang
menggambarkan keadaan Saksi Mata itu seperti patung yang diam
membisu tanpa gerak apapun.
Patung yang digunakan pengarang untuk menggambarkan
tokoh Saksi Mata pada dasarnya adalah sebuah benda mati yang
sengaja dibuat orang untuk dijadikan sebagai suatu pemandangan.
patung hanyalah benda mati yang tidak bisa bergerak karena hanya
digunakan sebagai hiasan dan keindahan. Pengarang menggunakan
perumpamaan patung itu karena tokoh Saksi Mata masih mampu
bersaksi walaupun dalam keadaan kedua matanya hilang, tetapi
pergerakannya terbatas.
34

Pada data no. 4 tersebut juga dapat menggambarkan unsur


intrinsik cerita yakni penokohan atau watak tokoh Saksi Mata. Hal itu
dibuktikan walaupun dengan keadaan yang dialaminya, ia masih berani
bersaksi di ruang pengadilan dalam keadaan diam dan berdiri seperti
patung. Hal ini ditunjukkan dengan kegigihan tokoh Saksi Mata yang
bersaksi di pengadilan walaupun ia sudah tidak memiliki kedua
matanya dan darah masih terus menetes dari lubang kedua matanya.

(5) “Saudara masih ingat bagaimana mereka menembak


dengan serabutan dan orang-orang tumbang seperti
pohon pisang ditebang?” (SM: 13)

Data no. 5 masih menggambarkan bagaimana Pak Hakim


sedang menginterogasi tokoh Saksi Mata atas kejadian yang
dialaminya. Saksi Mata itu bersaksi bahwa di dalam mimpinya orang-
orang ditembaki dengan silang-silang dari semua arah sehingga korban
langsung berjatuhan. Pengarang menggunakan perumpamaan seperti
pohon pisang yang ditebang karena para korban yang tertembak
seolah-olah langsung tumbang atau ambruk dan berjatuhan satu per
satu sehingga para korban dapat dikatakan langsung meninggal pada
saat itu juga. Pengarang juga menyamakan keadaan itu dengan
tumbangnya pohon pisang yang ditebang karena seolah-olah kejadian
penembakan itu dilakukan dengan sadis dan tanpa perikemanusiaan.
Oleh karena itu pengarang menyamakan kejadian itu dengan pohon
pisang yang ditebang.
Dari data no. 5 tersebut juga terdapat penggambaran latar
suasana mencekam dalam cerita yakni yang terdapat pada kalimat
“orang-orang tumbang seperti pohon pisang ditebang” yang
menggambarkan seolah-olah kejadian penembakan itu terjadi dengan
kejam dan sadis karena korban langsung berjatuhan satu per satu yang
diumpamakan seperti tumbangnya pohon pisang ketika ditebang.
35

(6) “Dewi kadang-kadang juga merasa telinga itu seperti


masih hidup, dan bergerak-gerak, bagaikan masih
mampu mendengar suara-suara di sekitarnya.” (SM:
18)
(7) “Telinga itu bagaikan antena yang mampu
menangkap pesan apa pun yang bertebaran di udara.”
(SM: 18)

Data no. 6 menggambarkan tentang seorang Dewi yang


memiliki kekasih yang ditugasi bekerja di medan perang untuk
mencari seseorang yang dianggap sebagai mata-mata musuh. Dewi
sering mendapat kiriman telinga dari kekasihnya sebagai kenang-
kenangan dari medan perang dan sebagai bukti ucapan rindu bahwa ia
sedang berjuang di tempat ia bekerja. Kiriman telinga itu berasal dari
telinga seseoran yang dicurigai sebgai mata-mata musuh.
Pada data no. 6 menggambarkan bahwa Dewi yang kadang
memandangi telinga kiriman dari kekasihnya itu melihat seolah-olah
telinga itu masih dapat bergerak, padahal telinga itu sudah terpotong
dari anggota badan lainnya. Akan tetapi, Dewi yang memandangi
telinga itu seolah-olah masih hidup dan dapat bergerak layaknya belum
terpotong dengan anggota badan lainnya. Tidak hanya itu, telinga yang
sudah tidak berfungsi itu bahkan seolah-olah juga masih dapat
mendengar dan menangkap pesan apapun yang ada di sekelilingnya.
Perumpamaan telinga yang masih hidup dan dapat mendengar itu
digambarkan pengarang karena telinga itu memang berasal dari telinga
seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh sehingga
pengarang menggambarkannya seperti masih hidup.
Begitu juga dengan data no. 7 yang masih menggambarkan
telinga yang dapat bergerak, dan bahkan pengarang menggunakan
perumpamaan bagaikan antena yang dapat menangkap sinyal
pembicaraan apapun yang ada di sekelilingnya. Pengarang
menggunakan perumpamaan antena karena antena memiliki fungsi
36

untuk menangkap sinyal apapun yang ada di sekelilingnya. Telinga


yang disamakan dengan antena dianggap oleh pengarang akan dapat
menangkap segala apa yang ada di sekelilingnya dari pembicaraan
orang lain. Dan dari data no. 6 dan 7 tersebut juga terdapat
penggambaran latar suasana aneh dan mengerikan dalam cerita karena
telinga yang sudah terpotong dan tidak berfungsi lagi digambarkan
seperti masih hidup dan mampu menangkap pesan apa pun yang ada di
sekitarnya.

(8) “Ketika kami sampai di luar kota, hari sudah senja.


Kuingat langit senja yang temaram kemerah-merahan
itu, bagaikan menenggelamkan kehidupan kami yang
sebelumnya selalu riang ke dalam kegelapan pekat
malam yang sesekali diterangi cahaya roket yang
ditembakkan untuk memusnahkan kami.” (SM: 25)

Data no. 8 menggambarkan keadaan Manuel yang


membayangkan senja sore itu seakan-akan mendatangkan semua
kesedihan dan penindasan yang telah dialaminya selama ini. Manuel
yang menjadi korban dalam tragedi penembakan itu menjadi teringat
kembali dengan masa lalunya yang begitu tragis. Senja yang kemerah-
merahan itu merupakan penggambran bahwa waktu menjelang malam
yang digambarkan pengarang seolah-olah seperti kehidupan Manuel
yang dahulu bahagia dan riang menjadi hilang.
Dan pada data no. 8 di atas, pengarang mengumpamakan senja
sore sebagai cerminan kehidupan masa lalu Manuel yang sangat tragis.
Senja yang tenggelam digambarkan pengarang seolah-olah langit yang
senja kemerah-merahan itu seperti dapat menghilangkan semua
kenangan indah bersama keluarganya sehingga yang muncul dalam
pikirannya adalah kenangan pahit masa lalu yang telah ia rasakan. Hal
itu diperkuat pula dalam data no. 8 tersebut bahwa masa lalu yang
37

dialami Manuel penuh dengan tembakan dari atas langit yang


dilancarkan untuk membunuh para korban.
Selanjutnya, pada data no. 8 tersebut juga dapat
menggambarkan suasana atau kondisi batin Manuel yang teringat
kejadian masa lalunya. Penggambaran langit senja yang kemerah-
merahan itu digambarkan pengarang seolah-olah dapat mengubah
suasana hati Manuel yang telah menghilangkan kenangan indah masa
lalunya. Akan tetapi dengan penggambaran langit itu justru
mengingatkan kembali semua ingatan Manuel akan kejadian masa
lalunya dan membuat hati manuel terasa sedih.

(9) “Kami, rombongan pengungsi yang beribu-ribu orang


itu, kacau balau bagaikan semut yang ketakutan.”
(SM: 25)

Data no. 9 menggambarkan tentang keadaan para warga yang


mendapat serangan penembakan dan penyerbuan. Pada data tersebut,
digambarkan bahwa ada beberapa rombongan warga yang sedang
mengungsi di suatu tempat, tetapi penyerbuan itu masih terus datang.
Dalam keadaan genting, rombongan pengungsi itu pun akhirnya
bingung mencari tempat yang aman untuk bersembunyi dari teror
serbuan musuh.
Rombongan pengungsi yang kebingungan itu digambarkan
pengarang seperti semut yang ketakutan. Perumpamaan itu digunakan
pengarang untuk menyatakan keadaan pengungsi pada waktu itu yang
kacau balau karena datangnya penyerbuan itu. Selain itu pula yang
disampaikan pengarang melalui perumpamaan semut yang ketakutan,
mengandung arti bahwa orang-orang pada waktu itu berlarian
berhamburan tak tentu arah. Pengarang menggunakan perumpamaan
“semut yang ketakutan” karena biasanya yang kita lihat adalah semut
berjalan dengan cepat dan berbeda arah. Hal itulah yang ingin
38

digunakan pengarang untuk menggambarkan kondisi para pengungsi


yang berhamburan ke sana ke mari tak tentu arah karena adanya
serangan penyerbuan terhadap para pengungsi. Dan pada data no. 9
tersebut juga menggambarkan suasana genting atau darurat karena
para rombongan pengungsi berlarian kacau balau tak tentu arah yang
diumpamakan seperti semut yang ketakutan.

(10) “Dihadapan Maria bersimpuh seorang pemuda, tapi


Maria tidak mengenalnya. Kepalanya penuh pitak
seperti hutan gundul, dengan cukuran yang tidak
teratur.” (SM: 35)
(11) “Evangelista memeluk Maria dari belakang.
Keduanya memandang lelaki itu bagaikan
memandang sesosok makhluk dari planet lain.” (SM:
37)

Data no. 10 menggambarkan tentang keadaan seorang Ibu


bernama Maria yang kehilangan anaknya, Antonio. Antonio menjadi
korban pembantaian dalam penyerbuan yang terjadi di tempatnya.
Maria berharap-harap Antonio segera kembali ke rumah dalam
keadaan sehat, tetapi yang terjadi adalah Antonio kembali ke rumah
dalam keadaan yang tidak dikenali.
Sebagaimana yang digambarkan pengarang dalam data no. 10
bahwa Antonio pulang ke rumah dalam keadaan kepala penuh pitak
seperti seorang yang habis disiksa. Maria pun sampai tidak dapat
mengenali bahwa yang datang adalah Antonio. Kepala Antonio yang
penuh pitak digambarkan pengarang dengan perumpamaan seperti
hutan gundul karena hutan yang gundul karena ditebang biasanya
masih terdapat sedkit pepohonan di sana sini. Sama halnya dengan
penggambaran rambut Antonio yang seperti hutan gundul karena
masih terdapat banyak pitak dari hasil potongan-potongan rambut yang
tidak teratur.
39

Data no. 11 masih menggambarkan tentang keluarga Maria


yang menunggu kedatangan Antonio untuk pulang ke rumah.
Evangelista, kakak Antonio juga terperanjat kaget ketika melihat
kedatangan Antonio yang berubah kondisi badannya. Evangelista dan
Maria tidak percaya bahwa yang datang itu adalah Antonio. Hal itu
pula yang membuat Evangelista langsung memeluk mamanya dari
belakang. Sebagaimana yang digambarkan pada data no. 11 bahwa
Evangelista langsung memeluk Maria dari belakang seolah-olah ia
kaget melihat keadaan sesosok pemuda yang berada di depannya.
Evangelista melihat Antonio seperti yang digambarkan pada data no.
11 bahwa Antonio seperti bukan manusia pada umumnya. Antonio
digambarkan pengarang dengan perumpamaan seperti makhluk yang
berasal dari planet luar bumi. Penggambaran itulah yang seolah-olah
membuat deskripsi bahwa Antonio mendapat perlakuan yang kejam
dan tragis atas pembantaian yang telah dialaminya.
Pada data no. 10 dan 11 tersebut juga dapat menggambarkan
suasana dalam cerita yakni suasana kaget dan aneh. Hal itu dapat
digambarkan melalui kedatangan Antonio tidak seperti apa yang
diharapkan oleh keluarga. Selain itu, kondisi Antonio yang disamakan
dengan hutan gundul dan Ibunya seperti memandang makhluk dari
planet lain.

(12) “Dari gurun terdengar bunyi seperti siulan yang


panjang dan angin berubah menjadi badai pasir yang
mengerikan.” (SM: 43)

Data no. 12 menggambarkan tentang keadaan ketika mayat


Salvador dibawa ke tempat keramaian. Mayat Salvador digiring ke
lapangan atau gerbang kota karena dianggap mencuri ayam. Salvador
diikat dan dibiarkan berdiri di gerbang kota dengan bertuliskan
“maling ayam”. Pada saat itu pula keadaan angin juga sangat kencang
40

yang membuat kondisi badan dan wajah Salvador menjadi kotor


karena debu.
Pada data no. 12 tersebut menggambarkan keadaan angin
ketika mayat Salvador berada di gerbang kota untuk ditawan. Angin
yang datang dari gurun itu terasa sangat kencang dan seolah terdengar
seperti bunyi siulan. Pengarang menggambarkan angin seperti bunyi
siulan yang panjang seolah-olah angin itu terasa sangat kencang dan
mengerikan yang membuat semua orang menjadi ketakutan. Bunyi
siulan panjang yang diumpamakan pengarang juga dapat menjadikan
angin berubah menjadi badai pasir yang terbang perlahan dan terus-
menerus, yang membuat suasana menjadi mencekam dan mengerikan.
Pada data no. 12 terebut tersebut juga dapat menggambarkan
latar suasana yang menegangkan. Hal itu dapat terlihat dari kondisi
angin yang datang dari gurun disertai badai pasir yang mengerikan
serta angin dari gunung yang menimbulkan bunyi-bunyian seperti
siulan yang membuat suasana terasa semakin tegang. Kondisi angin itu
yang mengiringi keberadaan mayat Salvador yang berada di tengah
gerbanag kota.

(13) “Apakah engkau mengira rosario ini seperti pil yang


bisa menyembuhkan masalahmu sehingga engkau
menelannya?” (SM: 48)
(14) “Dipandanginya foto rontgen perut Fernando.
Rosario itu melingkar seperti ular tidur.” (SM: 49)

Data no. 13 dan 14 menggambarkan tentang keadaan Fernando


yang menjadi korban pembantaian itu. Fernando terkena tembakan
yang dilancarkan oleh musuh. Ia pun merasa ada penyakit aneh yang
melanda dirinya selama 20 bulan. Dokter berusaha menggunakan
rontgen untuk mendetekdi penyakit yang ada dalam dirinya. Ternyata
peluru yang ditembakkkan ke Fernando masih mengapung dengan
bentuk melingkar di dalam perutnya. Tetapi Fernando masih bisa
41

bertahan hidup dengan keadaan peluru yang berada di dalam perutnya


selama 20 bulan. Hingga pada akhirnya Fernando pun tidak dapat
menceritakan hal yang terjadi selama 20 bulan yang lalu kepada dokter
yang menyembuhkannya.
Pada data no. 13 tersebut terdapat kata Rosario yang
merupakan gambaran seperti tasbih yang melingkar dengan bentuk
lonjong. Rosario itu digambarkan pengarang seperti sebuah pil atau
obat yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Pengarang
menggunakan perumpamaan Rosario itu seperti pil karena melihat
keadaan Fernando yang masih dapat bertahan hidup walaupun dengan
peluru yang ada di dalam perutnya. Sama halnya dengan orang yang
menelan pil atau obat ketika sakit. Maka penyakit itu akan dipastikan
dapat hilang. Sedangkan pada data no. 14, Fernando memandangi hasil
rontgen dan ia melihat bahwa Rosario yang selama 20 bulan di
perutnya itu berbentuk melingkar dan bulat. Pada data no. 14,
pengarang menggunakan perumpamaan seperti ular tidur karena
Rosario yang ada di dalam perut Fernando itu berbentuk bulat dan
melingkar yang terlihat hampir mirip dengan seekor ular yang sedang
tidur.
Dari data no. 13 dan 14 dapat menggambarkan kutipan
suasana kaget dan aneh karena melihat ada Rosario atau semacam
peluru di dalam perut Fernando. Apalagi dengan keadaan peluru yang
melingkar di perutnya yang diumpamakan seperti ular tidur.

(15) “Ia teringat ketika pertama kali Fernando datang


padanya. Fernando bagaikan muncul dari balik
malam di ruang praktiknya…” (SM: 48)
(16) “… dan berbicara seperti seorang pemain drama.”
(SM: 48)
(17) “Di matanya masih terbayang orang-orang roboh
seperti pohon pisang ditebang.” (SM: 50)
42

Data no.15 menggambarkan seorang Dokter muda yang


berusaha menyembuhkan penyakit Fernando dan sekaligus menjadi
penenang bagi Fernando. Dokter itu teringat mimpinya akan
kemunculan Fernando di ruang praktiknya yang meminta tolong untuk
diobati. Fernando seolah meminta tolong dengan berkata-kata kepada
dokter muda itu. Pengarang menggambarkan kemunculan Fernando
dalam mimpi dokter muda itu seperti seorang makhluk yang tiba-tiba
muncul dari balik malam di ruang kerja dokter itu. Fernando yang
datang dalam mimpi dokter itu seolah terlihat menyeramkan karena
datang secara tiba-tiba dan langsung meminta tolong kepada dokter
muda itu.
Selain itu, pada data no. 16 tersebut juga masih terdapat
perumpamaan lain yang digunakan pengarang yaitu kedatangan
Fernando yang diumpamakan seperti pemain drama. Pengarang
menggunakan perumpamaan berbicara seperti pemain drama karena
Fernando yang datang langsung berbicara dan meminta tolong atas apa
yang sedang dirasakannya. Fernando digambarkan pengarang seperti
sedang memainkan peran dengan berbicara sendiri seperti orang yang
kesakitan dan merintih meminta tolong.
Dari data no 15 dan 16 dapat menggambarkan suasana kaget
karena secara tiba-tiba Fernando muncul di balik malam lalu berbicara
sendiri seperti ingin meminta bantuan kepada orang lain, serta kalimat
kedua yang menggambarkan suasana mencekam karena Fernando
masih teringat akan kejadan masa lalunya.
Selanjutnya, data no. 17 yang juga masih menggambarkan
keadaan Fernando yang trauma akan kejadian yang menimpanya.
Fernando masih membayangkan bagaimana orang-orang berlarian
untuk menghindar dari kecaman musuh, tetapi tetap saja terkena
hantaman tembakan dari musuh. Orang-orang pun seketika itu pula
langsung berjatuhan di tempat.
43

Pada data no. 17 tersebut diperlihatkan bahwa orang-orang


yang terkena tembakan musuh langsug berjatuhan yang digambarkan
pengarang seperti pohon pisang sedang ditebang. Begitu sadisnya
penggambaran Seno tentang para korban yang seketika itu pula
langsung tewas di tempat. Seno menggunakan perumpamaan seperti
pohon pisang ditebang karena ia ingin menggambarkan bahwa
serangan yang dilakukan terhadap para korban terjadi begitu sadis
sehingga para korban itu langsung berjatuhan.

(18) “Kadang-kadang mayat yang berlubang-lubang


karena berondongan peluru itu mereka dudukkan
seperti orang hidup, dipasangi topi, dan diberi rokok
pada mulutnya ….” (SM: 70)

Data no. 18 menggambarkan kejadian ketika Guru Alfonso


mengajarkan sejarah kepada murid-muridnya. Ia teringat kejadian
mengerikan pada masa lalu. Guru Alfonso mencoba menceritakan
kejadian pembantaian yang memakan banyak korban. Dari data no. 17
tersebut dapat diketahui bahwa para korban yang telah tewas akibat
penembakan para serdadu itu seolah dipermainkan oleh para musuh.
Hal itu terlihat pada gambaran perumpamaan yang digunakan
pengarang yakni seperti orang hidup. Seno menggunakan
perumpamaan para korban yang telah tewas itu dengan orang yang
masih hidup karena ia ingin menunjukkan bahwa kekejaman para
serdadu tidak hanya pada penembakan saja, tetapi setelah penembakan
juga masih terjadi. Para serdadu dengan enaknya memperlakukan para
korban yang tewas seperti manusia masih hidup yakni dengan cara
didudukkan, memasangi topi dan diberi rokok pada mulutnya.
Pada data no. 18 tersebut Seno ingin menggambarkan bahwa
ketidakwajaran dan kekonyolan yang dilakukan oleh para serdadu
terhadap mayat yang sudah tewas itu tidak layak untuk dilakukan
44

karena sewajarnya para korban yang tewas karena penembakan oleh


para serdadu itu malah dipermainkan sendiri. Seno juga ingin
menunjukkan bahwa tidak ada rasa perikemanusiaan terhadap para
korban yang tewas oleh para serdadu itu.
Pada data no. 18 tersebut juga dapat menunjukkan latar suasana
dalam cerita, yakni suasana aneh karena para musuh yang telah
melakukan pembantaian masih memperlakukan mayat yang sudah
tidak bernyawa itu seperti manusia yang masih hidup dengan
memasangi topi dan diberi rokok pada mulutnya.

(19) “Begitulah, belakangan ini aku merasa seperti


punya musuh…” (SM: 79)
(20) perasaanku seperti orang berperang. Tapi aku tak
tahu siapa musuhku.” (SM: 79)

Data no. 19 menyatakan tentang keadaan seseorang yang


sedang gundah gulana memikirkan tentang kejadian masa lalu yang
dialaminya. Kejadian yang dialaminya itu bagaikan seperti tidak
pernah terjadi. Si tokoh ingin mencoba melepaskan semua
pemikirannya tentang kejadian pembantaian yang menimpanya. Pada
data no. 19 dan 20 tersebut tokoh Aku merasa bahwa dirinya merasa
tidak nyaman dan tidak tenang. Pengarang menggambarkan tokoh Aku
dengan perumpamaan seperti punya musuh dan menggambarkan
perasaannya dengan perumpamaan seperti orang berperang. Hal yang
ingin diungkapkan pengarang dengan perumpamaan tersebut adalah
untuk menggambarkan kondisi batin tokoh Aku yang gelisah dan
berkecamuk tidak karuan. Perumpamaan seperti punya musuh
menggambarkan seolah-olah tokoh Aku memang sedang dihantui
perasaan takut karena diteror oleh musuh yang merupakan para
serdadu. Dan perumpamaan seperti orang berperang juga
45

menggambarkan seolah-olah perasaan tokoh Aku memang sedang


mencekam dan gelisah atas apa yang telah dialaminya.

(21) “Aku bagaikan roh tanpa tubuh, gentayangan


seperti setan, gelisah oleh pikiran-pikiran tak
tertuliskan.” (SM: 79)

Pada data no. 21 juga masih menggambarkan tentang kondisi


batin tokoh Aku yang masih trauma dan terkukung dalam
ketidakmungkinan atas yang dialaminya dengan kejadia pembantaian
masa lalu. Tokoh Aku digambarkan pengarang dengan perumpamaan
roh tanpa tubuh, yang jika roh tersebut sudah terpisah dari badan, maka
berakhirlah kehidupan seseorang. Jadi perumpamaan gambaran
perasaan dan kondisi batin tokoh Aku adalah hampa tanpa suatu
apapun yang ada dalam jiwa dan pikirannya.
Perasaan itu juga digambarkan pengarang dengan
perumpamaan seperti setan yang gentayangan. Perumpamaan seperti
setan itu karena kondisi batin tokoh Aku yang gentayangan dan tidak
tentu seperti apa. Gentayangan yang dimaksud adalah pikirannya
selalu gelisah dan dihantui oleh hal-hal tentang tragedi pembantaian.
Pada data no 19, 20, 21 tersebut dapat menggambarkan watak
tokoh Aku yang mengalami konflik batin atau kegelisahan yang tidak
karuan akibat kejadian yang telah dialaminya. Si tokoh juga merasa
dirinya tidak tenang dan gelisah yang masih menghantui jiwanya. Hal
itu terlihat dari data tersebut yang digambarkan seolah-olah tokoh aku
seperti punya musuh, seperti berperang, dan bagaikan roh tanpa tubuh
yang gentayangan seperti setan.

(22) “Lorong itu makin lama makin lebar, seperti sebuah


gua raksasa, semakin jauh lorong itu semakin banyak
46

bercabang dan berkelok-kelok membingungkan


bagaikan sebuah labirin.” (SM:82)

Data no. 22 menggambarkan tentang keadaan jiwa tokoh Aku


yang masih dalam kondisi tidak karuan. Pada data no. 22, pengarang
menggambarkan keadaan tersebut dengan perumpamaan lorong yang
seperti gua raksasa. Lorong merupakan jalan kecil yang biasanya
terdapat rumah atau bangunan di kanan-kirinya. Perasaan tokoh Aku
diumpamakan pengarang seperti gua raksasa yang terlihat sangat
besar dan panjang. Penggambaran lorong yang panjang seperti
raksasa karena sesuai dengan kondisi batin tokoh Aku yang seolah dia
tidak menemukan titik terang terhadap permasalahn yang ia hadapi.
Hal itu juga diperkuat dengan perumpamaan selanjutnya yakni
bagaikan sebuah labirin yang mengandung arti sebuah tempat yang
penuh dengan jalan dan lorong yang berliku-liku, atau bisa juga
diartikan simpang siur. Kondisi batin tokoh Aku juga digambarkan
seperti sebuah yang labirin yang berbelok-belok dan penuh dengan
hambatan lika-liku. Kondisi batin tokoh Aku bisa juga dikaitkan
dengan pengertian mendasar labirin yakni simpang siur, tidak jelas
apa yang difikirkan.

(23) “Kota itu akan melesak, hilang, bagaikan tak


pernah ada. Bahkan para arkeolog pun belum tentu
akan pernah menemukannya kembali.” (SM: 83)
(24) “Gedung-gedung bertingkat melesak, miring, dan
akhirnya ambrol melayang ke bawah seperti kardus,
dan entah bagaimana lagi kepanikan di dalamnya.”
(SM: 84)
(25) Jalan tol tertekuk-tekuk, patung-patung besar hancur
seperti keramik.” (SM: 84)

Selanjutnya, data no. 23 menggambarkan tentang keadaan


penembakan yang terjadi dalam pembantaian masa lalu. Semua yang
ada di kawasan yang menjadi pembantaian itu musnah tanpa sisa, tak
47

terkecuali sebuah kota di Dili. Pada data no. 23 digambarkan bahwa


kota yang dimaksud adalah rumah-rumah atau semua yang ada di kota
Dili yang berada di kawasan Timor-Timor pun ikut hancur diserang
oleh para serdadu. Hal tersebut digambarkan pengarang dengan
menggunakan perumpamaan bagaikan tak pernah ada yang
menyatakan bahwa seolah-olah pembantaian yang menghancurkan
rumah-rumah itu terjadi dengan kejam karena terlihat bahwa kota itu
hancur lebur tanpa sisa. Kota yang digambarkan pengarang „melesak‟
dan „hilang‟ tersebut seolah-olah seperti benda yang mudah hancur
dan tidak akan ada lagi.
Begiu juga dengan data no. 24 yang masih menggambarkan
tentang keadaan pembantaian yang memusnahkan bangunan-
bangunan dan gedung-gedung bertingkat. Gedung-gedung bertingkat
digambarkan pengarang seperti benda yang mudah hancur yang dapat
melesak, miring, dan ambrol ke bawah. Pada data no. 22 pengarang
menggunakan perumpamaan kardus untuk menggambarkan kondisi
gedung-gedung bertingkat yang hancur lebur tanpa sisa. Pengarang
menggunakan perumpamaan kardus karena kardus adalah benda yang
berasal dari kertas karton yang mudah hancur dan melesak.
Selain itu juga, pada data no. 25 terdapat perumpamaan seperti
keramik yang digunakan untuk mengambarkan jalan tol dan patung-
patung besar. Jalan tol dan patung-patung besar yang merupakan
sebuah benda utuh yang dibuat oleh manusia seolah-olah dapa dengan
mudah hancur lebur berkeping-keping. Sedangkan keramik yang
menjadi perumpamaan hancurnya jalan tol dan patung merupakan
kepingan-kepingan dari tanah liat yang diolah sedemikian rupa seolah
dapat menggambarkan kondisi jalan tol dan patung-patung besar yang
ikut hancur berkeping-keping.
Pada data no. 22-25 dapat menggambarkan latar cerita yakni
kota dan gedung-gedung yang rusak dan ambrol seperti gketika terjadi
48

gempa. Seluruh kota dan gedung-gedung hancur akibat pembantaian


dan pemboman yang dilakukan para serdadu.

(26) “Setahun lamanya ia dirawat. Rasanya bosan sekali.


Kini bekas luka di pelipis kanannya bagaikan bintang
tanda jasa yang bersinar-sinar.” (SM:90)

Data no. 26 menggambarkan tentang seorang Jenderal yang


sedang bersantai di kolam renang rumahnya sambil mengenang masa
lalunya yang penuh darah. Di pelipis kanannya, terdapat bekas luka
akibat pembantaian yang ia lakukan terhadap para korban. Luka di
pelipis kanannya digambarkan pengarang dengan perumpamaan
bintang tanda jasa yang bersinar. Bintang tanda jasa yang bersinar itu
seolah menjadi pertanda bahwa Jenderal itu telah melaksanakan
tugasnya dengan baik di medan perang. Bintang tanda jasa itu
merupakan gambaran kebanggaan Jenderal karena ia juga mengalami
penembakan di pelipis kanannya. Perumpamaan bintang tanda jasa
yang digunakan pengarang dapat menggambarkan bahwa Jenderal
tersebut bangga dengan profesinya sebagai pasukan perang.

(27) “Ia melompat ke kolam renang bagai mencoba


mendinginkan hatinya yang panas. (SM: 91)
(28) Ia berenang bolak-balik seperti ikan, kadang-kadang
menyelam, ia ingin mengenyahkan segala soal yang
telah mengganggu ketenangannya.” (SM: 91)
(29) “Mendung menggumpal dan segera saja hujan
menitik, mula-mula gerimis, tapi dengan cepat
bagaikan ditumpahkan dari langit.” (SM: 92)

Data no. 27 menggambarkan tentang Jenderal yang masih


mencoba melupakan kejadian yang telah ia lakukan saat pembantaian.
Jenderal itu berusaha menghilangkan kejadian masa lalu dalam
fikirannya dengan cara menyebur ke dalam kolam renang. Hal itu ia
49

lakukan karena ia ingin menghilangkan semua kenangan pahit masa


lalu yang dialaminya selama menjadi tentara di medan perang.
Pengarang menggunakan perumpamaan Jenderal itu berenang karena
dengan berenang seolah-olah dapat mendinginkan kepala dan hati
sang Jenderal yang sedang gundah gulana memikirkan pekerjaan yang
telah ia lakukan di masa lalu.
Selanjutnya pada data no. 28 Jenderal itu berenang dengan suka
hati dan bolak-balik yang diumpamakan seperti ikan. Ikan yang
berada di dalam air akan timbul tenggelam (kadang menyelam,
kadang ke permukaan), begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh
Jenderal tersebut. Jenderal melakukan hal itu karena ingin
menghilangkan semua ingatan tentang tragedi pembantaian yang telah
ia lakukan.
Sementara itu, pada data no. 29 menggambarkan tentang
keadaan alam ketika Jenderal sedang asyik menikmati aksinya
bernang di dalam kolam renang. Ia tetap menyelam dan tidak perduli
walaupun mendung berubah menjadi kelabu. Seketika itu pula hujan
turun dengan cepat yang diibaratkan oleh pengarang seperti seolah
ditumpahkan dari langit. Pengambaran hujan yang turun seolah
ditumpahkan dari langit adalah penggambaran hujan yang turun
dengan deras dan mengiringi Jenderal yang sedang asyik berenang di
kolam.
Pada data no 26-29 tersebut menunjukkan watak Jenderal yang
bangga atas profesinya sebagai seorang tentara yang menembaki para
serdadu di medan perang. Walaupun ia juga terkena tembakan di
pelipis kanannya, tetapi ia tetap bangga karena telah melakukan
pekerjaannya dengan baik.selain itu watak yang dapat muncul adalah
tidak merasa bersalah karena ia telah melakukan pembantaian. hal itu
dibuktikan dengan Jenderal itu yang berusaha mendinginkan
pikirannya dengan cara bernang.
50

(30) “air matanya menitik seperti hujan membanjiri


selokan dan kanal-kanal….” (SM: 96)
(31) “Kabut pagi itu yang mendekapku dalam dingin
yang mengeluarkan bisikan seperti rintihan
berkepanjangan.” (SM: 96)
(32) “Serulingku terus berbunyi seperti dengungan
mimpi abad-abad yang lewat dan akan datang seperti
dirimu yang kukira tersembunyi di balik debur ombak
itu….” (SM:99-100)

Data no. 30, 31, dan 32 menggambarkan tentang keadaan jiwa


seseorang yang sedang dilanda kesunyian karena ditinggal oleh
beberapa Saudaranya. Ibu dan saudaranya ikut menjadi korban
pembantaian tersebut, sehingga si tokoh menjadi sebatang kara. Pada
data no. 30 mengandung arti bahwa si tokoh sedang menangis karena
mengingat kejadian pembantaian yang merenggut nyawa Ibu dan
Saudaranya. Tangisan si tokoh diumpamakan seperti hujan yang turun
dengan deras. Perumpamaan itu dapat menggambarkan bahwa kondisi
batin si tokoh benar-benar sedang terguncang.
Data no. 31 menggambarkan bahwa kejadian yang dialami oleh
si tokoh membuatnya merasa seolah kabut pagi pun ikut merasakan
kesedihannya. Kabut pagi yang mengiringi aktivitas si tokoh, seolah
mengeluarkan suara-suara rintihan yang menjawab kecemasan tokoh
atas kejadian pembantaian masa lalu. Pengarang menggunakan
perumpamaan bahwa kabut pagi seolah mengeluarkan rintihan yang
berkepanjangan karena ingin menggambarkan bahwa kondisi alam
pun ikut menjadi saksi atas tragedi pembantaian masa lalu.
Selanjutnya, data no. 32 yang masih menggambarkan tentang
kondisi si tokoh yang sedang membayangkan bahwa serulingnya terus
berbunyi dan mengingatkan si tokoh tentang kejadian pembantaian.
Seruling yang digunakan pengarang dalam perumpamaan tersebut
adalah fikiran atau kondisi batin si tokoh yang terus teringat akan
kejadian masa lalu. Fikiran dan kondisi batin yang sedng hampa atau
mengalami kesunyian karena ditiinggal oleh orang-orang yang
51

dicintainya. Pengarang juga menggambarkan hal itu dengan


dengungan mimpi abad-abad yang lewat, yang mengandung makna
tragedi kekejaman yang terjadi dalam pembantaian. Dengungan
mimpi yang dimaksud pengarang adalah kejadian pembantaian yang
mencekam pada masa lalu.
Pada data no. 30-32 tersebut dapat menggambarkan suasana
hati si tokoh yang digambarkan melalui seruling yang ditiup oleh si
tokoh tersebut. Si tokoh memang mengalami pergulatan batin tentang
kejadian masa lalu yang ia alami. Dan ia merasakan kesunyian atau
kehampaan dalam hatinya karena ia ditinggal oleh saudaranya.

(33) “Sudah dua minggu aku menunggumu di tempat


ini, Salazar, hanya menunggumu, sampai hafal getar
suara genta yang berkeloneng penuh wibawa, bagai
menggaungkan kembali zaman saat genta itu pertama
kali berbunyi.” (SM:104)

Data no. 33 menggambarkan tentang si tokoh yang menunggu


saudaranya, Salazar, agar kembali bersamanya. Si tokoh sangat
berharap Salazar cepat kembali dan dapat hidup bersama-sama. Pada
data no. 33 disebutkan bahwa begitu lamanya si tokoh menunggu
kedatangan Salazar untuk kembali bersamanya sampai ia hafal bunyi
lonceng yang terus berkeloneng. Pengarang menggunakan
perumpamaan suara lonceng itu dengan kilas balik masa lalu yang
dialami oleh kedua tokoh tersebut. Lonceng yang digambarkan
pengarang seolah dapat mengingatkan kembali masa lalu yang penuh
dengan darah dan air mata. Tragedi pembantaian yang menyebabkan
si tokoh kehilangan Salazar seolah menjadi tekanan batin tersendiri
bagi si tokoh karena keinginannya untuk segera bertemu dengan
Salazar.
Pada data no. 33 tersebut dapat menggambarkan suasana hati si
tokoh yang ditinggal oleh saudaranya akibat kejadian pembantaiann.
52

Hal itu ditambah dengan penggambaran bunyi lonceng yang


berkeloneng yang seolah-olah dapat mewakili kondisi batin si tokoh
karena ia merindukan saudaranya untuk segera kembali bersamanya.

(34) “ Apalagi jika kematian, maut itu, begitu dekat


seperti udara yang kita hirup setiap hari”. (SM: 109)

Data no. 34 menggambarkan tentang kisah seorang suster yang


menjadi perawat anak-anak korban kekerasan yang tidak memiliki
keluarga, salah satunya adalah Junior. Suster Tania sangat prihatin
melihat kondisi Junior yang hidup sebatang kara. Suster Tania tidak
habis pikir bahwa kematian seolah menjadi kebutuhan setiap hari yang
terus memakan korban. Suster Tania menjadi seorang perawat yang
mempunyai jiwa besar untuk merawat anak-anak korban pembantaian
yang sudah tidak memiliki keluarga.
Pada data no. 34 tersebut kematian diungkapkan sebagai
sebuah hal yang begitu dekat dengan kehidupan manusia. Pengarang
menggunakan perumpamaan kematian dalam data no. 34 tersebut
dengan udara yang pada dasarnya dibutuhkan oleh semua makhluk
hidup dan dihirup setiap hari. Kematian yang diungkapkan pengarang
tersebut seolah-olah menjadi kebutuhan pokok makhluk hidup yang
harus dipenuhi.

(35) “Agaknya bagi mereka, kematian itu seperti piknik,


seperti perjalanan menuju ke suatu tempat yang
menyenangkan.” (SM: 110)
(36) “Suster Tania tidak menjawab. Junior begitu cepat
menjadi dewasa, tubuhnya tegap seperti petinju dan
kalau berlari ia bisa mengalahkan kecepatan lari
seekor kuda.” (SM: 111)
(37) “Waktu Suster Tania memperkenalkan Junior
kepadanya, Junior sampai ternganga seperti
menyaksikan bidadari dari surga.” (SM: 114)
53

Pada data no. 35 masih mengungkapkan tentang kematian yang


terjadi begitu cepat. Kematian yang digambarkan pengarang pada data
no. 35 seolah seperti permainan yang sering terjadi dan sering juga
dilakukan. Kematian yang pada dasarnya adalah sebuah hal buruk atau
musibah yang menimpa seseorang dan tidak disenangi oleh semua
orang dapat digambarkan pengarang dengan begitu indah yakni dengan
perumpamaan seperti piknik dan seperti perjalanan menuju ke suatu
tempat yang menyenangkan. Kedua perumpamaan tersebut justru
bertolak belakang dengan asumsi seseorang terhadap kematian.
Perumpamaan kematian dengan dua hal tersebut seolah dapat
menghilangkan asumsi seseorang yang pada awalnya kematian itu
merupakan hal buruk menjadi sebuah hal yang menyenangkan.
Data no. 36 menggambarkan tentang sosok Suster Tania yang
ingin merawat Junior dengan sepenuh hati. Suster Tania melihat
perkembangan Junior yang terlihat begitu pesat. Junior yang sangat
aktif ketika masih bayi dan sekarang terlihat begitu kuat dan tumbuh
dengan sehat. Perkembangan Junior itu digambarkan pengarang seperti
petinju yang memiliki tubuh besar dan tegap. Perumpamaan tersebut
digunakan karena Junior juga sudah mulai tumbuh dewasa dan bisa
berlari dengan kencang.
Data no. 37 masih menggambarkan tentang Suster Tania yang
sedang bersama Junior. Suster Tania mendatangkan keponakannya yang
seorang artis penyanyi dari Jakarta. Keponakannya itu seumuran
dengan Junior. Kedatangan keponakan Suster Tania itu diumpamakan
pengarang seperti bidadari dari surga yang membuat Junior terperanga
melihat kecantikan dan keanggunannya. Pengarang menggunakan
perumpamaan itu karena melihat kondisi manusia yang menjadi korban
pembantaian di Timor-timor sangat memprihatinkan. Pengarang ingin
membandingkan keadaan manusia di Timor-timor dengan keadaan
keponakan Suster Tania yang berasal dari Jakarta.
54

Pada data no. 34-35 dapat menggambarkan latar suasana yang


aneh karena penggambaran kematian yang merupakan sebuah hal yang
ditakuti justru dijadikan sebagai sebuah perjalanan yang
menyenangkan, yang diumpamakan seperti piknik atau refreshing.
Selanjutnya, data no 36-37 menggambarkan watak Junior yang semakin
dewasa dan mengerti. Hal itu dibuktikan ketika Junior melihat
keangunan Sudara suster Tania yang datang dari Jakarta.

(38) “Kepala itu menghadap ke pintu, matanya terbuka,


seperti siap menatap siapapun yang keluar dari dalam
rumah.” (SM: 117)

Data no. 38 menggambarkan tentang keadaan di rumah Da


Silva. Di pagar rumah Da Silva tertancap potongan kepala seorang
perempuan yaitu Rosalina. Rosalina menjadi korban balas dendam atas
apa yang telah ayahnya perbuat sebagai seorang musuh. Seharusnya
bukan Rosalina yang menjadi pelampiasan pembalasan dendam atas
perbuatan ayahnya karena Rosalina tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya. Potongan kepala itu seolah masih dapat hidup dan
bernyawa seperti ketika masih menyatu dengan anggota tubuh lainnya.
Dalam data no. 38 tersebut, pengarang menggambarkan
keadaan potongan kepala yang tertancap di pagar Da Silva seperti
masih dapat melihat keadaan sekitar. Hal itu diumpamakan pengarang
dengan kata “seperti siap menatap siapapun” yang mengandung arti
seolah-olah mata yang terdapat dalam potongan kepala yang selayaknya
sudah tidak bernyawa itu masih dapat hidup layaknya ketika sebelum
terpotong dengan anggota tubuh lainnya.
Dan pada data tersebut juga dijelaskan bahwa pandangan mata
pada potongan kepala tersebut melihat ke arah rumah Da Silva. Hal itu
digunakan pengarang untuk menggambarkan bahwa potongan kepala
55

itu untuk memberi tanda kepada semua yang ada di dalam rumah Da
Silva kalau potongan kepala itu adalah kepala Rosalina.

(39) “Rembulan yang purnama, malam yang sungguh-


sungguh indah, bahkan bunga wijayakusuma itu
mekar dengan begitu cepat seperti ikut
merayakannya.” (SM: 117)

Data no. 39 menggambarkan tentang suasana di sekitar rumah


Da Silva yang terdapat potongan kepala Rosalina. Pengarang
menggambarkan suasana malam hari di rumah Da Silva. Pengarang
menggunakan perumpamaan “seperti ikut merayakannya” untuk
menggambarkan bahwa suasana di sekitar rumah Da Silva juga seolah
menjadi saksi adanya potongan kepala yang tertancap di pagar rumah
Da Silva.
Pengarang menggambarkan suasana alam seperti bulan
purnama dan bunga wijaya yang ada di sekitar rumah ikut merasakan
keberadaan potongan kepala Rosalina yang seperti meminta
pertolongan. Hal itu digambarkan pengarang untuk memberikan efek
suasana mencekam dan merinding ketika melihat kejadian itu.

(40) “Lantas, malam menjadi begitu sunyi dan begitu


senyap. Hanya angin mendesis-desis, seperti
membawa kabar buruk dari benua yang jauh.” (SM:
119)

Data no. 40 juga masih menggambarkan suasan malam yang


terjadi di rumah Da Silva karena terdapat potongan kepala Rosalina di
pagar rumahnya. Pengarang menggambarkan keadaan alam pada malam
hari itu dengan adanya angin yang mendesis dan ditambah dengan
kondisi sekitar yang sepi. Keadaan itu menambah suasana mencekam di
sekitar rumah Da Silva.
56

Selanjutnya, pada data no. 40 tersebut pengarang menggunakan


perumpamaan dengan kata “seperti membawa kabar buruk dari benua
yang jauh” mengandung arti bahwa keadaan alam yang sepi dan diikuti
suara angin yang mendesis itu mengingatkan bahwa potongan kepala
Rosalina yang tertancap di pagar rumah Da Silva itu memberi
peringatan kepada Da Silva untuk tidak sembarangan melakukan
pembantaian kepada orang lain. Kabar buruk yang dimaksud adalah
bahwa potongan kepala yang tertancap di pagar rumah Da Silva
tersebut adalah kepala Rosalina, anaknya. Rosalina menjadi korban
akibat ulah ayahnya semasa melakukan pembantaian.

(41) “Matanya terbuka, seperti berkata-kata.” (SM: 119)

Data no. 41 menggambarkan tentang keadaan mata di potongan


kepala Rosalina yang tertancap di pagar rumah Da Silva. Pada dasarnya
potongan kepala itu sudah menjadi benda mati yang tidak bernyawa
lagi, tetapi pada data no. 41 tersebut seolah benda yang tidak bernyawa
itu masih dapat bernyawa seperti manusia biasa. Hal itu ditunjukkan
pengarang dengan kalimat “matanya terbuka, seperti berkata-kata”
seolah menunjukkan bahwa mata itu masih memiliki nyawa untuk
melihat keadaan sekitar.
Perumpamaan kata “seperti berkata-kata” yang digunakan
pengarang mengandung arti bahwa lirikan dan gerak-gerik mata pada
potongan kepala Rosalina itu penuh arti. Sorotan mata itu seolah dapat
mengetahui bahwa ada yang sedang melihat potongan kepala itu dari
dalam rumah Da Silva. Dengan penggambaran sorotan mata yang
seperti masih hidup itu, pengarang ingin menyampaikan bahwa
Rosalina menjadi korban balas dendam atas perbuatan ayahnya.
57

(42) “Kepala itu tertancap dengan baik, seperti


dilesakkan oleh tangan yang kuat di tombak pagar
yang tidak terlalu tajam itu sehingga barangkali tidak
akan terlalu mudah juga mencabutnya kembali.” (SM:
120)
Data no. 42 juga masih tentang kepala yang tertancap di pagar
rumah Da Silva. Pada data no. 42 tersebut dijelaskan bahwa potongan
kepala yang tertancap di pagar rumah itu seperti tertancap dengan kuat
dan melesak ke dalam. Pengarang menggunakan perumpamaan kata
“seperti dilesakkan oleh tangan yang kuat” mengandung arti bahwa
potongan kepala itu seperti sengaja dilesakkan dalam-dalam oleh para
serdadu dengan kuat agar tidak bisa dilepas.

(43) “Mata dari kepala yang tertancap di pagar itu masih


menatap ke arah rumah dengan pancaran yang hidup
seperti mendengar seseorang memanggil-manggil
namanya.” (SM: 121)

Data no. 43 juga menggambarkan tentang sorotan mata di


potongan kepala itu yang seolah dapat melihat orang di dalam rumah.
Maksud dari data no. 43 adalah potongan kepala itu dapat mengetahui
kedatangan Da Silva yang belum mengetahui bahwa ada potongan
kepala Rosalina di pagar rumahnya. Dan Da Silva memanggil-manggil
Rosalina yang kepalanya sudah tertancap di pagar rumah. Hal itu
dibuktikan dengan perumpamaan yang digunakan pengarang pada
kalimat “seperti mendengar seseorang memanggil-manggil namanya”.
Kutipan tersebut mengandung arti bahwa sorotan mata dari potongan
kepala Rosalina seolah dapat mengetahui bahwa yang memanggil
adalah Da Silva, ayahnya.

(44) “Matanya tetap saja terbuka. Setiap kali kilat


menerangi bumi, seperti ada cahaya meluncur dari
mata itu, seperti ingin bercerita.” (SM: 122)
58

Data no. 44 menggambarkan klimaks dari kondisi kepala yang


tertancap di pagar rumah Da Silva bahwa sorotan mata di potongan
kepala itu seperti tidak sabar dan ingin terlepas dari pagar rumah itu.
Hal itu ditunjukkan pengarang dengan perumpamaan seperti yang
terdapat pada kalimat “seperti ada cahaya meluncur dari mata itu,
seperti ingin bercerita” yang mengandung arti bahwa sorotan mata
Rosalina pada potongan kepala yang tertancap di pagar itu seperti
penuh makna. Matanya seperti masih hidup dan ingin
mengungkapkan apa yang telah dialaminya karena ulah ayahnya.

Pada kalimat “seperti ada cahaya yang meluncur dari mata itu”
mengandung arti bahwa pada sorotan mata itu masih ada harapan dan
pencerahan untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan sekarang. Dan
selanjutnya pada kalimat “seperti ingin bercerita” mengandung arti
bahwa sorotan mata Rosalina memang penuh arti dan seolah seperti
sorotan mata orang yang sedang ingin bercerita kepada orang lain
tentang apa yang dirasakannya saat ini.

Data no. 38-44 dapat menggambarkan suasana menegangkan


dan mencekam yang didukung karena keberadaan sepotong kepala
Rosalina di pagar rumah Da Silva. Hal itu juga dibuktikan dengan
keadan alam seperti rembulan dan bunga yang seolah ikut merasakan
keberadaan potongan kepala itu. Potongan kepala di pagar rumah Da
Silva itu sebagai pembalasan atas apa yang telah dilakukan oleh Da
Silva selama melakukan pembantaian. Potongan kepala itu sengaja
dilesakkan dengan kuat di pagar rumah Da Silva agar Da Silva
mengetahui bahwa anaknya juga menjadi korban atas kekejaman yang
dilakukan Da Silva. Dan dari data no. 38 – 44 dapat dipaparkan
bahwa pengarang ingin menyampaikan bahwa apapun yang dilakukan
oleh seseorang akan mendapatkan balasan pula. Dan ketika
mendapatkan balasan dari apa yang telah kita lakukan, hendaknya kita
59

dapat menerima dengan lapang dada balasan yang datang kepada kita
itu.

(45) “Adelino tak tahu bagaimana ia harus menerangkan


kepada ibunya betapa suara air sungai gemericik itu
terdengar seolah-olah seperti bisikan, seperti kata-
kata meski tak pernah jelas benar menjadi kalimat
apa, tapi yang diyakini Adelino sebagai segala sesuatu
yang serba menyenangkan.” (SM: 128)

Data no. 45 menggambarkan tentang Adelino yang suka pergi


ke sungai untuk sekedar menyaksikan suara gemericik air dan melihat
keindahan bebatuan di atas bukit. Adelino sendiri tidak tahu dengan
kebiasaannya yang suka ke sungai. Ia hanya bisa menikmati
keindahan dan kesejukan sungai-sungai dengan bebatuan yang indah.
Pada data tersebut, pengarang menggambarkan suasana air di
sungai itu dengan menggunakan perumpamaan “seperti bisikan dan
seperti kata-kata meski tak pernah jelas benar menjadi kalimat apa”
yang mengandung arti bahwa suara gemericik air itu dirasakan oleh
Adelino seperti bisikan yang berisik tetapi terus-menerus terdengar
bunyinya. Bisikan itu juga dijelaskan seperti kata-kata yang tidak
terdengar jelas apa maksudnya, tetapi terus ada dan terdengar.
Adelino pun tidak terlalu memikirkan suara-suara itu asalkan ia
merasa senang melihat pemandangan sungai dan suara gemericik air
itu. Pengarang menggunakan perumpamaan ini karena ingin
menggambarkan suasana batin Adelino yang sedang bingung karena
memikirkan nasib masyarakat dan kondisi sosial yang sedang
mengalami penindasan.

(46) “Suara-suara itu seperti gelombang yang lewat,


lantas sepi lagi, tapi tegangan yang ditinggalkannya
benar-benar mencekam.” (SM: 129)
(47) “Kadang-kadang terdengar bunyi alat untuk
memberi perintah itu dari bilik dinding kayu seperti
60

suara-suara mendesis dan berisik sekali bunyinya.”


(SM: 130)

Data no. 46 juga masih menggammbarkan tentang Adelino


yang masih terbayang dengan kejadian pembantaian. Adelino sering
mendengar suara-suara yang sangat mengganggu batinnya selama
beberapa bulan. Hal itu ditunjukkan pada kalimat “suara-suara itu
seperti gelombanag yang lewat, lantas sepi lagi, tapi tegangan yang
ditinggalkannya benar-benar mencekam”. Suara-suara yang dimaksud
dalam data tersebut adalah suara-suara yang berasal dari kejadian
pembantaian. Suara-suara itu dapat berupa suara kaki para serdadu
yang ingin melakukan aksinya, suara tembakan, suara jeritan minta
tolong dari para korban penembakan, suara orang menangis dan
ketakutan, dan suara-suara lain yang mewakili kondisi penembakan
pada masa itu. Pengarang menggunakan perumpamaan itu juga untuk
menimbulkan suasana mencekam yang dirasakan oleh Adelino ketika
mendengar kejadian itu.
Selanjutnya, pada data no. 47 juga masih menggambarkan
tentang kondisi Adelino yang mendengarkan suara-suara para serdadu
melakukan pembantaian. tetapi, tidak hanya suara-suara penembakan
dan jeritan minta tolong saja yang terdengar, melainkan suara
seseorang yang memberikan komando dan perintah untuk
melaksanakan tugasnya. Hal itu ditunjukkan pada kalimat “kadang-
kadang terdengar bunyi alat untuk memberi perintah itu dari bilik
dinding kayu seperti suara-suara mendesis dan berisik sekali
bunyinya”. Suara-suara mendesis yang dimaksud adalah suara-suara
komando dan penanda kepada para serdadu untuk melakukan aksinya.
Pada data no. 45-47 dapat menggambarkan suasana batin
Adelino yang mendengar suara-suara berisik akibat kejadian
pembantaian. Adelino juga merasakan ada suara bunyi-bunyian alat
untuk memberi perintah yang digambarkan seolah-olah ramai, berisik,
61

dan gaduh. Alat tersebut untuk memberi komando terhadap para


serdadu dalam melaksanakan aksinya.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia


Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu. Bahasa juga
sebagai alat komunikasi sehari-hari antara sesama, baik laki-laki,
perempuan, tua, muda, kaya, miskin, semuanya menggunakan bahasa
sebagai identitas dirinya. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan sudah
tidak asing lagi jika terdapat mata pelajaran bahasa sebagai mata pelajaran
utama.
Mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sudah diterapkan dalam
kurikulum pendidikan baik di tingkat dasar, menengah, atau tingkat atas.
Kompetensi mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia terangkum dalam
empat komponen keterampilan berbahasa yakni keterampilan
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.Selain empat
keterampilan berbahasa tersebut, keterampilan bersastra juga mencakup di
dalamnya yang terdiri atas pemahaman unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik dalam sebuah karya sastra baik berupa puisi, cerpen, atau novel.
Namun, tidak sedikit pembelajaran sastra di sekolah yang kurang menarik
minat siswa dalam mempelajari sastra.Hal itu dikarenakan kurangnya
keterampilan dan kreativitas seorang guru dalam memberikan materi
bersastra. Oleh karena itu, hendaknya kedua ranah bahasa dan sastra harus
saling berhubungan satu sama lain agar pembelajaran sastra tidak terpisah
dengan pembelajaran bahasa. Selain itu, pembelajaran sastra bertujuan
agar para siswa dapat menghargai, menghayati, dan menerapkan nilai-nilai
kehidupan yang terkandung dalam karya sastra itu.
Berkaitan dengan pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah,
orientasi yang harus diterapkan dalam pembelajaran sastra adalah
melakukan aplikasi atau praktik langsung dengan cara membaca karya
sastra dan bukan memahami atau mengahafal tentang teori-teori sastra.
Dengan membaca karya sastra, siswa akan mampu mengetahui dan
62

menganalisis unsur-unsur yang terdapat di dalam karya sastra yang


meliputi penggambaran tokoh dan penokohan, menentukan tema dan latar
dalam cerita, penggambaran alur cerita, sudut pandang, gaya bahasa, serta
dapat menemukan amanat atau pesan yang terkandung dalam karya sastra.
Penggambaran unsur-unsur intrinsik karya sastra tersebut dapat
digunakan pada jenis karya sastra cerpen atau novel, salah satu contoh
siswa menganalisis gaya bahasa dalam cerpen. Dalam pembelajaran gaya
bahasa, siswa dapat mengetahui ciri khas atau identitas seorang sastrawan
atau pengarang, serta dapat mengetahui cara penggambaran cerita yang
digunakan pengarang dalam cerita pendek. Selain itu, pembelajaran gaya
bahasa dalam cerita pendek juga dapat digunakan untuk mengetahui jenis
gaya bahasa apa yang digunakan dalam cerita tersebut. Dan dalam
mengidentifikasi gaya bahasa, siswa juga dapat mengaitkan gaya bahasa
tersebut dengan unsur intrinsik lainnya yakni penokohan dalam cerita,
penggambaran alur cerita, serta penggambaran latar (setting) dan amanat
dalam cerita. Selanjutnya, penggunaan gaya bahasa dalam sebuah cerita
pendek atau novel biasanya juga berfungsi untuk memberikan gambaran
terhadap situasi atau realitas sosial yang terjadi di lingkungan sekitar.
Jika dikaitkan dengan kumpulan cerpen yang penulis bahas yakni
Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma, maka dapat diketahui gaya
bahasa yang digunakan pengarang dalam menggambarkan keseluruhan
ceritanya. Siswa yang membaca kumpulan cerpen ini akan mengetahui
penggunaan majas dan gaya bercerita yang digunakan Seno dalam
menggambarkan setiap detail tokoh, latar, dan alurnya. Siswa akan lebih
mengetahui bahwa antara sastrawan atau pengarang yang satu dengan
yang lain pasti memiliki perbedaan dalam penggunaan bahasa dan cara
penggambaran ceritanya. Hal itu didasarkan atas latar belakang masing-
masing sastrawan yang berbeda satu dengan yang lain.
Selain itu, penggambaran gaya bahasa yang digunakan dalam
sebuah cerita dapat memberikan sumbangan atau kontribusi terhadap
keseluruhan cerita yang ingin disampaikan oleh pengarang. Dalam hal ini,
63

pada kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma sangat
banyak mengandung gaya bahasa atau majas. Penggunaan gaya bahasa
atau majas dalam cerita juga dapat memperindah dan memperhalus bahasa
terhadap apa yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang dalam cerita
tersebut. Terkait dengan hal itu, maka sumbangan atau kontribusi gaya
bahasa yang ingin disampaikan Seno dalam keseluruhan cerita tersebut
dapat menunjukkan unsur intrinsik cerita yang berupa latar (setting) dan
penokohan, tetapi yang paling dominan adalah penggambaran latar
suasana dalam cerita.
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan pada kumpulan cerpen
Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma, maka diperoleh hasil simpulan
sebaga berikut.
1. Dalam keseluruhan kumpulan cerpen Saksi Mata diperoleh gaya bahasa
perbandingan yang berupa majas simile atau perumpamaan sebanyak 47
data dari 16 cerpen. Majas simile yang digunakan Seno dalam
penggambaran cerita dapat memberikan gambaran seolah-olah semua
kejadian dalam cerita terjadi dengan nyata. Selanjutnya, majas simile yang
digunakan pengarang dalam kumpulan cerpen Saksi Mata dapat
memberikan kontribusi atau sumbangan yang ingin disampaikan Seno
dalam membangun unsur intrinsik cerpen secara keseluruhan. Sumbangan
atau kontribusi tersebut adalah dapat menggambarkan unsur intrinsik yang
berupa latar (setting) dan penokohan dalam cerita, tetapi yang paling
dominan adalah menggambarkan latar suasana, baik suasana batin maupun
suasana luar batin.
2. Implikasi penggunaan gaya bahasa dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia dapat diterapkan pada siswa kelas X semester 1 dalam aspek
membaca, dengan standar kompetensi memahami wacana sastra melalui
kegiatan membaca puisi dan cerpen, dan kompetensi dasar menganalisis
keterkaiatan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
Dengan kompetensi tersebut, siswa diharapkan mampu mengidentifikasi
unsur intrinsik berupa tema, penokohan, gaya bahasa, dan amanat, serta
mampu mengaitkan unsur-unsur intrinsik tersebut dengan kehidupan
sehari-hari.

B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan di atas, ada beberapa saran yang
diajukan oleh penulis sebagai berikut.
1. Diharapkan kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma ini
dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra, terutama gaya bahasa
64
65

yang digunakan di dalamnya. Hal ini bertujuan agar siswa dapat


mengetahui fungsi dan kontribusi gaya bahasa terhadap sebuah karya
sastra (cerpen).
2. Penulis mengharapkan agar penelitian tentang gaya bahasa dapat terus
dilakukan secara kontinu (terus-menerus) agar dapat mengetahui
karakteristik atau ciri khas seorang sastrawan (pengarang) yang satu
dengan yang lain. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat dilakukan
secara berkesinambungan agar dapat lebih mendalami dan mengetahui
keterkaitan antara gaya bahasa secara umum dengan keseluruhan inti
cerita.
DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. Saksi Mata. Yogyakarta: Bentang Pustaka. 2010.

Aminuddin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. 1987.

Barry, Peter. Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta:


Jalasutra. 2010.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. 2007.

__________. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.

Coupland, Nicolas. Style: Language Variation and Identity. New York: Cambridge
University Press. 2007.

Danardana, Agus Sri. Anomali Bahasa. Pekanbaru: Palagan Press. 2011.

Jabrohim. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya. 2002.

Kurniawan, Heru dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
2012.

Mahsun. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, dan Tekniknya. Jakarta:


Rajawali Pers. 2011.

Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia. 2005.

Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.

Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press. 2013.

Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi
Aksara. 2010.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.

66
67

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007.

_________________. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.

Semi, Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. 2012.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.

Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Sumarjo, Jakob. Kesustraan Melayu-Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press.


2004.

Syamsudin dan Vismaia S. Damaianti. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa.


Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. 1993.

_________________. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 1986.


BIODATA PENULIS

M. Agus Kuswanto atau yang akrab disapa


Wawan ini lahir di Jombang, tanggal 14 Juli
1992. Pendidikan formalnya ditempuh di MI
(Madrasah Ibtidaiyah) dan MTs (Madrasah
Tsanawiyah) Miftahul Ulum Jarak Kulon
Jogoroto Jombang, dan pendidikan SMA nya
ditempuh d MA (Madrasah Aliyah) Al- Anwar
Pacul Gowang Diwek Jombang. Hingga pada
akhirnya, penulis menempuh pendidikan S1 di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Putra pertama dari pasangan Suparno dan Siti Alimah ini semenjak di
bangku sekolah sudah tertarik dengan dunia pendidikan. Selain itu, penulis juga
gemar dengan kegiatan membaca. Dan setelah lulus dari bangku sekolah, penulis
memantapkan untuk melanjtukan pendidikan di bidang keguruan yakni di jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Penulis selain aktif di kegiatan perkuliahan, juga mendapat kesempatan


untuk menjadi tenaga pengajar di sebuah lembaga pendidikan bimbingan belajar
alumni (BTA 8) sebagai tenaga pengajar bahasa Indonesia sampai sekarang.
Selain itu, ia juga berkesempatan melakukan kegiatan Praktik Profesi Keguruan
Terpadu (PPKT) di SMP Negeri 3 Kota Tangerang Selatan.

Anda mungkin juga menyukai