Oleh
Alimuddin
Jurusan Akuntansi FE UNHAS
1. Pengantar
1
Dipresentasikan pada Debat Epistemologi yang dilaksanakan Program Doktor Ilmu Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, 20 Desember 2010.
1
2
2
QS. an-Nahl: 89.
3
capaian yang dihasilkan alat indera dan rasio manusia (Sumarna, 2006: 101-2).
Jenis ilmu pengetahuan yang kedua ini dianut oleh filosof dan saintis Muslim.
3
QS. al-Qasas [28]: 7 dan Yusuf [12]: 4.
6
d. Terikat Nilai
Mengingat ilmu dalam Islam dipengaruhi dimensi spiritual, wahyu,
intuisi, dan memiliki orientasi teosentris, konsekuensi berikutnya sebagai salah
satu ciri ilmu tersebut adalah terikat nilai. Ini sangat membedakan dengan sains
Barat, karena semangat tradisi ilmiah Barat senantiasa berusaha menegaskan,
bahwa ilmu itu netral atau bebas nilai, dan tidak boleh terikat nilai tertentu.
Pada kenyataannya, pengetahuan tidaklah netral dan memang dapat
dimasuki suatu sifat dan muatan yang ditopengi sebagai pengetahuan (al-Attas,
1986: 127). Menurut epistemologi Kuhn, sebuah sains yang objektif, bebas nilai
dan netral, tidak mungkin akan ada (Sardar, 1998: 40). Ketika seseorang
ilmuan merumuskan teori-teori sebagai hasil dari penelitiannya tidak mungkin
secara utuh disampaikan sesuatu yang benar-benar netral dan bebas nilai. Ada
banyak faktor yang turut mempengaruhi rumusan teori tersebut, sebab para
ilmuan sendiri tidak mungkin hidup di "alam telanjang". Profil seorang ilmuan itu
akan dibentuk oleh pengaruh-pengaruh yang diserap selama hidupnya.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
dasarnya sumber utama ilmu pengetahuan meliputi indera, akal, intuisi, ilham,
dan wahyu Ilahi (al-Syaibany, 1979: 247). Tiga sumber yang terakhir, yaitu
intuisi, ilham dan wahyu Ilahi, kendatipun secara tajam bisa dibedakan, tetapi
7
bisa saja intuisi dan ilham secara substantif merupakan "wahyu" dalam
pengertian yang luas, sebab, baik intuisi maupun ilham merupakan pemberian
dari kekuatan spiritual.
Sementara menurut Zarkasyi (2005 dan 2009), terdapat lima elemen
yang membedakan pandangan hidup pengembangan ilmu pengetahuan Islam
dengan ilmu pengetahuan Barat, yaitu prinsip, asas, sifat, makna realitas, dan
objek kajian ilmu pengetahuan. Perbedaan tersebut dapat disarikan pada tabel
berikut ini:
Tabel 1. Perbandingan Pandangan Islam dan Barat tentang Ilmu Pengetahuan
No. Elemen Pandangan Islam Pandangan Barat
1 Prinsip Tauhiid Dikotomi
Wahyu, hadits, akal, Rasio dan spekulasi
2 Asas
pengalaman, dan intuisi filosofis
Rasionalitas, terbuka, dan
3 Sifat Otentitas dan finalitas
selalu berubah
Pandangan sosial, kultural,
4 Makna Realitas Berdasarkan kajian metafisis
dan empiris
5 Objek Kajian Visible dan invisible Tata nilai masyarakat
Sumber: Zarkasyi (2005, 2009).
Hal demikian dapat saja terjadi karena fungsi dan peran akal pikiran
manusia tidak lain dan tidak bukan hanyalah digunakan untuk mengukuhkan
dan membenarkan otoritas teks. Sama sekali di luar kalkulasi pendukung corak
epistemologi ini apakah pelaksanaan dan implementasi ajaran teks dalam
kehidupan masyarakat luas masih seorisinal dan seotentik lafal itu sendiri atau
tidak (Abdullah, 2007: 13-4).
Sebaliknya epistemologi burhani yang diperkenalkan oleh Ibn Rusyd
menganggap sumber ilmu pengetahuan bersumber pada realitas atau al-waqi’,
baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. llmu-ilmu disusun
dan disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq, dan
bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi
(Arif, 2008: 67). Dengan demikian, prinsip yang mendasari epistemologi burhani
adalah rasionalitas, kausalitas, dan esensialisme yang dikembangkan lewat
metode utama deduksi dan induksi. Model pendekatan epistemologi ini
mendasarkan pada kemampuan rasio atau akal yang dilakukan lewat dalil-dalil
logika, artinya keruntutan logika sebagai epistemologi utamanya (Sumarna,
2005: 160; Arif, 2008: 67). Peran akal pikiran sangat menentukan dalam
menyusun atau merumuskan epistemologi sebab-akibat sebagai landasan
kebenarannya (Abdullah, 2007: 22).
Dalam epistemologi burhani, peran akal bukan untuk mengukuhkan
kebenaran teks tetapi lebih menekankan pada analisis dan pengujian terus-
menerus atas kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori yang dirumuskan
lewat premis-premis logika keilmuan. Dengan cara ini akan membentuk budaya
kerja penelitian baik yang bersifat eksplanatif, eksploratif, maupun verifikatif.
Akan tetapi, kelemahan yang tampak pada epistemologi burhani terletak pada
peran akal pikiran dalam memahami dan menafsirkan hal-hal yang terkait
dengan soal-soal keberagamaan atau religiositas manusia yang sangat
terbatas.
Sementara epistemologi irfani tidak puas hanya berhenti pada
pengetahuan tentang hal-hal fenomenal (lahiriah-eksoteris), tetapi
mengembangkan terus cara mendapatkan ilmu hingga sampai pada
pengetahuan tentang hal-hal noumenal (batiniah-esoteris) yang bermuara
akhirnya di luar jangkauan indera dan akal manusia (Arif, 2008: 61). Jadi
Epistemologi irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks maupun
logika. Sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir irfani adalah
pengalaman langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan
12
(Sumarna, 2005: 160 dan 2006: 22). Dalam pandangan ini, pengalaman hidup
sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai
harganya. Pengalaman otentik ini dapat “dirasakan dan dihayati” secara
langsung oleh setiap umat manusia apapun agama, bangsa, warna kulit, ras,
dan budaya yang diyakininya, tanpa harus menunggu turunnya teks (bahasa)
atau logika karena tanda-tanda dari alam tersebut merupakan juga wahyu 4.
Dengan demikian validitas kebenaran epistemologi irfani hanya dapat dirasakan
dan dihayati secara langsung. Oleh karena itu, sasaran bidik epistemologi ini
adalah bersifat esoterik atau dengan kata lain apa yang ada di balik teks
(Sumarna, 2005: 160). Pemanfaatan rasio hanya untuk menjelaskan
pengalaman spiritual yang dirasakan (Abdullah, 2004: ix).
Menurut Triyuwono (2006a), proses intuisi ini akan mengaktifkan energi
spiritual yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi secara langsung
dari Yang Maha Mengetahui, karena energi spiritual terkoneksi dengan Sang
Pencipta. Selanjutnya Triyuwono, memberi alternatif petunjuk cara
mendapatkan ilmu melalui intuisi dengan melakukan latihan olah-batin. Pada
dasarnya latihan ini meliputi dzikir, shalat tahajjud, merilekskan diri tanpa ada
gangguan, kemudian bermohon kepada Yang Maha Mengetahui, dan diakhiri
dengan puji syukur kekhadirat Allah swt5 (2006a). Cara lain yang dilakukan
adalah memperhatikan isyarat atau tanda-tanda yang terlintas kapan dan
dimana saja, kemudian pada saat itu dikembangkan atau digali terus untuk
mendapatkan informasi atau ilmu pengetahuan.
Menurut anggapan epistemologi irfani ini, kebenaran apa pun,
khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial-keagamaan
adalah bersifat intersubjektif. Apa yang dirasakan oleh penganut suatu kultur,
ras, agama, kulit, bangsa tertentu dengan sedikit tingkat perbedaan juga
dirasakan oleh manusia dalam kultur, ras, agama, kulit dan bangsa yang lain.
Dengan demikian epistemologi antara subjek dan objek bukannya bersifat
subjektif dan bukan pula bersifat objektif, tetapi lebih pada intersubjektif.
Hingga saat ini, ketiga epistemologi tersebut masing-masing memiliki
pendukung dan masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Padahal kekuatan
utama epistemologi Islam ini jika digunakan bersinergi dan terintegrasi. Menurut
Arif (2008: 256), hubungan antara tiga jenis epistemologi ini baik sebagai mode
4
QS. Qaaf [50]: 6-8.
5
Untuk memahami lebih lanjut cara melakukan latihan untuk mempertajam sensitivitas intuisi
dapat dibaca Pidato Pengukuhan Guru Besar Iwan Triyuwono, Akuntansi Syariah: Menuju
Puncak Kesadaran Ketuhanan Manunggaling Kawulo Gusti. 2 September 2006
13
Skema 1
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 2007. Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN: dari
Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Integratif-Interkoneksf. Dalam Amin
Abdullah, dkk. Islamic Studies dalam Paradigma Interkoneksi (Sebuah
Antologi). Suka Press. Yogyakarta.
Abdullah, Amin. 2004. Filsafat Islam bukan hanya Sejarah Pemikiran. Sebuah
Penngantar dalam A. Khudori Shaleh. Wacana Baru Filsafat Islam. Tiara
Wacana. Yogyakarta.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1989. Toward a Critical World Theology. Dalam Toward
Islamization of Disciplines. The International Institute of Islamic Thought.
IIIT. Herndon.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai. Pustaka Bani
Quraisy. Bandung