Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Hasil Pembelajaran :
1. Mengenal penyebab anemia pada anak
2. Tatalaksana awal anemia berat pada anak
3. Diagnosis anemia aplastik
1
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
Subjektif
Keluhan Utama :
Perdarahan pada gusi.
Objektif
1. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital
Frek. Nadi : 105 x/menit, isi tegangan cukup
Frek. Napas : 28x/menit
Suhu : 36,80C
SpO2 : 95%
Pada pemeriksaan status generalis ditemukan :
2
Kepala : Normoochepal, simetris.
Mata : Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Pupil isokor (3 mm/3mm), Reflek cahaya (+/+).
Hidung : Nafas cuping hidung (-), darah (+), secret (-).
Telinga : Darah (-), secret (-).
Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-),
perdarahan gusi (+)
Leher : JVP tdk meningkat, trakea di tengah
Thorax : Emfisema subkutis (-), jejas(-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Gerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus raba kanan-kiri simetris
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) wheezing (-/-) rhonkhi
(+/+)
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : Nyeri tekan (-) hepatomegali (-) splenomegali (-)
Ekstremitas
Oedem : (-/-)
Akral : Hangat
Kulit: ptekie (+) purpura (+)
3
2. Laboratorium
Darah Lengkap
Hb : 4,3 gr/dl
Rbc : 1.420.000
MCV : 88,9 fl
MCH : 30,2 pg/sel
MCHC : 34,1 g/dl
Hematokrit : 12,6 %
Leukosit : 6.600/uL*
Trombosit : 9.000/mm3
Urinalisa
Warna : kuning jernih
Ph : 7,5
BJ : 1,015
Nitrit : Negatif
Protein : Negatif
Keton : Negatif
Bilirubin : Negatif
Urobilinogen : Negatif
Reduksi : Negatif
Blood : Negatif
Mikroskopis :
Leukosit sedimen : 3-4/LPB*
Eritrosit Sedimen : 1-2/LPB
Epitel squamosa ```: 2-4/LPB*
4
Kesan Trombosit : Jumlah sangat menurun,penyebaran tidak merata,
morfologi sulit diniai
Kesan :Anemia normositik normokromik berat.
Trombositopenia berat
Kesimpulan : Observasi bisitopenia dengan gambaran suspek anemia
aplastik dengan diganosis banding proses infeksi dan
keganasan
Rontgen thorak : Gambaran Bronkopneummonia. Cor dalam batas
normal
Riwayat transfusi 3 bulan smrs. Riwayat trauma (-). Riwayat demam (-). Riwayat
minum obat-obatan disangkal.
Plan
Diagnosis :.
5
Observasi perdarahan + bisitopenia + anemia berat ec susp. Anemia aplastik +
Bronchopneumonia.
Penatalaksanaan awal :
1. O2 1L/menit
2. IVFD NaCl 0.9% 4 tpm makro
3. Inj. Asam traneksamat 250 mg iv (ekstra)
4. Inj. Ondancetron 3 mg iv (ekstra)
5. Ambroxol syr 3x2 cth
6. Pro transfusi PRC 300cc dan TC 300cc
7. Pemeriksaan darah rutin, urinalisa, rontgen thorak, dan MDT
Lembar Follow up
10 April 2019 S: Menerima pasien di IGD dengan perdarahan pada gusi. disertai
dengan perdarahan dari hidung, bercak dan ruam bewarna merah
22.49 kebiruan , tampak pucat, sesak, mual, muntah, lemas, batuk dan
BAB hitam. Tidak ada keluhan demam, menggigil. BAK tak ada
keluhan. Riwayat trauma disangkal.
O:
KU : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 105 kali per menit, reguler, isi tegangan cukup
RR : 28 kali per menit, reguler
Suhu : 36,80 C (per axiller).
SpO2 : 95%
Pemeriksaan Status Generalis:
Kepala : Normoochepal, simetris.
Mata : Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Pupil isokor (3 mm/3mm), Reflek cahaya (+/+).
Hidung : Nafas cuping hidung (-), darah (+), secret (-).
Telinga : Darah (-), secret (-).
Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-),
perdarahan gusi (+)
Leher : JVP tdk meningkat, trakea di tengah
Thorax : Emfisema subkutis (-), jejas(-)
6
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Gerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus raba kanan-kiri simetris
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) wheezing (-/-) rhonkhi (+/+)
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : Nyeri tekan (-) hepatomegali (-) splenomegali (-)
Ekstremitas
Oedem : (-/-)
Akral : Hangat
Darah Lengkap
Hb : 4,3 gr/dl
Rbc : 1.420.000
MCV : 88,9 fl
MCH : 30,2 pg/sel
MCHC : 34,1 g/dl
Hematokrit : 12,6 %
Leukosit : 6.600/uL*
Trombosit : 9.000/mm3
Urinalisa
Warna : kuning jernih
Ph : 7,5
BJ : 1,015
Nitrit : Negatif
Protein : Negatif
Keton : Negatif
Bilirubin : Negatif
Urobilinogen : Negatif
Reduksi : Negatif
Blood : Negatif
Mikroskopis :
Leukosit sedimen : 3-4/LPB*
Eritrosit Sedimen : 1-2/LPB
7
Epitel squamosa : 2-4/LPB*
O:
KU : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 110 kali per menit, reguler, isi tegangan cukup
RR : 30 kali per menit, reguler
Suhu : 36,80 C (per axiller).
SpO2 : 95%
P:
- O2 1 lpm nasal kanul
- IVFD NaCl 0.9% 4 tpm makro
- Asam traneksamat 250 mg iv (ekstra)
- Ambroxol syr 3x2 cth
- Pro transfusi PRC 300cc dan TC 300cc
- Pemeriksaan MDT
12.50
Dokter umum S: Demam (+) Sedang berlangsung transfusi TC kolf ke 4 (200cc).
Keluhan sesak (-) gatal (-) kulit kemerahan (-)
O:
KU : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-Tanda Vital
8
Frekuensi Nadi : 110 kali per menit, reguler, isi tegangan cukup
RR : 24 kali per menit, reguler
Suhu : 39,50 C (per axiller).
SpO2 : 99 %
P:
- inj. Dexametason 5 mg iv (ekstra)
- inj. paracetamol iv 300 mg iv
- sementara transfusi PRC dan TC stop. Evaluasi kembali
setelah 15 menit.
Lapor dr. Fery Sp.A, M. Kes via WA. Advice :
- dexametason 4x4 mg iv
Dr. Fery Sp.A
- lanjut transfusi bila T<38◦c
S : Demam (+)
O: sda
A: Bronchopneumonia + Anemia aplastik dd/ Pre leukimia
P:
- Metil Prednisolon 2x50 mg iv
- Parasetamol 4x300 mg iv
- Trombufit 2x1 sch
12/4/2019 - Ceftazidim 2x1 gr iv
Dr. Fery Sp.A - Terapi lain lanjut
S : Demam (+)
O: sda
A: Bronchopneumonia + Anemia aplastik dd/ Pre leukimia
P:
- Transf usi PRC 300cc dan TC 300cc
- Curviplex1x10 ml
- Terapi lain lanjut
9
10
Pendidikan : Kepada pasien dan keluarga dijelaskan mengenai kondisi pasien
dan penyebab kondisi pasien saat ini. Pasien dijelaskan prosedur yang dilakukan
untuk mengatasi penyakit ini salah satunya tindakan transfusi berupa prosedur dan
efek samping dan reaksi transfusi yang mungkin terjadi.
Konsultasi : Diagnosis dan manajemen terapi pada pasien ini merupakan hasil
konsultasi dan advis dari dokter spesialis anak.
a. Anemia Aplastik
Penyakit anemia aplastik pertama kali di deskripsikan oleh Ehrlich tahun 1888,
sampai sekarang penyakit ini mempunyai reputasi yang rnenakutkan. Banyak
pasien anemia aplastik meninggal karena proses penyakitnya yang progresif
(Young, 2002). Dasar penyakit ini adalah kegagalan sumsum tulang dalam
memproduksi sel-sel hematopoetik dan limfopoetik, yang mengakibatkan tidak
ada atau berkurangnya sel-sel darah di darah tepi,keadaan ini disebut sebagai
pansitopenia (Alter, 2003). Pada tujuh puluh persen kasus penyebab anemia
aplastik didapat tidak dapat diterangkan, sedangkan sisanya diduga akibat
radiasi, bahan kimia termasuk obat-obatan, infeksi virus, dan lain-lain.
(Lanzkowsky, 1995). Gejala-gejala yang timbul pada pasien anemia aplastik
merupakan gejala pansitopenia seperti pucat, perdarahan, dan infeksi. Etiologi
penyakit ini kebanyakan tidak diketahui maka tata laksananya juga belum
12
optimal dan seringkali menimbulkan masalah-masalah baru pada pasien, bukan
hanya memperburuk kondisi pasien atau bahkan dapat mengancam jiwa pasien.
b. Patofisiologi
Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak
kemungkinan yang harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang
pasti maka digolongkan ke dalam penyebab idiopatik. Pendapat lain
menyatakan bahwa penyebab terbanyak dari kegagalan sumsum tulang adalah
iatrogenik karena kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan yang
terjadi pada anemia aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan
jaringan sumsum tulang untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh
dan berkembang dengan baik. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang
terjadi seperti toksisitas langsung atau defisiensi sel sel stromal. Penyimpangan
proses imunologis yang terjadi pada anemia aplastik berhubungan dengan
infeksi virus atau obat-obatan yang digunakan, atau zat-zat kimia
(Lipton,1998)
13
mengawali terjadinya ekspansi poliklonal sel T. Aktivasi reseptor Fas melalui
fas-ligand menyebabkan terjadinya apoptosis sel target. Efek IFN- melalui
interferon regulatory factor 1 (IRF-1), adalah menghambat transkripsi gen dan
masuk ke dalam siklus sel. IFN- juga menginduksi pembentukan nitric oxide
synthase (NOS), dan produksi gas toksik nitric oxide (NO) yang mungkin
menyebabkan efek toksiknya menyebar.
c. Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik ditegakkan berdasarkan keadaan pansitopenia yang
ditandai oleh anemia, leukopenia dan trombositopenia pada darah tepi.
Keadaan inilah yang menimbulkan keluhan pucat, perdarahan dan demam yang
disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan
hepatosplenomegali atau limfadenopati. Di samping keadaan pansitopenia,
pada hitung jenis juga menunjukan gambaran limfositosis relatif. Diagnosis
pasti anemia aplastik ditentukan berdasarkan pemeriksaan aspirasi sumsum
tulang yang menunjukkan gambaran sel yang sangat kurang, terdapat banyak
jaringan ikat dan jaringan lemak, dengan aplasi sistem eritropoetik,
granulopoetik dan trombopoetik (Lanzkowsky, 1995)( Munthe BG, 1991).
d. Tatalaksana
Tatalaksana supportif
Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat keadaan pansitopenia
yang ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan anemia dapat diberikan transfusi
leukocyte-poor red cells yang bertujuan mengurangi sensitisasi terhadap HLA
(human leukocyte antigen), menurunkan kemungkinan transmisi infeksi
14
hepatitis, virus sitomegalo dan toksoplasmosis pada beberapa kasus mencegah
graft- versus host disease (GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung berulang-
ulang sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi seperti
reaksi transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi, dan
penimbunan zat besi.
Pada pasien anemia aplastik yang demam perlu dilakukan pemeriksaan kultur
darah, sputum, urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila dicurigai
terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan dosis tinggi
secara intravena dan kalau penyebab demam dipastikan bakteni terapi
dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai hasil kultur negatif. Bila demam
menetap hingga 48 jam setelah diberikan antibiotik secara empiris dapat
diberikan anti jamur. Pada tata laksana anemia aplastik, yang tidak kalah
penting adalah penghindaran dari bahan-bahan fisika maupun kimiawi,
termasuk obat-obatan yang mungkin menjadi penyebab. Bila zat-zat kimia atau
fisika yang bersifat toksik itu ditemukan dan masih terdapat dalam tubuh, harus
diusahakan untuk mengeluarkannya walaupun hal ini kadang tidak dapat
dilakukan.
15
Tata laksana medikamentosa
Obat-obatan
Tata laksana anemia aplastik dengan obat-obatan diberikan pada pasien anemia
aplastik derajat ringan, pasien yang tidak mendapatkan donor yang sesuai
untuk transplantasi, dan pasien yang mempunyai kontra-indikasi untuk
dilakukan transplantasi sumsum tulang. Tujuan pemberian obat-obatan
untukmengurangi morbiditas, mencegah komplikasi, dan eradikasi keganasan.
Androgen
Androgen digunakan sebagai terapi anemia aplastik sejak tahun 1960. Efek
androgen dalam tata laksana anemia aplastik untuk meningkatkan produksi
eritropoetin dan merangsang sel stem eritroid Penggunaan androgen tunggal
sebagai terapi anemia aplastik ternyata tidak meningkatkan angka kesintasan
pada pasien. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, androgen sebagai
tambahan terapi antitymocyte globulin (ATG) juga tidak menunjukkan
keuntungan, sedangkan penelitian yang dilakukan di Eropa menunjukkan
androgen hanya meningkatkan respons hematologi tetapi tidak meningkatkan
angka kesintasan. Terapi androgen pada pasien anemia aplastik yang gagal
dengan terapi imunosupresan mungkin berguna, meskipun berbahaya. Preparat
androgen yang sering digunakan adalah metil testosteron, testosteron enantat,
testosteron propionat, oksimetolon dan etiokolanolon. Dosis yang digunakan
adalah 2-5 mg/kg berat badan/minggu, secara intramuskular. Dosis nandrolon
dekanoat diberikan 5 mg/kg berat badan /minggu. Efek samping yang dapat
timbul dari pemberian preparat androgen ini seperti kolestasis, hepatomegali,
tumor hepar, maskulinisasi, kebotakan, dan pembesaran alat kelamin. Pasien
dengan terapi androgen sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati
secara berkala, pemeriksaan ultrasonografi hati setiap tahun, dan pemeriksaan
usia tulang per tahun.
Imunosupresan
Metilprednisolon
16
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis rendah 2-4
mg/kg berat badan /hari, dapat digunakan untuk mengurangi perdarahan dan
gejala serum sickness. Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons
pengobatan yang baik sampai 40%. Dosis metilprednisolon adalah 5mg/kg/
berat badan secara intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering
dengan dosis 1mg/kg berat badan /hari selama 9-14 hari, lalu tappering selama
15-29 hari. Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada keadaan antilimfosit
globulin tidak tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara lain ulkus
peptikum, edem, hiperglikemia, dan osteonekrosis
17
yang membandingkan hasil akhir antara tata laksana anemia aplastik dengan
ATG dan transplantasi sumsum tulang (TST) dilaporkan bahwa pada 155
pasien anemia aplastik dewasa yang diterapi dengan TST lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan ATG tunggal sesuai protokol terbaru.18 The
European blood and marrow transplant severe anemia aplastic working party
melakukan penelitian pada pasien anemia aplastik tidak berat, yang diberikan
terapi imunosupresan. Disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi ATG dan
siklosporin A lebih baik daripada siklosporin A tunggal dalam kelompok
respons hematologi, kualitas respons dan kematian awal.19
Siklosporin A (Cs A)
Merupakan cyclic polypeptide yang menghambat imunitas humoral, sebagai
inhibitor spesifik terhadap sel limfosit T, mencegah pembentukan interleukin-2
dan interferon . Dan dapat menghambat reaksi imun seperti penolakan
jaringan transplan, GVHD, dan lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8 mg/kg
berat badan /hari peroral selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg
berat badan /hari pada anak-anak dan 12 mg/kg/hari pada dewasa. Dosis
kemudian dipertahankan pada kadar 200-500ug/L untuk menghindari efek
toksik. Bila ditemukan efek toksik, terapi dihentikan 1-4 hari untuk kemudian
dilanjutkan dengan dosis yang lebih rendah. Respons terapi dengan siklosporin
tunggal hanya sekitar 25%. Kombinasi siklosporin dengan ATG meningkatkan
kecepatan remisi sistem hematopoetik sekitar 70%.
Siklofosfamid (CPA)
Penggunaan siklofosfamid sebagai terapi anemia aplastik, dimulai pada saat
penggunaan siklofospamid sebagai persiapan transplantasi sumsum tulang.
Siklofosfamid (CPA) adalah zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen
mustard. Sebagai agen alkali CPA terlibat dalam cross-link DNA yang
mungkin berhubungan dengan pertumbuhan sel normal dan neoplasma.
Sejumlah peneliti menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah 50mg/kg
berat badan /hari selama 4 hari berturut-turut. Tetapi perlu diingat dosis tinggi
yang diberikan akan meningkatkan efek tosik yang serius dan efek terapi yang
18
ditimbulkan tidak lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi. Penelitian
yang dilakukan terhadap 10 pasien anemia aplastik berat dengan CPA 45mg/kg
berat badan /hari selama 4 hari, memberikan hasil lebih efektif dibandingkan
dengan imunosupresan konvensional lainnya, dalam hal memperbaiki
hematopoesis normal dan pencegahan relaps atau kelainan-kelainan klonal
sekunder, meskipun tanpa dilakukan TST. Penelitian yang dilakukan terhadap
19 pasien yang diberikan CPA dengan dosis 50 mg/kg berat badan /hari selama
4 hari didapatkan hasil terapi CPA dosis tinggi tanpaTST membuat remisi
bebas pada pasien anemia aplastik berat. Penelitian ini dilakukan pada pasien
yang tidak dapat dilakukan transplantasi sumsum tulang.
19
anemia aplastik berat karena stem cell pada sumsum tulang yang sangat
kurang. Penelitian yang mempelajari efek GMCSF, IL-3, IL-6, dan G-CSF
didapatkan G-CSF mempunyai efek yang paling baik dalam memperbaiki
respons hematopoesis (Scopes, 1996).
20
Risiko terjadinya graft-versus-host-disease (GVHD) dan pneumonia interstisial
menurun tetapi risiko terjadinya penolakan jaringan transplan tidak. Penelitian
lain yang dilakukan terhadap 212 pasien anemia aplastik didapatkan bahwa
TST menyebabkan hematopoesis menjadi normal dengan penyebab morbiditas
dan mortalitas yang utama akibat GVHD kronik. Penelitian yang dilakukan
terhadap 6.691 pasien yang dilakukan TST alogenik temyata kemungkinan
dapat sembuh lebih besar, meskipun beberapa tahun setelah TST mortalitasnya
lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Sulitnya mencari donor yang sesuai
dengan pasien, dapat diatasi dengan TST yang berasal dan cord blood; dan
penelitian yang dilakukan terhadap 78 pasien yang mendapat TST cord blood
dan donor yang related, dan 65 pasien yang dilakukan TST dengan donor
unrelated, disimpulkan bahwa cord blood adalah altematif yang mungkin
sebagai sumber sel induk untuk TST pada anak-anak dan dewasa dengan
kelainan hematologis mayor, terutama jika donor dan recipient related.
Komplikasi TST yang paling sering terjadi adalah GVHD, graft failure dan
infeksi. Penelitian retrospektif yang dilakukan Min CK, dan kawan-kawan
terhadap 40 pasien anemia aplastik yang dilakukan TST alogenik didapatkan
insidens graft failure, GVHD akut, GVHD kronis masing-masing 22,5%,
12,8% and 23,1%. sedangkan 5% pasien mengalami pneumonia interstisial dan
2,5% pneumonia.
21
mendekati tumbuh kembang pada anak normal.1 Pada bayi prematur, transfusi
PRC diindikasikan apaapabila kadar Hb <7,0 g/dL. Pada keadaan infant
respiratory distress syndrome (IRDS), transfusi diberikan pada kadar Hb <12,0
g/dL untuk bayi yang membutuhkan oksigen, atau < 10.0 g/dL untuk bayi yang
tidak membutuhkan oksigen. Pada bayi prematur dengan tanda dan gejala
anemia ringan seperti takikardia atau peningkatan berat badan yang tidak
adekuat, transfusi diberikan apaapabila kadar Hb <10,0 g/dL. Namun, apabila
terjadi tanda dan gejala
anemia berat seperti apnea, hipotensi, atau asidosis, transfusi PRC dapat
diberikan pada kadar Hb <12,0 g/dL.5,6 Pada bayi aterm di bawah usia 4
bulan, transfusi diberikan apabila terdapat manifestasi klinis anemia seperti
apnea, takikardia, atau peningkatan berat badan yang tidak adekuat apabila
kadar Hb <7,0 g/dL. Transfusi PRC juga dapat diberikan pada bayi dengan
anemia perioperatif yang memiliki kadar Hb < 10.0 g/ dL, atau pada kondisi
perdarahan akut yang melebihi 10% dari volume darah total yang tidak
menunjukkan respon terhadap terapi lain. Transfusi PRC juga dapat diberikan
pada pasien pasca operasi dengan tanda dan gejala anemia dan kadar Hb <10,0
g/dL, serta pasien yang menderita penyakit kardiopulmonal berat dengan kadar
Hb <12,0 g/dL.5-7 Dosis yang digunakan untuk transfusi PRC pada anak
adalah 10-15 mL/kgBB/hari apabila Hb >6,0 g/dL, sedangkan pada Hb <5,0
g/dL, transfusi PRC dapat dilakukan dengan dosis 5 mL/kgBB dalam 1 jam
pertama. Pada keadaan darurat sisa darah yang masih ada pada kantong
dihabiskan dalam 2-3 jam selanjutnya, asalkan total darah yang diberikan tidak
melebihi 10-15 mL/kgBB/hari. Namun, apabila jumlah transfusi yang
dibutuhkan hanya sedikit, dianjurkan untuk menggunakan kantong kecil/
pediatrik. Dosis transfusi PRC pada neonatus 20 mL/ kgBB, dan disarankan
untuk menggunakan kantong pediatrik dengan kapasitas ±50 mL/kantong. Pada
anak, pemberian PRC 4 mL/kgBB dapat meningkatkan kadar Hb sekitar 1
g/dL.
22
[DHb (target Hb – Hb saat ini) x berat badan x 4]
23