Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain Narkoba
istilah lain yang diperkenalkan khusus oleh Departemen Kesehatan Republik indonesia adalah
Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah
ini sebenarnya mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko yang oleh
masyarakat disebut berbahaya yaitu kecanduan (adiksi). Narkoba atau NAPZA merupakan
bahan/zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf
pusat/otak sehingga bilamana disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa
dan fungsi sosial. Karena itu Pemerintah memberlakukan Undang-Undang untuk
penyalahgunaan narkoba yaitu UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No.22 tahun
1997 tentang Narkotika. Pemeriksaan narkoba seringkali dibagi menjadi pemeriksaan skrining
dan konfirmatori. Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal pada obat pada
golongan yang besar atau metobolitnya dengan hasil presumptif positif atau negatif. Secara
umum pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan yang cepat, sensitif, tidak mahal dengan
tingkat presisi dan akurasi yang masih dapat diterima, walaupun kurang spesifik dan dapat
menyebabkan hasil positif palsu karena terjadinya reaksi silang dengan substansi lain dengan
struktur kimia yang mirip.Pada pemeriksaan skrining, metode yang sering digunakan adalah
immunoassay dengan prinsip pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi.
Pemeriksaan skrining dapat dilakukan di luar laboratorium dengan metode onsite strip test
maupun di dalam laboratorium dengan metode ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
(Widayati,, 2008).
Penyalahgunaan narkoba merupakah salah satu masalah yang besar bagi Negara
Indonesia. Hal itu dikarenakan pengguna narkoba dapat menyebabkan gangguan kejiwaan,
kesehatan bahkan kematian. Dari berbagai survey yang dilakukan, jumlah kasus pengguna
narkoba setiap tahunnya semakin meningkat. Pada penelitian ini akan mencoba melakukan
identifikasi awal untuk pengguna narkoba dengan metode Learning Vector Quantization.
Penelitian ini menggunakan data pengguna narkoba dari Badan Narkotika Nasional (BNN)
Kabupaten Malang. Dari yang digunakan sebanyak 119 data yang ada dibagi lagi menjadi 3
bagian. Terdapat 4 data untuk vektor bobot awal, 103 untuk data latih dan 12 untuk data uji.
Lalu pada data ini memiliki 16 parameter dan 4 kelas. Pada penelitian ini melakukan 6
pengujian, menghasilkan 0,1 untuk nilai learning rate dengan nilai rata-rata akurasi sebesar
74,8%. Lalu 0,9 untuk pengali learning rate dengan nilai rata-rata akurasi sebesar 79,8%.
Kemudian 0,01 untuk minimum learning rate dengan nilai rata-rata akurasi sebesar 79,8%.
Jumlah data latih 60% dengan nilai rata-rata akurasi sebesar 86,2%. Maksimum iterasi bernilai
14 dengan nilai rata-rata akurasi sebesar 86,2%. Lalu untuk pemberhentian pelatihan LVQ pada
kondisi mana yang terbaik yaitu pada maksimum iterasi 14. Oleh karena itu kondisi minimum
learning rate dapat diabaikan. Dari nilai-nilai tersebut setelah dilakukan pengujian K-Fold
Cross Validation diperoleh rata-rata akurasi akhir yang didapatkan sebesar 78,4%.
Pemeriksaan narkotika di laboratorium pengujian sangat memerlukan metode – metode yang
cukup teruji dengan hasil yang optimal (Hegstd, 2008). Sampel – sampel uji sangat kompleks,
meliputi tanaman yang mengandung bahan psikotropik senyawa hasil sintesis dan isolasi,
bahan makanan dan minuman yang mengandung sabu-sabu, dan juga senyawa hasil metabolit
pemakai. Sampel hasil metabolit yang digunakan juga bervariasi tergantung dari kebutuhan
pemeriksaan. Sampel yang digunakan biasanya urine, darah, dan rambut. Untuk senyawa hasil
metabolit ini memerlukan perlakuan khusus untuk mendapatkan hasil analisis yang optimal.
Dalam hal ini, metode standard dalam analisis narkotika jenis sabu-sabu sangat diperlukan
untuk memastikan apakah seseorang itu pernah menggunakan narkotika ataupun tidak.
(Rosani, 2003).
Narkotika dalam urine dan darah memiliki keterbatasan dalam hal singkatnya antara
waktu analisis di laboratorium dengan waktu pemakaian pengguna, Sampel urine akan
terdeteksi setelah 24 jam setelah pemakaian oleh pengguna, darah selama 3 hari setelah
pemakaian, dan rambut setelah 6 hari setelah pemakaian. Untuk pemeriksaan setelah satu bulan
atau lebih pemakaian, sampel urin dan darah tidak dapat mewakili dari sampel yang diambil,
dalam hal ini rambut pengguna sangat membantu untuk pembuktian jenis narkotika yang
dikonsumsi. Narkotika tersebut dapat terdeteksi beberapa bulan setelah konsumsi terakhir, hal
ini disebabkan karena senyawa tersebut masuk ke akar rambut melalui kapiler dan akan
tertanam di batang rambut. Hal ini terjadi dengan penambahan panjang 0,9 – 1,2 cm per bulan.
Olehkarena itu, rambut dapat digunakan sebagai kalender dari kegiatan masa lalu dalam
hal obat – obatan terlarang (Abdi, 2004).
Teknik yang yang telah dikembangkan dalam menganalisis narkotika dari rambut
pengguna adalah teknik kromatografi dengan menggunakan Gas Chromatography Mass
Spectroscopy (GCMS), Liquid Chromatography Mass Spectroscopy (LCMS) dan
Radioimmunoassay (RIA) test (Hegstad, 2008). Kasus pertama dalam rambut manusia
dilaporkan oleh Casper tahun 1858, beliau menentukan senyawa arsen dalam rambut setelah
11 tahun. Hampir 100 tahun kemudian, pada tahun 1954 Goldblum menentukan amfetamin
pada rambut hamster melalui Radio Immune Assay (RIA). Pemeriksaan pertama dari narkotika
pada rambut manusia melalui Teknik RIA dimulai pada 1980. Teknik RIA ini memliki
keterbatasan penggunaanya karena kurang sensitif (Baumgartner, 1979). Teknik GCMS
memiliki keunggulan terutama untuk senyawa bahan alam yang mudah menguap. Teknik
HPLC dan LCMS memerlukan waktu yang lama dalam preparasi dan analisis jika
dibandingkan dengan GCMS (Haller, 2010).
Preparasi dan analisis sabu-sabu menggunakan sampel rambut masih belum optimal
dan memerlukan waktu yang lama. Khajuria (2014) menggunakan waktu preparasi 2 hari dan
Teknik GCMS 30 menit. Mushoff (2002) memerlukan waktu Preparasi selama 3 hari dan
Teknik GCMS selama 60 menit. Rusevska (2006) menggunakan waktu preparasi 1 hari dan
Tenik GCMS 40 menit. Pemeriksaan di Laboratorium sederhana juga masih mengandalkan
metode spot test dengan tingkat kepercayaan yang kecil. Hal ini sangat menyulitkan
stakeholder mengingat data hasil pemeriksaan perlu cepat untuk dilaporkan (Widayati, 2008).
Teknik preparasi, ekstraksi, dan penggunaan instrumentasi belum dioptimasi sehingga
penelitian ini perlu dilaksanakan. Penelitian tentang sabu-sabu dalam senyawa hasil metabolit
terutama rambut masih sedikit yang dilaporkan di Indonesia. Dengan meningkatnya pengguna
sabu-sabu di Indonesia, maka diperlukan optimasi penentuan kadar methampetamin dalam
rambut pengguna sabu – sabu menggunakan GCMS (Harrison, 2014).
c) Analisa GCMS
Meliputi :
a. Digunakan Gas kromatografi (GC) Agilent digabung dengan Spektroskopi Massa
(MS) model 7890.
b. Kolom yang digunakan adalah HP 5 MS dengan 0,25 mm ID dan 0,25 μl ketebalan
film.
c. Gas pembawa Helium dengan laju konstan 1,5 ml/menit.
d. Model splitles.
e. Temperatur injector = 2500C dan temperature interface 2650C.
f. Temperatur oven 1500C selama 2 menit dan meningkat menjadi 2800C dengan laju
(rate) 100C/menit.
d) Hasil :
Metamphetamine dalam sampel rambut dapat dianalisis menggunakan teknik Gas
Chromatography Mass Spektroscopy (GCMS) dengan kolom HP 5 MS. Ekstraksi sampel
rambut menggunakan pelarut metanol : etil asetat (9:1).Pada Uji pendahuluan
menggunakan reagens marquist dan Porta drug test kit menunjukkan positif
methamphetamine. Data GCMS menunjukkan kadar methamphetamine berkisar 0,2
sampai dengan 12.2 ng/mg dalam rambut.
Analisis sampel rambut memiliki banyak keunggulan sebagai metode skrining awal untuk
keberadaan narkoba. Ada beberapa kelebihan dari analisis rambut bila dibandingkan
dengan uji kemih (urine test), diantaranya :
a. Narkoba dan metabolisme narkoba tetap berada dalam rambut secara abadi dan
mengikuti pertumbuhan rambut yang berkangsung sekitar 1 inchi per 60 hari,
dibandingkan dengan dalam kemih yang segera berkurang dan menghilang dalam waktu
singkat, pada umumnya antara 48-72 jam karena pengeluaran secara berkala
b. Uji rambut dapat mendekteksi dan menapaki (to trak) jangka waktu penggunaan melalui
uji segmentasi sepanjang perjalanan pertumbuhan rambut sekitar 1,5 cm per bulan,
sehingga dapat mendeteksi penyalahguna priodik atau kronis
c. Secara operasional pengambilan dan penyimpanan contoh rambut jauh lebih sederhana
dan tidak menjijikan seperti dalam pengumpulan kemih (tes urine)
Cara ini dinilai lebih mantap dibandingkan tes urin untuk memastikan seseorang
pecandu narkoba atau tidak. Ada beberapa kelebihan dari analisis rambut bila
dibandingkan dengan tes urin. Salah satunya adalah narkoba dan metabolism narkoba akan
berada dalam rambut secara abadi dan mengikuti pertumbuhan rambut yang berlangsung
sekitar 1 inchi per 60 hari. Sedangkan, kandungan narkoba dalam urin segera berkurang
dan menghilang dalam waktu singkat.
Tingkat akurasi uji narkoba melalui rambut lebih tinggi dibanding via urine. Jika
pemkai narkoba berhenti mengkonsumsi selama satu bulan, saat diuji urine tidak akan
terdeteksi. Namun, dengan uji rambut masih dapat terdeteksi. Itu karena komponen drugs
akan terbawa ke rambut dan bias bertahan dalam jangka waktu 60-90 hari. Jadi walaupun
pengguna sudah berhenti selama satu tahun (mengonsumsi narkoba) masih bisa terdeteksi,
kecuali pertumbuhan rambut orang tersebut cepat. Pertumbuhan rambut biasanya pada
tingkat 0,5 inci perbulan. Sampel rambut dipotong dekat dengan kulit kepala dan 80
sampai 120 helai rambut diperlukan untuk diuji. Dengan tidak adanya rambut di kepala,
rambut tubuh dapat digunakan sebagai pengganti. Bahkan jika orang yang diuji memiliki
rambut kepala yang dicukur habis, rambut juga bisa diambil dari hampir semua daerah lain
ditubuh ini termasuk rambut wajah, ketiak, lengan dan kaki (Dalimunthe, 2014).
B. Tes Darah
Selain dilakukan pemeriksaan urin dan rapid test seperti Strip/Stick dan Card Test,
dapat dilakukan tes darah. Pada pengguna narkoba, akan didapat hasil SGOT dan SGPT
yang meningkat karena biasanya pemakaian narkoba dalam jangka panjang dapat
menyebabkan terjadinya hepatomegali (Eleanora, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, et. al., 2004, Detection of Morphine in Opioid Abusers Hair by GC/MS, DARU Journal,
Volume 12 No. 2 Hal. 71 – 75.
Arnold, W, 1987, Radioimmunological Hair Analysis for Narcotics and Substitutes, Journal
Clin. Chem. Clin. Biochem, Vol 25 Hal 753 – 757.
Baumgartner, A, et. al., 1979, Radioimmunoassay of Hair for Determining Opiate – Abuse
Histories, The Journal of Nuclear Medicine, Hal. 748 – 752.
Balikova, M., 2005, Hair Analysis for Drugs of Abuse, Plausibility of Interpretation, Biomed
Pap Mede Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub, 149 (2) Hal. 199 – 207.
BNN. (2014). Laporan akhir survei nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba.
Jakarta: Badan Narkotika Nasional.
Delmifiana, B, 2013, Pengaruh Sonikasi terhadap Struktur dan Morfologi non partikel
magnetic yang disintesis dengan Metode Kopresipitasi, Jurnal Fisika Unand, Vol. 2,
No. 3, 186-189.
Dalimunthe, A.N. (2014) Gambaran pola konsumsi pangan dan status gizi pada pecandu
narkobadi pa nti sosial pamardi putra insyaf Sumatera Utara tahun 2014. (Skripsi,
Universitas Sumatra Utara).
Eleanora, F.N. (2011). Bahaya penyalahgunaan narkoba serta usaha pencegahan dan
penanggulangannya. Jurnal Hukum. 25(1).
Fowlis, Ian A.,1998. Gas Chromatography Analytical Chemistry by Open Learning. John
Wiley & Sons Ltd: Chichester.
Grotenhermen, F, 2002, Cannabis and Cannabinoids, Editor Ethan Russo MD, The Haworth
Integrative Heating Press, Birminghamton.
Harrison, R., 2014, A Review of Methodology for Testing hair for Cocaine, Journal of orensic
Investigation, Vol 2, Hal. 01 – 08.
Haller, D.L. 2010, Hair Analysis Versus Conventional Methods of Drug Testing in Substance
Abusers Seeking Organ Transpantation, American Journal of Transplantation, Vol 10,
Hal. 1305 – 1311.
Hegstd, S, et. al., 2008, Drug Screening of Hair br Liquid Chromatography-Tandem Mass
Spectrometry, Journal of Analytical Toxicology, Vol. 32 Hal. 364 – 372.
Widayati, D. T., 2008, Analisis Forensik, Departemen Narkoba, BNN, Jakarta.