Anda di halaman 1dari 10

Irritable Bowel Syndrome (IBS)

Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah suatu kelainan fungsional usus kronik
berulang dengan nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdomen yang berkaitan
dengan defekasi atau perubahan kebiasaan buang air besar setidaknya selama 3
bulan. Rasa kembung, distensi, dan gangguan defekasi merupakan ciri-ciri umum
dari IBS1,2.

Adanya IBS predominan diare atau predominan konstipasi menunjukkan bahwa


pada IBS terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare terjadi
peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus.
Sedangkan IBS tipe konstipasi terjadipenurunan kontraksi usus dan
memanjangnya waktu transit kolon dan usus halus. IBS yang terjadi pasca infeksi
dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS. Penyebab IBS paska infeksi antara lain
virus, giardia atau amuba, selain itu secara garis besar terganggunya kerja dari
usus dapat menimbulkan IBS, Faktor-faktor yang dapat mengganggu kerja dari
usus adalah sebagai berikut:

1. Faktor psikologis Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja
kolon. Kolon memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Sebagian
kolon dikontol oleh SSP, yang berespon terhadap stress. Sebagai contoh kolon
dapat berkontraksi secara cepat atau sebaliknya1,3.

2. Sensitivitas terhadap makanan Gejala IBS dapat ditimbulkan oleh beberapa


jenis makanan seperti kafein, coklat, produk-produk susu, makanan berlemak,
alkohol, sayursayuranyang dapat memproduksi gas (kol dan brokoli) dan
minuman bersoda1,3.

3. Genetik Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS


diturunkan dalam keluarga dengan perkiraan faktor genetik berperan berkisar
antara 0-57%1,3.

4. Hormon Gejala IBS sering muncul pada wanita yang sedang menstruasi,
mengemukakan bahwa hormon reproduksi estrogen dan progesteron dapat
meningkatkan gejala dari IBS1,3 .
5. Obat obatan konvensional Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan
bertambah beratnya gejala setelah menggunakan obatobatan konvensionalseperti
antibiotik, steroid dan obat anti inflamasi1,3.

Klasifikasi

Menurut kriteria Roma III yang berdasarkan pada karakteristik feses (lihat
Lampiran Bristol Stool Chart), IBS dibagi menjadi 3 subkelas yaitu:

1. IBS dengan diare (IBD-D):

a) Feses lembek/cair ≥25% waktu dan feses padat/bergumpal <25% waktu

b) Ditemukan pada sepertiga kasus

c) Lebih umum ditemui pada laki-laki

2. IBS dengan konstipasi (IBS-C):

a) Feses padat/bergumpal ≥25% waktu dan feses lembek/cair <25% waktu

b) Ditemukan pada sepertiga kasus

c) Lebih umum ditemui pada wanita

3. IBS dengan campuran kebiasaan buang air besar atau pola siklik (IBS-M):

a) Feses padat/bergumpal dan lembek/cair ≥25% waktu

b) Ditemukan pada sepertiga kasus

Patofisiologi

Gangguan interaksi otak dan usus (brain gut axis) dengan perantara
neurotransmiter merupakan salah satu hipotesis patofisiologi IBS yang
menyebabkan perubahan pada respon autonom, fungsi imun, motilitas usus, dan
persepsi visera1,2.

A. Perubahan motilitas usus

Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon dan usus halus telah
diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau fisik dan makanan dapat
merubah kontraktilitas kolon. Motilitas abnormal dari usus halus selama
puasaditemukan pada pasien IBS. Juga dilaporkan adanya respon kontraksi yang
berlebihan pada makanan tinggi lemak1

B. Hipersensitivitas visceral

Salah satu penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor pada viscus
dirubah melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap iskemia,
distensi, kandungan intraluminal, infeksi, atau faktor psikiatri. Beberapa penulis
menyatakan bahwa kewaspadaan yang berlebihan lebih bertanggung jawab dari
pada hipersensitivitas visceral murni untuk ambang nyeri yang rendah pada pasien
IBS1.

C. Faktor psikososial

Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon, baik
pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat rujukan
memiliki gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan pasien
dengan diagnosis IBS lebih sering memiliki gejala ini1.

D. Ketidakseimbangan neurotransmitter

Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat, 95% di saluran


gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan sel otot polos.
Serotonin mengakibatkan respon fisiologis sebagai reflek sekresi usus dan
peristaltik dan gejala seperti mual, muntah, nyeri perut, dan kembung.
Neurotransmitter lain yang memiliki peranan penting pada kelainan fungsional
saluran cerna meliputi calcitonin gene–related peptide, acetylcholine, substance P,
pituitary adenylate cyclase–activating polypeptide, nitric oxide, and vasoactive
intestinal peptide. Neurotransmitter ini menyediakan hubungan tidak hanya antara
kontraktilitas usus dan sensitivitas visceral, tapi juga antara sistem saraf usus dan
sistem saraf pusat. Serotonin memegang peranan penting dalam mengatur sekresi,
motilitas dan keadaan sensori pada saluran cerna melaui aktivasi dari sejumlah
reseptor yang tersebar luas pada saraf usus dan eferen sensoris. Sel enterosit
mengakhiri efek dari serotonin dengan membuangnya dari ruangan interstitial
melaui aksi dari reuptake serotonin transporter (SERT). Sehingga merubah
kandungan dan pelepasan, ekspresi dari reseptor atau perubahan pada ekspresi
SERT/ aktivitas dapat berperanan pada fungsi sensimotor pada IBS. Peningkatan
pelepasan mediator seperti nitric oxide, interleukin, histamin, dan protease
menstimulasi system saraf enterik; mediator yang dikeluarkan menyebabkan
gangguan motilitas, sekresi serta hiperalgesia sistem gastrointestinal1/

E. Infeksi dan inflamasi

Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa pasien IBS memiliki
peningkatan jumlah sel inflamasi pada mukosa kolon dan ileum. Adanya episode
enteritis infeksi sebelumnya, faktor genetik, alergi makanan yang tidak
terdiagnosis, dan perubahan pada mikroflora bakteri dapat berperanan pada
terjadinya proses inflamasi derajat rendah. Inflamasi dikatakan dapat mengganggu
reflex gastrointestinal dan mengaktivasi sistem sensori visceral. Kelainan pada
interaksi neuroimun dapat berperanan pada perubahan fisiologi dan
hipersensitivitas gastrointestinal yang mendasari IBS1.

F. Faktor genetik

Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS meliputi:


pengelompokan IBS pada keluarga, frekuensi 2 kali meningkat pada kembar
monozigot jika dibandingkan dengan dizigot. Adanya polimorpisme gen yang
mengendalikan down regulation dari inflamasi (seperti IL-10 dsn TGF _1) dan
SERT. Faktor genetik sendiri tidak merupakan penyebab, tapi berinteraksi
palingdengan faktor lingkungan. Sampai saat ini belum ada model konsep tunggal
yang dapat menjelaskan semua kasus dari IBS1.

Diagnosis3

Anamnesis, adanya keluhan/riwayat:

a. Pola nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman: (*sesuai untuk IBS) Durasi
kronik*

• Jenis nyeri: intermiten* atau kontinu

• Episode nyeri sebelumnya*

• Lokasi nyeri yang berpindah-pindah


• Sembuh dengan defekasi atau buang gas*

b. Gejala lain:

• Rasa kembung (96% pasien IBS), distensi, borborygmi

• Gangguan usus: konstipasi, diare, atau bergantian

• Abnormalitas defekasi: diare >2 minggu, mukus pada feses, defekasi urgensi,
rasa defekasi tidak tuntas (gejala ini dilaporkan penting dalam populasi Asia)

• Hubungan dengan menstruasi (gejala premenstrual lebih berat, dismenorrhea 2


kali lebih sering, dan keluhan IBS terutama rasa kembung meningkat sesaat
sebelum menstruasi)

• Hubungan dengan: terapi obat, konsumsi makanan (susu, pemanis buatan,


produk-produk diet atau alkohol)

• Riwayat kunjungan ke daerah tropik atau subtropik

• Abnormalitas kebiasaan makan: tidak teratur atau tidak cukup, kekurangan


asupan cairan, asupan serat berlebih, obsesi dengan kebersihan, diet

• Onset (onset yang mendadak berhubungan dengan paparan gastoenteritis


memberi kesan IBS postinflamasi) Gejala utama IBS di Asia yang paling tinggi
adalah rasa kembung, tetapi dari penelitian di Jakarta (2012) didapatkan keluhan
nyeri abdomen lebih dominan (hampir sama dengan di negara Barat) sebesar 91%
dari kasus IBS

c. Tanda alarm:

• Penurunan berat badan yang tidak direncanakan/terjelaskan

• Darah pada feses

• Riwayat keluarga: keganasan kolorektal, penyakit celiac, Inflammatory Bowel


Disease (IBD)

• Anemia

• Diare atau nyeri nokturnal


• Onset baru pada usia ≥45 tahun

• Nyeri abdomen bawah dengan demam

• Massa abdomen

• Asites Beberapa ulasan berpendapat bahwa tanda alarm memiliki akurasi yang
mengecewakan dengan sensitivitas 5-64%. Akan tetapi, perdarahan rektum dan
massa abdomen memiliki spesifitas 95% dalam menunjukkan adanya kecurigaan
kanker kolon.

Pemeriksaan fisik, Pemeriksaan fisik dilakukan untuk meyakinkan pasien dan


membantu deteksi adanya kemungkinan penyebab organik:

a. Pemeriksaan abdomen (inspeksi, auskultasi, palpasi)

b. Pemeriksaan daerah perianal (colok dubur)

Pemeriksaan penunjang, IBS merupakan kelainan dengan patofisiologi yang


heterogen yang sampai saat ini belum didapatkan biomarker yang spesifik.
Pemeriksaan diagnostik 7 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome
(IBS) di Indonesia dilakukan untuk menyingkirkan penyakit-penyakit organik
yang dapat menyerupai IBS
Kriteria diagnostik, Gejala-gejala individual memiliki keterbatasan akurasi dalam
mendiagnosis IBS.

Tatalaksana

IBS merupakan penyakit kronik yang tidak mengancam jiwa namun memiliki
dampak besar pada kualitas hidup seseorang. Hal ini didukung oleh studistudi di
negara-negara Barat dan Timur yang melaporkan pasien dengan IBS memiliki
kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol3.

Tujuan dari tatalaksana IBS adalah menghilangkan gejala/keluhan secara optimal


dan meningkatkan kualitas hidup penderita.

A. Terapi non-farmakologik

a. Meyakinkan bahwa penyakit ini tidak mengancam kehidupan

b. Menganjurkan gaya hidup sehat

c. Diet, disesuaikan dengan tipe IBS yaitu:

 IBS tipe C: diet tinggi serat

 IBS tipe D: menghindari/membatasi makanan-makanan tertentu yang


mencetuskan gejala.

B. Terapi farmakologik

Obat-obat yang teruji untuk pasien IBS adalah:

Obat antispasmodik

Hyoscine-N-butylbromide, cimetropium, pinaverium, mebeverin, dan otolinium


bromide merupakan obat yang teruji untuk mengobati IBS. Pemberian
antispasmodik lebih baik dibandingkan plasebo (RR=0,68). Dalam praktek klinis,
antispasmodik berguna mengatasi gejala postprandial bila dikonsumsi 30 menit
sebelum makan3.

Laksatif

 Terdapat beberapa macam laksatif yang digunakan dalam terapi IBS yaitu:
Bulking agents, serat Psyllium hydrophilic mucilloid (kulit ari ispaghula)
memiliki efektivitas sedang, dinyatakan memberikan perbaikan gejala global.
Penggunaan laksatif jenis bulking agent pada IBS lebih baik dibandingkan
plasebo (RR=0,78). Studi tunggal melaporkan perbaikan dengan calcium
polycarbophil.

 Laksatif osmotik: -
1. Laktulosa (10–20 g/15–30 ml per hari).

2. Polietilen glikol (17 g dalam solusi 237 ml per hari) menunjukkan perbaikan
pada frekuensi buang air besar tapi tidak pada nyeri abdomen.

3. Susu magnesia (400 mg/5 ml, 10–20 ml sampai 4 kali sehari)

 Laksatif stimulan:

1. Senna (15 mg per hari).

2. Derivat difenilmetana (bisacodyl 10 mg, 1–2 tablet sehari atau 1 supositoria


per hari).

3. Sodium picosulfate (10-20 tetes pada malam hari).

 Laksatif emolien

1. Docusates (100 mg, 1–3 tablet per hari).

Anti diare

Loperamide tidak lebih efektif dibandingkan plasebo dalam mengurangi nyeri,


rasa kembung, atau gejala-gejala umum IBS lainnya, tetapi merupakan agen yang
efektif untuk terapi diare, mengurangi frekuensi buang air besar, dan memperbaiki
konsistensi feses. Obat ini hanya dipakai on demand (1-2 hari). Perlu diperhatikan
adanya efek samping konstipasi dan ileus paralitik3

Antibiotik

Beberapa laporan menyampaikan manfaat pemberian antibiotik yang tidak diserap,


antara lain rifaximin, yang secara konsisten menampilkan perbaikan pada gejala
global IBS3.

Antidepresan

Antidepresan trisiklik dan inhibitor ambilan serotonin selektif lebih efektif


dibandingkan plasebo dalam meringankan gejala-gejala global IBS dan
mengurangi nyeri abdomen. Penghambat ambilan serotonin selektif ditoleransi
lebih baik dari antidepresan trisiklik, terutama untuk IBS-C dibandingkan IBS-D
karena efek prokinetiknya.3
Aktivator kanal klorida C-2 selektif

Hasil penelitian menyebutkan bahwa lubriprostone lebih efektif dibandingkan


plasebo dalam meringankan gejala-gejala global IBS-C pada wanita. Food and
Drug Administration (FDA) mencantumkan obstruksi gastrointestinal mekanik
sebagai kontraindikasi pemberian lubriprostone dan menyarankan evaluasi pada
pasien-pasien dengan kesan obstruksi.3

Daftar Pustaka

1. Safira,N Anandita. Irritable Bowel Syndrome.Artikel Review. J Majority.


Volume 4 Nomor 2. Januari 2015.

2. Saha L. Irritable bowel syndrome: pathogenesis, diagnosis, treatment, and


evidence-based medicine. World J Gastroenterol. 2014;20(22):6759–6773.
doi:10.3748/wjg.v20.i22.6759.

3. Ari,Fahrial Syam, Chaidir Aulia, Dadang Makmun, Kaka Renaldi DKK.


Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS) di Indonesia.
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. (PGI)ISBN No.
978-602-17913-1-8; 2013.

Anda mungkin juga menyukai