Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah suatu kelainan fungsional usus kronik
berulang dengan nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdomen yang berkaitan
dengan defekasi atau perubahan kebiasaan buang air besar setidaknya selama 3
bulan. Rasa kembung, distensi, dan gangguan defekasi merupakan ciri-ciri umum
dari IBS1,2.
1. Faktor psikologis Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja
kolon. Kolon memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Sebagian
kolon dikontol oleh SSP, yang berespon terhadap stress. Sebagai contoh kolon
dapat berkontraksi secara cepat atau sebaliknya1,3.
4. Hormon Gejala IBS sering muncul pada wanita yang sedang menstruasi,
mengemukakan bahwa hormon reproduksi estrogen dan progesteron dapat
meningkatkan gejala dari IBS1,3 .
5. Obat obatan konvensional Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan
bertambah beratnya gejala setelah menggunakan obatobatan konvensionalseperti
antibiotik, steroid dan obat anti inflamasi1,3.
Klasifikasi
Menurut kriteria Roma III yang berdasarkan pada karakteristik feses (lihat
Lampiran Bristol Stool Chart), IBS dibagi menjadi 3 subkelas yaitu:
3. IBS dengan campuran kebiasaan buang air besar atau pola siklik (IBS-M):
Patofisiologi
Gangguan interaksi otak dan usus (brain gut axis) dengan perantara
neurotransmiter merupakan salah satu hipotesis patofisiologi IBS yang
menyebabkan perubahan pada respon autonom, fungsi imun, motilitas usus, dan
persepsi visera1,2.
Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon dan usus halus telah
diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau fisik dan makanan dapat
merubah kontraktilitas kolon. Motilitas abnormal dari usus halus selama
puasaditemukan pada pasien IBS. Juga dilaporkan adanya respon kontraksi yang
berlebihan pada makanan tinggi lemak1
B. Hipersensitivitas visceral
Salah satu penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor pada viscus
dirubah melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap iskemia,
distensi, kandungan intraluminal, infeksi, atau faktor psikiatri. Beberapa penulis
menyatakan bahwa kewaspadaan yang berlebihan lebih bertanggung jawab dari
pada hipersensitivitas visceral murni untuk ambang nyeri yang rendah pada pasien
IBS1.
C. Faktor psikososial
Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon, baik
pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat rujukan
memiliki gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan pasien
dengan diagnosis IBS lebih sering memiliki gejala ini1.
D. Ketidakseimbangan neurotransmitter
Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa pasien IBS memiliki
peningkatan jumlah sel inflamasi pada mukosa kolon dan ileum. Adanya episode
enteritis infeksi sebelumnya, faktor genetik, alergi makanan yang tidak
terdiagnosis, dan perubahan pada mikroflora bakteri dapat berperanan pada
terjadinya proses inflamasi derajat rendah. Inflamasi dikatakan dapat mengganggu
reflex gastrointestinal dan mengaktivasi sistem sensori visceral. Kelainan pada
interaksi neuroimun dapat berperanan pada perubahan fisiologi dan
hipersensitivitas gastrointestinal yang mendasari IBS1.
F. Faktor genetik
Diagnosis3
a. Pola nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman: (*sesuai untuk IBS) Durasi
kronik*
b. Gejala lain:
• Abnormalitas defekasi: diare >2 minggu, mukus pada feses, defekasi urgensi,
rasa defekasi tidak tuntas (gejala ini dilaporkan penting dalam populasi Asia)
c. Tanda alarm:
• Anemia
• Massa abdomen
• Asites Beberapa ulasan berpendapat bahwa tanda alarm memiliki akurasi yang
mengecewakan dengan sensitivitas 5-64%. Akan tetapi, perdarahan rektum dan
massa abdomen memiliki spesifitas 95% dalam menunjukkan adanya kecurigaan
kanker kolon.
Tatalaksana
IBS merupakan penyakit kronik yang tidak mengancam jiwa namun memiliki
dampak besar pada kualitas hidup seseorang. Hal ini didukung oleh studistudi di
negara-negara Barat dan Timur yang melaporkan pasien dengan IBS memiliki
kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol3.
A. Terapi non-farmakologik
B. Terapi farmakologik
Obat antispasmodik
Laksatif
Terdapat beberapa macam laksatif yang digunakan dalam terapi IBS yaitu:
Bulking agents, serat Psyllium hydrophilic mucilloid (kulit ari ispaghula)
memiliki efektivitas sedang, dinyatakan memberikan perbaikan gejala global.
Penggunaan laksatif jenis bulking agent pada IBS lebih baik dibandingkan
plasebo (RR=0,78). Studi tunggal melaporkan perbaikan dengan calcium
polycarbophil.
Laksatif osmotik: -
1. Laktulosa (10–20 g/15–30 ml per hari).
2. Polietilen glikol (17 g dalam solusi 237 ml per hari) menunjukkan perbaikan
pada frekuensi buang air besar tapi tidak pada nyeri abdomen.
Laksatif stimulan:
Laksatif emolien
Anti diare
Antibiotik
Antidepresan
Daftar Pustaka