Anda di halaman 1dari 137

PERJALANAN DAKWAH ISLAMIYAH

RASULULLAH SAW PADA PERIODE


MEKAH DAN MADINAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar


Sarjana Komunikasi Islam ( S.Kom.I ).

Disusun Oleh :

NAMA : MOHAMMAD IRFANDI


NPM : 103051028629

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M / 1432 H
PERJALANAN DAKWAH ISLAMIYAH RASULULLAH SAW PADA
PERIODE MEKAH DAN MADINAH

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam ( S.Kom. I )

Oleh

Mohammad Irfandi
NPM : 103051028629

Pembimbing ,

Drs. H.Sunandar , MA
NIP : 19620626 199403 1 002

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M / 1432 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERJALANAN DAKWAH ISLAMIYAH RASULULLAH SAW PADA


PERIODE MEKAH DAN MADINAH telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 24
Desember 2010 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi Islam ( S.Kom.I ) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta , 24 Desember 2010

Panitia Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Study Rizal LK, MA Umi Musyarofah , MA


NIP : 1964042 8199 303 1 002 NIP : 19710816 199703 2 002

Anggota ,

Penguji I Penguji II

Drs. Masran , MA Drs. Moh.Sungaidi , MA


NIP : 150275 384 NIP : 19600803 199703 1 006

Pembimbing

Drs. H. Sunandar , MA
NIP : 19620626 199403 1 002
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain , maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta , 17 Desember 2010

Mohammad Irfandi
ABSTRAKS

Nama : Mohammad Irfandi , NPM : 103051028629 ,Strategi Dakwah Rasul di Mekah


dan Madinah .

Rasul Muhammad SAW , adalah seorang pemimpin agama dan pemimpin negara
yang mempunyai kepribadian terpuji. Beliau adalah panutan terbaik ( uswatun hasanah ) bagi
umat muslim di seluruh dunia Islam. Melalui organisasi dakwah Islamiyah , Rasulullah
mampu mengubah jalannya sejarah dan mempengaruhi secara besar - besaran perkembangan
penyiaran Islam dari masa jahiliyah ( pra Islam ) menuju masa peradaban Islam. Dakwah
Rasulullah SAW periode Mekah - Madinah bertujuan membentuk pribadi muslin (di Mekah
) bersifat majemuk sebagai unsur mutlak membangun pemerintah Islam di Madinah di mana
komunitas penduduk Madinah bersifat plural .Kemajemukan di Madinah tercermin dengan
adanya perbedaan agama , suku , maupun golongan dan untuk mewujudkan toleransi antar
sesama melalui organisasi dakwah Islamiyah . Keberhasilan Rasulullah dalam membangun
pemerintah ditandai dengan dibuatnya piagam Madinah sebagai undang - undang yang
mengatur komunits penduduk Madinah yang plural. Hal itu terlepas dari upayanya dalam
memperjuangkan dan mendakwahkan Islam, sehingga beliau dikenal sebagai Rasul yang
amat disegani dan mendapatkan simpati dari umat Islam di Mekah - Madinah pada saat itu
dan dunia Islam pada umumnya.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perjalanan dakwah Rasulullah
menurut Sejarah Islam ( Periode Mekah - Madinah ) penelitian telaah pustaka dengan
metode deskriptif ini menggunakan literature sebagai alat pengumpul data . Analisis yang
digunakan yaitu reduksi data , penyajian data , dan penarikan kesimpulan.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang selalu memberikan

rahmat dan karunia- Nya , sehingga sampai saat ini penulis masih diberi nikmat kesehatan

dan karunia untuk dapat menyelesaikan skripsi , dengan judul “Perjalanan Dakwah

Islamiyah Rasulullah SAW Pada Periode Mekah - Madinah.“

Dengan segala kerendahan hati penulis sadar meskipun penulis menemui berbagai

kesulitan serta hambatan dalam penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini , tetapi penulis

telah berusaha semaksimal mungkin untuk membahasa tema yang penulis angkat sesuai

dengan kemampuan yang dimiliki. Penulis menyadari betul bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan . Oleh karena itu dengan segala

kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan juga koreksi

demi kesempurnaan.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak - pihak yang telah

membantu baik dalam hal bimbingan , semangat dan perhatian selama kegiatan pembuatan

skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar -

besarnya kepada :

1. Bpk. DR. Arif Subhan , MA Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta .

2. Bpk. Drs. Jumroni , M. Si selaku Ketua jurusan Komunikasi dan Penyiaran

Islam Program Reguler .


3. Dosen Pembimbing Bpk. Drs. H. Sunandar , MA yang telah meluangkan

waktu dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini

4. Orang tua dan saudara tercinta atas perhatian , doa , dan kasih sayang yang

tulus dan ikhlas , sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Teman - teman seangkatan penulis di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatulaah Jakarta , khususnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi .

6. Seluruh staff dan dosen pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta .

7. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memudahkan penulis untuk mendapatkan berbagai referensi dalam

penyelesaian skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materiil ,

secara langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu , penulis

ucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya.

Semoga Allah membalas jasa - jasa dan budi baik mereka sesuai dengan apa

yang telah mereka perbuat untuk kesuksesan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi yang

memerlukannya. Amin.

Jakarta , Desember 2010

Mohammad Irfandi

103051028629
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN iv
ABSTRAKSI v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………….. 1
B. Identifiksi Masalah …………………………………………………...11
C. Pembahasan dan Perumusan Masalah ………………………………12
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian …………………….……...12
E. Metode Penelitian …………………………………………………….14
F. Sistematika Penulisan ………………………………………………...16

BAB II RIWAYAT HIDUP RASULULLAH SAW


A. Masyarakat Arab Pra Islam dan Kelahiran Rasulullah ……………….18
B. Pengalaman Hidup Rasulullah SAW …………...……………………22
C. Pribadi Rasulullah SAW ………………………………………..........24
D. Risalah Muhammad SAW ………………………………………..….26

BAB III HAL IHWAL DAKWAH DALAM MASYARAKAT MADANI


A. Dakwah …….…………………………..…………………………….29
1. Pengertian Dakwah ………………………..……………………...29
2. Konsep Dakwah Pergerakan (da’wat Harakat) ……………...........35
3. Dakwah dan Dinamika Sosial .........................................................45
4. Perkembangan Konsep Dakwah ......................................................48
5. Dakwah Kultural , Struktural dan Dakwah Integratif ……………..54
6. Tugas Pokok dan Fungsi Kenabian ………………………………. 60
7. Unsur - unsur Gerakan Dakwah ………………………………….. 63
B. Masyarakat Islam …………………………………………………….. 68
1. Pengertian Masyarakat Islam …….………………………………. 68
2. Masyarakat Islam menurut al-Qur’an dan al-Sunah ……………. .69
3. Transformasi Menuju Masyarakat Islam ………………………… 74

BAB IV DAKWAH ISLAM DAN RASULULLAH SAW


A. Turunnya Wahyu ( Perintah Berdakwah ) ……………………...……..91
1. Penobatan Muhammad Saw menjadi Rasul …………..…………. 94

2. Pribadi Muslim ………………..…………………………………..98

B. Dakwah Islam Periode Mekah ……………………………..…………99


1. Proses Dakwah ……………………..……………………………..99
2. Hambatan - hambatan Dakwah …….……………………………103
3. Peristiwa Isra’ Mi’raj…………………………………………......106
C. Dakwah Islam Periode Madinah ……………………...……………...110
1. Peristiwa Bai’at Aqabah I dan Ke II ……………..………………110

2. Hijrah ke Madinah ……………………………………………….113

3. Piagam Madinah ……………………………………….………...115

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………..……………….…..123
B. Saran - saran ………………………………………………………….123

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dakwah merupakan jalan menuju Islam, sebagaimana telah digambarkan dalam

Al-Qur'an : QS. Al-Imran (3): 19

Artinya : "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada
mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (Depag RI, 1978: 102).

Dakwah merupakan jalan menuju Islam maksudnya adalah panggilan dari Allah

SWT melalui Nabi Muhammad SAW untuk umat manusia agar menganut ajaran Islam

(agama), dengan cara beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Bersikap sesuai dengan

garis-garis aqidah dan syariat serta akhlak islamiyah, Islam adalah agama yang mencakup

dan mengatur segala aspek kehidupan manusia guna memperoleh ridha dari Allah SWT.

Pada permulaan kenabian Muhammad SAW, mencanangkan ide-ide pokok tentang

Islam, kemudian tahap selanjutnya mengajarkan ibadah, perundang-undangan sosial dan

pidana atau hukum Al-Qur'an yang diterapkan oleh Islam. di Mekkah ajaran Islam masih

bersifat semu, tetapi dalam periode Madinah ajaran itu menjadi universal. Islam merupakan
kesatuan, keseluruhan, tidak merupakan aspek agama di satu pihak dan aspek sosial dan

politik di pihak lain. Jadi Islam di sini adalah agama risalah yang dikembangkan oleh

Rasulullah SAW dan agama Islam adalah agama dakwah artinya agama yang di dalamnya

terdapat kewajiban untuk menyebarluaskan kebenaran dalam mengatur segala aspek

kehidupan orang mukmin (Boisard, 1980: 52).

Dari sisi lain dakwah adalah upaya setiap muslim untuk merealisasikan fungsi

kerisalahan dan fungsi kerahmatan. Fungsi kerisalahan berarti meneruskan tugas Rasulullah

SAW, yang patut dijadikan tauladan dalam segala budi pekertinya di setiap nafas zaman.

Berkat jasa-jasa perjuangan dakwahnya menyebarkan agama Islam benar-benar membawa

rahmat bagi seluruh alam, dan membawa tatanan dunia baru yang tentram dan damai. Dan

dakwah secara umum adalah upaya menyampaikan agama Islam kepada seluruh umat

manusia.

Berdakwah termasuk ibadah yang paling agung dan ibadah yang memberikan

banyak manfaat kepada umat manusia. Kewajiban berdakwah untuk menyebarkan ajaran

Islam adalah tanggung jawab umat Islam di manapun berada. Lewat seruan itu, umat Islam

dituntut membuat perubahan dalam segala bidang sehingga menjadi situasi yang lebih baik

(Hsubky, 1995: 70). Dengan berpedoman pada ilmu dakwah yang bersumber dari kitabullah

dan sunah Rasulullah SAW diharapkan dapat menyempurnakan dakwah Islam yang

dilakukan oleh para da'i. oleh karena itu setiap pelaku dakwah (da'i) haruslah melengkapi diri

dengan ilmu pengetahuan, medan dakwah termasuk kondisi sosial masyarakatnya, metode

dan strategi dakwah.

Di samping itu harus memiliki niat yang ikhlas, sabar, lemah lembut dan sesuai

dengan cara-cara Nabi. Dakwah juga harus dijauhkan dari unsur-unsur yang kurang terpuji

misalnya; sombong, gila sanjungan ataupun gila kemasyhuran, dan yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islam. Selain itu berdakwah juga harus bisa menciptakan suasana gembira,

nyaman, tidak terkesan bahwa agama Islam itu memberatkan.

Sumber ajaran Islam membuat perbedaan secara tegas antara kebenaran dan

kesalahan, al-haq dan al bathil, antara ma'ruf dan munkar. Dakwah Islam memihak kepada

kebenaran; al-haq, ma'ruf, karena sesuai dengan fitrah manusia. Dengan demikian ada

hubungan antara Islam, dakwah, fitrah manusia dan kebenaran karena dalam prakteknya

dakwah merujuk pada fitrah manusia. Karena dalam fitrah itulah ada kebenaran. Jadi hakikat

dakwah adalah mengajak manusia kembali kepada hakikat fitri, jalan Allah, tanpa ada unsur

paksaan dan tipu muslihat (Sulthon, 2003 : 56).

Muhammad SAWadalah Rasul yang membedakan dengan jelas antara kebenaran

dan kebathilan. Beliau diberi cahaya dan petunjuk oleh Allah dalam berdakwah. Beliau

tercipta dalam keadaan ma'shum (dihindarkan dari segala kesalahan) oleh Allah SWT. Beliau

adalah keturunan bangsawan Arab yang lahir di Mekah, 20 April tahun 571 M. Dakwah juga

merupakan tugas Rasulullah yang patut dicontoh dan merupakan kehidupan Rabbaniyah.

Dakwah memerlukan pengorbanan tanpa mengharapkan imbalan dan hasil yang segera,

tanpa putus asa.

Individu yang melaksanakan dakwah akan mendapat kehidupan yang berkah dalam

ridha Allah dan mendapat kecintaan Allah, memperoleh rahmat Allah serta akan menerima

pahala yang berlipat ganda sebagai balasannya, karena dakwah merupakan amal terbaik yang

dapat memunculkan potensi diri dan memelihara keimanan yang kita dimiliki. Kedudukan

Muhammad SAW sebagai Rasulullah adalah pemberi kabar gembira, mendakwahkan agama

Islam, sedangkan hidayah itu hanya milik Allah. Sehingga dakwah dalam pengertian agama

adalah panggilan dari Allah dan Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia agar percaya

kepada ajaran Islam serta mengamalkannnya dalam segi kehidupan.


Dalam konteks inilah kegiatan dakwah dapat mengambil dua bentuk yakni dakwah

strutural dan dakwah kultural. Dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang beada dalam

kekuasaan. Aktifitas dakwah ini bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan menggunakan

struktur sosial, politik maupun ekonomi yang ada untuk menjadikan Islam menjadi ideologi

negara. Sedangkan dakwah kultural yaitu aktifitas dakwah yang menekankan pendekatan

Islam kultural, nilai-nilai kebangsaan dalam bentuk negara-negara bangsa yang berkaitan

antara Islam dan politik atau Islam dan negara.

Beberapa strategi pada dasarnya adalah ikhtiar kultural agar fungsi dakwah itu

bercorak fungsional. Adapun tiga faktor dakwah menampilkan Islam kultural yaitu;

keuniversalan, kerahmatan dan kemudahan Islam . Islam secara kontekstual merupakan

aktifitas dakwah kultural untuk mencari hakikat Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman

yang terus berkembang, sehingga tujuan dakwah kultural adalah agar ajaran nilai-nilai Islam

dapat diimplementasikan secara aktual dan fungsional dalam kehidupan sosial sehingga

dakwah Islamiyah bagaimanapun kuat dorongannya dan sungguh - sungguh sifatnya, tidak

mungkin dilakukan dengan kekerasan, karena hal tersebut bertentangan dengan kehendak

Allah yang dalam bentuk ekspresi keluhuran budi umat manusia (Sulthon, 2003: 37) .

Pemahaman yang seperti inilah yang dijalankan Nabi kita Muhammad SAW dalam

menjalankan dakwah Islamiyah untuk meninggalkan pengaruh masyarakat pra-sejarah Islam

(jahiliyah) menuju masyarakat peradaban Islam atas dasar syari’ah Islam. Rasulullah SAW

adalah seorang pemimpin agama sekaligus pemimpin pemerintahan pada zaman peradaban

Islam yang telah mengorbankan seluruh waktu, tenaga, pikiran dan harta benda, tanpa

pamrih demi penataan dan pelaksanaan organisasi dakwah Islam. Rasulullah SAW dengan

sejarah dakwah Islamiyah merupakan jawaban dari segala permasalahan yang menimpa

kaum muslimin.
Proklamasi monotheisme yang berarti menolak penyembahan tradisional terhadap

arca - arca dan nenek moyang telah membendung kekuatan yang mengancam dan

menghancurkan masyarakat. Meski begitu, visi dan pemikiran Rasulullah dalam

menyebarkan agama Islam yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual sangatlah

universal. Bahkan dalam pelaksanaannya menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara

radikal.

Misi utama dakwah Rasulullah SAW adalah untuk mewujudkan kemaslahatan

semesta dari semua prinsip dan nilai-nilai universalitas Islam. Islam sebagai suatu nilai-nilai

yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam segala aspeknya dan bukan Islam yang

dipahami sebatas simbol dan ritual peribadatan semata. Dakwah Islam merupakan

perjuangan jihad di jalan Allah SWT. Pengertian jihad secara umum adalah setiap tindakan

positif untuk membela kebenaran atau melawan hawa nafsu. Jihad fi sabilillah tidak boleh

pudar dari jiwa setiap ulama dan umatnya demi tegaknya Islam. Sabda Nabi SAW, "Barang

siapa berperang untuk menegakkan kalimah Allah (Islam yang mulia maka ia berjuang di

jalan-Nya" (HR. Bukhori Muslim).

Jihad tidak hanya terbatas pada peperangan melawan musuh, jihad pun dapat

dilakukan dengan pengorbanan harta dan jiwa dengan tulus ikhlas dalam menegakkan agama

Allah SWT. Sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan As-Sunah. Bagi umat Islam, harta dan

jiwa adalah sesuatu yang harus dikorbankan oleh Islam, bukan sebaliknya (Hsubky, 1995:

106). Adanya berbagai hambatan dakwah yang berupa ancaman, teror, tindak kekerasan dan

pembunuhan, Rasulullah SAW mulai memberikan instruksi kepada para pengikutnya untuk

hijrah ke Madinah.

Peristiwa itu merupakan permulaan era Islam dan permulaan sejarah Islam. Hijrah

berarti pindah, lari atau buang. Agama Islam menambah arti khusus yaitu arti memutuskan
hubungan dengan kebodohan, menolak kemungkaran dan kekufuran, dengan ringkas hijrah

adalah suatu tindakan keimanan dengan mengasingkan diri oleh sebab hal-hal yang

memaksa. Di Mekah Rasulullah SAW mengawali dakwah Islam dengan membentuk

manusia-manusia muslim pertama yang merupakan minoritas tertindas dan membutuhkan

moral dan bukan perundang-undangan sosial yang mereka tidak akan dapat menerapkannya.

Kemudian di Madinah, dengan pribadi yang sudah dididik dengan iman, Islam

membentuk masyarakat persamaan dan gotong royong dengan peraturan-peraturan yang

diwahyukan. Kronologi yang menggambarkan proses lahirnya masyarakat Islam dari

prasejarah Islam tanpa mengurangi sifat universalitas Islam (Boisard, 1980: 51- 52).

Kehidupan Rasulullah SAW semenjak hijrah ke Madinah merupakan bagian yang tidak

terpisah dari sejarah Islam. Beliau selalu sabar dan tegas dalam menjalankan dakwah Islam,

sifat-sifat Rasulullah telah memberi contoh kepada masyarakat spiritual klasik. Ketiga sifat

khusus itu antara lain ketaqwaan (piete), siap berjuang (combativite), dan kebesaran jiwa

(magnanimite). Kepribadian luhur Rasulullah SAW merupakan cahaya umat Islam yang

mampu menerangi jiwa dari kegelapan. Dalam perspektif ini nampak jelas wajah

universalitas Islam tidak perlu dibenturkan secara klasikal dengan tantangan-tantangan

temporel, karena Islam pada hakikatnya adalah nafas zaman itu sendiri.

Islam juga merupakan agama wahyu (samawy Ilahi) karena bersumberkan pada Al-

Qur'an dan As-Sunah An-Nabawiyah. Muhammad SAW dijadikan sumber karena diyakini

bahwa jati diri Muhammad SAW adalah personifikasi dari wahyu juga yang mampu

menjelaskan agama Allah dan kitab suci Al-Qur'an secara benar dalam tataran realitas

historis. Sehingga, tidak diragukan bagi Al-Qur'an dan penjelasannya As-Sunah adalah

monodualisme sumber Islam untuk segala ruang dan waktu (limited) universal (Mochtar,

1997: 24).
Keberadaan Rasulullah SAW selaku personifikasi wahyu berada dalam ruang dan

waktu tertentu, beliau hidup membentuk, membangun dan mengembangkan ajarannya

setelah berinteraksi dengan kondisi, situasi, kultur, tradisi dan konstruksi sosial-budaya

politik masyarakat Arab yang sangat pluralistik. Sementara Al-Qur'an sebagai sistem nilai

yang dijelaskan bersifat universal (syumul), lintas ruang dan waktu. Proses interaksi yang

intens antara universalitas Al-Qur'an dan partikularitas kultur asli masyarakat Arab, itulah

sebuah realitas pembangunan Islam.

Dengan demikian dakwah Islam oleh Rasulullah SAW dapat disimpulkan bahwa

agama Islam yang dibangun atas dasar, dialektika doktrin (wahyu) yang universal dengan

tradisi (realitas) yang partikular, nilai transedental dengan nilai imanental, kehendak Allah

SWT. Dengan kata lain Islam adalah penjelmaan dari theoantroposentris. Dan kehidupan

Rasulullah SAW merupakan eksperimentasi sejarah manusia yang ideal (khairu ummah).

Logikanya, apabila kita menjadikan Islam pada masa Rasulullah SAW, sebagian Islam yang

ideal sekaligus sebagai parameter yang otoritatif. Sebagaimana otoritas Al-Qur'an, maka

tentu saja sesudah masa itu tenggelam hilang pula wajah agama Islam yang suci yang dibawa

oleh Rasulullah dalam kegiatan dakwahnya (Engineer, 1993: 26)

Yang menarik bagi penulis dari dakwah Islamiyah Rasulullah SAW pada masa

peradaban Islam adalah adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam menyampaikan

agama Islam. Melalui tahapan-tahapan inilah (tahapan dakwah periode Mekah dan Madinah)

Rasulullah SAW membangun pemerintahan Islam yaitu mengubah susunan masyarakat dari

susunan masyarakat prasejarah Islam ke masayarakat Islam yang bersistem keadilan sosial

dan berdasarkan syariat Islam.

Dari tahapan-tahapan ini tampak strategi dakwah yang tepat yang bisa dijadikan

model untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Dalam merefleksikan kepemimpinan umat
Islam, figur ideal kepemimpinan Rasulullah SAW ditampilkan sebagai sendi dan sistem

kepemimpinan yang tetap relevan dan penuh teladan. Di tengah krisis kepemimpinan

manusia di dunia hampir setiap suksesi kepemimpinan menimbulkan konflik yang

berkepanjangan dan jatuhnya korban manusia. Tidak hanya itu tata nilai dan sistem

kepemimpinan yang lebih sarat kepentingan dan manipulasi semakin mengaburkan

kepercayaan umat sekaligus kehilangan pegangan moral dan nasibnya.

Rasulullah SAW dengan keindahan dan kesempurnan akhlaknya merupakan

jawaban dari permasalahan yang menimpa kaum muslimin dengan segenap sumber daya dan

perangkat yang dimiliki tampil sebagai sinar cahaya Islam kembali kepada keutuhan Islam.

Ajaran Rasulullah SAW yang dibawa dalam kegiatan dakwah disajikan dengan sistematis

dan esoteris, yang menyentuh unsur batiniyah dan kejiwaan umat Islam (Khalid, 1984: 275-

288).

Dewasa ini manusia hidup dalam suatu zaman yang penuh dengan citra kinetik,

yaitu citra masyarakat yang terus berubah sebagai hubungan manusia yang bergerak cepat

ditambah dengan kondisi obyektif masyarakat modern yang mengalami perubahan karakter

karena masuknya budaya-budaya barat (westernisasi) yang masuk ke Indonesia, dan adanya

penyelewengan - penyelewengan nilai-nilai Islam. Semakin hari tantangan realita kehidupan

yang dihadapi umat Islam semakin banyak. Bentuknya pun beragam dari yang mikro kepada

yang makro, dari urusan individu sampai masalah politik, sosial, ekonomi, konflik ideologi.

Krisis multidimensi yang dialami menimbulkan bebagai konflik, hampir dalam

semua segi mengalami kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi, misalnya dari

sisi politik mereka terjajah, dari segi ekonomi mereka marjinal, dalam masalah pendidikan

dan ilmu pengetahuan masih tertinggal, serta dalam aspek sosial budaya masih mengekor

pada kehidupan barat dan dari segi kefahaman terhadap ajaran Islam sendiri mereka masih
jauh dari memadai. Dengan berbagai masalah tersebut, kebenaran Islam mendapat tantangan

untuk memberikan solusi yang tepat terhadap persoalan ini dapat terselesaikan jika umat

Islam bisa memahami eksistensi agamanya menuju jalan Allah SWT, dan mampu

meneladani sejarah perjuangan Rasulullah SAW terlepas dari sifat kemungkaran.

Dengan mengulas sejarah perjuangan Rasululah dalam dakwah Islam merupakan

jawaban yang dibutuhkan yang kemudian dapat diambil hikmahnya, karena tujuan dari misi

dakwah Islamiyah ialah mencegah segala kemunkaran atau kebatilan dari umat manusia.

Proses dakwah Islam oleh Rasulullah SAW, terdapat tahapan dakwah faktual dimana pada

tahapan yang pertama (di Mekah), Rasulullah membentuk pribadi muslim dari pengaruh

masa jahiliyah (pra sejarah Islam), dan pada tahapan kedua (di Madinah) dengan pribadi

muslim yang sudah terbentuk, rasulullah mulai membangun sebuah pemerintahan

masyarakat Islam yang bersistem keadilan sosial dan berdasarkan syariat Islam dengan akta

Piagam Madinah sebagai undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakatnya yang

plural (majemuk).

Rasulullah SAW telah membangun pemerintahan Islam di Madinah di mana

masyarakatnya mempunyai latar sosial budaya yang sangat plural (majemuk). Penduduknya

terbagi ke dalam kelompok-kelompok etnik, ras dan agama yang berbeda. Kemajemukan

tersebut terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang didomisili oleh berbagai golongan

suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama dan keyakinan yang berbeda.

Ada empat golongan dominan saat itu, yaitu: 1) Kaum Muslimin yang terdiri dari Muhajirin

dan Ansor, 2) Golongan Aus dan Khazraj dengan keislamannya masih dalam tingkat

nominal bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi (kaum munafik dan musyrik), 3)

Golongan Aus dan Khazraj yang menjadi muslim, 4) Golongan Yahudi yang terdiri dari tiga

suku utama yaitu Banu Qainuqa, Banu Nadzir dan Banu Quraidhah.
Pada umumnya faktor ini mendorong konflik yang tidak tidak mudah diselesaikan,

tetapi Piagam Madinah (47 butir) merupakan upaya untuk menundukkan permasalahan

masyarakat bangsa yang sedemikian plural itu pada konteks yang proporsional. Dalam

kontreks ini Islam tampaknya memang didesain untuk bisa menata kehidupan sosial dalam

segala aspek. Sebagaimana bisa dilihat dalam perumusan dan pelaksanaan butir-butir Piagam

Madinah, yang hadir dengan gagasan baru bagi suatu bentuk tatanan "Masyarakat baru" yang

disebut umat (community) dalam sejarah umat manusia.

Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7 M adalah model yang

paling ideal dan sempurna (par-excellence) karena keberhasilannya membangun

pemerintahan di Madinah. Karena alasan-alasan inilah, penulis menjadikan Piagam Madinah

sebagai basis kajian untuk memperoleh kejelasan nilai normatif dan empiric Islam dalam

pergumulannya di tengah masyarakat pluralistik ( Azyumardi Azra, 2005: 96-97).

Untuk itu penulis mencoba untuk melakukan penelitian tentang sebuah perjalanan

dakwah Rasulullah yang penulis anggap mampu untuk memberikan solusi atas krisis moral

dalam masalah di atas, dengan Judul Strategi Dakwah Rasul di Mekah dan Madinah .. Judul

ini perlu diangkat karena di samping untuk menambah khazanah pengetahuan dakwah Islam

juga untuk mengembangkan pemikiran dan pengetahuan dakwah yang telah ada di tengah-

tengah masyarakat tersebut dapat berkembang lebih baik.

Di samping itu dakwah Islamiyah oleh Rasullullah jika dicermati menjadikan kita

manusia yang beriman berguna di dunia maupun di akhirat, dengan sasaran dakwahnya ialah

memerangi kemungkaran dan kembali kepada jalan Allah SWT. Judul ini memuat persoalan

yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Diawali dengan memaparkan riwayat hidup

Nabi sampai tekad perjuangan dakwah yang tidak pernah luntur karena halangan atau

rintangan.
Dalam mendakwahkan agama Islam, Nabi Muhammad menggunakan strategi

dakwah dan hijrah demi terwujudnya tujuan dakwah. Kemudian dibuat suatu akta yang

disebut Piagam Madinah untuk mengatur dan mempersatukan umat atau masyarakat yang

majemuk serta untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dibangun oleh Nabi (pemimpin

negara). Kemudian diakhiri dengan pembahasan kesuksesan Nabi Muhammad sebagai

pemimpin pemerintahan. Di mana letak kunci suksesnya? Di mana kunci sukses

kepemimpinan Nabi Muhammad SAW ini masih relevan untuk diteladani setiap zaman

bahkan di Indonesia pada era globalisasi ini.

Sejarah perjuangan Rasulullah SAW tidak pernah luntur karena halangan dan

rintangan hijrah Rasulullah SAW dalam mennjalankan misi dakwah Islam merupakan

alternatif juga garis start kelahiran peradaban baru yang membawa kesejukan dan rahmat

bagi serata alam (rahmatan lil 'alamin). Konteks Islam tentang sejarah perjuangan dakwah

Rasululah SAW adalah unik dan bersifat universal. Dalam beberapa hal ia lebih signifikan

bagi kaum muslim daripada kelompok-kelompok umat yang lain. Dalam perspektif Al-

Qur'an, Islam diturunkan untuk menyebar rahmat ke seluruh alam (Shidiqi, 1996: 3-5).

B. Identifikasi Masalah

Setelah dikemukakan tentang gambaran dari latar belakang masalah tersebut di atas,

maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Rasulullah SAW mendakwahkan agama Islam diawali dengan dakwah di

Mekah kemudian hijrah ke Madinah .

2. Keindahan dan kesempurnaan akhlak Rasulullah SAW sebagai pemimpin

agama maupun pemimpin pemerintahan adalah tauladan umat Islam di setiap

napas jaman.
3. Untuk mengetahui tatanan atau sistem pemerintahan yang dibangun Rasulullah

SAW dibuat sebuah akta Piagam Madinah untuk mengatur masyarakatnya

yang majemuk. Dari piagam ini beliau telah berhasil mempimpin umatnya

dalam membangun plurarisme .

C. Pembahasan dan Perumusan Masalah

Tujuan dari perumusan masalah adalah memberikan dan mempertegas hubungan

korelasi (keterkaitan) pada ruang lingkup pembahasan. Untuk mempermudah dan sedikit

membantu uraian di atas, berikut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana perjalanan dakwah Rasulullah pada periode Mekah?

2. Bagaimana perjalanan dakwah Rasulullah pada periode Madinah?

3. Apa saja kunci sukses kepemimpinan Rasulullah SAW dalam dakwah yang

patut untuk diteladani?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan gambaran permasalahan di atas dapatlah dikemukakan bahwa tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendapatkan kejelasan tentang perjalanan dakwah Islamiyah Rasulullah

periode Mekah .

2. Untuk mendapatkan kejelasan tentang perjalanan dakwah Islamiyah Rasulullah

periode Madinah .
3. Untuk mengetahui kunci sukses dakwah Rasulullah dalam memimpin umat

Islam .

1.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :

1. Akademik :

 Diharapkan dapat dijadikan pengembangan dakwah Islam yang terus

dinamis dan progresif serta mampu memberikan sumbangan moril

kepada insan akademis serta bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya dalam mendalami dan mempelajari ilmu dakwah.

 Dapat membantu dan memperkaya pemikiran mahasiswa tentang

pengetahuan dan penataan dakwah.

2. Praktis :

 Sebagai khazanah pengetahuan dakwah Islam guna mengembangkan

pemikiran dakwah yang sesuai dengan tuntutan zaman atau tingkat

perkembangan masyarakat yang sedang berkembang.

 Sebagai sumbangan ilmiah Islami di bidang dakwah guna meningkatkan

keilmuan dalam disiplin ilmu dakwah.

 Dapat dijadikan materi yang dipertimbangkan guna pembenahan dakwah

, khususnya dalam pengetahuan dasarnya, karena diperkirakan masih

banyak penyelengaraan dakwah pada masyarakat yang masih kurang

berbobot.
3. Pembaca :

 Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan dasar untuk

menerapkan nilai - nilai kemanusiaan dan budi pekerti kepada Rasulullah

dalam menjalani realita kehidupan.

 Diharapkan dapat dijadikan referensi bagi para sahabat serta umat Islam

pada umumnya untuk meneladani sikap Rasulullah.

E. Metode Penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan metode atau jenis penelitian kepustakaan

(literatur) karena tulisan-tulisan ini ditulis dalam waktu yang berbeda dan pada media forum

yang berbeda pula. Maka dalam bentuk aslinya tidak dapat diletakkan terjadi pengulangan

informasi dan pendekatan yang dipakai oleh penulis adalah pendekatan sejarah. Penelitian

pustaka adalah penelitian yang menelaah bahan pustaka atau buku-buku yang berkaitan

dengan topik pembahasan. (Keraf. 2001 : 165) .

1. Sumber Data

Sumber data menurut sifatnya dapat digolongkan menjadai dua, yaitu meliputi :

a. Sumber data primer, yaitu sumber-sumber yang memberikan data langsung dari

tangan pertama.

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber yang mengutip dari sumber lain.

Maka dalam penelitian ini, peneliti, memperoleh data yang diperlukan dari sumber

data sekunder yaitu ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits nabi yang terdapat dalam satu

kitab yang berbicara mengenai dakwah serta buku-buku yang dibahas oleh para ahli dakwah

yang mengulas masalah tersebut seperti fiqh dakwah, planning dan organisasi dakwah
Rasulullah SAW, psikologi dakwah, kemanusiaan muhammad, desain ilmu dakwah, jeram-

jeram peradaban muslim dan lain sebagainya.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan dengan prosedur sebagai

berikut:

a. Menentukan data yang digunakan dalam penelitian ini.

b. Melacak sumber data kemudian membaca dan mencatat tulisan yang berkaitan

dengan masalah yang akan diteliti.

c. Catatan di atas diklasifikasikan disusun berdasarkan masalah yang akan diteliti.

(Rokhmat, 2004 : 23 ).

3. Tehnik Analisa Data

Analisa data merupakan proses penyelenggaraan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca

dan diinterprestasikan. Setelah data-data diperoleh, kemudian diolah, dipaparkan dan

dianalisa dengan menggunakan alur pemikiran, yaitu:

a. Metode deduktif adalah pola pikir yang bermula dari masalah yang bersifat umum ditarik

kesimpulan kepada yang bersifat khusus.

b. Metode induktif adalah pola pikir yang bermula dari masalah yang bersifat khusus ditarik

kesimpulan kepada yang bersifat umum.

Di sini penulis mencoba menggunakan ketiga metode tersebut dalam melakukan

proses analisa, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan, terkadang diawali dengan

menggunakan sejarah-sejarah global dakwah Islam Rasulullah SAW untuk kemudian

dilakukan penjabaran pada hal-hal yang bersifat khusus, terkadang juga diawali dengan

sejarah khusus Rasulullah SAW kemudian diawali sebuah conclusi yang bersifat umum.
c. Metode historis

Historis artinya berhubungan dengan sejarah, dan sejarah merupakan studi tentang

masa lalu dengan menggunakan kerangka paparan dan penjelasan. Sejarah adalah studi

empiris yang menggunakan berbagai tahap generalisasi untuk memaparkan, menafsirkan dan

menjelaskan data (Rakhmat, 2004: 22). Metode historis adalah Metode ilmu dakwah dengan

menggunakan pendekatan ilmu sejarah. Maksudnya realitas dakwah dilihat dengan

menekankan pada semua unsur dalam sistem dakwah dalam perspektif waktu dan tempat

kejadian. Dengan metode ini fenomena dakwah dapat dideskripsikan secara komprehensif

dan utuh (Sulthon, 2003 : 111). Sehingga metode historis bertujuan untuk merekonstruksikan

masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan

menyintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dipertahankan

dalam menguji hipotesis.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menganalisa data adalah

analisa deskriptif kualitatif, yakni dimaksudkan untuk eksplorasi san klarifikasi mengenai

sesuatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel

yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Menurut Isaac dan Michail (1972:

18), metode deskriptif bertujuan melukiskan secara sistematis suatu peristiwa atau siatuasi

secara faktual dan cermat (Rakhmat, 2004: 24) .

F. Sistematika Penulisan

Mengenai sitematika penulisan dalam penelitian ini nantinya akan disusun dalam

lima bab yaitu dimulai dengan bab pertama pendahuluan yang menampilkan latar belakang

penelitian ini dilakukan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika penelitian. Bab kedua membahas tentang tinjauan umum tentang dakwah Islam
yang meliputi tinjauan umum tentang dakwah Islam; pengertian dakwah, tujuan dakwah,

hukum dakwah, faktor-faktor keberhasilan dakwah, unsur-unsur dakwah serta dinamika

sosial dakwah. Bab ketiga membahas tentang riwayat hidup Rasulullah yang dimulai dari

masyarakat pra Islam dan kelahiran Rasulullah SAW, pengalaman hidup Rasulullah SAW,

kepribadian Rasulullah, rislah Muhammad SAW serta Rasul yang umi. Bab keempat

membahas tentang dakwah Islam Rasulullah yang meliputi sejarah turunnya wahyu dari

Allah, dakwah Islam peiode Mekah dan periode Madinah serta kunci sukses kepemimpinan

Rasulullah dalam berdakwah. Dan bab kelima berisi tentang kesimpulan dan saran-saran .
BAB II

RIWAYAT HIDUP RASULULLAH SAW

A. Masyarakat Arab Pra-Islam dan Kelahiran Rasulullah

Jazirah Arab merupakan bangsa yang plural dengan berbagai suku keyakinan

(agama), dan kelompok-kelompok sosial yang dimiliki dengan kata lain pluralisme adalah

realitas yang tidak terbantahkan di Jazirah Arab pra- Islam. Terletak di barat daya Asia,

dengan jumlah penduduk sekitar 12.000.000 jiwa, terbagi menjadi delapan bagian dan

terdapat berbagai sukusuku Arab yang berserak di Jazirah Arab masing-masing terbagi

dalam kelompok sosial yang memiliki keyakinan ataupun agama yang berbeda (Amaly,

1986: 11).

Jazirah Arab terbagi menjadi delapan bagian yaitu: Hijaz, Yaman, Hadramaut,

Daerah Muhrah, Daerah Umman, Haza, Nejd, serta Daerah Ahqaf. Kota Mekah dan

Madinah adalah bagian dari Hijaz. Kekuasaan Jazirah Arab tunduk kepada bangsa Quraisy

yang terbagi dalam 10 golongan yaitu; a) suku Quraisy dari Bani Adi Umar bin Al Khathab,

b) suku Quraisy dari Bani Hushaish, Harits bin Qais, c) suku Quraisy dari Bani Yaqtah,

Khalid bin Walid, d) suku Quraisy dari Bani Taim, Abdullah bin Usman, e) suku Quraisy

dari Bani Qushai, Asad bin Abdul Azza, f) suku Quraisy dari Bani Thalhah, Ustman bin

Thalhah, suku Quraisy dari Bani Abdul Muthalib, Abbas bin Abdul Muthalib, g) suku

Quraisy dari Bani Naufal, Harits bin Amr, h) suku Quraisy dari bani Harb bin A Syamsin,

Abu Sufyan bin Harb, j) suku Quraisy dari Bani Harb bin Sufwan dan masing-masing dari

mereka tergolong dalam kelompok sosial antara golongan bangsawan dan golongan rakayt

biasa di negeri Arab banyak orang-orang Yahudi, orang Kristen dan orang-orang Majusi

serta orang-orang yang tidak beragama.


Bangsa Arab dulunya mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s. agama tauhid, namun

lama kelamaan berganti dengan agama buatan sendiri akibat mengikuti prasangka-prasangka,

angan-angan dan khayalan. Plurarisme bangsa Arab pra- Islam merupakan instrumen dari

kemajemukan masyarakat Arab yang bisa menjadi persoalan krusial. Kerusakan-kerusakan

yang parah dibidang agama, politik, sosial, dan ekonomi. Pada abab VI M menunjukkan

bahwa individualisme “pengaruh aku” yang mengakibatkan krisis akhlak melanda kepada

masyarakatnya, maka dari itulah Allah SWT mengutus Muhammad SAW untuk

menyempurnakan “akhlak” hormat diri yang mulia (Amaly, 1986: 29) .

Kerusakan di bidang agasma fitrah ialah kebanyakan masyarakat membuat “dasar

hidup” sendiri berdasarkan akal saja dengan pengaruh lingkungan hidup serta “rasa

kepuasannya” mereka enggan menganut agama Allah SWT (agama fitrah: Islam) sehingga

berakibat mereka menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu makhluk lain. Kerusakan

dibidang politik terletak pada terhapusnya rasa “keadilan” oleh karena mereka membuat tata

negara “menurut kemauan pandangan akal pikirannya” tanpa mengindahkan tata negara.

Tuhan memiliki hak mutlak alam semesta ini dan kerusakan di bidang sosial adalah

terlihat pada masyarakat akan keburukan-keburukan jiwa yang amat buruk lantaran rakyat

biasa (kaum dhu’afa) terlalu dikendalikan oleh bangsawan-bangsawan atau oleh atasan-

atasan sehingga jiwa mereka tidak mempunyai kebebasan. Adapun kebiasaan yang buruk

mengubur anak wanita hidup-hidup yang kaya memeras yang miskin, yang berkuasa

menginjak-injak rakyat jelata sehingga sifat perikemanusiaan “menjadi terhapus”.

Sedangkan kerusakan dibidang ekonomi adalah negara tidak subur dan makmur lantaran

biaya-biaya pelenggaraan negara dan berbagai macam pajak yang tinggi nilainya dibebankan

di atas pundak rakyat.


Sehingga kekuatan rakyat menjadi lemah dan timbul berbagai macam mala petaka

ataupun bencana yang menimpa mereka. Demikianlah pluralisme negara Arab sebelum

Islam yang mempunyai potensi konflik yang besar (Amaly, 1986: 31) Di tengah-tengah

masyarakat dengan kondisi seperti itulah Allah mengutus Nabi Muhammad SAW. Ia

membawa wahyu yang menjadi landasan segala sikap dan perilakunya. Nabi Muhammad

SAW, tidak membawa tugas untuk menghapuskan wahyu-wahyu sebelumnya, akan tetapi

untuk memberikan konfirmasi kepada wahyu tersebut .

Selain itu untuk menolak perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam kitab-kitab

suci sebelumnya. Beliau ditugaskan untuk memurnikan ajaran nabi-nabi sebelumnya dari

pemalsuan-pemalsuan serta mengembangkan dan menyempurnakan, agar dapat sesuai

dengan seluruh manusia pada segala zaman dan segala tempat (Subky, 1995: 32).

Firman Allah : Q.S. at-Taubah: 33:

Artinya : “Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa petunjuk (Al-Quran)
dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang
musyrikin tidak menyukai.” Q.S. At-Taubah: 33).

Beliau tuanku Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib (Syaibah) bin Hasyim

(Amru) bin Abdul Manaf (Al Mughirah) bin Qusyhay (zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab

bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An Nadhr bin Kinanah bin Khuzaenah bin

Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin nizar bin Mo’ad bin Adnanm sampai di sinilah

terhenti nasab yang sahih dari arah ayahnya. Ibunya Amirah bin Wahab bin Abdul Manaf bin

Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr nasab ibu dan nasab

ayahnya bertemu pada kilab bin murroh. Ayahnya Abdullah meninggal di Medinah dan

dimakamkan di sana pula dalam perjalanannya pulang dari Ghazah negeri syam.
Ketika itu Rasullah SAW dalam kandungan ibunya dua bulan (Ibrahim, 1991: 1-2)

Rasulullah SAW lahir di waktu menjelang fajar subuh, hari senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal

tahun Gajah (20 April 571 M), di zaman Raja Persi Kisra Anu Syarwan yang adil di kota

Mekah tepatnya pada sebuah rumah di Safa kepunyaan Muhammad bin Yusuf; dijadikan

masjid ketika orang naik haji. Tahun kelahiran Rasulullah SAW disebut tahun Gajah karena

menjelang lahirnya beliau beberapa minggu kemudian gubernur Negus (Raja Abessinia),

Abrahah bin Al-Asyram yang membangun gereja besar lagi indah di Shoria, ibu kota negeri

Yaman yang belum pernah dibangun oleh raja-raja sebelumnya, hendak menghancurkan

Ka’bah dengan tentara bergajah sebanyak 12 tentara.

Namun usaha mereka tidak berhasil lantaran belum sampai di kota Mekah baru

sampai dekat “Arafah”, mereka diserang oleh burung-burung yang berbondong-bondong

(burung Ababil), yang melempari mereka dengan batu-batu kecil dari tanah yang terbakar

sehingga mereka musnah semuanya. Itulah yang tersebut di dalam Al Qur’an surat Al Fil

(surat gajah), yang bunyinya:

Artinya : “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak


terhadap tentara bergajah. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk
menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang
berbondongbondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang
terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat) (Q.S. Al-Fill:
1-5)

Rasulullah SAW adalah keturunan bangsawan karena baik dari keluarga ayah dan

ibu, keduanya termasuk golongan bangsawan yang dihormati di kalangan kabilah-kabilah

Arab. Setelah beliau lahir, beliau menetek kepada Halimah binti Dzuaib As-Sa’diyyah.

Demikian itu adat kebiasaan bangsa Arab, mereka mencari wanita upahan untuk menyusui

anak-anaknya, agar anaknya cerdas. Banyak wanita dari Bani yang mencari anak-anak

susuan, tetapi yang disukai Rasulullah SAW di antara mereka ialah Halimah.
B. Pengalaman Hidup Rasulullah SAW

Rasulullah SAW umur enam tahun oleh ibunya dibawa keluar ke pamannya dari

arah ibunya di Madinah, kemudian ibunya Aminah binti Wahab meninggal di desa Abwa,

suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Medinah dan dimakamkan disana pula. Ketika

itu ibunya berusia tiga puluh tahun. Dua tahun sesudah itu meninggal pula neneknya Abdul

Muthalib yang mengasuhnya itu. Setelah Muhammad SAW berusia 8 tahun neneknya

meninggal, kemudian beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, saudara ayahnya.

Ketika Rasulullah SAW di tangan Abu Thalib, beliau sering dibawa bepergian oleh

Abu Thalib ke negeri Syam, untuk berdagang. Sebelum sampai di negeri Syam di suatu

tempat yaitu Bushra, bertemu dengan Rahib (pendeta Nasrani); Buhairo. Ia melihat tanda-

tanda kenabian pada diri Rasulullah SAW dan menasehati untuk segera kembali ke Makkah,

karena kalau kaum Yahudi mengenalinya tentu akan mencelakakannya, Abu Thalib

kemudian segera menyelesaikan dagangannya dan segera kembali ke Mekah (Amali, 1986:

36).

Setelah usia Rasulullah SAW, menginjak empat belas tahun, terjadi “Perang Fijr”

antara suku Quraisy dan suku Kinanah pada suatu pihak dan suku Qis Ilan di lain pihak.

Peristiwa ini terjadi di “Nakhlah”, suatu tempat suci yang tidak boleh dicemari dengan

peperangan dan pertumpahan darah. Rasulullah membantu pemannya dengan kaum Quraisy

kalaulah tidak ada perdamaian. Setelah Abdul Muthalib wafat, kota Makkah mengalami

kemunduran, kehancuran terjadi diseluruh pelosok kota. Untuk menanggulangi hal tersebut

para pemuka Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad bin Uzza, Bani Zuhroh bin Kilab dan

Bani Tamim bin Murrah mengadakan musyawarah di rumah Abdullah bin Juda’an. Hasil

musyawarah tersebut adalah suatu kesepakatan berupa sumpah yang ada dalam sejarah
(fudhul), yang isinya adalah “Tidak seorangpun yang akan teraniaya di kota Makkah baik

oleh penduduk Makkah sendiri ataupun oleh orang lain. Barang siapa teraniaya harus dibela

bersama-sama”. (Amaly, 1986: 37).

Setelah dewasa, Rasulullah SAW berusaha hidup mandiri untuk mencukupi

kebutuhannya sendiri. Karena beliau dikenal sebagai pemuda yang rajin dan jujur maka

seorang janda bernama Khadijah binti Khuwalid, seorang bangsawan dan pedagang kaya

memberi kepercayaan untuk membawa barang dagangannya ke negeri Syam. Perjalanan

niaganya disertai oleh seorang pembantu Khadijah yaitu Maisaroh. Beliau dipilih sebagai

komisioner, lantaran sifat-sifat Rasulullah SAW, kepercayaan, kejujuran dan sifat dan

pembawaannya baik, akhlak yang terpuji maka, oleh kaumnya beliau dikenal sebagai “Al

Amin” (orang yang terpercaya). Jual belinya sangat maju dan mendapat keuntungan yang

besar.

Beberapa waktu setelah Rasulullah SAW pulang dari perjalanan ke negeri Syam

itu, datanglah lamaran dari Khadijah untuk menjadi suaminya. Kemudian hal itu

disampaikan kepada pamannya, Abbas bin Abu Thalib setelah dicapai kesepakatan

pernikahanpun dilangsungkan. Ketika itu Rasulullah Saw berusia 25 tahun sedangkan

Khadijah berusia 40 tahun. Khadijah adalah istri pertamanya. Khadijah mendampingi

Rasulullah Saw dengan setia dan menyertainya. Dari perkawinan yang diberkati Allah SWT

tersebut, beliau dikaruniai empat orang putri dan dua orang putra, yaitu: 1. Qasim, 2. Zaenab,

3. Ruqayyah, 4. Ummu Kulsum, 5. Fatimah, 6. Thayib. Kedua putranya meninggal ketika

masih kanak-kanak di masa Jahiliyah.

Ketika Rasulullah berusia 35 tahun, beliau diambil oleh orang Quraisy untuk

memperbaharui pembinaan Ka’bah. Ka’bah itu pernah terbakar dan rusak pondasinya

lantaran banjir. Ketika akan meletakkan “Hajrul Aswad” ditempatnya semula, terjadi
perselisihan. Orang-orang yang mulia yang boleh meletakkan Hajrul Aswad itu di tempatnya

semula. Perselisihan itu hampir menimbulkan peperangan, dan dapat dihentikan oleh orang

yang mula-mula masuk dari pintu Bani Syaibah. Kiranya Muhammad orang yang mula-mula

masuk melalui pintu itu. Oleh karena itu Muhammad dipilih sebagai hakim untuk

menyelesaikan perselisihan mereka itu.

Oleh Muhammad dibentangkannya ridaknya yakni kain kudung penutup kepalanya

dan diletakkan Hajrul Aswad itu di atasnya, dan menyuruh tiap-tiap kabilah itu mengambil

ujung ridak itu, sehingga Hajrul Aswad itu terangkat sama tinggi dengan tangan masing-

masing kabilah itu dan meletakkan pada tempatnya semula (Amali, 1986: 38-39). Karim

(1990: 55) berpendapat bahwa pengagungan Ka’bah sebagaimana yang ditradisikan

dikalangan muslim merupakan warisan dari suku-suku Arab, masyarakat Arab yang

pluralistik sepakat untuk menyucikan Ka’bah yang ada di Mekah karena pada masa pras

Islam terdapat 21 Ka’bah di semenanjung Arab.

C. Pribadi Rasulullah SAW

Rasulullah Saw, memiliki kepribadian yang terpuji. Hal itu tampak sejak masih

kanak-kanak samai dewasa sebelum diangkat sebagai Rasul Allah SWT. Semasa kecil beliau

terpelihara dari hal-hal yang tercela. Beliau mendapatkan kemampuan berbahasa Arab yang

baik. Beliau memiliki sifat sidik, amanah, fathonah, sifat-sifat yang telah dimilikinya

sebelum diutus menjadi Rasul. Maka layaklah bila kemudian masyarakat memberi gelar

kepada beliau “Al-Amin” karena kejujuran dan kemuliaan akhlaknya. Beliau juga selalu

berkata dengan halus dan bersikap lemah lembut, serta orang yang rajin dan suka bekerja

keras. Beliaupun sering berdo’a memohon kepada Allah SWT agar senantiasa diberikan

petunjuk dan terpelihara akhlaknya dari perbuatan tercela (Shalabi, 1992: 352) Al-Hasan bin

Ali k.w. menceritakan bahwa: Husein (saudaranya) berkata: “Aku bertanya kepada ayahku
(Ali bin Abi Thalib) tentang perilaku Nabi SAW pada sahabat-sahabatnya”. Ayahku berkata:

“Rasulullah SAW adalah orang yang bermuka manis, lembut budi pekertinya, tawadhu’

tidak bengis, tiada kasar, tiada bersuara keras, tiada berlaku keji, tidak suka mencela dan juga

tiada kikir. Beliau membiarkan (tidak mencela) apa yang tidak disenanginya. Beliau tidak

menjadikan orang yang mengharapkan (pertolongannya) menjadi putus asa, tiada pula

menolak untuk itu. Beliau tinggalkan dirinya dari tiga perkara, yaitu: dari perbantahan,

menyombongkan diri dan dari sesuatu yang tidak selayaknya.

Beliau tinggalkan orang lain dari tiga perkara, yaitu; beliau tidak mencela

seseorang, beliau tidak membuat malu orang dan beliau tidak mencari keaiban orang. Beliau

tidak bicara melainkan pada sesuatu yang diharapkan ada baiknya. Beliau berbicara semua

orang dimajlisnya tertunduk, seolah-olah kepala mereka dihinggapi burung. Bila beliau

diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak ada yang berbantahan kata di sisinya. Bila ada

yang berbicara disisinya, mereka diam memperhatikannya sampai beliau selesai (berbicara).

Yang dipercakapkan mereka disisinya adalah percakapan yang utama.

Beliau tertawa terhadap apa yang mereka tertawakan. Beliau merasa takjub

terhadap apa yang mereka herankan. Beliau sabar menghadapi orang asing dengan perkataan

dan permintaannya yang kasar (tidak senonoh), sehingga para sahabat - sahabatnya

mengharapkan kedatangan orang asing seperti itu karena darinya mendapatkan manfaat.

Beliau bersabda: “Bila kalian melihat orang yang mencari kebutuhannya, maka bantulah

dia”. Beliau tidak mau menerima pujian orang kecuali menurut yang sepatutnya. Beliau juga

tidak mau memutuskan pembicaraan seseorang, kecuali orang itu melanggar batas. Apabila

seseorang berbuat itu, maka dipotongnya pembicaraan tersebut dengan melarangnya atau

berdiri (meninggalkan majlis)” (Tirmidzi, 1993: 279) Demikian gambaran kepribadian

Rasulullah SAW, yang sangat mulia dan tawadlu’ dan kelemah lembutan. Dengan akhlaq
karimah inilah, maka beliau menjadi tauladan terbaik bagi umat muslim disegala tempat dan

di segala jaman.

D. Risalah Muhammad SAW

Allah SWT Rasulullah SAW untuk menyampaikan risalah kerasulannya. Di dalam

diri Muhammad SAW itu terdapat sifat-sifat basiah (alat indera) dan sifat-sifat ma’nawi

(bathin). Kedua sifat ini sudah mendarah daging dan sudah menjadi tabiat bagi Muhammad

Saw. Sejak mula pertama diberikan kepadanya jiwa yang kuat, budi yang luhur, hati yang

suci dan perasaan halus. Diberikan kekuatan Bashirah (melihat dengan kemampuan bathin)

untuk menembus segala rintangan. Pemberian Allah SWT yang kedua adalah kebenaran

lidah, pikiran tajam, penglihatan jauh dari dosa, kejujuran, kesucian hati, dan bersifat rahim

kepada sesama manusia (Al-Abyadi, 1996: 33) .

Manusia menerima hukum Allah SWT melalui medium yang dikenal sebagai

Risalah (kenabian). Misi yang diemban oleh para nabi adalah menyampaikan firman Allah

SWT kepada umat manusia, menda’wahkannya dan menyebarkan ajaran-ajaran Alllah SWT

serta melaksanakannya di dunia. Hal ini berlanjut sampaidatangnya Nabi Muhammad SAW

sebagai nabi terakhir yang membimbing manusia menuju keselamatan. Bersumber dari misi

risalah, terdapat dua hal yang dapat diterima manusia; a) Al Qur’an (kitab suci dari Allah

SWT yang menjelaskan hukum-hukum-Nya),d an b) Pemberian suri tauladan dan penafsiran

yang benar dari kandungan Al Qur’an oleh Nabi Muhammad SAW. Prinsip-prinsip yang

luas, yang kehidupan manusia harus berdasarkan kepanya, telah disebutkan dalam Al

Qur’an. Nabi Muhammad Saw telah menyusun model kehidupan Islam yang sesuai dengan

firman Allah, dengan praktis melaksanakan hukum Allah dan memberikan detail - detail

penting yang sangat diperlukan. Kombinasi kedaunya ini dalam termologi Islam disebut
sebagai syari’at; hukum tertinggi Islam (Hussain, 1996: 11) Risalah Rasulullah SAW berisi

ajaran Tauhid, kesamaan derajat diantara manusia dan persaudaraan serta akhlak mulia.

Setelah beliau menerima wahyu pertama beliau kemudian melaksanakan da’wah.

Pokok ajaran yang disampaikan adalah Tauhid; meng-Esakan Allah SWT. Para penyembah

berhala diseru untuk meninggalkan berhala. Ajaran Anthropomorphisme, yaitu suatu paham

yang menyatakan Tuhan dapat menyerupai bentuk manusia adalah ajaran yang keliru dan

menyesatkan. Mereka diajak untuk membersihkan segala macam bentuk kemusyrikan untuk

meng-Esakan dan menyembah hanya kepada Allah SWT. Beliau menyampaikan risalahnya

di kalangan bangsa Arab yang plural dan keras untuk mengajak merka kepada kebaikan.

Kepada pengikut Zoro Aster dari Persia yang menyakini bahwa Tuhan itu ada dua,

yaitu Ahriman; Tuhan kebaikan dan Ahura Mazda; Tuhan kejahatan mereka diajak untuk

meluruskan keyakinan yaitu hanya bertuhan kepada Allah SWT. Bagi paham materialisme

(menghambakan diri pada materi/kebendaan) Hedonisme (mengejar kesenangan),

sinkretisme (paham yang mencampuradukkan agama menjadi satu). Areisme (keberadaan

tuhan ada dibenda patung, ataupun pohon besar) mereka diminta menyakini bahwa selain

Allah adalah makhluq. Semua yang ada adalah cipaan Allah Tuhan Yang Maha sa. Kepada

yang tidak bertuhan ditanamkan keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Firman Allah SWT, surat

Al Baqarah ayat 163, menerangkan ke-Esaan Tuhan:

Artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia

yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al Baqarah: 163)

Ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan yang berhak disembah hanyalah satu yaitu

Allah SWT. Menyekutukan Allah dengan sesuatu adalah dosa besar yang tidak akan

diampuni. Selain tauhid isi dakwah Rasulullah SAW dalam mengemban risalahnya adalah

masalah kesamaan derajat diantara manusia. Di dalam pandangan Allah SWT manusia itu
sama derajatnya yang melebihkan seorang dari yang lain adalah ketaqwaannya. Firman Allah

SWT dalam Qur’an Surat Al Hujrat ayat 13:

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya

kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi

Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui

lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al Hujurat: 13)

Untuk memudahkan risalah langit masuk ke dalam hati orang, Rasulullah SAW

telah memilih orang-orang yang akan menuliskan dan membacakan risalahnya. Untuk itu,

beliau mengambil orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang menulis dan membaca

yang jujur dan dapat dipercaya. Agar supaya jangan ada orang yang menyatakan bahwa

risalah yang dibawa Muhammad SAW adalah kutipan dari Kitab Taurat dan Injil;rislah

langit yang turun kepada nabi-nabi sebelumnya. Risalah ini ukan untul dilipat, tapi untuk

diketahui oleh sekalian orang karena ajarannya murni dari Allah SWT (Al- Abyadi, 1996: 8).
BAB III

HAL IHWAL DAKWAH DALAM MASYARAKAT MADANI

A. DAKWAH
1. Pengertian Dakwah

Dilihat dari segi bahasa, kata dakwah berasal dari kata Arab da’wat, merupakan

bentuk masdar dari kata kerja da’a-yad’u yang berarti seruan, ajakan atau panggilan.1 Seruan

dan panggilan ini dapat dilakukan dengan suara, kata-kata atau tulisan dan perbuatan.2 Kata

dakwah juga berarti do’a (al-du’a), yakni harapan, permohonan kepada Allah swt atau seruan

(al-Nida’). Do’a atau seruan pada sesuatu berarti dorongan atau ajakan untuk mencapai

sesuatu.3

Dalam al-Qur’an berdasarkan penelitian Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi kata

dakwah dalam berbagai bentuk dan turunanya terulang sebanyak dua ratus sembilan puluh

sembilan kali. Dalam bentuk masdar (dakwah) disebut enam kali, dalam bentuk `amr tiga

puluh empat kali. Sebagai seruan atau ajakan, kata dakwah dipergunakan baik untuk ajakan

kepada yang baik / benar atau jalan yang sesat4 . term-term utama yang terkait dengan

dakwah seperti; Nabi sebagai pembawa informasi Ilahi seratus lima puluh empat kali, Rasul

penyampai pesan Ilahi lima ratus dua puluh tiga kali. Nashihat tiga belas kali, Irsyad

(bimbingan) sembilan belas kali, Tadbir (mengurus) delapan kali, tadhwir (mengembangkan

1
Ahmad al-Fayumi, al-Misbah al-Munir, Bairut: Dar al-Fikr t,t. hal. 194
2
Abu al-Husein Ahmad Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughat, Bairut: Dar al-Fikr, 1979, hal. 279
3
Da’wah dalam arti do’a dijelaskan dalam al-Qur’an: surat al-Baqarah, 186: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar meraka selalu berada dalam kebenaran.
4
Ibnu Manzhur, Abu al-Fadhal Muhammad Ibnu Mukrim, Lisan al-Arab, Bairut: Dar al-Fikr, 1990, hal. 259.
5
sebelas kali. Sejauh penggunaannya dalam al-Qur’an, kata dakwah ada yang dikaitkan

dengan jalan Allah swt, jalan kebaikan atau jalan ke surga. Dan sebaliknya ada pula yang

disandarkan pada jalan syetan, kehancuran, jan keburukan atau jalan ke api neraka. 6 Bahkan

dalam satu ayat terdapat pula penggunaan kata dakwah untuk arti keduanya secara

bersamaan.7 Dari sisi etimologi dakwah memiliki pengertian “ panggilan’’, diambil dari kata

masdar da’watan, juga berarti “ memanggil ’’, dari kata da’a. kedua arti ini dapat digunakan

tergantung pada pemakaian dalam kalimat. 8 Dari sisi terminology, dakwah memiliki

pengertian yang berfariasi, diantaranya: Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah mendorong

(motivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, memerintahkan

mereka berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh

kebahagiaan dunia dan akhirat.9

Berdasarkan term-term dalam al-Qur’an di atas dakwah secara umum merupakan

proses menyeru untuk mengikuti sesuatu dengan cara-cara tertentu, sedangkan dakwah Islam

diartikan sebagai proses perilaku keislaman menyeru ke jalan Allah yang melibatkan unsur-

unsur. Da’i, pesan (materi), uslub (metode), washilat (media), mad’u dan tujuan. Dari segi

bentuknya dakwah dapat berupa irsyad (internalisasi dan bimbingan), tabligh (transmisi dan

penyebaran), tadbir (rekayasa sumber daya manusia), tathwir (pengembangan kehidupan

5
Syukriadi Syambas, (ed) Aep Kunawan, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004,
hal.128
6
Pengertian dakwah yang menjurus kepada kesesatan sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, surat Lukman, ayat 21: Dan
apabila dikatakan keada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “ (Tidak), tapi kami (hanya)
mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapa kami mengajarkannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak
mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka kedalam siksa api yang menyala-nyala (neraka).
7
Al-Qur’an: Surat al-Baqarah, ayat 21:... mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan
dengan izin-Nya, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perinyah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.
8
Dakwah yang berarti panggilan, dari kata masdar “da’watan” adalah pendapat ulama Basrah, sedangkan dakwah berati
memanggil dari kata “da’a”. adalah ulama Kufah. Moh. Ardani, Memahami permasalahan Fiqih Dakwah, Jakarta: Mitra
Cahaya Utama, 2006, hal. 9.
9
Dikutip Moh. Ardani, dalam Memahami Permasalahan Fiqih Dakwah, hal. 10.
dalam aspek kultur universal).10 Manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar

sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.11

Sayyid Quthub menjelaskan ayat ke-24 surat al-Anfal, bahwa dakwah adalah

ajakan atau seruan ditujukan kepada kehidupan yang sempurna. Dakwah mengandung ajakan

kepada lima prinsip dasar yang dapat menghantarkan pada kehidupan yang sempurna, kelima

prinsip dasar tersebut adalah: Pertama, seruan kepada aqidah tauhid yang akan

membebaskan manusia dari penyembahan diri selain kepada Allah SWT. Kedua, seruan

kepada hukum-hukum Allah dalam arti seruan untuk membangun dan mengatur kehidupan

dengan undang-undang Allah SWT (prinsip syari’ah) seruan ini akan menempatkan manusia

sejajar di hadapan hukum terlepas dari kepentingan dan dominasi perorangan atau kelompok

tertentu yang berpengaruh dalam masyarakat. Ketiga, seruan kepada sistem hidup atau

konsep mengenai kehidupan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan yang tidak lain adalah

sistem Islam. Keempat, seruan kepada kemajuan dan kemuliaan hidup dengan aqidah dan

sistem Islam untuk kemudian membebaskan manusia dari perbudakan dan penyembahan

terhadap sesama manusia. Kelima, seruan kepada perjuangan dan jihad Islam untuk dapat

mewujudkan dan menegakkan sistem Allah di muka bumi.12 Menurut Sayyid Quthub

dakwah adalah usaha orang beriman mewujudkan sistem dan ajaran Islamdalam realitas

kehidupan, atau usaha orang beriman mengokohkan sistem Allah dalam kehidupan manusia

baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat dan umat dari kebahagiaan hidup di dunia-

akhirat.13

10
Syukriadi Sambas, (ed) Aep Kusnawan, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, hal.128.
11
Thoha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, Jakarta: CV al-Hidayah, hal. 7.
12
Sayyid Quthub, Fi zhila al-Qur’an, Bairut: Dar al-Syuruk, Cek 23, 1994, Jilid III, hal. 1493.
13
Sayyid Quthub, Fi zhila al-Qur’an, Jilid II, h. 689, 696, 810, 825, 949.
Menurut Al-Bahi al-Khuli, da’i bukan sekedar penceramah. Penceramah adalah

penceramah. Da’i adalah orang yang meyakini ideologi Islam (Fikrat), ia mengajak kepada

fikrat Islam dengan tulisan, ceramah (pidato), pembicaraan biasa dan dengan semua

perbuatannya khusus maupun yang umum, serta dengan segala perangkat dakwah yang

mungkin dilakukan. Ia adalah seorang penceramah, pembicara dan tokoh panutan yang

berusaha mempngaruhi manusia dengan kerja dan kepribadiannya. Ia juga seorang dokter

masyarakat yang berusaha mengobati penyakit-penyakit jiwa dan memperbaiki kondisi

masyarakat. Ia seorang pengamat dan peneliti yang kritis yang menjadikan hidupnya untuk

melakukan perbaikan kondisi yang dikehendaki Allah SWT. Ia seorang teman dan sahabat

bagi si-kaya dan si-miskin, serta teman bagi yang tua maupun yang muda, dari sifat-sifat

semacam ini akan tumbuh rasa cinta kasih pada sesama manusia, dalam dirinya tidak ada

perbedaan antara kata dan perbuatan. Ini merupakan keharusan bagi seorang da’i. Hal

semacam ini merupakan pengaruh jiwa dan hati yang membedakan dengan pengaruh sastra,

orator dan politikus. Da’i adalah tokoh masyarakat, pemimpin politik di lingkungannya dan

pemimpin bagi gagasan-gagasannya serta pemimpin bagi orang-orang yang mengikuti jalan

pikirannya. Para da’i diharapkan dapat membangun umat atau ikut mendukung kelahirannya,

mereka diharapkan ikut membangun sistem pemerintahan Islam atau ikut membantu

mewujudkannya, karena itu pekerjaan semacam ini tidak mungkin akan terlaksana jika hanya

dilakukan dengan ceramah atau pidato, retorika dan humor tanpa disertai adanya gerakan

secara sistemtis.14

Ahmad Muhammad Jamil, berpendapat “pengertian yang umum mengenai dakwah

adalah, dakwah difahami sebagai nasehat, ceramah dan penyampaian pidato di masjid-

masjid. Padahal hakikat dakwah sebenarnya jauh lebih luas dari itu. Dakwah pada dasarnya

14
Al-Bahi al-Khuli, Tadzkirat al-Du’at, Kuait: Maktabat al-Falah, 1979, hal 7-8.
adalah kata-kata, perbuatan dan sekaligus perilaku. Medan dakwah sangat beragam, di

masjid, madrasah, perguruan tinggi, institusi-institusi sosial yang beragam, mol dan

perusahaan, organisasi-organisasi yang beragam bentuknya tujuannya secara singkat padat

dikemukakan adalah untuk mewujudkan syari’at Islam dalam semua segi kehidupan

masyarakat, baik aqidah, syari’ah maupaun akhlak.15

H. Soedirman memberikan pengertian bahwa dakwah tidak identik dengan tabligh,

tetapi meliputi semua usaha mewujudkan ajaran Islam pada semua segi kehidupan, dalam

konteks ini tabligh merupakan bagian dari dakwah Islam. 16

Muhammad Abu Zahrah memberikan kriteria bahwa sesuatu kegiatan dapat

disebut dakwah jika merupakan sistem usaha bersama orang beriman dalam rangka

mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan sosio-kultural yang dilakukan

melalui lembaga-lembaga dakwah, sedangkan tabigh merupakan sistem usaha penyiaran dan

penyampaian ajaran Islam agar dipeluk individu atau masyarakat yang dilakukan oleh

individu atau kolektif baik melalui lisan maupun tulisan. Tabligh merupakan bagian dari

sistem dakwah yang dilakukan oleh da’i sesuai profesinya. 17

Dalam rumusan lain beberapa definisi dakwah antara lain; dakwah adalah usaha

yang mengarah untuk memperbaiki suasana kehidupan yang lebih baik dan layak sesuai

dengan kehendak dan tuntutan kebenaran. 18 Dakwah adalah usaha membuka konfrontasi di

tengah manusia, membuka kemungkinan bagi kemanusiaan untuk menetapkan pilihannya

sendiri.19 Dakwah Islam adalah dakwah kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam

tingkah laku pribadi-pribadi di dalam hubungan antar manusia dan sikap perilaku antar

15
Ahmad Muhammad Jamil, Qadlaya Mu’ashsirat fi Muhkamat al-Fikr al-Islami, Kairo: Dar al-Shahwat, 1980, hal. 57-58.
16
H. Soedirman, Problematika Dakwah di Indonesia, Surabaya: 1970, hal. 47.
17
Abu Zharah, al-Da’wat Ila al-Islam, tth, hal. 27.
18
Effendi Zarkasi dkk, Metodologi Dakwah Kepada Suku Terasing, Jakarta: Departemen Agama RI, 1987-1979, hal. 4.
19
Isa Anshari, Mujahid Dakwah, Bandung: Diponegoro, 1984, hal. 19.
manusia.20 Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang

benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia

dan akhirat.21 Dakwah merupkan suatu proses usaha untuk mengajak agar orang beriman

kepada Allah swt, percaya dan mentaati apa yang telah diberitakan Rasul serta mengajak

agar dalam menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya.22 Dakwah adalah usaha mengubah

situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat.23

Dakwah adalah gerakan untuk merealisasikan undang-undang Allah yang telah diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW.24 Dakwah adalah mendorong (memotovasi) umat manuia

agar melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat makruf dan

mencegah dari perbuatan munkar supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan

akhirat.25dakwah adalah setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan lainnya, yang

bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentati Allah

swt sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’ah serta akhlak Islamiyah. 26

Dari berbagai konsep dakwah yang dirumuskan para intelektual muslim di atas

penulis merumuskan konsep dakwah sebagai berikut: dakwah sebagai suatu kegiatan yang

dilakukan orang beriman kepada Allah dalam bidang kemasyarakatan yang diwujudkan

dalam sistem kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk mempengaruhi cara

merasa, berpikir dan berperilaku baik dalam kehidupan individu maupun sosio-kultural

dalam rangka mewujudkan kehidupan yang adil, makmur diridhoi Allah.

20
Muhammad al-Bahy, al-Sabil ila Dakwah al-Haq, Kairo: Mathba’at al-Azhar, 1970, hal. 14.
21
Thaha Yahya Umar, Ilmu Dakwah al-Haq,Jakarta: Wijaya, 1971, hal. 1.
22
Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Riyad: Mathbah’at al-Riyad, 1985, juz XV, cet. Pertama, hal. 185.
23
Al-Bahy al-Khauly, Tadzkirat al-du’at, Kairo: Maktabat dar al-Turats, 1408 H/1987 M, cetakan ke-8, hal. 35.
24
Ra’uf Syalaby, al-Dakwat al-Islamiyat Manahijuha wa Ghayatuha, Kairo: al-Fajr al-Jahid, 1985, hal. 34.
25
Syekh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursyidin, Mesir: Dar al-Mishr, 1975, hal. 7.
26
HMS Nasaruddin Latif, Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah, Jakarta: Firma Dara, 1971, hal. 11.
Dari konsep ini dapat dijelaskan bahwa sesuatu kegiatan disebut dakwah jika

terpenuhi unsur-unsur, Pertama, pelakunya orang beriman. Kedua, dilakukan di tengah-

tengah masyarakat. Ketiga, memiliki sistem kegiatan. Keempat, kegiatan tersebut untuk

mempengaruhi cara merasa, berpikir dan berperilaku seseorang atau sekelompok orang

untuk menjalakan yang makruf dan meninggalkan yang munkar. Kelima, kegiatan itu

bersifat ikhtiyar dan bukan pemaksaan. Keenam, memiliki sistem tujuan yaitu terwujudnya

kehidupan yang adil, makmur diridhoi Allah dalam rangka memperoleh kebahagiaan dunia-

akhirat.

2. Konsep Dakwah Pergerakan (da’wat Harakat)

Menurut Hasan Ibnu Falah dakwah pergerakan memiliki pengertian yang sama

dengan a’wat harakat. Dakwah ini lebih menekankan pada aspek tindakan (aksi) daripada

wacana (teorisasi). Dakwah pergerakan/da’wat harakat menurut Hasan Ibnu Falah al-

Qaththani, adalah dakwah yang berorientasi pada pngembangan masyarakat Islam, dengan

melakukan reformasi dalam segala segi kehidupan manusia dari perbaikan individu (ishlah

al-Fard), perbaikan keluarga (ishlah al-Usrat) dan perbaikan masyarakat (Ishlah al-

Mujtama’) serta perbaikan pemerintahan dan negara (ishlah a-Daulat).27

Sementara al-Ja’bari memandang dakwah pergerakan/da’wat harakat sebagai suatu

konsep dakwah yang memadukan antara dimensi pemikiran (konseptual), dan pergerakan

(pratikal), serta merupakan bagian integral dari gerakan kebangkitan Islam yang banyak

bermunculan di negara-negara Islam sejak permulaan beberapa abad yang silam.28 Oleh

karena itu dakwah ini bersifat dinamis, progresif dan banyak digunakan oleh organisasi-

27
Hasan Ibnu Falah al-Qaththani, al-Thariq ila al-Nahdlat al-Islamiyyat, Riyadl: Dar al-Hamidi, 1993, hal. 1-10.
28
Ibrahim Muhammad al-Ba’bari, Gerakan Kebangkitan Islam, terj. Abu Ayub al-Anshari, Solo: Duta Rahman, 1996, hal.
76-70. lihat pula, Wadlih Rasyid al-Hasani, al-Nadwi Adab al-Shahwat al-Islamiyyat, Bairut: Muassasat shana’at al-Risalat,
1978, hal. 5.
organisasi pergerakan Islam kontemporer, terutama gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di

Mesir, Jama’at Islamiyat di Pakistan, gerakan Nuriah atau Nurculuk di Turki.

Kata harakat/pergerakan itu sendiri secara harfiah berarti gerak atau gerakan,

merupakan lawan dari diam. Dikatakan bergerak, bila seorang berpindah atau mengambil

posisi baru.29 Dari makna harifah ini, dapat dipahami dua makna penting kata harakah.

Pertama, harakah menunjuk pada suatu gerakan yang timbul setelah masa atau kondisi

vakum. Kedua, harakah menunjuk pada suatu usaha pembaharuan untuk membawa

masyarakat kepada kehidupan baru yang lebih baik.30

Harakat/pergerakan menurut Kalim Siddiqui merupakan watak Islam. Dikatakan

bahwa Islam lahir menjadi suatu gerakan dan akan selalu menjadi gerakan. Gerakan Islam

bertujuan mendirikan dan melindungi negara Islam demi kesejahteraan dan kebahagiaan

hidup manusia di dunia dan akhirat.Yusuf Qardhawi menekankan pentingnya dakwah

pergerakan/ da’wat harakat ini untuk membebaskan manusia dari kejahatan. Masyarakat

Islam, kata Qardhawi, tidak akan pernah sepakat dalam kesesatan, karena itu harus selalu ada

sekelompok orang dari kalangan masyarekat Islam yang bangkit membela kebenaran,

membimbingan dan mengajak manusia kepada jalan yang benar. Yusuf ardhawi menyebut

kebangkitan demi pembaharuan dan kemajuan Islam.31 Harakah atau kebangkitan, menurut

Qardhawi harus mencakup beberapa aspek, yaitu kebangkitan intelektual, kebangkitan jiwa,

kebangkitan motivasi dan kehendak serta kebangkitan kerja dan dakwah. Dimaksud dengan

kebangkitan dakwah adalah “Dakwah bermakna membangun gerakan yang akan membawa

manusia kejalan Islam yang meliputi: aqidah dan syari’ah, dunia dan negara, mental dan

29
Raqhib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Bairut: Dar al-Ma’rifat, tt, hal. 114. Lihat
pula Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Bairut: Dar al-Shadir, 1990, hal. 411.
30
Simi Niazi, A New Paradigm in the Making: dalam Kalam Siddiqui (ed), Issues in the Islamic
Movement 1980-1981, London: Toronto, The Open Press Limited, `1982, hal. 330-331.
31
Yusuf Qardhawi, al-Shabwat al-Islmiyyat wa al-Humum al-Wathon al-Arabi wa al-Islami, Bairut:
Muassasat al-Risalat, 1992, hal. 12-20.
kekuatan fisik, peradaban dan umat. Kebudayaan dan politik serta jihad dalam rangka

mewujudkan Islam di muka bumi serta dalam rangka menegakkan ajarannya di kalangan

umat Islam sendiri, sehingga terjadi persesuaian antara perilaku dan hati nuraninya. Dakwah

juga bermakna bekerja untuk membebaskan umat Islam dari berbagai kekuatan politik yang

menindas dan membelenggu mereka.32

Dakwah pergerakan/da’wat harakat tampaknya memiliki identitas dan karakternya

sendiri. Menurut MusthafaMasyhur dakwah pergerakan/da’wat harakat tertumpu pada tiga

kekuatan. Pertama, kekuatan aqidah dan iman (quwwat al-aqidat wa al-Iman). Kedua,

kekuatan kesatuan dan ikatan jama’ah di antara kaum muslimin (quwwat al-wahdat wa al-

tarabut baina al-muslimin). Ketiga, kekuatan jihad (quwwat al-Jihad). Ketiga kekuatan ini,

menurut Musthafa Masyhur merupakan rahasia kekuatan dakwah dan pergerakan/harakat

Nabi saw ketika beliau mendirikan pemerintahan Islam pertama di Madinah. 33

Identitas lain yang lebih terang mengenai dakwah pergerakan/da’wat harakat

dikemukakan oleh aktivis Ikhwan al-Muslum, menurut Fathi Yakan dakwah

pergerakan/da’wat harakat memiliki empat cirri pokok, yakni: (1) Murni dan autentik

(dzatiyyat), (2) Mendorong kemajuan (taqaddumiyyat), (3) universal (syamilat), dan (4)

Menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah fiqih (al-Madzahib al-

Fiqhiyyat).34 Dari karakter dan identitas yang dikemukakan di atas, tampak bahwa paradigm

dakwah pergerakan/da’wat harakat memiliki perbedaan dengan dakwah pada umumnya,

baik pada tataran filosofis (filsafat dakwah), epistimologi dan metodologi, maupun

kualifikasi da’i yang menjadi pendukung gerakan dakwah pergerakan/ da’wat harakat.

32
Yusuf Qardhawi, al-Shabwat al-Islamiyyat wa al-Humum al-Arabi wa al-Islami, juga Musthafa
Masyhur, al-Jihad Hua al-Sabil, Iskandariya: Dar al-Dakwat, 1985, hal. 10.
33
Musthafa Masyhur, al-Jihad Hua al-Sabil, hal. 3.
34
Fathi Yakan, Madza Ya’ni Ijtima’i li al-Islam, Bairut: Muassasat al-Risalat, 1983, hal. 113-115 dan
Nahwa Harakat Islamiyyat ‘Alamiyyat Wahidat, Bairut: Muasasat al-Risalat, 1977, hal. 42-46.
Dari segi metodologi, paradigm dakwah pergerakan/da’wat harakat meniscayakan

adanya organisasi yang berfungsi sebagai institusi atau wadah yang akan menghimpun dan

menyatukan potensi dan kekuatan umat untuk dimanfaatkan serta diberdayakan bagi

kepentingan dakwah. Sementara dari sisi tenaga da’i , paradigm dakwah pergerakan/da’wat

harakat meniscayakan adanya pelaku dakwah yang berkualifikasi sebagai pejuang dakwah

(mujahid dakwah). Di sini da’i harus merupakan seorang muslim pejuang dan aktifis

pergerakan Islam, seperti: Muhammad Ibnu Abd al-Wahhab (1703-1781), Jamalal-Din al-

Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (w. 1905) Rasyid Ridla (1865-1935), Hasan al-

Banna(1906-1949), dan Syayyid Qutub (1906-1966), Abu al-‘Ala al-Maududi, dll.

Menurut Yusuf Qardhawi, para tokoh tersebut di atas bukan saja tokoh pemikir,

melainkan juga para tenaga da’i sekaligus pejuang muslim. Dengan perkataan lain, mereka

merupakan tokoh dan pelopor dakwah pergerakan/da’wat harakat yang sangat konsen

dengan pergerakan Islam. Dalam pandangan Qardhawi gerakan (harakah) merupakan watak

Islam dan watak aqidah Islam, juga watak masyarakat yang lahir dan dibentuk dari agama

dan aqidah Islam.35

Al-Qur’an diturunkan untuk membangun komunitas Islam dan gerakan Islam. Al-

Qur’an bermaksud membangun jama’ah, harakat/pergerakan dan aqidah dalam satu waktu.

Ia bermaksud membangun jama’ah dan harakat/pergerakan dengan aqidah, dan ingin

membangun aqidah dengan jama’ah dan harakat/pergerakan. Ia menghendaki aqidah itu

terwujud dalm bentuk jama’ah yang dinamis dan progresif, sementara jama’ah yang dinamis

dan progresif merupakan perwujudan dari aqidah.36

35
Shalah Abd. Al- Fattah al-Khalidi, al-Manhaj al-Haraki fi Zhilali al-Qur’an, Jeddah: Dar al-Manarat, 1986,
hal. 35.
36
Sayyid Quthub, Ma’alim fi al-Thariq, Kairo: Dar al-Syuruq, 1979, hal. 40.
Prinsip harakat/pergerakan ini menurut Sayyid Quthub merupakan alat (kunci)

yang memungkinkan seseorang dapat berdialog dengan al-Qur’an. Tanpa

harakat/pergerakan dalam arti bergerak dalam peerjuangan Islam, seseorang tidak akan

dapat memahami maksud dan cita-cita al-Qur’an. Menurut Quthub hanya orang-orang yang

aktif dan dinamis dalam memperjuangkan Islam sajalah yang dapat memahami pesan dan

semangat al-Qur’an.

Gerakan dan dinamika umat Islam seperti dikemukakan di atas diperlukan dalam

menghadapi kesesatan dan kejahiliyahan yang sudah merajalela pada masa sekarang, dalam

hal ini Quthub mngatakan: “Kita memerlukan pemahaman al-Qur’an yang berorientasi pada

gerakan yang siap menghadapi kesesatan dan kejahiliyahan yang sudah menyebar di mana-

mana. Yaitu suatu gerakan yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari kegelapan

menuju cahaya, dari jahiliyah menuju Islam, dari penyembahan kepada manusia menuju

kepada penyembahan Allah. Suatu gerakan sebagaimana gerakan Islam yang pertama pada

masa Nabi Muhammad SAW sewaktu menghadapi Jahiliyah Arab sebelum mendirikan

daulah Islam di Madinah dan sebelum Islam memiliki kekuatan atas dunia dan umat

manusia.37

Dengan demikian dakwah pergerakan/da’wat harakat merupakan bentuk dakwah

alternative untuk mengatasi kemujudan dan keterbelakangan umat. Berbeda dengan

paradigm tabligh, dakwah pergerakan/da’wat harakat lebih berorientasi pada pengembangan

masyarakat Islam (Islamic Community Development) melalui pembaharuan dan reformasi

(ishlah) dalam berbagai kehidupan manusia, mulai dari perbaikan individu (ishlah al-

37
Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, Kairo: Dar al-Syuruq, 1979, hal. 16.
fardiyyat), perbaiakn keluarga (ishlah al-usrat), perbaikan masyarakat (ishlah al-Ummat),

sampai kepada perbaiakan pemerintahan dan negara (ishlah al-daulat).38

Paradigma baru tentang dakwah Islam sangat diperlukan demi terumuskannya

keilmuan dakwah. Dimaksud dengan paradigma dakwah adalah suatu model,39 pola ideal,40

atau kerangka piker (konsep), yang dipergunakan sebagai cara memandang atau mengkaji

suatu masalah, berisi premis-premis teoritik (filosofis) dan metodologis. 41 Paradigma

dakwah yang dimaksudkan di sini adalah paradigma dakwah pergerakan/da’wat harakat,

suatu paradigma dakwah yang menekankan pada suatu pembebasan umat Islam dari

keterbelakangan dengan sungguh-sungguh berusaha mengembalikan eksistensi umat Islam

kepada kemuliaan dan kemajuan.

Usaha mewujudkan dan mengimplementasikan ajaran iman dan Islam melalui

gerakan dakwah dapat dilakukan dengan berbagai cara, melalui komunikasi (tabligh),

pembudayaan nilai-nilai dan control social (amar ma’ruf nahi munkar), keteladanan dan

perilaku (uswah hasanat), serta melalui pergerakan (harakat) dengan menciptakan

organisasi-organisasi sebagai dakwah bersama yang akan menghimpun dan memobilisasi

ekuatan Islam untuk keperluan dakwah. Dakwah dengan pendekatan ini dikenal dengan

istilah dakwah harakat/pergerakan.

Dakwah pergerakan/da’wat harakat, kebanyakan berkaitan dengan ide dan gerakan

salafisme Islam pada abad ke-20 M atau ke-15 . Dakwah pergerakan /da’wat harakat

dikembangkan oleh organisasi pergerakan Islam internasional seperti Al-Ikhwan al-

38
Azyumardi Azra, Dalam Pengantar, Ilyas Islamil, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Jakarta: PT.
Penamadani, 2006, hal. Xxviii.
39
Peter Salim & Teni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern Enggris, 1999,
hal. 1095.
40
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Depdikbud, 1998,
hal. 648.
41
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Kebudayaan Nusantara, hal.
777.
muslimun di Mesir, Jama’ah Islamiyah di Pakistan gerakan Nuriah atau Nurculuk di Turki

serta Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Indonesia juga dapat diidentifikasi sebagai

dakwah pergerakan/dakwat harakat.

Dakwah pergerakan/da’wat harakat menghendaki perubahan yang lebih bermakna

bagi kehidupan umat manusia, tradisi dakwah oral (tabligh) yang berlangsung selama ini

kelihatannya kurang mendorong terjadinya perubahan social seperti yang diharapkan.

Bahkan tradisi dakwah semacam ini tampaknya hanya menyentuh “wilayah pinggiran” dari

kesadaran kaum muslimin.42

Secara umum orientasi gerakan dakwah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad

saw dan para sahabatnya adalah mendorong terciptanya kebebasan sehingga terbuka peluang

bagi umat manusia untuk mendapatkan petunjuk Tuhan dan melakukan kebajikan serta

meninggalkan yang munkar. Iktiyar gerakan dakwah Nabi ini diimplementasikan dalam

bentuk:

a. Mewujudkan Sistem Islam

Gerakan dakwah dilaksanakan dalam rangka membangun dan mewujudkan system

Islam, hal ini didasarkan pada prinsip pemikiran bahwa Islam adalah system hidup. Sebagai

sister hidup, Islam bersifat komprehensip dan sempurna. Dalam Islam terdapat seperangkat

tata nilai atau system ajaran baik yang menyangkut aqidah maupun (sistam kepercayaan),

ibadah (system peribadatan atau ritualisme), akhlak (system moral dan spiritual), syari’ah

(system hukum dan perundang-undangan), dan mu’amalah (system sosial) yang meliputi

bidang ekonomi, politik dan hubungan antar negara. Islam mengatur semua aspek tersebut

42
Azyumardi Azra dalam Pengantar Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,hal. Xxviii.
serta tidak mengenal pemisahan satu dengan yang lain.43 Dengan demikian dakwah bukan

hanya kegiatan yang mengurusi soal iman danibadah semata-mata, melainkan membangun

segi kehidupan sesuai dengan prinsip dan asas Islam, karena itu dakwah harus dilakukan

secara bertahap dimulai dari satu titik ke titik yang lain,dilaksanakan secara

berkesinambungan hingga tercapai tujuan terakhir.

Sistem Islam hanya akan dapat terwujud dengan lahirnya jama’ah dan masyarakat

Islam sehingga system Islam itu menjadi realistis dan empiris dalam arti memiliki wujud

yang konkrit, bisa diamati dan ditelaah. Dalam prespektifini tidak dapat dibayangkan jika

ada system Islam tanpa adanya jama’ah dan komunitas Islam. Oleh karena itu dakwah Islam

dengan sendirinya bermakna ikhtiyar membangun dan mewujudkan komunitas dan

masyarakat Islam yang berlaku di dalamnya system kemasyarakatan Islam.

b. Membangun Masyarakat Islam.

Sebagai system hidup yang sempurna, Islam todak bergerak pada tataran pemikiran

(teoritis) semata, tetapi juga bekerja pada tataran praktis, mengatur semua segi kehidupan

manusia secara realistis dan obyektif, ini berarti Islam harus diterjemahkan nyata dengan

membangun komunitas dan masyarakat Islam.

Kegiatan dakwah pada hakekatnya adalah usaha mendorong dan mewujudkan

masyarakat Islam sebagai kumpulan orang-orang beriman yang melaksanakan amal shaleh.

Proses pembentukan masyarakat Islam ini akan terbentuk sesuai dengan tahapan-tahapan

sebagai berikut “Masyarakat Islam bermula dari adanya sekelompok orang yang memeluk

Islam sebagai system hidup dan menjadikan Islam sebagai undang-undang yang mengatur

43
Sayyid Quthub, Al-Mustaqbal li Hadza al-Din, Kairo: Dar ar-Syuruq, 1979, hal. 3.
seluruh kehidupan, baik ditingkat individu, keluarga maupun masyarakat. Degan semakin

berkembangnya kelompok ini dengan sendirinya masyarakat Islam akan terbentuk”. Karena

itu masyarakat Islam didefinisikan sebagai berikut “Masyarakat Islam adalah masyarakat

yang menjadikan system Islam sebagai system hidupnya secara menyeluruh, dan Islam

secara keseluruhan mengatur segalasegi kehidupan,mencarikan jalan keluar bagi setiap

persoalan yang dihadapi dengan terlebih dahulu berserah diri kepada hukum-hukum Allah

swt”.44 Masyarakat Islam memiliki karakteristik saling kasih sayang, tolong menolong,

sama-sama rukuk dan sujud dihadapan Allah, jauh dari kekerasan, intimidasi dan eksploitasi.

Secara teknis pembentukan masyarakat Islam zaman Nabi dimulai dari

pembentukan individu-individu Muslim, keluarga muslim dan selanjutnya masyarakat

muslim. Individu-individu muslim dan keluarga muslim merupakan sel-inti yang membentuk

masyarakat Islam. Bahkan keluarga muslim sesungguhnya merupakan minimatur masyarakat

Islam. Oleh sebab itu Islam memberikan perhatian tinggi terhadap pembinaan keluarga

muslim, bahkan Islam disebut sebaga agama keluarga.

Nabi mula-mula mengarahkan dakwahnyakepada keluarga dan rumahnya sendiri, ia

sekuat tenaga menyelamatkan rumah tangganya (anggota keluarganya) dari api neraka. Ini

merupakan prioritas program dakwah periode awal, karena tanpa memperhatikan aspek

pembinaan keluarga, maka cita-cita untuk membentuk komunitas dan masyarakat Islam akan

tertunda dan bahkan tak akan pernah terwujud sama sekali.45

Keluarga dan masyarakat Islam merupakan terjemah dari system Islam, ia

merupakan manifestasi dari system Islam, masyarakat Islam dibentuk dan dibangun di atas

landasan aqidah Islam. Kaidah teoritik yang menjadi landasanIslam dalam membangun

44
Sayyid Quthub, Manhaj al-Tarbiyat al-Islamiyat, Kairo: Dar al-Qolam, tt, hal. 236.
45
Sayyid Quthub, Manhaj al-Tarbiyat al-Islamiyat, Kairo: Dar al-Qolam, tt, hal. 265.
masyarakat sepanjang sejarah adalah tauhid yang diekspresikan dalam dua kalimat syahadat

“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah”. Berdasarkan prinsip semacam

ini dapat diketahui bahwa dasar pembentukan masyarakat Islam adalah aqidah, bukan warna

kulit, suku bangsa, atau yang lainnya. Dari prinsip dasar semacam inimasyarakat Islam

memiliki beberapa karakter dan cirri yang berbeda dengan masyarakat manapun.

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bersifat terbuka, bernudaya Islami dan

universalis. Prinsip lain dari masyarakat Islam adalah dasar pembentukannya, masyarakat

Islam adalah syari’ah. Di atas naungan syari’ah ini masyarakat Islam tumbuh dan

berkembang mencapai kesempurnaan. Syari’ah ini yang menetapkan cirri-ciri penguat, arah

dan perkembangannya. Cirri lain dari masyarakat Islam adalah kesatuan dan dinamika yang

kuat. Dinamika dan kesatuan ini tampak jelas sejak awal, karena eksistensi masyarakat Islam

tidak dapat dibangun tanpa kesatuan. Kesatuan dapat melahirkan dinamika masyarakat

dalam bentuk kerjasama dari setiap anggota kelompok sesuai dengan peran dan memperkuat

eksistensi masyarakat Islam, menjagab dan mempertahankan dari ancaman dan gangguan

dari masyarakat luar. 46

c. Membangun Pemerintahan Islam

Salah satu tujuan antara gerakan dakwah Islam adalah membangun sistem

pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan Islam bukan tujuan utama dari gerakan dakwah, ia

hanya merupakan tujuan antara dengan maksud gerakan dakwah memiliki wadah dan

terlindungi eksistensinya. Aktivitas dakwah dapat berjalan tanpa adanya gangguan, karena

prinsip dakwah adalah ajakan perdamaian dan keselamatan. Karena itu, sistem pemerintahan

46
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Jakarta: PT. Penamandani, 2006, hal. 156.
yang dimaksud adalah system pemerintahan yang sejalan dengan prinsip misi kenabian dan

kerasulan.47

Dalam sistem pemerintahan Islam yang dibangun Nabi memiliki empat prinsip

dasar yang sesuai dengan karakter gerakan dakwah, yaitu: Pertama, prinsip tauhid. Kedua,

prinsip keadilan. Ketiga, prinsip kepatuhan/ketaantan. Keempat, prinsip permusyawaratan

(syura). Tidak ada otoriter dalam bentuk apapun dalam sistem pemerintahan Islam, karena

hal itu bertentangan dengan prinsip gerakan dakwah. Nabi bukan hanya sebagai

“penceramah”, sekedar menyampaikan risalah, tetapi secara implisit Nabi diperintah untuk

membangun sistem pemerintahan agar aktivitas dakwah dapat berjalan penuh kedamaian.

3. Dakwah dan Dinamika Sosial

Merujuk pada makna yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Nahl (16:125),48

dakwah Islam dapat dirumuskan sebgaikewajiban muslim mukallafuntuk mengajak, menyeru

dan memanggil orang berakal menjalani jalan Tuhan (din al-Islam) dengan cara hikmat,

mau’izat hasanat (supermotivasi positif)dan mujadalah yang ahsan (cara-cara yang lebih

metodologis), dengan respons positif atau negative dari orang berakal yang diajak, diseur dan

dipanggil disepanjang zaman dan setiap ruang. Hakekat dawah Islam adaah perilaku

keislaman muslim yang melibatkan unsure da’i, pesan, media, metode, mad’u dan respons

serta dimensi hal-al-maqom atau situasi dan kondisi. Interaksi antar unsure dakwah Islam

dalam tataran praktisnya adalah obyek formal kajian ilmu dakwah. Dari sisi obyek

47
Sayyid Quthub, Fid ZILAL al-Qur’an, Dar as-Syuruk, Kairo: 1963, hal. 14.
48
Al-Qur’an surat al-Nahl 125:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Q.S al-Nahl:125.
materialnya, dakwah Islam bersentuhan dengan kajian ilmu keislaman, dengan demikian

ilmu dakwah berkarakter interdisipliner.

Dalam al-Qur’an surat Fushilat (41:33) dakwah Islam dapat dirumuskan sebagai

kewajiban meyeru, mengajak dan memanggil manusia untuk mengesakan Allah melalui

ahsan al-qawl, amal shaleh dan qala innani min al-muslimin (afirmasi ketundukan kepada
49
Tuhan). Hakekat dakwah Islam menunjukkan tiga bentuk utama dalam proses dakwah,

yaitu melalui ahsanu al-Qawl atau bahasa yang baik, melalui ahsanu ‘amala atau perbuatan

yang baik dan reformatif, serta keterpaduan bentuk ahsanu al-qawl dan ahsanu ;’amala,

yaitu gerakan percontohan yang baik.50 Dengan demikian esensi tugas dakwah adalah

menegakkan kebenaran dan melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar.

Dakwah yang berisiskan amar ma’ruf nahy munkar yang dilakukan orang-orang

beriman akan selalu berhadapan dengan dakwah amar munkar nahy ma’ruf yang dilakukan

orang-orang munafiq, dalam hal ini Amin Rais berpandangan; Konfrontasi antara yang

ma’ruf dan yang munkar, antara dakwah yang mengajak manusia menjadi golongan kanan

(ashhab al-Yamin) dan dakwah yang mendorong manusia agar menjadi golongan kiri

(ashhab al-Syamal) antara calon penghuni surga (ashhab al-Jannat) dan calon penghuni

neraka (ashhab al-Nar) memang membuat kehidupan manusia menjadi penuh perjuangan,

pergulatan dan pertentangan.51 Dari aktivitas dakwah inilah melahirkan dinamikan sosial.

Wilayah kegiatan dakwah Islam Meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia, hal ini

disebutkan masalah ma’ruf dan munkar juga meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia,

karena itu kegiatan budaya, politik, ekonomi, sosial dan lain-lain termasuk pada wilayah

49
Secara lengkap bunyi surat al-Fushilat ayat 33 adalah:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
50
Agus Ahmad Safe’i, Kajian Ontologi Dakwah Islam, dalam Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, hal. 64.
51
Amien Rais, Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1991 hal. 25.
dakwah, baik dakwah Islamiyah (dakwah ila Allah) maupun dakwah jahiliyah , yaitu dakwah

yang menjadikan neraka sebagai tujuan akhir (dakwah ila al-Nar). Secara sosiologis dakwah

yang berkembang di tengah maysarakat cenderung mengarah kepada nahy munkar, yakni

tekanan-tekanan untuk melawan (perjuangan reaktif), dan kurang amar ma’ruf-nya yang

mengajak kepada kebaikan, kebersamaan, kesatuan (perjuangan proaktif), hal ini merupakan

tantangan dakwah. Dalam perspektif sosiologis al-ma’ruf dan al-munkar merupakan realitas

dalam kehidupan masyarakat, karena itu umat Islam dituntut untuk mampu mengenali

kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat, kemudian mendorong, mengajak dan

memupuk serta memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan dan pada waktu yang

bersamaan mencegah, menghalangi dan menghambat tindakan-tindakan kejahatan.52

Seruan kepada al-Khair, amar ma’ruf dan nahy al-munkar sebagaimana ditunjuk

dalam surat Ali Imran 104, merupakan seruan triologi perjuangan umat sepanjang sejarah.

Triologi inilah yang menjadi dasar keunggulan umat Islam atas umat yang lain. Seruan

kepada al-Khair menuntut kemampuan untuk memahami nilai-nilai etis dan moral universal,

tanpa kemampuan ini tidak mungkin ditemukan suatu pedoman yang jelas untuk menghadapi

masa depan. Seruan amar ma’ruf menuntut kemampuan memahami lingkungan hidup sosial

politik dan cultural. Lingkungan yang menjadi wadah terwujudnya al-khair secara konkrit

dalam konteks ruang dan waktu, sedangkan aspek nahy munkar menuntut kemampuan

mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan hidup kultural, sosial, politik juga ekonomi yang

kiranya akan menjadi wadah bagi munjulnya perangai, tindakan dan perbuatan yang

berlawanan dengan hati nurani, yang kemudian diusahakan untuk mencegah dan

menghambat pertumbuhan lingkungan tersebut.

52
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, Jakarta: Paramadina, 1994, hal. 97. Lihat juga
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 87.
4. Perkembangan Konsep Dakwah

Rumusan pengertian/definisi dakwah yang dikemukakan oleh beberapa penulis

dakwah, peneliti analisis dengan menggunakan diagram ogden dan Richards tentang

hubungan antara symbol, konotasi (pengertian) dan denotasi (hal yang ditunjuk). 53 Dakwah

sebagai symbol/konsep, realisasi nilai-nilai Islam dalam tataran kehidupan sosial (konotasi),

dan kehidupan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir dan batin yang diridlai Allah

sebagai realitas (denotasi). Keserasian hubungan antara symbol, konotasi, dan denotasi

dalam rumusan sebuah konsep menunjukkan kualitas konsep uang dihasilkan. Ternyata para

penulis dakwah masih menunjukkan adanya kesengajaan dalam memahami hubungan antara

symbol, konotasi, dan denotasi, hal ini menyebabkan munculnya dua pola pengertian

pemikiran dakwah. Pertama, dakwah diberi pengertian tabligh/penyiaran/penerangan agama.

Kedua, dakwah diberi pengertian semua usaha untuk merealisasikan ajaran Islam dalam

tataran kehidupan sosial. Pengertian pertama terkesan terlalu sempit sehingga tidak mampu

menghubungkan antara simbol (konsep) dengan realitas (denotasi), sedangkan pengertian

kedua sebaliknya terlalu luas, sehingga sulit membatasi dan mengidentifikasi aktifitas

dakwah. Kerangka pemikiran semacam ini berimplikasi pada ketidak jelasan dalam

menentukan criteria unsure-unsur dakwah, seperti; kriteria da’i, pesan (materi), uslub

(metode), washilat (media), mad’u dan tujuan maupun dari aspek bentuk dakwah seperti;

irsyad (internalisasi dan bimbingan), tabligh (transmisi dan penyebaran) tadbir (rekayasa

sumber daya manusia), dan tathwir (pengembangan kehidupan dalam aspek kultur

universal).54

53
Herbert L. Searles, Logika dan Metode-metode Ilmiah, Terjemahan Soepono Soemargono dan Sri
Badiati, Yogyakarta: Dua Demensi, tt, hal. 27.
54
Amrullah Ahmad, Metodelogi Seminar Dakwah Islamiyah, Orientasi, Masalah dan teknik,
Yogyakarta: Masyarakat Studi Ilmu dan Teknologi Dakwah, 1987, hal. 100.
Kriteria da’i adalah mereka yang aktif berceramah/berkhutbah melalui mimbar, pada

hal aktifitas semacam itu lebih tepat disebut mubaligh/khotib. Berangkat dari wawasan umat

bahwa dakwah adalah tabligh, maka tradisi dakwah adalah ceramah,/pidato di atas mimbar.

Tradisi dakwah semacam ini mengakibatkan dakwah Islam hanya mampu memasuki

“wilayah pingir” dari system kepribadian dan kehidupan sosial. Budaya dakwah semacam ini

dapat dikatakan sebagai budaya dakwah oral yang hamper tidak pernah memberikan jawaban

secara konkrit atas permasalahan dakwah. Pemaknaan dakwah hanya sekedar

tabligh/penyampaian diperkuat dengan anggapan bahwa tugas Nabi dan Rasul hanyalah

menyampaikan risalah Tuhan sedangkan hidayah/petunjuk, mutlak milik Allah.55 Keimanan

maupun kekafiran seseorang termasuk dalam kategori takdir Tuhan.

Pengertian dakwah pola kedua, bahwa dakwah tidak identik dengan tabligh, tetapi

meliputi semua ikhtiyar mewujudkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan sosial,

dalam konteks ini tabligh merupakan bagian dari dakwah Islam, karena itu pengertian kedua

ini terlihat terlalu luas yang masih memerlukan batasan-batasan sehingga dakwah dapat

dibedakan secara spesifik dengan kegiatan lain. Pengertian ini didukung oleh Abu Zahrah

yang memberikan kriteria bahwa suatu kegiatan dapat disebut dakwah jika merupakan sistem

usaha bersama orang beriman dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi

kehidupan sosiao-kultural yang dilakukan melalui lembaga-lembaga dakwah, sedangkan

tabligh merupakan penyiaran dan penyampaian Islam agar dianut individu masyarakat yang

dilakukan oleh individu maupun kolektif baik melalui lisan maupun tulisan. Tabligh

55
Hidayah sepenuhnya milik Allah, Nabi tidak memiliki kewenangan untuk mengislamkan seseorang
sekalipun terhadap pamannya sendiri;
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk (al-Qashas; 56).
merupakan bagian dari sistem dakwah yang dilakukan oleh para ahli semua profesinya.

Pandangan semacam inimengandung pemahaman bahwa dakwa memerlukan organisasi

untuk menunaikan fardlu kifayah. Terbentuknya lembaga dakwah berangkat dari kesadaran

individu untuk melaksanakan tabligh yang kemudian berkembang menjadi kesadaran

kolektif untuk melaksanakan dakwah dalam suatu sistem tertentu dan dalam lembaga

dakwah. Berdasarkan pengertian kedua ini menghendaki adanya gerakan dakwah yang

bersifat professional.56

Nabi secara eksplisit tidak pernah memberikan batasan menengah dakwah baik dari

ucapan maupun perilakunya, karena itu para ulama berijtihad untuk memberikan pengertian

dakwah. Mereka berusaha mengidentifikasi tindakan-tindakan tertentu yang masuk dalam

cakupan makna dakwah sejajar dengan peluang yang dimungkinkan untuk mencari

legitimasi agama dalam meletakkan dakwah sesuai dengan kemauannya, yakni dengan cara

melaksanakan makna dakwah. Inilah yang menyebabkan pemaknaan dakwah mengalami

penyempitan dan di sisi lain mengalami perluasan.57

Dalam pengertian agama, dakwah mengandung arti panggilan Tuhan dan Rasul-

Nya untuk umat manusia agar mempercayai ajaran Islam dan mewujudkan ajaran itu dalam

segala segi kehidupannya. Tugas semua Nabi dan Rasul termasuk Nabi Muhammad adalah

mendakwahkan agama. Dalam pengertian ini dakwah antara lain didefinisikan sebagai

ajarakan kepada orang lain agar menerima ajaran perseorangan atau kelompok yang
56
Dakwah bersifat profesioanal. Jika ukuran profesional adalah pekerjaan dan ketrampilan, maka
dakwah profesional adalah dakwah yang mengharuskan keterlibatkan da’i dalam pengelolaan sistem dakwah
bukan sebagai pekerjaan sambilan, tetapi sebagai pekerjaan utama dengan mengerahkan semua ketrampilan dan
intelektualitas yang dimiliki untuk memfungsikan sistem dakwah. Dalam praktek dewasa ini dakwah belum
bersifat profesioanal karena keterlibatan da’i dan muballigh dalam lembaga dakwah masih sebatas pekerjaan
sambilan, hal ini berakibat kurang adanya konsisten dalam mengamati permasalahan, penyusunan program,
pelaksanaan mamagerial dan evaluasi kegiatan.
57
Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman, Desain Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, hal. 13.
mengkalim sebagai penguasa, karena kekuasaan diyakini sebagai hak mereka dan merupakan

bagian dari kepercayaan agama. 58

Merujuk kepada beberapa praktek sejarah umat Islam klasik, istilah dakwah juga

dipakai untuk menunjuk suatu wilayah tertentu yang dinyatakan telah setia dengan

pemnerintahan pusat. Dakwah adalah doktrin , madzhab dan sekte. Di samping pengertian

keagamaan pada masa modern, istilah dakwah menemukan pengertian keagamaan . max

Muller (1873), memperkenalkan system klasifikasi agama ke dalam agama dakwah dan
59
agama non dakwah. Dengan klasifikasi ini, dakwah disamping bermakna penyiaran

agama (tabligh), istilah itu juga menunjuk pada pengalaman ajaran agama. Perkembangan ini

mendorong kaum muslimin mendirikan lembaga pendidikan dakwah lintas negara. Pada

tahun 1912 didirikan lembaga pendidikan dakwah di Kairo dengan nama “Dar al-Dakwat wa
60
al-Irsyad”. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dakwah difahami sebagai wacana

akademik yang tidak selalu diabdikan untuk kepentingan praktis, akan tetapi diarahkan pada

upaya akademik dalam rangka pengembangan kehidupan beragama.

Dalam pengertian keagamaan, dakwah memasukkan aktifitas tabligh (penyiaran),

tathbiq (penerapan/pengalaman) dan tandzim (pengelolaan). Dalam pengertian semacam ini

dakwah tidak akan selasai jika hanya dilakukan secara individual, karena dakwah bukan

hanya untuk mad’u non muslim saja, akan tetapi juga ditujukan kepada yang muslim.

58
Dilingkungan Sunni, seperti dimainkan oleh dinasti Abbasiyah dalam perebutan kekuasaan dengan
dinasti Umayyah disebut sebagai gerakan dakwah dengan slogon “ridla min Ali Muhammad”. Di kalangan
Syi’ah gerakan dakwah ditujukan untuk setia dan taat kepada pemimpin, gerakan dakwah syi’ah ini telah
melahirkan kerajaan Qaramithah Ismailiyah 902-907 M yang berpuncak pada berdirinya dinasti Fathimiyah di
Afrika Utara dan mencapai puncak keemasannnya di Mesir.
59
Larry Poston, Islamic Dakwah in The West, Muslim: Mission ary Activity and the Dynamics
Conversion to Islam, New York: Oxford University Press, 1992, hal. 3-4.
60
M. Canard, “Dakwah” dalam B. Lewis, CH Pellat and J Schact, The Encyclopaedia of Islam, II,
Leiden: EJ. Brill, 1965, hal. 170. Harun Nasution menyatakan bahwa nama lembaga ini adalah “madrasah al-
Dakwah wa al-Irsyad” didirikanpada tahun 1912 namun segera ditutup karena perang dunia ke II. Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Risalah, 1984, hal. 39-40.
Kepada orang muslim dakwah berfungsi sebagai proses peningkatan kualitas penerapan

ajaran agama sedangkan untuk non muslim fungsi dakwah memperkenalkan dan mengajak

mereka agar mau memeluk Islam secara sukarela. Penerimaan secara sukarela bagi mad’u

non muslim ini menjadi syarat dalam gerakan dakwah, karena Rasulullah saw sendiri tetab

membiarkan kaum Ahli Kitab yang tidak mau menerima dakwahnya untuk tetap pada agama

mereka. Dakwah dilakukan bagaikan seminar akademik dalam skala luas, siapa saja yang

mengetahui lebih baik bebas untuk menceritakan dan meyakinkan orang lain, sementara

orang lain bebas mendengarkan dan meyakini.

Perluasan pemaknaan dakwah adalah aktivitas yang berorientasi pada

pengembangan masyarakat muslim, antara lain dalam bentuk peningkatan kesejahteraan

sosial. Ide pengembangan masyarakat sebagai bagian dari cakupan dakwah pada dasarnya

merupakan alternatif baru atas dominasi pemaknaan dakwah bagi kepentingan politik-

keagamaan. Gagasan pengembangan pemaknaan dakwah dengan memasukkan unsure

pengembangan masyarakat ditolak oleh sebagian intelektual Barat, Dele F. Eickelman dan

James Piscatori, mereka berpandangan bahwa ide kesejahteraan sosial masuk dalam cakupan

dakwah adalah penambahan ide lain ke dalam pengertian dakwah. Pandangan mereka

tentang Redefinisi dakwah yang memasukkan ide-ide aktivitas kesejahteraan sosial adalah:

Sekarang tradisi dakwah telah mulai direformulasi ulang dalam satu cara yang halus tetapi

penting. Pendidikan masih berperan sentral dan bahkan pola-pola politisasi telah terulang

kembali. Sebagia contoh kelompok Syi’ah di Irak yang beroposisi terhadap pemerintahan

Saddam Hussein (lahir 1973) memunculkan nama Hizb al-Da’wat al-Islamiyat (Partai

Dakwah Islam). Sementara salah satu sarana utama penyebaran agama dan ide-ide politik di

libia adalah Jam’iyat al-Dakwat al-Islamiyat (Organisasi Dakwah Islamiyah). Bahkan tradisi
dakwah juga sedang didefinisikan ulang guna memasukkan ide-ide tentang aktivitas

kesejahteraan sosial, klinik kesehatan gratis, bantuan orang makan miskin, subsidi

perumahan dan bantuan modal usaha kecil yang seringkali menggantikan pelayanan

pemerintah yang kurang efektif atau bahkan tidak ada.61

Mereka memberikan contoh beberapa lembaga dakwah yang berorientasi

pengembangan masyarakat Islam, di antaranya Hizbullah (Partai Islam) telah

mengembangkan sistem kesejahteraan sosial secara luas di Libanon yang melibatkan

dakwah, pendidikan, pertanian,. Medis, dan bantuan perumahan. Di distrik Bir al-‘Abid,

Bairut Hizbullah telah menjalankan koperasi dan supermarket yang menjual produk dengan

harag di bawah harga eceran, menyediakan beasiswa, mengelola klinik-klinik kesehatan dan

memberi subsidi perumahan kepada orang yang membutuhkan. Di Amerika Serikat

American Muslim Council (1992) menekankan perlunya lembaga pelayaan sosial. Jama’ah

Nashr al-Islam (Jama’ah untuk Kemenangan Islam) di Negeria Utara mengoprasionalkan

klinik-klinik kesehatan dan kelompok bantuan yang fungsinya mirip dengan Palang Merah.

ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) dan Darul Arqam di Malaysia telah membuka klinik

kesehatan umum, peternakan dan pabrik untuk memproduksi makanan halal, pasta gigi dan

sabun.

Orientasi dakwah pada pengembangan masyarakat Islam dapat mengambil pola

dakwah cultural dakwah politik dan dakwah ekonomi. Dakwah kultural adalah aktivitas

dakwah yang menekankan pendekatan Islam cultural. Islam kultural adalah salah satu

pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrinal antara Islam dan politik atau

61
Dele F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, terj. Rofiq Suhud, Bandung:
Mizan, 1998, hal: 48.
Islam dengan negara. Negara sebagai instrumen pengalaman ajaran agama. Dakwah politik

adalah gerakan dakwah yang ada dalam kekuasaan. Aktivitas dakwah politik bergerak

mendakwahkan ajaran agama guna menjadikan Islam sebagai ideology negara, nilai-nilai

Islam melekat pada kehidupan politik bangsa, negara dipandang sebagai alat/sarana dakwah

yang paling strategis.

Identifikasi dakwah dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan sosial,

dakwah ekonomi adalah upaya mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam yang dapat berfungsi

meningkatkan sosial ekonomi umat. Ajaran-ajaran Islam dalam kategori itu antara lain: jual

beli, musaqah, muzara’ah, zakat, infaq, sadaqah, wakaf, qurban, aqiqah, dam, kafarat dan

sebagainya. Ajaran-ajaran tersebut dapat ditemukan relevansinya dengan proses produksi,

distribusi dan pemanfataan barang dan saja. Dengan demikian dakwah ekonomi berdasarkan

isi pesan dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai kegiatan dakwah yang berusaha

mengimplesmentasikan ajaran Islam yang berhubungan dengan proses ekonomi guna

meningkatkan taraf hidup masyarakat.62

5. Dakwah Kultural, Struktural dan dakwah Integratif

Masyarakat Islam pada masa Nabi merupakan hasil konkrit bagi gerakan dakwah.

Tugas pokok kenabian dan kerasulan Muhammad adalah menyampaikan risalah Tuhan

kepada umat manusia. Dalam konteks ini kegiatan dakwah dapat mengambil tiga bentuk

pendekatan dakwah integratif.

Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam

kultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan
62
Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman, Desain Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, hal. 13.
doctrinal yang formal antara Islam dan politik atau Islam dan negara. Hubungan antara Islam

dan politik atau Islam dan negara termasuk wilayah pemikiran ijtihadiyah, hal ini tidak

menjadi persoalan serius ketika sistem kekhalifahan masih bertahan di dunia Islam, namun

setelah peradaban Barat menguasai dunia Islam dan sistem kekhalifahan diganti dengan

nilai-nilai kebangsaan sebagai dasar negara maka hubungan Islam dan negara menjadi

bagian persoalan serius. Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa sistem kekhalifahan

itu merupakan bagian dari ajaran Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw, karena itu

hubungan doctrinal secara formal. Tujuan final gerakan dakwah adalah memperjuangkan

tegaknya negara bangsa berdasarkan Syari’at agama.

Dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang berada dalam kekuasaan. Aktivitas

dakwah struktural bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan memanfaatkan struktur

sosial, politik maupun ekonomi yang ada guna menjadikan Islam sebagai ideologi negara.

Nilai-nilai Islam terintegrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara dipandang

sebagai alat dakwah yang paling strategis. Dalam prespektif dakwah structural, negara

merupakan instrument paling strategis dan menentukan dalam kegiatan dakwah.

Adanya interaksi peradaban Barat dan peradaban Islam, setelah dakwah

menemukan kembali pengertian keagamaan secara kultural. Dakwah memasukkan aktivitas

penyiaran (tabligh), pendidikan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai

Islam, baik untuk mad’u muslim maupun non muslim. Untuk masyarakat muslim, dakwah

berfungsi sebagai proses peningkatan kualitas penerapan ajaran agama, sedangkan untuk non

muslim fungsi dakwah mengajak dan mengenalkan Islam agar mereka mau masuk Islam

dengan sukarela. Penerimaan secara sukarela bagi mad’u non muslim menjadi prioritas

serius sebagaimana ditunjukan oleh Rasulullah SAW. Dakwah dilaksanakan semacam


seminar akademis dalam skala luas, siapapun dalam mengikuti dan bebas menentukan

pilihan sesuai dengan keyakinan mereka. 63

Dalam pengertian pengembangan masyarakat muslim, dakwah antara lain berbentuk

peningkatan kesejahteraan sosial. Bagi kaum muslim ide pengembangan masyarakat sebagai

bagian dari cakupan dakwah bukanlah ide lain yang dimasukkan dalam dakwah. Penalaran

semacam ini telah muncul sejak awal gerakan dakwah, namun pernah tertutup oleh dominasi

aktivitas dakwah struktural. Hal ini sangat berbeda dengan pendapat Dale F. Eickelman dan

James Piscatori yang mengatakan bahwa redifinisi dakwah telah memasukkan ide-ide lain

tentang kesejahteraan sosial.64

Dakwah kultural memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi ke atas dan fungsi ke

bawah. Fungsi dakwah kultural ke lapisan atas antara lain tindakan dakwah yang diarahkan

sebagai jembatan (fasilitator) dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat terhadap

penguasa. Fungsi ini dijalankan bardasarkan anggapan bahwa masyarakat kurang mampu

mengekspresikan aspirasi mereka serta ketidakmampuan anggota parlemen dengan

sepenuhnya mengartikulasikan aspirasi rakyat. Fungsi ini berbeda dengan pola dakwah

struktural, karena menekankan pada tersalurnya aspirasi masyarakat bawah ke kelangan

penentu kebijakan. Dakwah kultural semacam ini tetap menekankan posisinya di luar

kekuasaan dan tidak bermaksud mendirikan negara Islam dan tidak menekankan pada

Islamisasi negara dan birokrasi pemerintah. Termasuk fungsi dakwah kultural ke lapisan atas

ini, adalah mempelajari berbagai kecenderungan masyarakat yang sedang berubah ke arah

63
Isma’il al-Faruqi, Sifat Dasar Dakwah Islamiyah, dalam Ahmad Von Deffer an Emilio Castro, (ed),
Dakwah Islam dan Misi Kristen, Sebuah Dialog Internasional, terj. Achmad Noer. Z., Bandung: Risalah, 1984,
hal. 39-40.
64
Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, Risalah Cendikiawan Muslim,
Bandung: Mizan, 1998, hal. 48-49.
modernisasi sebagai langkah strategis mengantisipasi perubahan sosial yang ada, karena

dalam proses perubahan dikhawatirkan akan memisahkan individu dalam keluarga,

komunitas dan lembaga, keagamaan yang akan mengakibatkan proses keterasingan dan

kehilangan pegangan. Sekalipun di satu pihak terlihat kemajuan dalam kehidupan

keagamaan, namun di sisi lain masih terlihat proses sekulerisasi di berbagai sektor yang

membutuhkan perhatian dakwah Islam. 65

Fungsi dakwah kultural yang bersifat ke bawah berarti penyelenggaraan dalam

dakwah bentuk penterjemahan ide-ide intelektual tingakat atas bagi umat Islam serta rakyat

pada umumnya untuk membawakan transformasi sosial, dengan mentransformasikan ide-ide

tersebut ke dalam konsep-konsep operasional yang dapat dikerjakan masyarakat. Termasuk

fungsi utma pola dakwah ini adalah penerjemahan sumber-sumber agama (al-qur’an dan

hadist) sebagai way of life. Transformasi ini bukan hanya dalam istilah teologi, tetapi juga

dalam konsep sosial yang lebih operasional.

Secara esensial, dakwah berkaitan dengan bagaimana membangun dan membentuk

masyarakat yang baik. Berpijak pada nilai-nilai kebenaran dan hak-hak asasi manusia.

Dalam pengertian non konvensional istilah dakwah dapat berhubungan secara kultural-

fungsional dengan penyelesaian problem-problem kemanusiaan, termasuk problem sosial.

Beberapa strategi di bawah ini dapat dijadikan alternatif bagi pengembangan dakwah

kultural agar dapat menyelesaikan beberapa problem yang ada:

a. dakwah harus dimulai dengan mencari “kebutuhan masyarakat”. Kebutuhan yang

dimaksud bukan hanya kebutuhan yang secara obyektif memang memelukan

65
Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia, Cendikiawan Muslim, Risalah Cendikiawan Muslim,
Bandung: Mizan, 1998, hal. 48-49.
pemenuhan.tetapi juga kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat yang perlu

mendapat perhatian.

b. Dakwah dilakukan secara terpadu, dengan pengertian bahwa berbagai aspek

kebutuhan amsyarakat dapat djangkau oleh program dakwah. Apat melibatkan

berbagai unsur yang ada dalam masyarakat.

c. Dakwah dilakukan dengan pendekatan partisipatoris, dalam pengertan ide yang

ditawarkan mendapat kesepakatan masyarakat dan atau ide masyarakat itu sendiri.

Memberi peluang bagi keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan dan

keterlibatan mereka dalam pelaksanaan rogram dakwah.

d. Dakwah dilaksanakan melalui proses sistematis pemecahan masalah. Program

dakwah yang dilakukan masyarakat sejauh mungkin diproses menurut langkah

pemecahan masalah, dengan demikian masyarakat dididik untuk bekerja secara

berencana, efisien dan mempunyai tujuan yang jelas.

e. Dakwah memanfaatkan teknologi yang sesuai dan tepat guna.

f. Program dakwah dilaksanakan melalui tenaga da’i yang bertindak sebagai

motivator, baik dilakukan oleh tenaga terlatih dari lembaga atau organisasi

masyarakat ang berpartisipasi maupun dari luar daerah setempat yang adaptif.

g. Program dakwah didasarkan atas asas swadaya dan kerjasama masyarakat.

Pelaksanaan program dakwah harus berangkat dari kemampuan diri sendiri dan

merupakan kerjasama dari potensi yang ada.66

Beberapa strategi tersebut pada dasarnya suatu ihtiar kultural agar fungsi dakwah

bercorak fungsional. Paling tidak ada tiga faktor yang memungkinkan dakwah dapat

66
Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman, Desain Ilmu Dakwah. (Yogyakarta: pustaka
Pelajar, 2003) h. 36
menampilkan Islam secara kultural, yaitu: watak keuniversalan, kerahmatan dan kemudahan

Islam. Dakwah kultural melibatkan kajian antar disiplin ilmu dalam rangka meningkatkan

serta memberdayakan masyarakat. Aktifitas dakwah kultural meliputi seluruh aspek

kehidupan, baik aspek sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, kesehatan maupun alam sekitar.

Keberhasilan dakwah kultural ditandai dengan teraktualisasikan dan terfungsikannya nilai-

nilai Islam dalam kehidupan pribadi, rumah tangga, kelompok sosial dan masyarakat.

Dakwah integratif, dua konsep pendekatan dakwah baik pendekatan dakwah

struktural maupun pendekatan dakwah kultural. Jika dilakukan secara ekstrim justru Dakwah

Integratif, dua konsep pendekatan dakwah baik pendekatan dakwah structural maupun

dakwah cultural jika dilakukan secara ekstrim justru akan menimbulkan dua kelompok

masyarakat yang memiliki karakter berbeda. Secara internal kemungkinan terjadinya

disintegrasi umat semakin besar. Karena itu pendekatan integratif dakwah dalam rangka

menciptakan, menjaga dan mempertahankan kesatuan dan persatuan umat sangat diperlukan.

Pendekatan dakwah integratif secara substansial adalah perpaduan antara dua pendekatan

dakwah baik structural maupun cultural, karena kedua pendekatan tersebut bukanlah suatu

yang bersifat dikotomik-kontradiktif. Dalam praktek kedua pendekatan dapat saling

melengkapi, bahkan secara ideal keduanya terintegrasi dalam satu pendekatan yang terpadu.

Keterpaduan ini diperlukan agar konsep yang dihasilkan mempunyai relevansi idealis

(normatif) dan sekaligus relevansi empiric. Relevansi iseadlis diperlukan agar konsep tidak

hanyut dalam arus dinamika peruahan masyarakat, sedangkan relevansi empiric diperlukan

agar konsep tidak merupakan suatu utopia yang mengawang.

Pendekatan integratif mempunyai pemaknaan lain, yaitu usaha mengidentifikasi

maslah dakwah kontemporer hanyalah langkah awal, langkah selanjutnya adalah bagaimana

membawa masyarakat yang ada ke bawah naungan wahyu, karena itu pendekatan integratif
dakwah meliputi seluruh aspek dakwah, seperti; da’i, materi, metode, media dan sebagainya.

Dengan ungkapan lain pendekatan dakwah integratif adalah suatu pendekatan transformatif.

Pendekatan transformatif dakwah dapat dilakukan dengan melihat model apa yang

diberikan al-Qur’an dan dakwah Rasulullah. Biografi atau sirah rasul menunjukkan bahwa

kepekaan dan apresiasi Muhammad SAW terhadap isu dan masalah komunitas di

sekelilingnya sangat tinggi. Nabi menunjukkan keteladanan pendekatan kedua-duanya di

atas, akan tetapi Nabi juga dibekali dengan visi tentang what is to be done dan itu diperoleh

dari ajaran tauhid. Gabungan antara visi dan kepekaan itu menghasilkan gagasan tentang

dakwah yang bersumber dari wahyu dan di lain memiliki nilai transformasional. Bangunan

konsep dakwah integratif diambil dari sikap Rasulullah dalam menghadapi tantangan

dakwah pada saat Rasulullah ditawari tiga alternatif oleh tokoh-tokoh kafir Quraisy Makkah

untuk menghentikan dakwahnya: apakah Rasul pilih jadi penguasa (raja), kekayaan (harta),

atau wanita.67 Semua itu ditolak. Orientasi gerakan dakwah Rasul bukan Negara dan

kekuasaan, walaupun Negara dan kekuasaan pada akhirnya ada padanya, dan bukan harta,

walaupun akhirnya ia menyertainya. Dan bukan pula kehormatan.

6. Tugas Pokok Dan Fungsi Kenabian

Manusia diciptakan Allah dengan dibekali kelebihan akal, agar dengan akalnya ia

dapat membedakan mana yang baik bagi dirinya dan mana yang buruk. Dengan akalnya

diharapkan dapat melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan meninggalkan apa yang

seharusnya ditinggalkan. Tetapi akal yang diberikan kepada manusia memiliki sifat-sifat

kelemahan dan keterbatasan, apalagi untuk memahami hal-hal yang berada di luar jangkauan

akal itu sendiri. Karena itu untuk memperoleh kebenaran tidak cukup hanya menggunakan

kemampuan akal saja.

67
Ibn Hisyam, Sirat al-Nabawiyat, juz II, hal 49
Allah mengutus para Rasul dan Nabi untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan

kepada manusia agar mereka mencapai kebenaran yang dikehendaki Allah, seandainya

dengan akalnya manusia dapat mencapai kebenaran itu, tentu tidak akan ada manfaatnya

Allah mengutus para Nabi dan Rasul. Hal ini menunjukkan bahwa hanya dengan akalnya

saja manusia tidak dapat mencapai kebenaran yang dikehendaki Allah.

Tugas pokok para Nabi dan Rasul dapat dilihat dari wajtu, karena status mereka

adalah utusan Allah yang membawa misi kenabian dan kerasulan, di antara tugas-tugas

pokok tersebut adalah:68

a. Menyeru manusia agar mengabdi (beribadah) hanya kepada Allah swt. Beribadah berarti

tunduk, taat dan patuh hanya kepada-Nya. Inilah inti mentauhidkan Allah dan menjauhi

kemusyrikan. Karena itu inti dakwah para Nabi hanyalah satu, yaitu membebaskan

manusia dari kemusyriakan dan mengajak kepada keyakinan tauhid.69 Di samping aspek

keyakinan tauhid juga aspek ketaatan.70

b. Menyampaikan ajaran Allah kepada umat manusia.

Syar’at Allah baik yang berkenaan dengan masalah keyakinan/aqidah, hukum-hukum

dan akhlak harus disampaikan kepada manusia. Sedangkan yang bertugas menyampikan

misi ketuhanan tersebut adalah mereka yang telah dipilih Allah untuk melaksanakan

68
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal. 27-23
69
Misi kerasulan dan Kenabian adalah mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, al-Anbiya’; 25
{25} ِ‫وَﻣَﺂأَرْﺳَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦ ﻗَ ﺒْﻠِﻚَ ﻣِﻦ رﱠﺳُﻮلٍ إِﻻﱠﻧُﻮﺣِﻲ إِﻟَﯿْﮫِ أَﻧﱠﮫُ ﻵ إِﻟَﮫَ إِﻵ أَ ﻧَﺎ ﻓَﺎﻋْﺒُﺪُون‬
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:"Bahwasanya
tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
70
Perintah menjauhi Thaghut, an-Nahl; 36:
َ‫ﻀﻼَﻟَﺔُ ﻓَﺴِﯿﺮُوا ﻓِﻲ اْﻷَرْضِ ﻓَﺎﻧﻈُﺮُوا ﻛَﯿْﻒ‬
‫وَﻟَﻘَﺪْ ﺑَﻌَﺜْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﻛُﻞﱢ أَﻣﱠﺔٍ رﱠﺳُﻮﻻً أَنِ اﻋْ ﺒُﺪُوا اﷲَ وَاﺟْﺘَﻨِﺒُﻮا اﻟﻄﱠﺎﻏُﻮتَ ﻓَﻤِ ﻨْﮭُﻢ ﻣﱠﻦْ ھَﺪَى اﷲُ وَﻣِ ﻨْﮭُﻢ ﻣﱠﻦْ ﺣَﻘﱠﺖْ ﻋَﻠَﯿْﮫِ اﻟ ﱠ‬
{36} َ‫ﻛَﺎنَ ﻋَﺎﻗِ ﺒَﺔُ اﻟْﻤُﻜَﺬﱢﺑِﯿﻦ‬
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah
(saja), dan jauhilah Thagut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan
ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi
dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
tugas menyiarkan syari’at-Nya.71 Secara tegas Tuhan memerintahkan kepada Nabi

Muhammad untuk menyampaikan syari’at kepada seluruh umat manusia.72

c. Memberikan Hidayah Kepada Manusia

Tugas Nabi dan Rasul adalah memberi hidayah kepada umat manusia agar mereka dapat

meniti jalan yang benar (al-shirath al-mustaqim). Hidayah (petunjuk) secara umum

terbagi menjadi dua, yaitu hidayah dalam pengertian taufiq dan hidayah dalam

pengertian bimbingan dan penerangan (al-Irsyad wa al-Bayan). Taufiq adalah

menciptakan kekuatan untuk manusia agar taat kepada Allah, hidayah dalam pengertian

taufiq ini merupakan kewenangan mutlak Allah.73 Sedangkan hidayah dalam pengertian

bimbingan dan penerangan dapat dilakukan oleh selain Allah dan bahkan merupakan

tugas pokok semua Nabi dan Rasul-Nya.74

d. Memberikan teladan yang baik

71
Nabi dan Rasul adalah manusia pilihan Allah yang diberi tugas menyampaikan ajaran-ajaran-Nya
kepada manusia, al-Ahzab; 39
{39} ‫ﻦ ﯾُﺒَﻠﱢﻐُﻮنَ رِﺳَﺎﻻَتِ اﷲِ وَ ﯾَﺨْﺸَﻮْﻧَﮫُ وَﻻَ ﯾَﺨْﺸَﻮْنَ أَﺣَﺪًا إِﻻﱠ اﷲَ وَﻛَﻔَﻰ ﺑِﺎﷲِ ﺣَﺴِﯿﺒًﺎ‬ َ ‫اﻟﱠﺬِﯾ‬
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada
merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.
72
Perintah ini secara eksplisit tertera dalam surat al-Maidah; 67:
{67} َ‫* ﯾَﺎأَ ﯾﱡﮭَﺎ اﻟﺮﱠﺳُﻮْلُ ﺑَﻠِّﻎْ ﻣَﺂ أُ ﻧْﺰِلَ إِﻟَﯿْﻚَ ﻣِﻦْ رﱠﺑِّﻚَ وَإِنْ ﻟﱠﻢْ ﺗَﻔْﻌَﻞْ ﻓَﻤَﺎ ﺑَﻠﱠﻐْﺖَ رِﺳَﺎﻟَﺘَﮫُ وَاﷲُ ﯾَﻌْﺼِﻤُﻚَ ﻣِﻦَ اﻟﻨﱠﺎسِ إِنﱠ اﷲَ ﻻَ ﯾَﮭْﺪِي اﻟْﻘَﻮْمَ اﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﯾْﻦ‬
Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
73
Hidayah dalam pengertian taufiq, al-Qashas; 56
{56} َ‫إِ ﻧﱠﻚَ ﻻَ ﺗَﮭْﺪِي ﻣَﻦْ أَﺣْﺒَ ﺒْﺖَ وَﻟَﻜِﻦﱠ اﷲَ ﯾَﮭْﺪِي ﻣَﻦ ﯾَﺸَﺂءُ وَھُﻮَ أَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺎﻟْﻤُﮭْﺘَﺪِﯾﻦ‬
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.
74
Tugas Nabi dan Rasul untuk memberikan hidayah dalam pengertian penerangan dan penjelasan, al-
Syura; 52:
ٍ‫وَﻛَﺬَﻟِﻚَ أَوْﺣَﯿْﻨَﺂ إِﻟَﯿْﻚَ رُوﺣًﺎ ﻣﱢﻦْ أَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻣَﺎﻛُﻨﺖَ ﺗَ ْﺪرِي ﻣَﺎ اﻟْﻜِﺘَﺎبُ وَﻻَ اْﻹِﯾﻤَﺎنُ وَﻟَﻜِﻦ ﺟَﻌَﻠْ ﻨَﺎهُ ﻧُﻮرًا ﻧﱠﮭْﺪِي ﺑِﮫِ ﻣَﻦ ﻧﱠﺸَﺂءُ ﻣِﻦْ ﻋِ ﺒَﺎدِﻧَﺎ وَإِ ﱠﻧﻚَ ﻟَ ﺘَﮭْﺪِي إِﻟَﻰ ﺻِﺮَاط‬
{52} ٍ‫ﻣﱡﺴْﺘَﻘِﯿﻢ‬
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami.Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami
menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-
hamba Kami.Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Penyampaian risalah melalui tabligh terasa belum cukup, manusia memerlukan

keteladanan sehingga mereka mudah mengikutinya, karena itu salah satu tugas pokok

Nabi dan Rasul adalah menjadi teladan bagi umatnya. 75

e. Memberi peringatan tentang kehidupan akhirat.

Di antara tugas pokok para Nabi dan Rasul adalah memberi peringatan tentang adanya

kehidupan akhirat, karena hal ini akan dapat merubah orientasi kehidupan manusia.76

f. Mengubah orientasi hidup.

Dalam prinsip keyakinan agama Islam kehidupan ini bukan hanya di dunia akan tetapi

ada juga kehidupan akhirat, bahkan kehidupan akhirat lebih penting dibandingkan

kehidupan dunia, karena itu tugas pokok Nabi dan Rasul adalah mengubah orientasi

kehidupan manusia kepada keidupan akhirat.77

7. Unsur-Unsur Gerakan Dakwah

Masyarakat Madinah yang dibentuk oleh Nabi melalui gerakan dakwah ini

merupakan embrio bagi lahirnya Imperium Islam dunia yang mampu berkuasa selama

kurang lebih sepuluh abad.

Unsur-unsur dakwah yang dapat menunjang tercapainya tujuan dakwah di antaranya

adalah; kualitas tenaga da’i, materi, metode, sarana dan fasilitas.

75
Q.S al-Ahzab; 21:
{21} ‫ﻟﱠﻘَﺪْ ﻛَﺎنَ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ رَﺳُﻮلِ اﷲِ أُﺳْﻮَةٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ ﻟﱢﻤَﻦ ﻛَﺎنَ ﯾَﺮْﺟُﻮا اﷲَ وَاﻟْﯿَﻮْمَ اْﻷَﺧِﺮَ وَذَﻛَﺮَ اﷲَ ﻛَﺜِﯿﺮًا‬
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
76
QS. AL-an’am; 130:
‫ﯾَﺎﻣَﻌْﺸَﺮَ اﻟْﺠِﻦِّ وَاْﻹِﻧﺲِ أَﻟَﻢْ ﯾَﺄْﺗِﻜُﻢْ رُﺳُﻞٌ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﯾَﻘُﺼﱡﻮنَ ﻋَﻠَ ﯿْﻜُﻢْ ءَاﯾَﺎ ﺗِﻲ وَﯾُﻨﺬِرُوﻧَﻜُ ْﻢ ﻟِﻘَﺂءَ ﯾَﻮْﻣِﻜُﻢْ ھَﺬَا ﻗَﺎﻟُﻮا ﺷَﮭِﺪْ ﻧَﺎ ﻋَﻠَﻰ أَﻧﻔُﺴِ ﻨَﺎ وَﻏَﺮﱠﺗْﮭُﻢُ اﻟْﺤَﯿَﺎةُ اﻟ ﱡﺪﻧْﯿَﺎ وَﺷَﮭِﺪُوا‬
{130} َ‫ﻋَﻠَﻰ أَﻧﻔُﺴِﮭِﻢْ أَ ﻧﱠﮭُﻢْ ﻛَﺎﻧُﻮا ﻛَﺎﻓِﺮِﯾﻦ‬
Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang
menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan
hari ini Mereka berkata:"Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka,
dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.
77
Orientasi kehidupan manusia muslim lebih kepada kehidupan akhirat, al-Ankabut; 64:
{64} َ‫وَﻣَﺎ َھﺬِهِ اﻟْﺤَﯿَﺎةُ اﻟﺪﱡﻧْﯿَﺂ إِﻻﱠ ﻟَﮭْﻮُ وَﻟَﻌِﺐُ وَإِنﱠ اﻟﺪﱠارَ اْﻷَﺧِﺮَةَ ﻟَﮭِﻲَ اﻟْﺤَﯿَﻮَانُ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻠَﻤُﻮن‬
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.Dan sesungguhnya akhirat itulah
yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.
a. Kualitas da’i

Nabi sebagai pelaksana dakwah memiliki nasab yang sangat mulia dan sangat

dihormati di kalangan masyarakat Arab pada saat itu sehingga para penentang

dakwah tidak berani melakukan tindakan fisik semena-mena terhadap pribadi Nabi

karena secara legal dilindungi oleh adat yang berlaku pada saat itu. Di samping itu

Nabi memiliki empat sifat, yaitu: Shiddiq, amanat, tabligh dan fathonah.

b. Materi

Keberhasilan dakwah salah satunya sangat ditentukan oleh materi dakwah yang

mampu memberikan jawaban atas segala problematika kehidupan pada tingkat

individual maupun sosial serta mampu memberikan alternatif pilihan hidup yang

lebih baik.

Materi dakwah yang dimaksud adalah syari’at Islam secara keseluruhan yang

meliputi sistem aqidah tauhid (iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-

rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Hari Akhir), sistem ibadah (shalat, puasa, zakat dan

haji), akhlak dan sistem kehidupan meyeluruh yang meliputi sistem politik, ekonomi,

pendidikan, Sosial budaya, kesenian, pertahanan dan keamanan, serta hukum dan

perundang-undangan, sistem Jihad dan amar ma’ruf nahi munkar.

Materi dakwah ini diharapkan mampu memberikan harapan hidup sejahtera yang

penuh kedamaian, kebenaran, keadilan, persamaan, kasih sayang, tolong menolong

dan bahkan mampu menumbuhkan keyakinan akan adanya kehidupan indah yang

sangat abstrak yaitu sorga. Materi dakwah ini diharapkan juga mampu

menumbuhkan semangat jihad untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan

serta memberantas kebatilan untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan serta
memberantas kebatilan dan kedzaliman. Dalam dakwah tidak mengenal batas

teritorial, dalam jihad tidak mengenal pemisahan antara maslah agama dan Negara.

c. Metode

Dalam melaksanakan dakwah da’i diharapkan selalu mohon dibimbing oleh Allah di

samping melakukan ikhtiyar secara maksimal, termasuk di dalamnya metode

pelaksanaan. Petunjuk pelaksanaan dakwah di antaranya ada yang langsung dari

Allah, tidak boleh melakukan diskriminasi.78 Tidak boleh memisahkan antara ucapan

dan tindakan, tidak boleh bertoleransi dalam agama, tidak mencela tuhan mad’u.79

perintah untuk melaksanakan dakwah dengan bijaksana, mau’izhat hasanat dan

dialog yang baik. Tidak boleh memungut imbalan, tidak boleh bermesraan dengan

lawan, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak mampu diketahui mad’u.80

d. Sarana/media

1) Bahasa; materi dakwah secara esensial dikemas dalam bahasa yang begitu indah,

yaitu al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT yang langsung diterima Rasul.

Pengaruh bahasa ini sangat besar terhadap keberhasilan dakwah. Di samping itu

kualitas interpretasi da’i terhadap al-Qur’an maupun hadits (Ucapan, perbuatan

dan ketentuan) Nabi harus dapat dipertanggung jawabkan.

78
Teguran Allah terhadap sikap Nabi dalam melakukan dakwah, Q.S. Abasa; 1-5:
{5} ‫{ أَﻣﱠﺎ ﻣَﻦِ اﺳْﺘَﻐْ ﻨَﻰ‬4} ‫{ أَوْ ﯾَﺬﱠﻛﱠﺮُ ﻓَﺘَﻨﻔَﻌَﮫُ اﻟﺬِّﻛْﺮَى‬3} ‫{ وَﻣَﺎﯾُﺪْرِﯾﻚَ ﻟَﻌَﻠﱠﮫُ ﯾَﺰﱠﻛَﻰ‬2} ‫{ أَن ﺟَﺂءَهُ اْﻷَﻋْﻤَﻰ‬1} ‫ﺲ وَ ﺗَﻮَﻟﻰﱠ‬ َ َ‫ﻋَﺒ‬
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang seorang buta kepadanya.Tahukah
kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu
pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup.
79
Nabi dilarang mencela sembahan orang-orang Arab jahiliyah, QS. Al-An’am; 108:
{108} َ‫ﻦ ﯾَﺪْﻋُﻮنَ ﻣِﻦ دُونِ اﷲِ ﻓَ ﯿَﺴُ ﺒﱡﻮا اﷲَ ﻋَﺪْوًا ﺑِﻐَﯿْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻛَﺬَﻟِﻚَ زَﯾﱠﻨﱠﺎ ﻟِﻜُﻞﱟ أُﻣﱠﺔٍ ﻋَﻤَﻠَﮭُﻢْ ﺛُﻢﱠ إِﻟَﻰ رَ ّﺑِﮭِﻢ ﱠﻣﺮْﺟِﻌُﮭُﻢْ ﻓَ ﯿُﻨَﺒِّ ﺌُﮭُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن‬
َ ‫وَﻻَﺗَﺴُﺒﱡﻮا اﻟﱠﺬِﯾ‬
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
80
QS. Al_sra’; 36:
{36} ً‫وَﻻَﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎﻟَﯿْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﮫِ ﻋِﻠْﻢٌ إِنﱠ اﻟﺴﱠﻤْﻊَ وَاﻟْﺒَﺼَﺮَ وَاﻟْﻔُﺆَادَ ﻛُﻞﱡ أُوْﻻَ ﺋِﻚَ ﻛَﺎنَ ﻋَﻨْﮫُ ﻣَﺴْ ﺌُﻮﻻ‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.
2) Tempat dan lokasi; lokasi kegiatan dakwah akan sangat mempengaruhi tingkat

keberhasilan misi dakwah, misalnya Nabi memanfaatkan rumah al-Arqam bin

Abi al-Arqam sebagai tempat kegiatan dakwah. Al-Arqam bin abi al-Arqam

termasuk anggota bani mahzum salah satu suku terhormat di Hijaz, sehingga

sesuai dengan adat yang berlaku setiap orang yang berada di perkampungan

tersebut dijamin keselamatannya oleh suku itu. Tempat strategis lain adalah

Ka’bah dengan pasar-pasar di sekelilingnya sebagai pusat ziarah dan tempat

berkumpulnya manusia.

e. Proses konversi

1) Tenaga da’i, da’i sebagai pelaksana utama kegiatan dakwah harus memiliki

kualifikasi yang memadai, seperti sifat sidiq, amanat, tabligh dan fathonah

sebagaimana Nabi memilikiakhlak dan kepribadian yang sangat tinggi, gelar al-

Amin yang disandangnya merupakan bukti nyata pengakuan kaumnya atas

kredibilitas akhlak beliau. Di samping itu Nabi sejak kecil mengetahui dan

bahkan ikut aktif membela, memperjuangkan dan membangun sejarah

bangsanya, karena itu Nabi termasuk pelaku proses sejarah bangsanya dari sejak

beliau belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Beliau mengetahui persis

persoalan yang dihadapi umatnya, dengan bahasa lain Nabi termasuk salah satu

kelompok elite sosial dan politik.

Selain Nabi secara pribadi melakukan dakwah, beliau juga memilih beberapa

sahabatnya untuk membantu. Dalam hal ini Nabi sangat selektif memilih sahabat

sebagai tenaga da’i, misalnya Abu Bakar As-Shidiq seorang ahli geneologi yang

sangat diperlukan padasaat setelah fath Makkah, dimana manusia secara

berbondong-bondong masuk Islam walaupun mungkin dengan motif politik.


Mus’ab bin Umair, seorang pemuda yang tampan, cerdas dan memiliki nasab

yang ada kaitannya dengan orang-orang Yasrib, hal ini sangat bermanfaat bagi

kelancaran dakwah di yatsrib setelah terjadinya bai’at aqabat al-ula, Hamzah bin

Abi Thalib, seorang yang cerdas dan memiliki ketangkasan perang dan jiwa yang

besar, sangat diperlukan dalam menghadapi raja al-Habsyi pada saat kaum hijrah

ke Habasyah. Utsman bin Affan, seorang pedagang dan hartawan yang memiliki

kelembutan jiwa dan sebagainya.

Semua tersebut di atas menunjukkan bahwa tenaga da’i yang dipilih oleh Nabi

untuk melakukan dakwah dan pembinaan umatnya benar-benar memiliki

kredibilitas akhlak dan wawasan keilmuan serta keterampilan yang memadai.

2) Interaksi antara komponen dakwah dalam proses konversi

Interaksi antar komponen dakwah, yaitu da’i, materi, metode, teknik, mad’u,

sasaran dan tujuan dakwah dalam pelaksanaan dakwah mesti berjalan dengan

baik, hal ini karena proses pelaksanaan dakwah dikontrol dan diawasi oleh

penguasa Negara (khalifah), penyimpangan-penyimpangan yang terjadi akan

segera diatasi secara cepat, misalnya gerakan penolakan zakat, kaum riddah dan

Nabi palsu pada masa Abu Bakar, pemecatan Khalid bin Walid sebagai panglima

perang oleh Umar bin Khattab, pembukuan al-Qur’an pada masa Utsman bin

Affan dan sebagainya.

3) Tujuan

Formulasi tujuan dakwah harus jelas, bahwa kegiatan dakwah adalah merupakan

manivestasi dari semangat jihad untuk menegakkan kebenaran serta keadilan di

muka bumi. Dakwah diyakini sebagai kewajiban bersama yangtidak dapat


ditinggalkan dan dakwah didukung oleh segenap kekuatan umat yang

dimilikinya. Dakwah merupakan misi utama bagi setiap umat.

B. Masyarakat Islam

1. Pengertian Masyarakat Islam

Masyarakat Islam terdiri dari dua kata yaitu masyarakat dan Islam. Secara

etimologi kata masyarakat berasal dari bahasa Arab “Syaraka” yang berarti

bersekutu.81 Dalam kata ini tersimpul pengertian yang berhubungan dengan

pembentukan suatu kelompok atau golongan. Kata masyarakat lebih bermakna

pergaulan hidup serta hubungan manusia dalam sebuah kelompok, yang dalam

bahasa Arab diterjemahkan dengan kata al-Mujtama.82 Dan dalam bahasa Inggris

diartikan society.83 Dalam hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan istilah masyarakat

dengan al-Ijtima’ al-Basyari yang menurutnya istilah itu identik dengan al-‘Umran

(peradaban).84

Dari sisi istilah masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan atau tata cara, dari

wewenang dan kerjasama berbagai kelompok dan golongan. Masyarakat merupakan

jalinan hubungan sosial akan selalu berubah dalam menghasilkan kebudayaan.

Masyarakat merupakan hubungan ruhaniah antara sekelompok manusia, yang dijalin

oleh kebudayaan dan kerjasama. Dalam masyarakat terkandung makna interaksi

81
Kata Syaraka, Yasyraku, Syarikat. Lihat Abu Luis, al-Munjid fi al-Lughat, Beirut, Libanon: 1994,
hal 384. Kata syarikat yang merupakan asal kata masyarakat terpakai dalam bahasa Indoesia dan Malaysia.
Bahkan dalam bahasa Malasysia tetap dalam ejaan aslinya, syarikat dan dalam bahasa Indonesia serikat. Dalam
kata ini tersimpul pengertian hubungan dengan pembentukan suatu kelompok atau golongan atau kumpulan.
Kata masyarakat terpakai dalam dua bahasa tersebut untuk menanamkan pergaulan hidup. Lihat Sidi Ghazalba,
Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hal. 1
82
Abu Luis, al-Munjid fi al-Lughat, hal. 101
83
Peter Salim, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press,
1996. Hal 1854. Lihat juga David L. Sills (Ed), International Encyclopedia of the Social Science, Vol. 13,
London: The Macmillan Company The Free Press, 1972, hal. 578.
84
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 37
yang meliputi sistem organisasi dan peradaban.85 Dalam rumusan lain, masyarakat

Islam adalah sekelompok manusia yang mempunyai kebiasaan, tradisi sikap dan

perasaan serta persatuan yang diikat oleh kesamaan agama, yakni agama Islam. 86

Masyarakat Islam adalah sekelompok manusia yang hidup secara terikat oleh

kebudayaan Islam yang diamalkan oleh sekelompok manusia tersebut. Dengan

demikian sekelompok manusia yang pola interaksi kehidupannya berlandaskan

kebudayaan Islam disebut masyarakat Islam. 87

Konsep kerja masyarakat Islam tidak terlepas dari peran masing-masing individu

dalam komunitas tersebut. Terkait dengan hal ini Abdo A. Elkholy mejelaskan dalam

komunitas masyarakat Islam memunculkan dua arah yang berbeda, pertama bersifat

meredam tribalisme dan kedua mendorong dan menyuburkan inisiatif pribadi. Islam

sangat mendorong inisiatif dan tanggungjawab pribadi yang pada akhirnya juga

mendorong lahirnya sifat anti individualistik. Secara berulang-ulang dan konsisten

al-Qur’an mengingatkan manusia agar mau memutuskan masalahnya sendiri dengan

pemahaman diri sebagai pribadi yang merdeka dan bertanggungjawab. Jiwa

universalisme dalam tatanan masyarakat Islam guna merangkul berbagai ras, bangsa

dan golongan manusia.88

Konsep masyarakat utama sebagai rumusan dari maksud dan tujuan

Muhammadiyah, secara redaksional menggantikan konsep masyarakat Islam.

Sekalipun redaksi berbeda-beda, intinya tetap yaitu “Baldatun Thayyibatun wa

Rabbun Ghafur”. Masyarakat utama adalah masyarakat yang beriman dengan sistem

85
Rodney Stark, Sosiology, California: Wad Swort Publisher Company, 1985, hal. 26
86
Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’i, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi,
Strategi sampai Tradisi, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 5
87
Sidi Ghazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, hal. 102
88
Abdo A. Elkholy, Konsep al-Qur’an tentang Masyarakat dalam Perspektif Muslim tentang
Perubahan Sosial, Bandung: Pustaka, 1988, hal. 119
kelembagaan yang mampu menegakkan kebaikan (amar ma’ruf/humanisasi) dan

mencegah yang buruk (nahy munkar/liberalisasi) dan berorientasi kepada nilai-nilai

keutamaan (al-khair). Nilai keutamaan ini menjadi dasar pijakan dalam membangun

masyarakat yang mengalami proses perubahan secara terus menerus. Al-Qur’an

mengajarkan nilai-nilai dasar pembangunan masyarkat sebagai berikut: a)

Menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia. b) Memupuk rasa persatuan dan

kekeluargaan. c) Mewujudkan kerjasama umat manusia menuju terciptanya

masyarakat sejahtera lahir dan batin. d) Memupuk jiwa toleransi. e) Menghormati

kebebasan orang lain. f) Menegakkan budi pekerti luhur. g) Menegakkan keadilan. h)

Perlakuan sama dan setara. i) Memenuhi janji. j) Menanamkan kasih sayang dan

mencegah kerusakan. 89

Masyarakat Utama dapat dilihat dari dua aspek: petama aspek institusional

(wadah) dan kedua aspek individual (subyek). Sebagai institusi masyarakat

merupakan suatu persekutuan bersama antar manusia, karena itu pada masyarakat

akan berlangsung proses kehidupan sosial, proses interaksi dan bahkan proses

keseluruhan aspek kehidupan. Sifat utama dalam konteks masyarakat sebagai

institusi, berarti sistem dan tatanan sosial serta budaya yang dikembangkan adalah

kondusif bagi terwujudnya kehidupan sejahtera lahir dan batin bagi segenap

anggotanya, yaitu kehidupan yang tertib, aman, adil dan makmur material maupun

spiritual, sehingga seluruh anggota masyarakat merasakan kedamaian dan

ketentraman.90

89
M. Yunan Yusuf, dalam Pengantar Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, (Ed), M. Yunan
Yusuf, Yusron Razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. xii.
90
M. Yunan Yusuf, dalam Pengantar Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, hal xii
Sistem dan tatanan sosial adalah sebuah sistem dan tatanan yang memberikan

kemudahan, perlindungan, perasamaan, kemerdekaan dan kebebasan individu

anggota masyarakat dari belenggu dan kondisi hidup yang tidak manusiawi

(kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan). Dan budaya yang dikembangkan

adalah al-madaniyyah, budaya yang merupakan internalisasi nilai-nilai ketuhanan,

menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan dan berorientasi pada kemajuan

yang berwawasan masa depan.

Dari aspek individual (subyek), masyarakat utama terdiri dari individu utama

yang memiliki kriteria tadzakkar, tafakkur, musyawarat, tasamuh, tawashaw,

ikhtiyar, ta’awun, ukhuwat, fastabiq al-khairat, jihad dan ijtihad serta istiqamat.91

2. Masyarakat Islam menurut al-Qur’an dan al-Sunah

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa istilah tentang masyarakat antara lain istilah

khairu umat, hizbullah, muttaqun, sholihun, muhsinun, muflihun, mu’minun dan

seterusnya:

a. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang berhak menjadi khalifah; surat an-

Nur: 55.92

b. Masyarakat Islam adalah umat terbaik (masyarakat utama) Ali Imran: 110.93

91
M. Yunan Yusuf, dalam Pengantar Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, (Ed), M. Yunan
Yusuf, Yusron Razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. xi
92
Janji Allah akan menjadikan orang-orang beriman menjadi pemimpin:
‫وَﻋَﺪَ اﷲُ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَاﻣَ ﻨُﻮا ﻣِﻨﻜُﻢْ وَﻋَﻤِﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎتِ ﻟَ ﯿَﺴْ ﺘَﺨْﻠِﻔَﻨﱠﮭُﻢْ ﻓِﻲ اْﻷَرْضِ ﻛَﻤَﺎاﺳْ ﺘَﺨْﻠَﻒَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻣِﻦ ﻗَﺒِْﻠﮭِﻢْ وَﻟَﯿُﻤَﻜﱢ ﻨَﻦﱠ ﻟَﮭُﻢْ دِﯾ ﻨَﮭُﻢُ اﱠﻟﺬِي ارْ ﺗَﻀَﻰ ﻟَﮭُﻢْ وَﻟَﯿُ ﺒَﺪﱢﻟَ ﻨﱠﮭُﻢ ﻣﱢﻦ‬
{55} َ‫ﺑَﻌْﺪِ ﺧَﻮْﻓِﮭِﻢْ أَﻣْﻨًﺎ ﯾَﻌْﺒُﺪُو ﻧَﻨِﻲ ﻻَﯾُﺸْﺮِﻛُﻮنَ ﺑِﻲ ﺷَﯿْﺌًﺎ وَﻣَﻦ ﻛَﻔَﺮَ ﺑَﻌْﺪَ ذَﻟِﻚَ ﻓَﺄُوْﻻَﺋِﻚَ ھُﻢُ اﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮن‬
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah
(keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembah-
Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.
93
Umat Islam adalah umat terbaik
c. Umat Islam adalah umat yang diridlai Allah karena sikap mereka yang tidak

mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, al-Mujadilah:

22.94

d. Masyarakat muttaqun, suka berinfaq, menegakkan shalat, membayar zakat,

menepati janji dan sabar, al-Baqarah: 177.95

e. Kumpulan orang-orang shaleh, Ali Imran: 114.96

f. Kumpulan orang suka beribadah, suka bertaubat: 112- 114.97

ُ‫ﻛُﻨ ﺘُﻢْ ﺧَﯿْﺮَ أُﻣﱠﺔٍ أُﺧْﺮِﺟَﺖْ ﻟِﻠﻨﱠﺎسِ ﺗَﺄْﻣُﺮُونَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُوفِ وَﺗَﻨْﮭَﻮْنَ ﻋَﻦِ اﻟْﻤُﻨﻜَﺮِ وَﺗُﺆْﻣِ ﻨُﻮنَ ﺑِﺎﷲِ وَﻟَﻮْءَاﻣَﻦَ أَھْﻞُ اﻟْﻜِﺘَﺎبِ ﻟَﻜَﺎنَ ﺧَﯿْﺮًا ﱠﻟﮭُﻢْ ﻣِّﻨْﮭُﻢُ اﻟْﻤُﺆْﻣِ ﻨُﻮنَ وَأَﻛْﺜَﺮَھُﻢ‬
{110} َ‫اﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮن‬
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
94
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang diridlai Allah, dan tidak akan mencintai orang kafir:
ُ‫ﻻﱠﺗَﺠِﺪُ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﯾُﺆْﻣِ ﻨُﻮنَ ﺑِﺎﷲِ وَاﻟْﯿَﻮْمِ اْﻷَﺧَﺮِ ﯾُﻮَآدﱡونَ ﻣَﻦْ ﺣَﺂدﱠ اﷲَ وَرَﺳُﻮﻟَﮫُ وَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧُﻮا ءَاﺑَﺂءَھُﻢْ أَوْ أَﺑْﻨَﺂءَھُﻢْ أَوْ إِﺧْﻮَاﻧَﮭُﻢْ أَوْ ﻋَﺸِﯿﺮَﺗَﮭُﻢْ أُوْﻻَﺋِﻚَ ﻛَﺘَﺐَ ﻓِﻲ ﻗُﻠُﻮ ﺑِﮭِﻢ‬
ُ‫اْﻹِﯾﻤَﺎنَ وَأَﯾﱠﺪَھُﻢ ﺑِﺮُوحٍ ﻣﱢﻨْﮫُ وَﯾُﺪْﺧِﻠُﮭُﻢْ ﺟَﻨﱠﺎتٍ ﺗَﺠْﺮِي ﻣِﻦ ﺗَﺤْﺘِﮭَﺎ اْﻷَﻧْﮭَﺎرُ ﺧَﺎﻟِﺪِﯾﻦَ ﻓِﯿﮭَﺎ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮭُﻢْ وَرَﺿُﻮا ﻋَﻨْﮫُ أُوْﻻَﺋِﻚَ ﺣِﺰْبُ اﷲِ أَﻵَإِنﱠ ﺣِﺰْبَ اﷲِ ھُﻢ‬
{22} َ‫اﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮن‬
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-
Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan
Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.
95
Q.S. al-Baqarah, ayat 177: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu
kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa.
96
QS. Ali Imran, ayat 114: Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai
kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.
97
QS. At-Taubat, ayat 112-114: Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat,
memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat
munkar dyang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu.Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.Dan permintaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya
kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim
berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.
g. Saat ja’far Ibn Abu Thalib ditanya oleh raja Najasyi, natara lain ia

mengatakan bahwa Rasulullah telah membebaskan umat dari jahiliyah dan

kemusyrikan, kemudian Rasulullah menyuruh umat agar: benar dalam

berbicara, menunaikan amanah, menghubungkan silaturahmi, baik dengan

tetangga, menjauhi yang haram dan menjauhi pertumpahan darah, melarang

kejahatan dan sumpah palsu, melarang memakan harta anak yatim dan

menuduh wanita baik-baik, menyuruh beribadah kepada Allah dan tidak

syirik, menyuruh menunaikan shalat membayar zakat dan puasa.

h. Bentuk masyarakat Islam adalah masyarakat yang bebas dari zhulumat,

bebas dari jahiliyah, keterbelakangan, perbudakan, kemiskinan. Masyarakat

yang mendapat petunjuk dan berada dalam jalan lurus. Al-Maidah ayat: 15,

16.

Menurut Sufyan Sa’ad, di antara ciri-ciri masyarakat Islam adalah; a) Beriman

dan bertaqwa, b) Berpendidikan, c) Berfikir secara rasional dan obyektif, d) Para

anggotanya gigih memperjuangkan yang hak dan menentang yang bathil, e)

Masyarakat yang menghargai efisiensi dan hak-hak orang lain, f) Mempunyai etika

yang tinggi, g) Berjuang di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran, h) tanggap

terhadap masalah kenegaraan dan kemasyarakatan, i) turut bertanggungjawab atas

kemajuan Agama, j) Memupuk kerjasama antar individu, lembaga serta badan lain

baik lokal maupun nasional maupun internasional yang bertujuan untuk memajikan

kehidupan umat manusia, k) Para anggotanya berjiwa kreatif, inofatif, dinamis dan

konsern dengan perkembangan zaman, l) Para anggotanya mempunyai disiplin

pribadi yang tinggi, tidak malas, tidak ngoyo, efektif serta berdaya guna, m) Cinta

perdamaian dan menghargai harkat serta martabat mausia dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, n) Masyarakat yang mempersiapkan kader-kader dan

generasi penerus dengan baik, o) Masyarakat yang intens terhadap masalah-masalah

sosial seperti kemiskinan, ketidak adilan, kebodohan, dan kemunafikan dsb, p) Suatu

masyarakat yang para anggotanya konsern terhadap kependudukan dan lingkungan

hidup, q) Suatu masyarakat yang memperhatikan kesehatan jasmani dan rohani, r)

Suatu masyarakat yang memiliki etos kerja yang tinggi, s) Suatu masyarakat yang

anggotanya suka belajar dan sekaligus menjadi pengembang pengetahuan, t)

Masyarakat yang anggotanya mempunyai solidaritas Islam yang tinggi dan gemar

menjalin silaturrahim, u) Suatu masyarakat yang tahu hak dan kewajibannya sebagai

warga negara, v) Suatu masyarakat yang pola pikirnya berdasarkan Islam dan

teraktualisasi dalam segala aspek kehidupan.98

3.Transformasi Menuju Masyarakat Islam

Untuk kepentingan pengkajian strategis menuju masyarakat Islam, maka akan

lebih mudah mengkaji pertanyaan “Bagaimana profil masyarakat Islam” dari pada

pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan masyarakat Islam”. Mengapa “Bagaimana”,

bukan “apa”?, karena masyarakat Islam tidak dapat digambarkan sebagai suatu potret

atau suatu gambaran yang statis. Pencandraan masyarakat Islam lebih tepat

digambarkan sebagai suatu proses yang aktif, yaitu suatu dinamika sosial tertentu.

Disebut “dinamika sosial” karena masyarakat Islam lebih dicirikan oleh dinamika

hubungan antar struktur dan nilai yang ada di dalamnya. Dinamika juga lebih tepat

digunakan karena profil masyarakat Islam berkaitan dengan konteks temporal dan

98
Sofyan Sa’ad, dalam Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi, (Ed) M. Yunan Yusuf, Yusron
Razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 168-169
spasial. Maksudnya, gambaran masyarakat Islam akan berlainan antar kurun waktu

yang berbeda dan juga antar tempat serta lokasi berbeda.

Ada dua macam pendekatan yang dapat dilakukan untuk pencandraan masyarakat

Islam. Pertama, konsep masyarakat Islam dirumuskan dalam suatu state of being

yang normatif dan dicita-citakan. Pendekatan semacam ini dilakukan dengan

mengadakan interpretasi dan reinterpretasi terhadap kandungan al-Qur’an dan al-

Sunnah Rasul tentang tatanan sosial yang diinginkan. Upaya interpretasi ini

mengemban tugas utama untuk mengidentifikasi gagasan-gagasan pokok al-Qur’an

dan al-Sunnah Rasul tentang masyarakat.

Pendekatan kedua, Konsep masyarakat Islam dirumuskan dengan

mengidentifikasi komponen-komponen dalam masyarakat itu sendiri, seperti

masalah kelembagaan, dan masalah strukturnya. Pendekatan semacam ini dapat

dilakukan dengan menggunakan perspektif historis, dengan menggunakan berbagai

analisis sosial. Dalam konteks temporal dan spasial, sebagaimana dikemukakan di

atas, peneliti dapat mengidentifikasi isu dan masalah muslim saat ini dan masa yang

akan datang. Isu dan masalah ini kemudian dijadikan sebagai bagian dari

konseptualisasi masyarakat Islam, baik sebagai titik pangkal maupun tujuan, yakni

bagaimana mengantisipasi isu dan masalah itu melalui seperangkat sarana

kelembagaan atau sistem makna yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah.

Selain dua pendekatan di atas dapat diajukan konsep pendekatan lain, yaitu

pendekatan transformatif. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan melihat model apa

yang diberikan al-Qur’an dan dakwah Rasul Muhammad saw. Keterkaitan visi (nilai

ideal) dengan kepekaan (realitas empiric) ini sebenarnya secara nyata telah

diisyaratkan dalam surat al-Ma’un, al-Takatsur, al-Humazat, dan lain sebagainya


yang merupakan awal wahyu yang diterima Nabi. Dengan ungkapan lain, tauhid

yang ditawarkan islam adalah monoteisme yang transformatif, monoteisme yang

menciptakan suatu masyarakat. Ajaran-ajaran moral dan monoteisme Islam tidak

“idealis” (utopistik), bukan dogma, bukan hanya dalam konteks hubungan manusia

dengan Tuhan semata . ajaran-ajaran Islam justru “empiric” dalam arti konkrit dan

menyangkut sikap etis atau respon manusia, serta hubungan manusia dengan

lingkungan yang nyata.

Salah satu ciri konseptual tentang masyarakat Islam adalah adanya karakter

transformatif, pertanyaan yang timbul adalah apa yang harus ditransformasikan?

Pertanyaan ini kiranya dapat menghantarkan kita pada identifikasi tentang struktur

masyarakat Islam. Pengembangan masyarakat berarti mentransformasikan manusia

di dalamnya dari suatu situasi atau kondisi yang kurang baik kepada kondisi atau

situasi yang lebih baik. Dalam hal ini manusia dipandang sebagai makhluk individu

sekaligus sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, transformasi yang dilakukan

akan menyangkut aspek individu dan aspek sosial masyarakat sekaligus. Aspek

individu akan menyangkut kehidupan spiritual dan cultural manusia, sementara

transformasi aspek sosial akan menyangkut perubahan struktur pada “habitat” tempat

manusia berada dan hidup bermasyarakat. Lingkungan tersebut menyangkut

lingkungan fisik, ekonomi, sosia dan politik serta hukum.99

Dari uraian di atas, ada tiga perangkat struktur yang compatible untuk

menampung gagasan masyarakat Islam, yaitu (1) peringkat spiritual, (2) peringkat

kultural dan (3) peringkat struktural. Pada peringkat spiritual transformasi dilakukan

99
Ahmad Watik Pratiknya dalam M. Yunan Yusuf, (Ed), Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi,
hal. 140
untuk meningkatkan intensitas kehidupan religious, kesadaran rohaniah. Pada

peringkat kultural kecerahan kehidupan rohani akan ter-ekspresi pada makin

mantapnya sistem nilai masyarakat yang pada gilirannya akan tercermin pada prilaku

individu maupun masyarakat dalam realitas kehidupan. Pada peringkat structural,

idealitas nilai-nilai tersebut akan terjabarkan secara konkrit atau terstruktur dalam

berbagai tatanan dan sistem lingkungan kehidupan yang ada. Lingkungan fisik yaitu

tatanan teknologi, lingkungan ekonomi dalam sistem ekonomi, lingkungan sosial

dalam sistem sosial dan lingkungan politik dalam sistem politik serta lingkungan

hukum dalam sistem hukum. Di samping adanya interaksi juga da klaster structural

sebagaimana tersirat di atas, antar peringkat struktur juga ada interaksi, baik yang

bersifat asenden maupun desenden.100

Transformasi menuju masyarakat Islam dapat dilakukan melalui tiga model

pendekatan. Ketiga model pendekatan transformasi masyarakat Islam dapat juga

dianggap sebagai tahapan-tahapan proses transformasi masyarakat. Adapun empat

model pendekatan tersebut adalah: Pertama, sejarah telah membuktikan bahwa

perubahan transformatif membutuhkan suatu perubahan atau pergeseran

paradigmatik. Hal ini berarti perlu mempertanyakan bagaimana paradigm

masyarakat tentang masyarakat Islam? atau bahkan tentang Islam itu sendiri?

Apakah sudah kuat untuk mendukung suatu proses transformasi? Apakah tidak

diperlukan suatu paradigm dakwah “baru” untuk mendukung proses transformasi.

Kedua, sejarah juga menunjukkan bahwa perubahan transformasi membutuhkan

suatu “gerakan” sebagai katalisator. Para penggerak yang benar-benar menjiwai

100
Ahmad Watik Pratiknya dalam M. Yunan Yusuf, (Ed), Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi,
hal. 141
gagasan tentang masyarakat Islam dan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan.

Mereka itulah yang menjadi motor penggerak perubahan sosial, dalam hal ini adalah

da’i. Ketiga, kalau kita sepakat menggunakan model strukturasi masyarakat Islam di

atas, maka proses transformasi harus berjalan Seimbang antara ketiga peringkat

struktur yang ada, spiritual, kultural dan struktural. Keempat, kalua bicara tentang

bagaimana dan dari mana kita mulai dan menggerakan proses trasformasi, biasanya

terpoladua modelyang dikotomis, yaitu model atas-bawah dan model bawah-atas.

Pendekatan atas-bawah (top-down) yang diasosiasikan dengan model pendekatan

politis atau pendekatan power, sementara pendekatan bawah-atas (button-up) sering

diasosiasikan dengan model pendekatan budaya, pendekatan dakwah, atau

pendekatan ummatik. Pada hemat penulis ada pendekatan yang lain yang masih bisa

ditawarkan selain model pendekatan tersebut, yaitu model pendekatan horizontal

atau pendekatan sentrifugal.101

Di antara metode trasformasi nilai-nilai ajaran islam dalam tatanan kehidupan

sosial, sebagaimana dikemukakan kuntowijoyo, bahwa seluruh kandungan nilai

islam bersifat normatif. Ada dua metode bagaimana mentrasformasikan nilai-nilai

islam dalam kehidupan sosial, pertama nilai-nilai normatif islam tersebut

diaktualisasikansecara langsung dalam bentuk prilaku, misalnya seruan-seruan moral

praktis dalam al-Quran kedua, mentrasformasikan nilai-nilai normatif islam menjadi

teori ilmu sebelum diaktualisasikan dalam prilaku praktismembutuhkan beberapa

fase formalisir, teologi-filsafat sosial-teori sosial-perubahan sosial.102 Sedangkan

strategi pendekatan untuk mencapai masyarakat islamdiantaranya melalui gerakan

101
Ahmad Watik Pratiknya dalam M. Yunan Yusuf, (ed), Masyarakat Utama, Konsepsi Dan Strategi,
hal 141-142.
102
Kuntowijoyo, Paradigm Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Jakarta: Mizan, 1996. Hal. 170
dakwah. Gerakan dakwah yang dimaksud asalah gerakan dakwah dan pendekatan

yang berfariasi agar trasformasi menuju masyarakat islam dapat berlangsung dengan

baik.

Proses tranformasi masyarakat menuju masyarakat Islam menurut Ahmad Watik

praktiknya paling tidak memerlukan pola pendekatan, yaitu: pertama, sejarah telah

membuktikan bahwa perubahan transformatif membutuhkan suatu perubahan atau

pergeseran paradigmatik. Hal ini berarti sebelum melakukan suatu perubahan atau

pergeseran paradigmatik. Hal ini berarti sebelum melakukan perubahan pertama kali

yang dipertanyakan adalah apakah paradigma tentang masyarakat Islam telah cukup

kuat untuk mendukung proses transformasi. Kedua, sejarah juga telah membuktikan

bahwa perubahan transformasi membutuhkan suatu “gerakan” (al-harakah)”. Dalam

sejarah dapat ditelusuri peran Rasulullah beserta para sahabatnya yang benar-benar

telah menjiwai ajaran Islam dan komitmen yang tinggi untuk melaksanakan prinsip-

prinsip ajarannya. Mereka itulah yang merupakan penggerak perubahan yang

dilakukan oleh Rasul Muhammad di Madinah yang kemudian makin meluas.

Bagaimana formulasi dan model al-harakah dalam konteks kekinian.

Ketiga,menggunakan model strukturasi masyarakat Islam, yaitu proses transformasi

harus berjalan secara seimbang antara ketiga peringkat struktur yang ada, spiritual,

cultural dan structural. Keempat, kalau bicara tentang bagaimana dan dari mana

mulai menggerakkan proses transformasi, biasanya terpola dua pendekatan yang

dikotomis, yaitu model atas-bawah atau model bawah-atas. Pendekatan atas-bawah

(top-down) sering diasosiasikan dengan model pendekatan politis atau pendekatan

power, sementara pendekatan bawah-atas (buttom-up) sering diasosikan dengan


model pendekatan budaya, atau pendekatan ummatik. Ada pendekatan lain yang

dapat digunakan yaitu pendekatan horizontal atau pendekatan sentrifugal.

Institusi keluarga tidak lain merupakan “nucleus” masyarakat, dengan

menganalogikan pada proses biologi sel, maka gagasan dan upaya transformasi

menuju masyarakat Islam dapat dimulai dari keluarga sebagai basis (inti-sel),

kemudian menyebar ke masyarakat sekitar (sebagai plasma-sel). Dari kacamata

dakwah, lembaga keluarga menjadi amat penting sebagai target dan sekaligus basis

gerakan dakwah, karena dalam tradisi modern lembaga keluarga ini telah mulai

terancam eksistensinya.103 Sedangkan menurut M. Wierdan ada tiga metode

pendekatan yang dapat diterapkan dalam proses menuju masyarakat Islam, yaitu;

pertama, metode pendekatan tipologik. Metode ini merujuk pada sistem masyarakat

pada zaman Rasulullah (610-632 M)terutama periode Madinah (622-632 M) dengan

rujukan utama al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Metode ini sudah barang tentu harus

dilaksanakan oleh para ulama yang benar-benar mempunyai kemampuan yang

tangguh dan arif, berbagai keahlian perlu bekerjasama untuk mendapatkan

perumusan yang tepat. Kedua metode pendekatan analogik, metode pendekatan

analogik ini mendasari analisanya dengan rujukan Sunnatullah dengan pisau analisis

ilmu pengetahuan dan penalaran. Ilmu pengetahuan dan penalaran dapat dirumuskan

sebagai himpunan sebab akibat yang disusun secara sistematis dari pengamatan,

percobaan dan penalaran. Dan ketiga metode gabungan dari dua metode pendekatan

103
Ahmad Watik Pratiknya dalam Masyarakat Utama, Konsepsi dan Strategi (Ed), M. Yunan Yusuf,
Yusron Razak dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 142.
sebelumnya, yaitu metode pendekatan tipologik dengan metode pendekatan

analogik.104

Transformasi masyarakat dapat juga diartikan sebagai ikhtiar pembangunan,

dalam hal ini David C. Korten memberikan makna pembangunan sebagai upaya

memberikan kontribusi pada aktualisasi potensi tertinggi kehidupan manusia.105

Pembangunan selayaknya ditujukan untuk mencapai sebuah standar kehidupan

ekonomi yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hal ini merupakan

sebuah tahapan yang esensial dan fundamental menuju tercapainya tujuan

kesejahteraan manusia. Kebutuhan dasar tidak dilihat dalam batas-batas minimum

manusia, tetapi juga sebagai kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, mendapatkan

penghormatan dan kesempatan untuk bekerja secara fair serta aktualisasi spiritual.

Berdasarkan pemahaman semacam ini pengembangan masyarakat dapat diajukan

beberapa asumsi sebagai berikut: Pertama, pada intinya upaya-upaya pengembangan

masyarakat dapat dilihat sebagai peletakan sebuah tatanan sosial, di mana manusia

secara adil dan terbuka dapat melakukan usahanya sebagai perwujudan atas

kemampuan dan potensi yang dimilikinya sehingga kebutuhan materiil maupun

spiritualnya dapat dipenuhi. Pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah

merencanakan dan penyiapan suatu perubahan sosial demi peningkatan kualitas

hidup. Kedua, pengembangan masyarakat tidak dilihat sebagai suatu proses

pemberian dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Ketiga, pengembangan

masyarakat mesti dilihat sebagai sebuah proses pembelajaran kepada masyarakat

104
M. Wierdan, dalam Masyarakat Utama, Konsepsi dan strategi, (Ed). M. Yunan Yususf, Yusron
razak Suwito dan Sudarmono Abdul Hakim, Jakarta: Kerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan PP Muhammadiyah, 1995, hal. 152-153
105
David C. Korten, Development as Human Enterprise “dalam David C. Korten (ed) Community
Management Asian and Perspectif, Coneccicut Humanian Press, hal. 17
agar mereka dapat secara mandiri melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas

hidupnya. Karena itu pengembangan masyarakat sesungguhnya merupakan sebuah

proses kolektif di mana kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat dan

bernegara tidak hanya sekedar menyiapkan penyesuaian-penyesuaian terhadap

perubahan sosial yang mereka lalui, tetapi secara aktif mengarah perubahan tersebut

pada pemenuhan kebutuhan bersama. Keempat, pengembangan masyarakat tidak

mungkin dilaksanakan tanpa keterlibatan secara penuh oleh masyarakat itu sendiri.

Partisipasi bukan sekedar diartikan sebagai kehadiran mereka untuk mengikuti suatu

kegiatan, melainkan difahami sebagai kontribusi mereka dalam setiap tahapan yang

mesti dilalui oleh suatu program kerja pengembangan masyarakat, terutama dalam

tahapan perumusan kebutuhan yang mesti dipenuhi. Kelima, pengembangan

masyarakat selalu ditengarai dengan adanya pemberdayaan masyarakat, karena

pembangunan tatkala masyarakat itu sendiri tidak memiliki daya yang cukup baik.106

Pengembangan masyarakat Islam merupakan model empiris dan bentuk

pemberdayaan dan pengembangan perilaku individu dan kolektif dengan titik tekan

pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat, dalam kontek ini

pengembangan diorentasikan kepada; (1) Pembentukan sumberdaya manusia secara

individual yang memiliki komitmen keagamaan yang kuat, (2) membentuk keluarga

sakinah sebagai realisasi dari individu-individu yang shaleh, (3) membentuk

masyarakat religious yang mengaplikasikan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-

hari, (4) melalui wadah Negara dengan berbagai komponennya akan dapat

106
Donald W Litereel, the Theori and Practice of Community Development, terj M. Dauzi Muzdakir,
Teori Dan Praktek Pengembangan Masyarakat, Surabaya: Usaha asional, 1986, hal. 12-15.
membentuk peradaban yang Islami demi terwujudnya masyarakat madani yaitu

tatanan masyarakat Islam yang universal.107

Masyarakat Islam memiliki lima fondasi, yaitu: Pertama Tauhid, yakni “lailaha

ilallah” sebagai kalimat pembebasan dari penghambaan diri kepada sesame hamba

kepada penghambaan diri hanya kepada Allah swt semata. Aqidah ini sangat penting

sekali karena masyarakat yang lemah aqidahnya akan rapuh dan tak bisa berumur

panjang. Kedua adalah sistem nilai moral yang benar berdasarkan wahyu Alah swt

Ketiga adalah amal shaleh yang didasarkan pada aqidah (keyakinan) serta nilai-nilai

moral yang benar, sehingga amal tersebut tidak hampa, tujuan amal tersebut menjadi

jelas. Keempat adalah keadilan, ini merupakan perintah yang pertama dalam al-

Qur’an. Keadilan yang berkesinambungan secara simetris. Semua orang

mendapatkan apa yang terjadi haknya dan bagi semua orang diminta melaksanakan

apa yang menjadi kewajibannya. Fondasi kelima memiliki kecenderungan yang kuat

untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.108

Proses transformasi menuju masyarakat Islam dimulai dari individu muslim,

keluarga, masyarakat, Negara/pemerintahan dan peradaban Islam.109

a. Individu

Pengembangan masyarakat Islam berawal dari konsep tentang manusia, menurut

Ibn Khaldun Allah telah menciptakan dan menyusun manusia dalam satu bentuk

yang hanya dapat tumbuh dan mempertahankan hidupnya dengan bantuan makanan.

107
Samsir Salam, dalam Pengantar Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam, Bandar Lampung:
Matakata, 2007, hal. xviii.
108
Amn Rais, Langkah-Langkah Dasar Menuju Masyarakat Utama, dalam Masyarakat Utama
Konsepsi dan Strategi, (ed) M. Yunan Yusuf, Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan PP
Muhammadiyah, 1995, hal. 129
109
Wendy Melfa dan Solihin Siddiq berpendapat dalam bukunya Paradigma Pengembangan
Masyarakat Islam Studi Epistimologis Pemikiran Ibn Khaldun, hal hal 205
Allah memberi petunjuk kepada manusia atas keperluan makanan menurut watak

dan kodrat kesanggupan memperolehnya. 110

Konsep manusia yang dikembangkan Ibn Khaldun merupakan konsep sosiologis

tentang manusia secara individu dalam teori sosiologi. Tingkah laku individu pada

akhirnya dapat dijelaskan menurut teori tentang kodrat manusia.111 Secara kodrati

manusia diberikan karunia kehidupan di muka bumi oleh Allah dan manusia dalam

konsep al-Qur’an terdiri dari jasmani dan ruhani. 112

Secara kodrati manusia membawa potensi dasar manusiawi, yaitu membutuhkan

makanan dan keamanan untuk melangsungkan hidup.113 Manusia diciptakan Allah

dari debu, tanah dan ruh Ilahi, apabila daya tarik tanah mengalahkan daya tarik ruh

Ilahi, ia akan jatuh hingga mencapai tingkat serendah-rendahnya bahkan leih rendah

dari binatang.114 Sebaliknya bila ruh Ilahi lebih dominan, manusia akan menjadi

makhluk yang mulia. Untuk mencapai kualitas yang diharapkan manusia harus

mengembangkan empat potensi dasar yang Dianugerahkan Allah, yaitu;

1) Daya tubuh yang mengantarkan manusia berkelakuan fisik, berfungsi organ

tubuh dan panca inderanya.

2) Daya hidup, yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan dan

menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya dalam

menghadapi tantangan.
110
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal 71
111
Tom compbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa Penilaian Perbandingan (ter), London: Oxford
University Press, 1980 hal 45
112
Deliar noer, islam dan masyarakat, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003, hal. 69
113
QS. Abasa: 24-28
{28} ‫{ وَﻋِﻨَﺒًﺎ وَﻗَﻀْ ﺒًﺎ‬27} ‫ﺎ‬‫{ ﻓَﺄَﻧﺒَﺘْﻨَﺎ ﻓِﯿﮭَﺎ ﺣَ ﺒ‬26} ‫{ ﺛُﻢﱠ ﺷَﻘَﻘْﻨَﺎ اْﻷَرْضَ ﺷَﻘﱠﺎ‬25} ‫{ أَ ﻧﱠﺎ ﺻَﺒَﺒْﻨَﺎ اﻟْﻤَﺂءَ ﺻَﺒﱠﺎ‬24} ِ‫ﻈﺮِ اْﻹِﻧﺴَﺎنُ إِﻟﻰَ ﻃَﻌَﺎﻣِﮫ‬
ُ ‫ﻓَﻠْﯿَﻨ‬
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan
air (dari langit),Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi
itu,Anggur dan sayur-sayuran,
114
QS. Al-Tin: 4-5: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)
3) Daya akal yang berfungsi untuk memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi.

4) Daya kalbu, yang memungkinkan mengembangkan moral, merasakan

keindahan, kelazatan iman. Dari daya inilah yang melahirkan intuisi dan indra

keenam.115

Apabila keempat daya ini digunakan dan dikembangkan secara baik, maka

kualitas pribadi akan mencapai puncaknya, yaitu pribadi yang beriman, berbudi

pekerti luhur memiliki kecerdasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan, keuletan

serta wawasan masa depan yang baik. Al-Qur’an menanamkan kualitas hidup

semacam ini dengan istilah “al-Hayat al-Thayyibat” dan cara untuk mencapainya

ditunjukkan dengan “amal shaleh”.116

Pengembangan daya pikir, fisik dan kalbu serta daya hidup yang merupakan

potensi dasar manusia perlu dijelaskan dengan teori sosiologi dengan istilah

pemberdayaan.117 Yaitu pemberdayaan potensi manusiawi untuk mencapai tingkat

manusia sebagai individu yang berkualitas tinggi menuju taraf kesempurnaan insan

kamil.

b. Kekeluargaan (‘Ashabiyat)

Di samping kelebihan yang dimiliki manusia, terdapat juga sifat kekurangan dan

kelemahan, yait tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup serta mempertahankan diri

dari serangan binatang buas ataupun dari serangan manusisa lain, untuk menutupi

115
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hal. 281
116
Qs. An-Nahl: 97
{97} َ‫ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻣﱢﻦ ذَﻛَﺮٍ أَوْ أُﻧ ﺜَﻰ وَھُﻮَ ﻣُﺆْﻣِﻦٌ ﻓَﻠَ ﻨُﺤْﯿِﯿَﻨﱠﮫُ ﺣَﯿَﺎةً ﻃَﯿﱢ ﺒَﺔً وَﻟَ ﻨَﺠْﺰِﯾَﻨﱠﮭُﻢْ أَﺟْﺮَھُﻢْ ﺑِﺄَﺣْﺴَﻦِ ﻣَﺎﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَﻌْﻤَﻠُﻮن‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
117
Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment yang dapat diartikan pengembangan. Lihat
Nanich Machdrawati, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi Sampai Tradisi, Bandung:
Rosda Karya, 2001, hal. 42
kekurangan dan kelemahannya ini manusia bergabung dengan manusia lain untuk

bergotong royang (ta’awun), dengan sistem kerjasama ini kebutuhan manusia akan

dapat terpenuhi.118

Sikap saling membutuhkan, saling melengkapi, tolong menolong dan gotong

royong inilah kemudian berkembang menjadi perasaan untuk saling melindungi dan

membangkitkan ras persaudaraan dan kekeluargaan atau yang lebih dikenal dengan

istilah ‘ashabiyat.119

‘ashabiyat pada dasarnya lahir dari hubungan darah dan ikatan yang

menumbuhkan rasa. Ikatan darah menumbuhkan perasaan cinta terhadap saudara dan

kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindakan kekerasan.

Menurut Ibn Khaldun, solidaritas hanya dapat dibangun berdasarkan golongan yang

dihubungkan oleh pertalian darah atau pertalian lain yang memiliki arti sama.120

Dengan demikian ‘ashabiyat memiliki banyak arti diantaranya; esprit de corps,

partisuship, famille, parti, tribal loyality, citality, feling ofurity, group adhesion,

groupdom, sens of solidarity, group mind collective conciouness,group feeling,

feeling of solidarity and social solidarity.121 Degan demikian ‘ashabiyat tidak hanya

didasarkan pada hubungan kekeluargaan, akan tetapi meliputi perasaan kekeluargaan

dan saling mengasihi yang berkembang dalam kalangan individu yang membentuk

solidaritas sosial.

Agama pada dasarnya memunculkan solidaritas, karena agama dapat

menyingkirkan perasaan iri dan dengki dari anggota kelompok dan mampu

118
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 71
119
Eugene A. Myers, Zaman Keemasan Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003, hal. 73
120
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 151
121
Fuad Ba’ali, Society State and Urbanism Ibn Khalduns Sociological Though, New York: State
University of New York Press, 1988, hal. 43.
mengarahkan kepada kebenaran. Keluarga dalam pemikiran Ibn Khaldun lebih

didasarkan pada rasa kekeluargaan, hal ini menimbulkan adanya sikap saling

membutuhkan dan saling tolong menolong. Dengan sikap solodaritas dan ikatan

kekeluargaan (‘ashabiyat), maka diarahkan pada pembinaan dan orientasi kea rah

pembinaan yang lebih baik yang berpijak pada ajaran agama, dan sebaliknya.

Pembinaan agama tanpa adanya solidaritas sosial tidak akan berjalan dengan baik.122

Sikap keagamaan dapat meredam pertentangan dan iri hati serta dengki. Pembinaan

keagamaan yang diarahkan pada pembinaan sikap kekeluargaan akan dapat

berlangsung dengan baik.

c. Masyarakat

Manusia merupakan makhluk sosial, ketidak mandirian manusia itu dapat dilihat

dari dua kenyataan, pertama dari segi pemenuhan kebutuhan pokok dan yang kedua

dari segi mempertahankan diri.123 Dalam kedua hal ini tidak ada seorangpun dapat

mempertahankan diri secara pribadi dan tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi

kebutuhan pokoknya secara sendirian, karena itu manusia memerlukan kerjasama

untuk memperoleh makanan dan senjata untuk mempertahankan diri mereka.

Sifat manusia secara alami adalah saling tolong menolng dan saling

membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Kerjasama dan saling membantu

antara sesama manusia merupakan bentuk aktivitas yang menyatukan. 124 Dari sikap

alami manusia yang saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hhidup, baik

122
Fuad Ba’ali, Society State and Urbanism Ibn Khalduns Sociological Though, hal. 153.
Dalam hal ini Ibn Khaldun melihat adanya sikap kaum Nomad yang meninggalkan Islam dan mengikuti ajaran
Nabi-nai palsu setelah wafatnya Nabi, pengikut nabi-nai palsu ini karena nabi-nabi palsu ini berasal dari suku
mereka, semangat kesukuan inilah yang merupakan factor utama dalam mendasari pemberontakan kaum nomad
terhadap Islam.
123
Deliar Noer, Islam dan Masyarakat Islam, Jakarta: yayasan risalah, 2003, hal. 109
124
Karl Manheim, Sosiologi Sistematis, Suatu Pengantar Studi Tentang Masyarakat, (terj) Jakarta:
Bina Aksara, 1987, hal. 103
kebutuhan makanan, keamanan maupun kebutuhan lainnya mengharuskan manusia

hidup bermasyarakat. Masyarakat merupakan golongan besar atau kecil dari

beberapa manusia yang saling pengaruh mempengaruhhi antara yang satu dengan

yang lain. Ibn Khaldun mengartikan masyarakat dengan “Ijtima’ al-Basyari”, karena

hal ini merupakan keharusan maka Ibn Khaldun meberikan istilah dengan “Ijtama’

al-Basyari al-Dlaruryyat”.125 Perkembangan manusia secara individu dan kebutuhan

untuk saling memenuhi kebutuhan melahirkan rasa kebersamaan dan saling tolong

menolong, tahap perkembangan inlah yang menjadi acuan teoritis pengembangan

masyarakat.

d. Negara

Keharusan adanya organisasi kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan skematis

sebagaimana diatas, yaitu individu yang saling membutuhkan dan saling tolong

menolong dan kemudian terciptalah masyarakat. Eksistensi kemasyarakatan tidak

aka nada jika tidak ada organi kemasyarakatan. Ketika umat manusia telah mencapai

organisasi kemasyarakatan dan ketika peradaban telah menjadi kenyataan, maka

manusia memerlukan seseorang yang akan memelihara mereka, sesuai dengan

kehendak Tuhan, yaitu untuk memakmurkan dan menjadikan mereka khalifah,

dengan sendirinya yang akan melaksanakan kewajiban ini haruslah dari kelompok

mereka sendiri.126 Watak kepemimpinan ini sesuai dengan fenomena alam dan

bahkan watak kepemimpinan juga dimiliki oleh binatang seperti lebah. Di kalangan

lebah ada ketaatan kepemimpinan hukum dan pemimpin yang berasal dari salah satu

125
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 37
126
Fuad Ba’ali, Society State and Urbanism Ibn Khalduns Sociological Thought, hal. 30
di antara mereka yang menonjol. Keharusan adanya pemimpin dalam kehidupan

manusia inilah yang dinamakan al-Mulk atau kedaulatan.127

Konsep al-Mulk (kedaulatan) ini merupakan konsep tentang kenegaraan.

Kekuasaan terdapat dalam keseluruhan hidup manusia terlepas apakah manusia itu

beragama atau tidak. Dinamika Negara dalam artian wilayah dan rakyatnya, baik

atau buruk ditentukan oleh komponen Negara serta budaya yang dikembangkan.

Dalam sistem khalifah Negara dijadikan sebagai tempat untuk membentuk tatanan

masyarakat Islam. Menurut Ibn Khaldun negara dan kedaulatan tidak dapat

dipisahkan dengan peradaban.

Pengembangan masyarakat Islam dalam konteks Negara adalah menciptakan

suatu peradaban sesuai dengan nilai-nilai moral agama, sehingga elemen-elemen

peradaban yang meliputi organisasi sosial, kekuasaan, usaha hidup, ilmu

pengetahuan dan keahlian diatur dan dikembangan secara komprehensif melalui

komponen kenegaraan baik sistem pemerintahan, perundang-undangan, sistem

kebudayaan. Negara sebagai wadah menciptakan masyarakat yang memiliki

peradaban yang tinggi berdasarkan syari’at agama.

e. Peradaban (Al-‘Umran)

Peradaban (Al-‘Umran) merupakan puncak dari eksistensi kehidupan manusia.

Berbagai bentuk kemajuan pada hakekatnya merupakan hasil dari peradaban.

Pengembangan masyarakat Islam yang mengacu pada pemikiran sosiologi Ibn

Khaldun pada dasarnya mengemas peradaban masyarakat dengan nilai-nilai moral

keagamaan. Agama merupakan faktor penting bagi peradaban, artinya peradaban

ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip keagamaan. Gabungan antara kekuatan

127
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Kairo: Dar al-Fikr, tt. Hal. 74
ashabiyat dan agama merupakan kekuatan dahsyat yang dapat membentuk suatu

peradaban. Solidaritas tanpa dibarengi dengan nilai-nilai agama dan sebaliknya

gerakan keagamaan tanpa solidaritas tidak akan berhasil.128

Pengembangan masyarakat Islam bermula dari pengembangan peradaban

masyarakat secara Islami sehingga tujuan akhir terbentuknya masyarakat khairu

ummat dapat terwujud.129

128
Yuyun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996, hal. 263
129
Karakteristik masyarkat khairu Umat adalah; (1) berjuang dalam kesalehan, (2) adanya keamanan
untuk hidup yang lebih baik, (3) berlaku jujur dan adil dalam masyarakat pluralis. (4) ber Islam, Iman dan
Taqwa.
BAB IV

DAKWAH RASULULAH SAW

A. Turunnya Wahyu (Perintah Dakwah)

Kitabbullah Al Qur’anul Karim adalah wahyu yang diterima Muhammad SAW

dari Allah SWT dan diterima oleh kaum muslimin dari Rasulnya. Al Qur’an adalah kitab

agama bagi kaum muslimin. Didalam kitab ini berhimpun semua agama langit, menuntun

kehidupan umat manusia, supaya mendapat keselamatan dunia akhirat. Al Qur’an merupakan

kitab samawi yang terakhir, yang bernilai mu’jizat guna menyempurnakan akida samawiyah

umat muslim. Wahyu Allah SWT (Al Qur’an) merupakan tanda kebenaran rasul SAW,

disamping merupakan bukti yang jelas atas kenabian dan kerasulannya.

Adapun mengenai turunnya Al Qur’an tersebut lewat perantara Aminus Sama’

(Malaikat Jibril a.s) dan turun kepada hati Nabi Muhammad secara berangsurangsur, supaya

dapat dihafal. Nur menembus alam, cahaya menyinari semesta dan sampailah hidyah Allah

SWT, kepada makhluk-Nya (Ibrahim, 1991: 29) Tiga tahun sebelum mendapat wahyu,

Muhammad Saw mengasingkan diri dalam Gua Hira’ untuk beribadah selama Bulan

Ramadhan. Ketika usianya mencapai 40 tahun, beliau menerima wahyu pertama. Permulaan

wahyu itu turun pada Bulan Ramadhan. Beliau belum pernah melihat di dalam mimpinya itu

(di masa-masa sebelumnya) seperti apa yang dilihatnya di waktu subuh (Boisard, 1980: 49).

Pertama kalinya wahyu; Al Qur’an dari Allah SWT turun adalah pada awal tanggal

17 Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus tahun 610M, serta bertepatan pula

dengan usia Nabi Muhammad Saw, yang ke 40 tahun. Firman Allah dalam Qur’an Surat Al

Anfal ayat 41 :
Artinya: “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang[613], Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa
yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (CD Digital Qur’an
Inwordl 2003)

Ayat ini menunjukkan; bertemunya dua pasukan, yakni kaum muslimin dan orang-

orang musyrik dalam perang Badar, terjadinya itu pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua

Hijriyah. Mengenai turunnya Al Qur’an pada bulan Ramadhan ini berdasarkan nash yang

jelas dalam kitab Allah SWT. Firman Allah SW dalam Q.S. Al Baqarah ayat 185:

Artinya:

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai


petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003)

Di usianya yang ke 40 tahun, Rasulullah SAW suka menjauhkan dirinya dari

pergaulan masyarakat dan gemar beribadah; bertahanut’s di Gua Hira’ yang ada di lambung

bukit Nur sebelah kiri jalan ke Arafah ± 15 meter dari kota Makkah. Oleh karena beliau

sangat prihatin melihat tingkah laku kaumnya yang menyembah berhala, menyembelih

hewan kurban untuk memuliakannya. Mereka hidup dalam kebodohan dan kemusyrikan.

Mereka terpecah belah dan bermusuhan antar kelompok satu dengan yang lain. Ketika beliau

sedang beribadah di Gua Hira’ tiba-tiba datang Malaikat Jibril a.s dengan membawa wahyu

dari Allah SWT. Ia memeluk kemudian melepaskan beliau. Demikian sampai terulang tiga

kali, setiap kali Jibril a.s berkata:


“Bacalah!”, dan setiap kali pula beliau menjawab “Aku tidak bisa membaca”. Kemudian

pada kali yang ketiga Jibril a.s berkata kepada Rasulullah yaitu Surat Al ‘Alaq ayat 1-5.

Malaikat Jibril juga memberikan pelajaran: “Cara memberikan kepada manusia kejalan yang

lurus” dan memberikan pula tuntunan kepada mereka untuk mengikuti agama yang benar

dan lurus”,

Sebagaimana yang terkandung dalam Surat Al ‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003)

Kata Iqra’ dibacakan sampai tiga kali oleh Malaikat Jibril a.s, kepada Muhammad

dikarenakan beliau adalah “Ummy”. Dan bahwa yang membawakan wahyu itu adalah

Malaikat Jibril a.s, juga telah ditetapkan oleh nash yang shahih dalam Al Qur’an, yakni,

Firman Allah SWT:

Artinya:

“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,dengan bahasa
Arab yang jelas”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003).

Sebelum wahyu itu turun, telah datang tanda-tanda dan isyarat, wahyu telah dekat

dan sebagai bukti kenabian untuk Rasul yang mulia. Bahwa setiap mimpi Rasul SAW terjadi

dalam kenyataan dan terbukti cocok, mimpi benar (Arrul’ Yaa Ash haadiyah). Dan wahyu

itupun sempat terputus selama tiga tahun, karena itu Muhammad SAW menyiapkan diri

untuk kembali bertahanus, untuk mendapatkan kebenaran yang sebenarnya serta untuk

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Demikianlah wahyu pertama dan sekaligus turunya Al

Qur’an yang permulaan (Nur, 1988: 20).


1. Penobatan Muhammad Saw menjadi Rasul

Riwayat Hidup Muhammad SAW, sebelum kenabian;

a) Baik dari lingkungan rumah tangga; lantaran semasa Muhammad SAW, masih dalam

kandungan ibunya 2 bulan, ayahnya meninggal dunia dan semasa beliau berusia 6 bulan,

ibunya meninggal dunia. Kemudian beliau diasuh oleh kakek dan pamannya yang hanya

bersifat pengayoman, karena semasa kanak-kanak beliau tidak mendapatkan pendidikan

belajar melainkan mengikuti pamannya berpergian (berdagang).

b) Baik dari lingkungan pendidikan sekolah, lantaran masa itu adalah masa pra sejarah Islam

(Jahiliyah), belum ada tata agama dan tata masyarakat, yang ada masyarakat penyembah

berhala-berhala.

c) Baik dari lingkungan masyarakat, lantaran beliau semasa belum menerima keangkatan

menjadi Nabi dan Rasul, beliau ‘Uzlah; menjauhkan diri dari masyarakat di Gua Hira’

mengerjakan ibadah kepada Allah SWT. Sampailah beliau menerima keangkatan menjadi

nabi dan rasul. Meskipun Muhammad SAW tidak ada pendidikan dari lingkungan tersebut,

namun beliau tumbuh bertambah besar baik badan, akal maupun peradabannya serta

sempurna, sehingga dikenal oleh masyarakat penduduk Makkah bahwa beliau “Orang

terpercaya /Al Amin” (Amali, 1986: 40).

Sehingga jelaslah bahwa pendidikan Muhammad SAW, itu semata-mata adalah

pendidikan dari Tuhan Yang Maha Esa dan pemeliharanya secara langsung. Muhammad

SAW dilahirkan ke dunia ini berbeda dengan kebanyakan manusia biasa, perbedaannya

antara lain:

a) Beliau orang yang sempurna, sedang umum manusia kurang sempurna

b) Beliau meng-Esakan Tuhan Yang Maha Esa, sedang umum manusia menyekutukan-Nya

c) Kepercayaannya benar, sedang umum manusia mengikuti angan - angan.


d) Beliau mencetak atas kebaikan, sedang umum manusia bodoh menyimpang dari kebaikan.

e) Beliau tumbuh dalam keadaan anak yatim-piatu, beliau hidup dalam kemandirian, pekerja

keras dan kesederhanaan serta tumbuh cinta menyendiri, beribadah bermunajat kepada Allah.

f) Akhlaq beliau adalah terbaik, beritanya jujur, dan kepercayaannya yang terbesar. Pada

pokoknya akhlaq beliau telah tercipta atas perbuatan-perbuatan yang baik-baik, lagi tercetak

atas praktik - praktik yang baik pula.

Oleh karena Allah telah melindungi beliau sejak dari kecilnya dari pada segala

perbuatan-perbuatan jahili yang menyimpang dengan syari’at Islam yang dibawanya.

Dengan diturunkannya wahyu Allah SWT pertama adalah Surat Al Alaq ayat 1-5,

merupakan “Peresmian ( Muhammad SAW ) sebagai Nabi dan Rasul Allah SWT”. Adapun

tugas keangkatan kenabian dan kerisalahan tercermin pada kandungan lima ayat, dalam

wahyu yang pertama ini adalah perbaikan agam, politik, sosial dan ekonomi yang sudah

rusak, diantaranya : (Amali, 1986: 46-47) yaitu :

Ayat 1

Titah pemberantasan: “Buta Huruf” dengan tujuan untuk mengenal : “Ada” Tuhan Yang

Maha Esa, Allah SWT. Pencipta dan Pemelihara Alam Semesta hak milik mutlak-Nya.

Ayat 2

Perbaikan: “Susunan masyarakat” dari “Susunan masyarakat Pra Sejarah Islam” ke “Susunan

masyarakat Islam” yang bentuk haluannya: “Keadilan Sosial” yang menjamin “Syari’at

Islam”. Sehingga jadilah ia menjadi sebagai; “Dasar” yang resmi untuk; “Kehidupan

Keagamaan” dan “Kehidupan Keduniaan” bagi negara.

Ayat 3

Titah: “Ber-management”; bertatalaksana dalam cara memperoleh dan menggunakan nikmat

pemberian Allah, baik yang bersifat abstrak maupun bersifat konkrit. Karena :
a) Sehubungan dengan alam semesta ini adalah: “Hak milik mutlak-Nya”, maka pemberian

nikmat kepada makhluk-Nya manusia adalah merupakan hak milik kiasan/hak milik

pertaruhan/hak milik amanat Tuhan Yang Maha Esa/ sehingga cara memperoleh dan

mengenakannya wajar harus melalui saluran tata tertib hukumnya yaitu “Halal dan Haram”.

Jadi cara memperoleh dan mengenakan hak milik kiasan itu tidak bebas sepenuhnya tunduk

kepada kemauan seleranya, rasa kepuasan “Hanya Aku”

b) Ketidak bebasannya itu sehubungan dengan nilai-nilai keseimbangan:

- Keseimbangan diantara : rasa dan rasia

- Keseimbangan diantara : kehidupan agama dan kehidupan dunia

- Keseimbangan diantara : naluri hayati dan pembatasan menurut syariat Islam

Ayat 4 : peraikan kebudayaan

a) Kebudayaan dalam lapangan kerohanian yang plural

b) Kebudayaan dalam lapangan kebendaan

Ayat 5 : mengadakan penyelidikan dalam bidang ilmu pengetahuan

Begitu pentingnya posisi ilmu pengetahuan, sehingga nabi mewajibkan kita semua untuk

mencari ilmu pengetahuan. Dalam haditsnya beliau bersabda: “Mencari ilmu itu diwajibkan

bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan” dan “Carilah ilmu sampai negeri Cina”

Selain menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, Islam juga sangat menjunjung tinggi orang yang

berilmu: Firman Allah SWT: Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan

kepadamu:

"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi


kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003)
Wahyu dari Allah SWT, sempat terputus selama tiga tahun. Kemudian beliau

dengan persediaan yang cukup mulai bertahanus di Gua Hira’ untuk menyambung wahyu.

Setelah Rasulullah SAW, menerima wahyu pertama, surat Al ‘Alaq ayat 1-5 (peresmian

kenabian dan kerasulan Muhammad SAW), kemudian wahyu berikutnya adalah surat Al

Muddatstsir ayat 1-7; berdakwah menyiarkan agama Islam, yang bunyinya:

Artinya :

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringata , dan Tuhanmu
agungkanlah , dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan
untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (CD Digital Qur’an Inwordl 2003).

Pada wahyu yang kedua ini tersimpul: “Tema Da’wah Rasulullah SAW” yang

diperintahkan Allah SWT dalam garis besarnya sebagai berikut; sikap berdakwah harus tegas

dan tegak berdiri di atas yang benar.

1. Sikap berdakwah harus tegas dan tegak berdiri di atas yang benar

2. Pengakuan atas ke-Esaan dan Kekatan Tuhan Allah SWT

3. Memisahkan peribadatan dan pekerjaan hanya kepada Allah SWT

4. Kebersihan pakaian dari najis baik yang konkrit maupun yang abstrak

5. Tahan uji dari pada mala petaka/ujian yang menimpa pada dirinya dalam melaksanakan

perintah-perintah Tuhannya.

Dari dua wahyu tersebut di atas dapat diartikan sebagai berikut:

Bahwa “Agama” yang didakwahkan Rasulullah SAW, itu:

Pertama : Mengenai “Dasar-hidup”, yaitu ayat 1 surat Al ‘Alaq tersebut segi agama

(keyakinan dan kepercayaan “Ketuhanan Yang Maha Esa”).


Kedua : Mengenai cara-cara hidup bernegara dan bermasyarakat, segi politik, sosial dan

ekonomi, ayat 2 sampai ayat 4. Bagian kedua ini dilaksanakan pelaksanaannya dalam dua

tahap, yaitu :

1. Pembentukan “Pribadi muslim” sebagai unsur mutlak bagi pembentukan masyarakat Islam

di Madinah yang plural

2. Pembentukan “Masyarakat Islam” dari “Masyarakat Pra sejarah Islam” melalui dasar

“Syari’at Islam”

2. Pribadi Muslim

Secara ringkas, adalah “Hak kepribadian seseorang, yaitu hukum kemauan sendiri,

hanya Aku” tunduk dan menyerah kepada perintah Allah dan menjauhi diri dari pada

larangan-Nya sebagai “Dasar hidup-nya sehari-hari. Dalam membentuk pribadi muslim tidak

ada unsur paksaan dan menakut-nakuti karena telah jelas jalan benar dan jalan yang salah

dalam agama Islam. Apabila umat muslim benar-benar berkepribadian Islam, maka

kehidupan di dunia dan akhirat mendapat kebahagiaan.

Menurut Amali (1986: 56), organisasi dakwah Islamiyah Rasulullah SAW meliputi:

1. Tujuan dakwah :

Pembentukan pribadi muslim ialah mengembalikan manusia kepada :

“Program perjanjian setia akan pengakuannya terhadap: Keesaan Allah Tuhan Pencipta dan

Pemeliharanya”. Dengan membentuk pribadi muslim maka pembentukan masyarakat Islam

dapat terlaksana; unsur mutlak baginya.

2. Jangka waktu dakwah :

12 tahun 5 bulan 13 hari semasa Rasulullah SAW, di Makkah sejak menerima keangkatan

kenabian dan kerisalahan sampai hijrah ke Madinah.


3. Metode dakwah :

a) Sehubungan dengan :

1) Agama Islam adalah agama fitrah

2) Memperhalus budi pekerti

3) Menyeru akan perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT

4) Mencegah segala perbuatan yang menjauhkan diri dari Allah SWT

b) Sedangkan keadaan masa yang menjadi objek dakwah adalah :

1) Agama watsa; agama yang menyembah berhala-berhala

2) Budi pekertinya terikat oleh “Pengaruh kekuasaan” dan “Kesombongan” yang

menyebabkan perselisihan dan pertempuran ditambah dengan iklimnya yang panas, maka

lantaran persoalan yang kecil bisa menjadi pertempuran.

3) Membunuh anak-anaknya karena takut kefakiran

4) Mengubur anak-anak perempuan karena takut aib (cacat kehormatannya) .

B. Dakwah Islam Periode Mekah

1. Proses Dakwah

a) Proses dakwah secara diam-diam

Mula-mula Rasulullah SAW mengajarkan islam atau berdakwah di mekah secara diam-diam;

sembunyi-sembunyi, dalam masa + 3 tahun. Mula-mula dakwah ditujukan kepada anggota

keluarga maupun kerabat terdekat (Dahlan, 1990 : 370)

Firman Allah SWT : Q.S.Asy-Syu’araa : 214:

Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (CD Digital
Qur’an Inwordl 2003).

Setelah mendengar dakwah Rasulullah SAW, Abu Tholib menyatakan tidak

sanggup meninggalkan agama peninggalan nenek moyang (penyembuhan terhadap berhala).


Sejak peristiwa tersebut islam menjadai bahan perbincangan disegala penjuru. Beberapa

orang ingin mengetahui apa sebenarnya agama islam itu. Sementara itu tokoh-tokoh quraisy

seperti Abu Lahab (Abdul Uzza) , Abu Jahal dan Abu Soffyanselalu berusaha menghalangi

masuknya agama islam yang dibawa oleh beliau (Amali, 1986 : 60) Rasulullah SAW

memulai dakwahnya kepada orang-orang yang diharapkan kepadanya kebaikan dari sanak

kerabat terdekat. Maka orang pertama yang beriman kepada Allah SWT sesuai apa yang

didakwahkanya, antara lain :

1. Khadijah (istri nabi Muhammad SAW); orang pertama yang beriman atas kerosulan nabi

Muhamad SAW.

2. Putri-putrinya ; Zaenab, Ruqayyah, Ummu Kultsun dan Fatimah

3. Saudara sepupunya; Ali bin abi tholib

4. Hamba sahayanya ; Zaid bin Haristsah, lalu dimerdekakan

5. Sahabat ; Abu Bakar bin Abi Qahafah ( namanya sebelum masuk islam ) seorang pemuka

terpandang dan saudagar kaya dan dermawan.

6. Ustman bin Affan

7. Uzzubaer

8. Thalhah

9. Umar bin Yasir

10. Bilal bin Robah

11. Al Arqam bin Abil – Arqam ; pemilik rumah dilorong dekat masya’ Aris-Shafa, yang

digunakan sebagai tempat pendidikan perkuliahan ; madrasah pertama dalam sejarah islam.

Selama Rasulullah SAW berdakwah di Mekah beliau hanya berperan sebagai rosul

penyampai wahyu. Beliau menyeru orang perorang. Jalanya dakwah sangat lambat, dari
jumlah sedikit orang- orang mekah. Hanya beberapa orang saja yang berasal dari kelompok

elit yang memeluk agama islam (the ruling class) (Shiddiqi, 1996 : 84 )

b) Proses Dakwah terang-terang dalam masa dalam masa + 7 tahun.

Firman Allah : Q.S Al-Hijr : 94

Artinya : “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (CD Digital Qur’an Inwordl
2003) .

Setelah turun ayat ini, Rasulullah SAW, menyampaikan dakwahnya kepada seluruh lapisan

masyarakat kota Mekah yang pluralistik, dari golongan bangsawan sampai golongan budak

serta pendatang kota Mekah yang mempunyai agama berbeda dan berbagai suku. Untuk

berdakwah secara terang-terangan ini beliau mengamhil bukit “shofa” sebagai tempat

dakwahnya. Rasulullah SAW. Menyampaikan dakwah dibukit Shofa selama dua kali, namun

orangorang banyak yang mendustakanya. Sebagian ada yang menerima dan sebagian ada

yang menolaknya dengan kasar. Rasulullah SAW bersabda : “Selamatkan diri kalian dari

bahaya api neraka, sesungguhnya saya memberi peringatan kepada kalian dari siksa yang

pedih.” Dan Abu-Lahab menjawab : “Binasalah hai Muhammad ! Adakah engkau

mengumpulkan kami hanya untuk ini saja ?

Sehubungan dengan hinaan Abu Lahap ini, maka turunlah surat Al Lahab sebagai

berikut :

Artinya: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa, tidaklah
berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan, kelak Dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak, dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang di
lehernya ada tali dari sabut”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003) .

Sikap Rasulullah SAW, dalam dakwah Islam, meliputi; pertama, tidak terdapat

sikap pribadi yang menuju sifat yang berlebih-lebihan dan memuji unuk kepentingan
pribadinya dan gaya bicaranya simpatik (dapat diterima), kedua, dan tidak terdapat sikap

pribadi sifat

kemewah-mewahan menyebabkan orang terkejut dan mencegah akan manusia yang lemah

(Amali, 1986: 57) . Adapun yang disampaikan Rasullah SAW, dalam dakwahnya adalah

ajaran islam, antara lain:

a) mengajak manusia hanya menyembah Allah SWT dan meninggalkan kepercayaan

menyembah berhala

b) Mengajar tetang adanya hari kaimat; hari pertanggung jawaban semua masnuai atas semua

perbuatannya

c) Mengajarkan akhlaq yang terpuji serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela

d) Mengajarkan persamaan derajat diantara manusia, karena pada umumnya derajat manusia

di mata Allah SWT itu sama pembedanya adalah iman dan taqwa

Pada waktu itu orang-orang Islam di Makkah jumlahnya masih sedikit. Agama

Islam dianggap sebagai ancaman oleh suku Quraisy (suku bangsa Arab yang terpandang dan

terhormat di Makkah), karena mereka menolak ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.

Banyaknya penolakan yang dilakukan dengan kekerasan. Dakwah Islamiyah di Makkah oleh

Rasulullah SAW adalah perjalanan dan perjuangan yang berat karena bermula membentuk

manusia-manusia muslim pertama yang merupakan minoritas tertindas dan membutuhkan

bimbingan moral, dan bukan perundang-undangan sosial yang mereka tidak dapat

menerapkannya, akan tetapi usaha keras atas penolakan ajaran Islam tidak menyurutkan

dakwah Islamiyah oleh Rasulullah SAW (Sjadzali,1990: 8).

2. Hambatan-hambatan dakwah

Sehubungan dengan semakin banyaknya orang di Mekah yang masuk Islam,

karena rasa ketertarikan dengan akhlaqul karimah yang diajarkan Islam, persamaan dan
persaudaraan yang tulus serta perikemanusiaan, mereka (kaum Quraisy) memakai jalan

kekerasan untuk menghalangi dakwah Rasulullah. Apalagi ketika mereka melihat

Rasululllah SAW, giat berdakwah selain itu mereka juga melakukan penangkapan dan

penyiksaan. Bilal bin Robah merupakan orang yang mendapat siksaan yang kejam, dengan

cara diikat, dijemur (panas matahari), dadanya ditindih dengan batu besar dan dicambuk.

Sahabat yang lain adalah Usman bin Mazam dipukul kepalanya sehingga matanya rusak

sebelah.

Meskipun demikian hal ini tidak menjadikan surutnya kaum muslimin untuk

berdakwah mereka menyadari bahwa ajaran Rasululllah SAW adalah benar dan kemudian

Islam sehingga pengikut-pengikutnya semakin bertambah banyak. Dan prospek dakwah

Rasululllah SAW adalah dengan menyelenyapkan penyembahan terhadap material (berhala-

berhala) akibatnya timbul permasalahan (tuntunan), antara lain (Amali: 1986: 56- 67)

a) Tuntutan supaya Rasululllah SAW menghentikan celaan terhadap tuhan-tuhan mereka

(berhala) dan menghentikan mencaci nenek moyangnya tuntutan ini dilakukan dengan pergi

kepada paman Rasululllah Saw, Abu Thalib, pelindungnya namun tuntutan mereka ditolak

oleh Abi Tholib dnegan bijaksana. Dan Rasululllah SAW terus berdakwah.

b) Mengajukan protes atas kelangsungan Rasululllah SAW dalam berdakwah dengan pergi

kepada Abu Thalib kedua kalinya karena sikap Rasululllah SAW yang tidak ada perubahn

dan terus berdakwah mereka berkata: “Kami tidak sabar lagi mendengar dakwah Rasululllah

Saw” Abu Thalib tidak menghentikan proses dakwah Rasululllah SAW

c) Mereka mengajukan protes ke tiga kalinya dengan membawa pemuda bernama Umar bin

Alwalid kepada Abu Thalib sebagai pengganti Rasululllah SAW (hendak mereka bunuh)

tuntutan ini tetap ditolak Abu Thalib.


d) Mereka datang lagi kepada Abu Thalib untuk memilih tiga alternatif yang harus dipilih

Rasululllah SAW antara lain:

1) Jika terdapat padanya penyakit urat saraf, mereka bersedia membiaya semua ongkos

pengobatan dan perawatan

2) Jika ia suka harta benda mereka akan kumpulkan baginya secukupnya

3) Jika ia suka kedudukan (tahta) maka akan diangkat menjadi kepala pemerintahan dan

mereka memiliki hak persoalan menjadi hak miliknya

Sehubungan dengan keteguhan dan ketegasan sikap Rasululllah SAW secara

perwira dan kesatria maka Abu Thalib mempersilahkan beliau terus berdakwah menurut

kehendaknya. Di antara orang-orang yang menghalangi dakwah Rasululllah SAW antara

lain; pertama, Abu Jahal, Amran bin Hisyam bin Al Mughirah, Al magzumi Al Quraisy

(pelopor pembunuh Rasululllah SAW) dia berusaha membunuh Rasululllah Saw dengan

menghancurkan kepalanya dengan batu besar ketika beliau sujud dalam shalatnya namun

usaha gagal karena Allah SWT senantiasa melindungi Rasululllah SAW dengan mengutus

Malaikat Jibril a.s yangberubah menyerupai Onta, dengan berusaha mengikis batu yang akan

jatuh di kepala Rasululllah SAW dan masih banyak lagi perbuatan Abu Jahal yang menyakiti

hati Rasululllah Saw ketika hendak mengerjakan shalat di Baitullah. Sehubungan dengan

kesombongan Abu jahal terpengaruh dunianya maka turunlah surat Al ‘Alaq ayat 15-19 yang

berbunyi:

Artinya: “Ketahuilah, sungguh jika Dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami
tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka, Maka
Biarlah Dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil
Malaikat Zabaniyah, sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah
dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (CD Digital Qur’an Inwordl 2003)
Kedua, Abu Lahab bin Abdul Muthalib (paman Rasululllah SAW) ia lebih sangat

membenci Rasululllah SAW, layaknya bukan famili ia senang sekali melempari kotoran-

kotoran ke pintu rumah Rasululllah SAW, demikian istrinya Ummu Jamil bin Haib bin

Ummayyah tukang menyebar fitnah.

Ketiga, Aqobah bin Mu’itah orang yang telah meludahi wajah Rasululllah SAW,

sehubungan dengan itu turunlah wahyu Allah Surat Al Furqan 27-29 yang berbunyi:

Artinya: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya,
seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul",
kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman
akrab(ku), Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu
telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia”. (CD Digital
Qur’an Inwordl 2003).

Keempat, Golongan yang suka mencemooh antara lain Al Ashy bin Wail Assahmi

Al Quraisy, Ayah Amrun bin Al Ash, dia juga membenci Rasulullah SAW, saya berkata

“Muhammad penipu teman-temannya bahwasanya mereka akan hidup kebali sesudah mati,

demi Allah tidak ada yang membinasakan kita melainkan massa”. Keyakinan ini dibalas oleh

Allah yang berbunyi;

Artinya: “Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,
kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan
mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menduga-duga saja”. (CD Digital Qur’an Inwordl 2003).

Selain empat orang tersebut di atas masih banyak lagi penghalan dakwah

Rasulullah SAW, antara lain: Al Ashwaf bin Abdi Yaghuts, Assuhri Al Quraisy dari bani

Suhrah, paman-paman Rasulullah SAW, dari ibu, Al Aswad bin Abdul Muthalib A Asadi

anak perempuan ibu Khadjijah Al Walid bi Al Mughirah paman Abu Jahal, dan An Hadr bin

Al Harits Al Abdary dari Bany ‘Abdid dari bin Qushaqy. Demikianlah orang-orang yang

menghalangi dakwah Rasulullah SAW, mereka mengharuskan kepada tiap suku mengambil

penangkapan terhadap famili-famili yang masuk Islam dengan penyiksaan yang keji. Mereka
dihadapkan pada dua pilihan yakni mati atau ingkar pada Rasulullah Saw. Dan selain sahabat

Bilal bin Robah ada Amr bin Yasir beserta keluarganya yang dibakar hingga meninggal

dunia lantaran tidak mau ingkar kepada Rasulullah SAW (Amali, 1986: 69-75).

3. Peristiwa Isra’ Mi’raj

Pada tanggal 27 Rajab tahun ke XI dari kenabian (621 M) Rasulullah SAW

melakukan Isra’ dan Mi’raj. Sehubungan dengan masa perjuangan dakwah Islam yang masih

membutuhkan waktu lama dan ketekunan, sedangkan reaksi musuh semakin bertambah

kejam, maka Allah SWT mengijinkan Rasulullah SAW untuk “Isra” dan “Mi’raj”. 10 tahun

Rasulullah SAW memperjuangkan “Pola dasar pembangunan garis besar haluan negara”

bersumber Al-Quran, yaitu pembentukan: “Pribadi Muslim” di Mekah unsur mutlak bagi

pembentukan “ Masyarakat Islam” di Madinah.

a) Isra’ ialah perjalanan Rasulullah SAW diwaktu malam hari dari masjidil haram di Mekah

ke masjidil Aqsha di Palestina. Setibanya beliau di masjidil Aqsha bertemu dengan Nabi-

nabi dan Rosul-rosul pendahulunya. Disana mereka menyambut kedatangan beliau sebagai

Nabi terakhir. Kemudian mereka berjamaah sholat yang diimami oleh beliau sendiri.

1) Thoybah (Madinah), tempat beliau akan hijrah dari mekah di kemudian kemudian hari

untuk melanjukan kewajiban sebagai Rasulullah (berdakwah). Dari sanalah cahaya Islam

akan memancarkan ke seluruh pelosok permukaan bumi.

2) Madyat, tempat dimana ayah beliau; Abdullah meninggal dunia dalam perjalanan pulang

dari Syam kembali ke Mekah.

3) Thursina, bukit terkenal dekat negeri Syam, di bukit ini Nabi Musa a.s bermunajat kepada

Tuhan Yang Maha Esa.

4) Baetil- Lahmi, dekat baetil-Naqdis (masjidil Aqsha), tempat kelahiran Nabi Isa as (Tanpa

bidan).
Dalam perjalanannya, beliau juga mendapat pengetahuan tentang perlambang dari

pada keanekaragaman jenis siksaan atas umat sesuai dengan dosa yang diperbuat semasa

hidup, serta tentang perlambang daripada godaan iblis yang menyesatkan manusia. Berkat

sebelum Isra’ Beliu mendapat operasi mental di dadanya, setelah hatinya suci dari darah

hitam (bagian setan) kemudian diisikan padanya hikmah keimanan oleh malaikat Jibril ‫ ز‬a.s

yang dibantu oleh malaikat Mikail a.s, sehingga hati beliu penuh dengan ketabahan,

keyakinan, pengetahuan, dan berserah diri terhadap Kholiq-Nya Allah SWT; kemudian cap

kenabian di belikatnya yang berbunyi “ Khatamun- Nabiyyin ( Penutup Nabi-nabi) (Amali;

1986:90)

b) Mi’raj ialah Rasulullah SAW, naik kealam atas tingkat IX (Mustawa), ditingkat ke VIII,

dibawahnya (Muntaha), diatasnya tingkat X (Arasy, Luasnya tujuh lapis langit dan bumi).

Sungguh Betapa besar kekuasaan Tuhan YME, Allah SWT. Jarak jauh dari alam bawah

kealam atas di dalam Al-Quran: jarak jauh langit dan bumi: Surat Assajdah ayat 5 : 1000

tahun jarak jauh dari alam bawah ke sisi serambi Arasy: surat Al-Ma’arif ayat 4 :

50.000 Tahun .

Setelah Rasulullah menjadi imam sholat tersebut diatas, kemudian Beliau

mendapat suguhan 3 jenis minuman; Air, Arak, Susu. Dan diambilah Susu sebagai

minumannya, sebagai perlambang agama Fithrah yaitu agama Islam. Susu merupakan

minuman yang mengandung gizi bernilai tinggi, demikian dengan agama Islam merupakan

bahan makanan rohani yang mengandung keimanan yang tinggi nilainya. Rasulullah Saw

sesampainya dialam atas VIII (sidratil Muntaha) Mi’raj dari alam bawah (Masjidil Aqsha)

disertai malaikat Jibril a.s. dan beliau terus Mi’raj kealam atas IX (Muntawa) tanpa disertai

malaikat Jibril a.s. di sanalah beliau menerima kewajiban sholat 5 waktu.


Semua sholat 5 waktu di wajibkan 100 rakaat, 5 waktu = 20 rekaat tiap-tiap waktu,

kemudian mendapat keringanan menjadi 17 rekaat yaitu: 2 rekaat sholat Shubuh, 4 rekaat

sholat zhuhur, 4 rekaat sholat Ashar, 3 rekaat sholat Magrib, dan 4 rekaat sholat Isya’.

Berarti umat muslim Rasulullah Saw mohon keringanan 83 rekaat keringanan ini berkat

nasehat Nabi Musa a.s bahwa umatnya tidak akan kuat mengerjakan 100 rekaat dalam sholat,

sebaiknyalah memohon keringanan kepada Allah SWT. Kemudian Rasulullah SAW mohon

keringanan dan permohonannyapun dikabulkan; seperti yang tersebut di atas. (Amali

1986:96)

Peristiwa besar Isra’ dan Mi’raj kebanyakan orang tidak mempercayainya kecuali

abu bakar “As-Shiddiq”; orang yang membenarkan; gelar dari Rasulullah SAW. Sedang

fungsi dari sholat ialah meninggikan derajat naluri hayati/ selera/ nafsu dari derajad

kehewanan ternak (rasa kepuasan/ rakus) dan kehewanan buas (hanya aku/ kesombongan) ke

derajad manusia yang sempurna “manusia Yang Taqwa kepada Allah SWT” selain sholat

lima waktu juga diwajibkan atas umat muslim untuk mengerjakan puasa, zakat, dan

ibadah haji (bagi yang mampu). Sebab terjadinya Isra’ dan Mi’raj meliputi beberapa aspek

antara lain:

a) Sepanjang masa 10 tahun SAW, memperjuangkan “pola dasar pengembangan garis besar

haluan negara bersumber Al-Quran” yaitu pembentukan “Pribadi Muslim” dimekah yang

absolut bagi pembentukan: “ masyarakat Islam” di Madinah. Kemudian beliau senantiasa

mendapat reaksi dari kaum Musyrikin Quraisy yang sengit dan menyakitkan hati, terlebih

setelah wafatnya dua orang yang disegani; Ibu Khadijah (Istri Beliau) dan Abi Tholib

(Paman Beliau).

b) Sehubungan pula dengan masa pejuangan dakwah Islam masih membutuhkan waktu lama

dan ketekunan, sedangkan reaksi dari musuh semakin hari semakin bertambah sengit, maka
atas idzin Allah SWT beliau mengerjakan “Isra’ dan Mi’raj”, demi untuk memperkebal dan

memperteguh hati Beliu dalam menghadapi reaksi musuh - musuhnya. Dari Isra’ dan Mi’raj

ini, Beliau akan mendapatkan kesan - kesan yang bermanfaat bagi perjuangannya, yaitu

bahwa “kenyataan bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Tuhan yang mengutus beliau itu,

beliau dapat membuktikan dengan mata kepala sendiri dan Alam Ghoib dan Alam Atas,

betapa Agung-Nya.

c) Beliau akan menerima kewajiban sholat lima waktu di Mustawa langsung dari Tuhan

Yang Maha Esa Allah SWT. Yang fungsinya merupakan: “Pendidikan batin/ jiwa”

C. Dakwah Islam Periode Madinah

1. Peristiwa Bai’at Aqabah I dan Ke II

Pada tahun ke XI dari permulaan kenabian (bitsah), merupakan suatu peristiwa

yang tampaknya sederhana, tetapi yang merupakan titik awal lahirnya suatu era baru bagi

Islam dan juga bagi dunia. Yaitu perjumpaan Rasulullah SAW. Dengan enam oranga dari

kabilah/suku khazraj, yathrib (Madinah) di “Aqabah Mina” yang datang ke mekkah untuk

ibadah haji. Secara bersama-sama mereka masuk ke “Aqabah Syi’ib” yang dekat dengan

Aqabah Mina, dan sebagai hasil perjumpaan itu, enam tamu dari yathrib itu masuk Islam

dengan memberikan kesaksian bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad

adalah utusan Allah”.

Sebab lain dari masuknya Islam ke enam orang itu dalah sehubungan dengan

mereka adalah penduduk Yathrib, yang mana mereka bertetangga dengan orang-orang

yahudi; yang kerap kali mereka menerangkan sifat-sifat Nabi terakhir yang akan datang.

Kemudian mereka melihat sifat-sifat itu; akhlaq yang terpuji dan selalu terpelihara serta

menjadi panutan terbaik, serupa dengan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yang mereka

temui. Sementara itu kepada Nabi mereka menyatakan bahwa kehidupan di yathrib selalu
dicekam oleh permasalahan yakni permusuhan antar golongan dan antar suku khususnya

khazraj dengan suku Aus.

Harapan mereka adalah semoga Allah mempersatukannya melalui Nabi, dan

mereka juga berjanji kepada Nabi akan mengajak penduduk yathrib untuk masuk Islam. Pada

musim haji tahun berikutnya, tahun ke XII bi’tsah dua belas orang laki-laki penduduk

yathrib; 10 orang dari kabilah khazraj dan 2 orang dari kjabilah Aus, datang menemui Nabi

ditempat yang sama di bukit Aqabah dan berkumpul di Aqabah Syi’ib. mereka menerima

dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Kemudian mereka berbai’at (berjanji kepada Nabi

bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat

zina, tdak akan berbohong dan tidak akan mengkhianati Nabi serta menjauhi perbuatan

kebathilan/ kemungkaran lainnya.

Kedua belas orang yang masuk Islam ini adalah merupakan “Bibit Anshar”dan

kemudian Rasulullah SAW mengatakan bahwa jika bai’at ini dilaksanakan maka surga

sebagai imbalanya, dan jika mengingkarinya maka siksa neraka adalah balasannya dan

apalagi Allah menghendaki memberikan Ampunan niscayalah ysng diterima itu terlepas dari

pada siksaan “Bai’at ini dikenal dalam sejarah sebagai “Bai’at Aqabah Pertama” (Sjadzali,

1990: 8) Kemudian pada tahun ke XIII bi’sah, musim haji berikutnya sebanyak 73 orang

penduduk Yathrib ; 62 orang dari kabilah khazraj dan 11 Orang dari kabilah Aus yang

diantaranya terdapat dua orang wanita dari arab Madinah, yang sudah memeluk agama Islam

berkunjung ke Mekah untuk ibadah haji.

Di samping itu mereka semua mengundang Rasulullah untuk hijrah ke Yathrib dan

menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi dan pemimpin

mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu ditempat yang sama dengan 2 tahun sebelumnya,

Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan bai’at bahwa mereka akan setia dan membela,
melindungi Nabi sebagaimana mereka melindungi anak dan istrinya, ikut berjuang membela

Islam dengan harta dan jiwanya, serta berusaha memajukan agama Islam dengan

meyakinkan kepada kerabat-kerabatnya. Bai’at ini dikenal dengan “Bai’at Aqabah kedua ;

Bai’at – Kubra”.

Berdasarkan dua bai’at di atas merupakan jaminan terlaksananya dakwah di

yathrib. Sejak saat itu berangsur-angsur kaum muslimin Mekah hijrah ke Yathrib secara

diam-diam agar tidak diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy. Tujuan hijrahnya adalah

untuk memperoleh penghidupan yang layak selain untuk dakwah islamiyah dan beberapa

bulan kemudian Nabi Muhammad sendiri hijrah bergabung dengan mereka (Sjadzali, 1990 :

9) .

Hijrahnya umat muslim mekah ke Yathrib menimbulkan agama Islam di Yathrib

mengalami kemajuan pesat sehingga hal ini menggelisahkan kaum musrikin Quraisy di

Mekah. Kemajuan ini berkat setelah bai’at kubra sebanyak 12 orang pilihan dari mereka

yang sebanyak 73 orang dilantik Rasulullah SAW. Sebagai “Naqaba” (Kepala regu dari satu

organisasi). Dalam rapat-rapat “adhoknya” kaum musyrikin Quraisy di Mekah mengambil

keputusan bahwa “Muhammad harus di bunuh” dengan jalan rumahnya diblokir oleh

angkatan muda yang terlatih dari tiap-tiap suku dan diorganisir sedemikian rupa agar rencana

agar pembunuhan itu tidak bocor keluar.

Namun siasat mereka sia-sia belaka lantaran Rasulullah SAW dapat meloloskan

diri dari kepungan mereka yang sangat ketat. Yaitu beliau keluar dari rumahnya dan

didampingi oleh Abu Bakar dalam keadaan malam yang gelap gulita. Mereka terpedaya oleh

siasat Rasulullah yaitu beliau menempatkan sahabat Ali di tempat tidurnya. Kemudian

dengan Abu Bakar beliau keluar dari rumahnya dan sembunyi di “Gua Tsur “, (8 jam pulang
pergi dari Mekah dengan berjalan kaki). Pada saat mereka tidak menemui Rasulullah di

tempat tidurnya, hal ini menimbulkan amarah.

Kemudian mereka mencarinya dan mengeluarkan Ma’lumat: “Barang siapa yang

dapat menangkap Muhammad akan mendapatkan 100 ekor onta”. Kemudian sampailah

mereka didepan Gua Tsur. Karena rasa khawatir sahabat Abu Bakar menangis dan

tangisannya terhenti setelah Rasulullah SAW berkata bahwa “Allah bersama kita, jangan

khawatir”. Dan ternyata mereka selamat lantaran mereka tidak melihatnya padahal kaki

mereka persis di mulut Gua Tsur. Maka timbulah keyakinan umat muslim bahwa Allah SWT

senantiasa melindungi orang-orang yang beriman (Amali, 1986: 114-115)

Rasulullah SAW beserta sahabat Abu Bakar berdiam di Gua Tsur selama tiga hari:

Jum’at, Sabtu dan Ahad, karena pada siang hari waktu zhuhur hari kamis beliau sempat

memberitahukan kepada sahabat Abu Bakar bahwa beliau dijinkan Allah pindah ke negeri

Madinah. Rasulullah SAW dalam perjalanannya ke Thaif beliau dikejar oleh Suraqah bin

Malik Al Mujladi (kaum quraisy yang melihat dan ingin membunuhnya). Dalam

pengejaranya ia tersungkur dua kali dan setelah dekat dengan Rasulullah SAW kedua kaki

kudanya terhunjam kedalam tanah sampai pula pada batas lututnya, tetapi ia berusaha keras

untuk mengangkat kudanya, sehingga ia dapat pula mengejar Rasulullah SAW namun ia

terhalang oleh debu yang turun dari langit, bagaikan asap sehingga pada akhirnya ia

ketakutan dan putus asa mengejar terus Rasulullah SAW lalu ia lepaskan.

Sesampainya di Thaif Rasulullah SAW disambut oleh sahabat Anshar dengan

hormat. Beliau mengambil rumah sahabat Sa’ad bin Khaitsamah sebagai “Majlis Umum”

untuk memberikan petunjuk dan pelajaran sedang sahabat Abu Bakar masuk ke “Sanha”

(tempat perkemahan) di negeri Madinah. Dan pada hgari jum’at beliau pindah ke Madinah

setelah empat hari bermukim di Thaif. Untuk pertama kalinya dengan para sahabat Anshar
dan Muhajirin sholat jum’at di masjid Bani Ayyub, dan disitu beliau mengambil tempat

kediaman sampai beliau di Madinah untuk sementara (Amali, 1986: 116)

2. Hijrah Ke Madinah

Rasulullah SAW meninggalkan Gua Tsur dalam perjalanan menuju kota Yathrib

pada tanggal 12 Robiul-Awal, tahun pertama hijrah atau 20 Jum tahun 622 M, dan tiba di

Yathrib maka kota itu diubah namanya menjadi Madinatur Rasulullah; Madinatur

Munawarah, Madinah pluralitas terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang didomisili

oleh berbagai golongan, suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama dan

keyakinan yang berbeda yaitu; kaum muslimin terdiri dari golongan suku Anshor dan

Muhajirin, golongan Yahudi terdiri dari suku Qainuga, Banu Nadhir, dan Banu Quraizhah,

serta golongan suku Aus dan Kharaj menganut keyakinan paganisme (penyembahan

terhadap mahkluk selain Allah) (Azra, 2005: 98).

Orang-orang Islam penduduk Asli Madinah disebut kaum Anshar yang terdiri dari

suku Khazraj dan suku Aus; dua kabilah yang ternama dan dikenal pemberani. Awal

sebelum masuk Islam terjadi konflik pluralis yaitu kedua suku ini selalu bersaing dan

bermusuhan kemudian berubah menjadi persaudaraan yang kokoh karena tali agama dan

ikatan iman selain kaum Anshor juga terdapat kaum Muhajirin; orang muslim yang datang

dari mekah. Kehiduapan antar kaum ini berjalan harmonis dan saling membantu lantaran

kehidupan mereka yang sulit dengan tekanan kaum kafir Quraisy dan tindakannya yang

kejam.

Dan untuk mencari penghidupan yang layak mereka hijrahke Madinah. Kedua

kaum tersebut kemudian giat melakukan dakwah Islam, sehingga agama Islam semarak dan

berkembang di Madinah. Langkah - langkah yang dilakukan untuk mencapai sasaran

perjuangan dakwah bertujuan membentuk satu bermasyarakat bernegara. Oleh sebab,


sesampainya Rasulullah SAW di Madinah keadaan orang-orang Islam menjadi kuat

kedudukannya maka beliau segera memulai pekerjaannya yakni “Merencanakan dan

melaksanakan, mendirikan pemerintahan masyarakat Islam dengan sistem keadilan sosial

berkonsepsi Al-Qur’anul– Karim. Di Madinah Rasulullah SAW tidak hanya berperan

sebagai pemimpin agama tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara.

Beliau memberi teladan kepada umat manusia kearah pembentukan masyarakat

pluralis berperadapan yang sebelumnya dikenal dengan masyarakat prasejarah. (Amali

1986:118) Hijrah memberi makna penting dan hikmah besar bagi perkembangan penyiaran

Islam karena menandai awal era muslim. Hal ini dicapai sebagai hasil perubahan peranan

taktik dan strategi ketika beliau masih berada dimekah dengan ketika itu beliau berada di

Madinah. Di Mekah beliau hanya berperan sebagai Rosul penyampai wahyu. Isi peran yang

disampaikan pada umumnya adalah masalah-masalah eskatologik; tentang harapan

memperoleh imbalan pahala bagi yang beriman dan ancaman siksa neraka bagi yang tidak

beriman.

Rasulullah menarik garis tegak lurus antara yang mukmin dengan yang tidak yang

berakibat timbul konflik. Pihak yang merasa terganggu ketenangannya dalam mengecap

kenikmatan fisik. maupun yang abstrak yang telah diberikan oleh tatanan sosial dan budaya

yang telah ada bangkit bereaksi Rasulullah di hina dan ajarannya di cemoohkan. Jalannya

dakwah Islam sangat lambat. Dari jumlah sedikit orang-orang dimekah yang memeluk Islam

hanya beberapa orang saja yang berasal dari kelompok elit (Shiddiri, 1996:84)

3. Piagam Madinah

Piagam Madinah merupakan basis kajian untuk mendapatkan wawasan tentang

sosial – politik – demokratik, karena hampir semua pengkaji sejarah Islam mengakui

“bahwa” Piagama Madinah” merupakan instrumen hukum – politik yang membuat


komunitas Islam dan non Islam. Saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di bawah

kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Bahkan oleh sebagian pakar ilmu politik piagam ini

dianggap sebagai konstitusi atau undang-undang dasar pertama bagi “Negara Islam” yang

didirikan Nabi SAW di Madinah.

Latar sosial – budaya masyarakat Madinah sangat majemuk, terbukti penduduknya

terbagi ke dalam kelompok-kelompok etnik, ras dan agama yang berbeda. Pada umumnya

faktor ini mendorong konflik yang tidak mudah diselesaikan, tetapi “Piagam Madinah”

mampu menjadi perekat unitas dari pluralitas tersebut. Kepemimpinan Nabi Muhammad

Saw adalah model yang paling ideal dan sempurna dari kepemimpinan abad ke 7 M karena

keberhasilannya membangun pemerintahan Islam. Corak kemajemukan tersebut terlihat pada

komposisi penduduk Madinah yang didomisili oleh berbagai golongan suku-suku Arab dan

bangsa Yahudi yang menganut agama yang berbeda. Golongan suku-suku tersebut antara

lain: golongan muslim yang terdiri dari Muhajirin dan Anshor, golongan Yahudi yang terdiri

dari Banu Qainuqa, banu Wadhir, dan Banu Quraizhah, sedangkan golongan musyrik dan

munafik adalah golongan Aus dan Khazraj tetapi sebagian dari mereka telah menjadi

muslim, maka tidak apologetis, apabila piagam ini untuk mewujudkan persatuan dan

kesatuan semua unsur pluralisme menjadi satu bangsa yang menjunjung tinggi moralitas dan

keadilan sosial atas dasar keimanan dan ketakwaan.

Dalam konteks ini Islam tampaknya memang didesain untuk bisa menata

kehidupan sosial yang pluralistik. Untuk mendapatkan isi/butirbutir Piagam Madinah,

berikut dikutipkan naskah Piagam Madinah selengkapnya (Sjadzali, 1990: 10-16)


Bismillahirahmanirrahim

1. Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, mewakili pihak

kaum Muslim yang terdiri dari warga Quraisy dan warga Yathrib serta para pengikutnya

yaitu mereka yang beriman dan ikut serta berjuang bersama mereka.

2. Kaum muslimin adalah umat yang bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan

kelompok-kelompok masyarakat yang lain.

3. Kelompok Muhajirin yang berasal dari warga Quraisy dengan tatap memegang teguh

prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda yang perlu dibayarnya. Mereka

membayar dengan baik tebusan bagi pembebasan anggota yang ditawan.

4. Bani ‘Auf dengan tetap memegang teguh prinsip aqidah, mereka bahu membahu

membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok dengan baik dan adil membayar tebusan

bagi pembebasan warganya yang ditawan.

5. Bani Al-Harits (dari warga Al Khazra) dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka

bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik

dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan.

6. Bani Sa’idah dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar

denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi

pembebasan warganya yang ditawan.

7. Bani Jusyam dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar

denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi

pembebasan warganya yang ditawan.

8. Bani An Najjar dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu

membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan

bagi pembebasan warganya yang ditawan.


9. Bani ‘Amr bin ‘Auf dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu

membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan

bagi pembebasan warganya yang ditawan.

10. Bani An Nabit dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu

membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan

bagi pembebasan warganya yang ditawan.

11. Bani Al Aus dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar

denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi

pembebasan warganya yang ditawan.

12. (a) Kaum Muslimin tidak membiarkan seseorang Muslim yang dibebani dengan utang

atau beban keluarga. Mereka membari bantuan dengan baik untuk keperluan membayar

tebusan atau denda.

(b) Seorang Muslim tidak akan bertindak tidak senonoh terhadap sekutu (tuan atau hamba

sahaya) Muslim yang lain.

13. Kaum Muslimin yang taat (bertakwa) memiliki wewenang sepenuhnya untuk mengambil

tindakan terhadap seorang Muslim yang menyimpang dari kebenaran atau berusaha

menyebarkan dosa, permusuhan dan kerusakan di kalangan kaum muslimin. Kaum muslimin

berwenang untuk bertindak terhadap yang bersangkutan sungguhpun ia anak Muslim sendiri.

14. Seorang muslim tidak diperbolehkan membunuh orang Muslim lain untuk kepenntingan

orang kafir, dan tidak diperbolehkan pula menolong orang kafir dengan merugikan orang

muslim.

15. Jaminan (perlindungan) Allah hanya satu. Allah berada di pihak mereka yang lemah

dalam menghadapi yang kuat. Seorang Muslim, dalam pergaulannya dengan pihak lain,

adalah pelindung bagi orang Muslim lainnya.


16. Kaum Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh pertolongan dan hak bersama

serta akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar yang merugikan.

17. Perdamaian bagi kaum Muslim adalah satu. Seorang Muslim tidak akan mengadakan

perdamaian dengan pihak luar Muslim dalam perjuangannya menegakkan agama Allah

kecuali atas dasar persamaan dan keadilan.

18. Keikutsertaan wanita dalam berperang dengan kami dilakukan secara bergiliran.

19. Seorang Muslim, dalam rangka menegakkan agama Allah, menjadi pelindung bagi

Muslim yang lain di saat menghadapi hal-hal yang mengancam keselamatan jiwanya.

20. (a) Kaum Muslimin yang taat berda dalam petunjuk yang paling baik dan benar. (b)

Seorang musyrik tidak diperbolehkan melindungo harta dan jiwa orang Quraisy dan tidak

diperbolehkan mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang merugikan seorang Muslim.

21. Seorang yang ternyata berdasakan bukti-bukti yang jelas membunuh seorang Muslim,

wajib dikisas (dibunuh), kecuali bila wali terbunuh memaafkannya. Dan semua kaum

Muslimin mengindahkan pedapat wali terbunuh. Mereka tidak diperkenankan mengambil

keputusan kecuali dengan mengindahkan pendapatnya.

22. Setiap Muslim yang telah mengakui perjanjian yang tercantum dalam naskah perjanjian

ini dan ia beriman kepada Allah dan hari Akhri, tidak diperkenankan membela atau

melindungi pelaku kejahatan (kriminal), dan barang siapa yang membela atau melindungi

orang tersebut, maka ia akan mendapat laknat dan murka Allah pada Hari Akhirat. Mereka

tidak akan mendapat pertolongan dan tebusannya tidak dianggap sah.

23. Bila kami sekalian berebda pendapat dlaam sesuatau hal, hendaklah perkaranya

diserahkan kepada (ketentuan) Allah dan Muhammad.

24. Kedua pihak: Kaum Muslimin dan Kaum Yahudi bekerja sama dalam menanggung

pembiayaan di kala mereka melakukan perang bersama.


25. Sebagai satu kelompok, Yahudi Bani ‘Auf hidup berdampingan dengan kaum Muslimin.

Kedua pihak memiliki agama mansingmasing. Demikian pula dengans ekutu dan diri

masing-masing. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan

ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.

26. Bagi Kaum Yahudi Bani An Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi

kaum Yahudi Bani ‘Auf.

27. Bagi kaum Yahudi Bani Al Harits berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi

kaum Bani ‘Auf.

28. Bagi kaum Yahudi Bani Sa’idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum

Yahudi Bani ‘Auf.

29. Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum

Yahudi Bani ‘Auf.

30. Bagi kaum Yahudi Bani Al Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum

Yahudi Bani ‘Auf.

31. Bagi kaum Yahudi Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaiamana yang berlaku bagi

kaum Yahudi Bani ‘Auf. Barang siapa yang melakukan aniaya atau dosa dalam hubungan ini

maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.

32. Bagi warga Jafnah, sebagai anggota warga Bani Tsa’labah berlaku ketentuan

sebagaimana yang berlaku bagi Bani Tsa’labah.

33. Bagi Bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi

bani ‘Auf. Dan bahwa kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa.

34. Sekutu (hamba sahaya) Bani Tsa’labah tidak berbeda dengan bani Tsa’labah itu sendiri.

35. Kelompok-kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan Yahudi itu sendiri.
36. Tidak dibenarkan seorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali mendapat izin

dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai (membalas) orang lain yang melebihi kadar

perbuatan jahat yang telah diperbuatnya. Barang siapa yang membunuh orang lain sama

dengan membunuh diri dan keluarganya sendiri, terkecuali bila orang itu melakukan aniaya.

Sesungguhnya Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini.

37. Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiaya pihaknya masingmasing. Kedua belah

pihak akan membela satu dengan yang lain dalam mengahadapi pihak yang memerangi

kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam ini. Kedua belah pihak juga saling

memberikan saran dan nasihat dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa.

38. Seorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya. Dan orang yang teraniaya akan

mendapat pembelaan.

39. Daerah-daerah Yatrib terlarang perlu dilingungi dari setiap ancaman untuk kepentingan

penduduknya.

40. Tetangga itu kehormatan tidak dilingungi kecuali atas izin yang berhak atas kehormtan

itu.

41. Sesuatu kehormatan tidak dilindungi kecuali atas izin yang berhak atas kehormatan itu.

42. Suatu peristiwa atau erselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang menyetujui piagam

ini dan dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan bersama harus diselesaikan atas

ajaran Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Allah akan memperhatikan isi perjanjian

yang paling dapat memberikan perlindungan dan kebajikan.

43. Dalam hubungan ini warga yang berasal dari Quraisy dan warga lain yang

mendukungnya tidak akan mendapat pembelaan.

44. Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi pihak yang melancarkan

serangan terhadap Yathrib.


45. (a) Bila mereka (penyerang) diajak untuk berdamai dan memenuhi ajakan itu serta

melaksanakan perdamaian tersebut maka perdamaian tersebut dianggap sah. Bila mereka

mengajak berdamai seperti itu, maka kaum Muslimin wajib memenuhi ajakan serta

melaksanakan perdamian tersebut, selama serangan yang dilakukan tidak menyangkut

masalah agama. (b) Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai

dengan fungsi dan tugasnya.

46. Kaum Yahudi Aus, sekutu (hamba sahaya) dan dirinya masing-masing memiliki hak

sebagaimana kelompok-kelompok lainnya yang menyetujui perjanjian ini, dengan perlakuan

yang baik dan sesuai dengan semestinya dari kelompok-kelompok tersebut. Sesungguhnya

kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas

setiap perbuatan yang dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian yang paling

murni dan paling baik.

47. Surat perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa.

Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berda di Madinah maupun sedang berada di

luar Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Allah pelindung orang yang

berbuat kebajikan dan menghindari keburukan. Muhammad Rasulullah SAW .


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di muka, sebagai penutup pembahasan skripsi ini, penulis dapat

mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Dakwah Islamiyah Rasulullah SAW Periode Mekah bertujuan membentuk

pribadi dan muslim masyarakat Mekah dan Madinah.

2. Dakwah Islam Rasululah Periode Madinah bertujuan untuk mendirikan

pemerintahan yang bersistem keadilan sosial dengan berlandaskan Al Qur’an

sebagai kitab undang-undang dasar syariat Islam . Piagam Madinah adalah

undang - undang dasar untuk mengatur kehidupan masyarakat di Madinah , di

mana penduduknya plural yang terdiri dari berbagai suku , agama , golongan ,

maupun karakter ( latar sosial budaya yang berbeda ).

3. Kunci kesuksesan Rasulullah SAW dalam berdakwah , memimpin umat yaitu

unsur keteladanannya , dan di antara keteladanannya adalah bersifat sidik ,

amanah , tabligh , fathonah , sebagai pemimpin yang tidak hubbudunia dan

sangat penyayang , serta penolong bagi fakir miskin dan para anak yatim.

B. Saran Saran

Setelah mengkaji konteksualisasi dakwah Rasulullah menurut History Islam

(membangun pluralisme periode Madinah) tentunya masih ada sisi-sisi lain yang belum bisa

penulis tampilkan dalam penulisan skripsi ini, mengingat keterbatasan kemampuan yang

dimiliki. Oleh karena itu saran penulis adalah :


1. Agar ada upaya lebih dalam untuk mengkaji sosok Rasul Muhammad SAW dan

perjuangan dakwah Islamiyah, dalam membangun pluralisme di Madinah .

2. Diupayakan untuk menelaah nilai-nilai pluralisme dalam konteks dakwah dari

tokoh-tokoh agama lainnya yang mempunyai relevansi dengan keilmuan dakwah

yang dapat dijadikan sumber rujukan dalam mekanisme dakwah .

3. Para muballigh hendaknya bisa tampil sebagai sosok tauladan , sebagaimana yang

dicontohkan Rasulullah SAW , sehingga antara ceramah dan perbuatan menjadi

selaras .

4. Di era teknologi , informasi ini hendaknya para muballigh dapat menyebar

luaskan ajaran Rasulullah SAW dengan memanfaatkan teknologi secara

maksimal , jangan sampai para praktisi dakwah gagap teknologi.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran, Departemen Agama, Jakarta, 1994 .

Abd. Khaliq, Syekh Abdurrahman, ”Strategi Dakwah Syar’iyyah,” Solo: CV. Pustaka
Mantiq, 1996.

Abdul Aziz, Amin, ”Fiqih Dakwah,” Solo: Era Intermedia, 2000.

Abidin Ass, Djamalul, ”Komunikasi dan Bahasa Dakwah,” Jakarta: Gema Insani Press,
1996. Cet. Ke-1.

Abu, Zahrah, ” Dakwah Islamiah,” Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Aep Kusnawan et. al., ”Komunikasi dan Penyiaran Islam,” Bandung: Benang Merah Press,
2004 .

Ahmad Muhammad Jamil, Qadlaya Mu’ashsirat fi Muhkamat al-Fikr al-Islami, Kairo: Dar
al-Shahwat, 1980 .

A.H. Hasanuddin, ”Retorika Dakwah dan Publisistik dalam Kepemimpinan,” Surabaya:


Usaha Nasional, 1992. Cet. Ke-1.

Al-Adawiy, Muhammad Ahmad, ”Pedoman Juru Dakwah: Disarikan dari Al-Quran dan
Hadits,” Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Ali Aziz, Moh., ”Ilmu Dakwah,” Jakarta: Kencana, 2004.

Al- Haddad, ”Kelengkapan Dakwah,” Kendal: CV. Toha Putra Semarang, 1980.

Al-Wakil, Muhammad Sayyid, ”Prinsip dan Kode Etik Dakwah,” Jakarta: Akademika
Pressindo, 2002.

Ardhana, Sutirman Eka, ”Jurnalistik Dakwah,” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Anderson, Kenneth E., “Introduction to Communication Theory and Practice,” Cummings


Publishing Company California, 1972.

Arifin Tatang, Muhammad, ”Menyusun Rencana Penelitian,” Jakarta: Rajawali Press, 1989.

Asad, Ari Syeif, “Dakwah Melalui Media Komunikasi,” Jakarta: Media Dakwah, 1991.

Assiba’i, Mustafa, ”Sari Sejarah dan Perjuangan Rasulullah SAW,” Jakarta: Media Da’wah,
1983.
Avery, Robert K. “Communication and The Media,” New York: Random House, 1980.

Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, Risalah Cendikiawan
Muslim, Bandung: Mizan, 1998.

Darussalam, Ghazali, ”Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah,” Malaysia: Nur Niaga SDN,
BHD, 1996.

Daud Ibrahim, Marwah, “Peran Lembaga Dakwah Dalam Era Teknologi Komunikasi,“
Serial Khutbah Jumat, XIII, 111, 1991.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 1983.

Echol, John M. & Hasan Syadzily, “Kamus Inggris Indonesia,” Jakarta: PT. Gramedia,
1994.

Effendi, Lalu Muchsin, H., Lc, MA., dan Faizah, S.Ag, MA., “Psikologi Dakwah,” Jakarta:
Kencana, 2006.

Eugene A. Myers, Zaman Keemasan Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003 .

Habib, M. Syafa`at, ”Pedoman Dakwah,” Jakarta, Widjaya: 1982, Cet. Ke-1.

H. Soedirman, Problematika Dakwah di Indonesia, Surabaya: 1970 .

Hamka, Rusydi, dan Rafiq, (ed.), ”Islam dan Era Informasi,” Jakarta: Pustaka Panjimas,
1989, Cet. Ke-1.

Hamdi, Mujtaba, ”Dakwah Transpormatif,” Jakarta: PP LAKPESDAM NU, 2006.

Hamka, ”Tasawuf Modern,” Yayasan Nurul Islam, Cetakan Ketujuh Belas, Januari 1980.

Ibnu, Ibrahim,”Strategi Da’wah Rasulullah, ” Jakarta: Nuansa Press, 2004.

Isa Anshari, Mujahid Dakwah, Bandung: Diponegoro, 1984 .

Isma’il al-Faruqi, Sifat Dasar Dakwah Islamiyah, dalam Ahmad Von Deffer an Emilio
Castro, (ed), Dakwah Islam dan Misi Kristen, Sebuah Dialog Internasional, terj.
Achmad Noer. Z., Bandung: Risalah, 1984.

Israr, MH, “Retorika dan Dakwah Islam Era Modern,“ Jakarta: Firdaus, 1986, Cet. Ke-I.

Kafie, Jamaluddin, “Psikologi Dakwah,” Surabaya: Indah, 1993.

Khaliq, Abd. Rahman, "Dasar-dasar Dakwah Generasi Islam Pertama,“ Jakarta: Al-
Hidayah, 1986.
Lathief, HSM. Nasaruddin, “Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah,“ Jakarta: Firma Dara,
1993.

Larry Poston, Islamic Dakwah in The West, Muslim: Mission ary Activity and the Dynamics
Conversion to Islam, New York: Oxford University Press, 1992.

Masyhur, Musthafa, “Teladan di Medan Dakwah,” Solo: Intermedia, 2000.

Maududy, Abul A’la, “Petunjuk Untuk Juru Dakwah,” Bandung: Al-Ma’arif, 1982.

M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994 .

Muis, A, “Dakwah Islam Masa Depan,“ Kompas, Jakarta, 1993.

________,“Komunikasi Islami,“ Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Munawwir, Ahmad Warson, “Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia,” Yogyakarta:


Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.

Munir, M., S.Ag, MA. & Ilaihi Wahyu, S.Ag, MA., “Manajemen Dakwah,” Jakarta:
Kencana dan Rahmat Semesta, 2006.

MZ, Zainuddin, KH., “Dakwah dan Politik: Da’i Berjuta Umat,” Bandung: Mizan, 1997.

Nasution, Farouq, “Aplikasi Dakwah dalam Studi Kemasyarakatan,“ Jakarta: Bulan


Bintang, 1986. Cet. Ke-I.

Nia Kurnia, “Tasawaf, Almanak alam Islami,” Bandung: PT. Gramedia, 1996.

Nugroho, E., ed, “Ensiklopedi Nasional Indonesia,” Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990.

Nuh, Sayid Muhammad, Dr, “Dakwah Fardiyah: Pendekatan Personal dalam Dakwah,”
Solo: Intermedia, 2004.

Ridwan, Kafrawi, “Metode Dakwah Dalam Menghadapi Tantangan Masa Depan,“ Jakarta:
Golden Trayon Press, 1991. Cet. Ke-2.

Samsir Salam, dalam Pengantar Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam, Bandar


Lampung: Matakata, 2007.

Syukriadi Syambas, (ed) Aep Kunawan, Ilmu Dakwah Kajian Berbagai Aspek, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004 .

Shaleh, A. Rasyad, “Manajemen Dakwah Islam,“ Jakarta: Bulan Bintang, 1986. Cet. Ke-2.

Suhandang, Kustadi, ”Manajemen Pers Dakwah: Dari Perencanaan hingga Pengawasan,”


Bandung: Marja, 2007.
Syukir, Asmuni, “Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam,“ Surabaya: Penerbit Al-Ikhlas,
1993.

Tasmara, Toto, “Komunikasi Dakwah,“ Jakarta: Griya Media Pratama, 1987.

Yaqub, Ali Mustafa, “Sejarah dan Metode Dakwah Nabi,” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Yoenoes, Mahmud, “Pedoman Dakwah Islamiyah,” Padang Panjang: Pustaka Saidiyah,


1968.

Zaidallah, Alwisral Imam, Drs, “Strategi Dakwah: dalam Membentuk Da’i dan Khotib
Profesional,” Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Filename: Skripsi Komunikasi Islam ( Perjalanan Dakwah Islamiyah Periode Mekah - Madinah )
Directory: C:\Documents and Settings\Raisya\Desktop\New Folder\KUMPULAN SKRIPSI
Template: C:\Documents and Settings\Raisya\Application Data\Microsoft\Templates\Normal.dot
Title: BAB I
Subject:
Author: Raisya
Keywords:
Comments:
Creation Date: 12/16/2010 1:16:00 PM
Change Number: 638
Last Saved On: 2/2/2011 5:18:00 PM
Last Saved By: Raisya
Total Editing Time: 627 Minutes
Last Printed On: 2/2/2011 5:35:00 PM
As of Last Complete Printing
Number of Pages: 136
Number of Words: 31,523 (approx.)
Number of Characters: 179,686 (approx.)

Anda mungkin juga menyukai