Anda di halaman 1dari 4

Menurut penelitian, setiap pemain sepakbola idealnya bermain dalam 45 menit

(dari 90 menit) pertandingan. Karena biar bagaimanapun, memainkan


pertandingan sepakbola adalah cara terbaik untuk menjaga kebugaran pemain.

Selain mendapatkan match fitness, memainkan pertandingan juga akan membuat


pemain menjadi familier dengan taktik serta meningkatkan moral mereka.
Hanya saja memang mereka kemungkinan berpotensi tidak bisa mendapatkan
manfaat pra-musim yang baik dan benar, yaitu fisik, mental, dan taktik.

Tiga hal tersebut –fisik, mental, dan taktik– adalah hal yang sangat mahal di
sepakbola; lebih mahal daripada uang, hiburan, atau gengsi semata.

“Problem terberat adalah masalah mindset (pola pikir). Mindset soal (pemain)
usia muda. (Tujuan) sepak bola usia muda ini adalah alat untuk mencetak
manusia dengan kepribadian yang tangguh, yang punya kualitas, yang
kemudian dia (pemain muda) bisa berprestasi di sepak bola. Berprestasi seperti
apa? Tentunya dia bisa menjadi pemain sepak bola profesional yang bisa
mengabdi untuk tim nasional, menjadi pemain tim nasional senior yang
berprestasi tinggi, yang mungkin bukan cuma kelas Asia Tenggara, tapi kelas
Asia dan dunia.”

Semuanya perlu usaha keras dan konsistensi. Perlu waktu, tenaga, dan dana yang
tidak sedikit. Sada 4 hal penting yang harus dilakukan mulai saat ini di sektor
pembinaan pemain usia muda demi kemajuan sepak bola nasional.

Pertama dalam hal infrastruktur. Seperti yang kita tahu tak ada satupun klub
di Indonesia yang infrastrukturnya sudah seperti klub-klub profesional di Jepang.
Jangankan stadion sendiri, markas klub dan lapangan latihan pun mungkin jauh
dari kata mewah. Tak jarang segala fasilitas yang ‘cukup’ itu dimiliki oleh
pemerintah. Semuanya dikarenakan kemampuan finansial klub yang belum
cukup mapan. Namun meminta bantuan pemerintah untuk mengucurkan dana
membangun infrastruktur pun bukanlah hal mudah.

Menurut Ganesha, di saat kita lebih membutuhkan banyak lapangan sepak bola
yang layak untuk latihan, namun pemerintah (pusat/daerah) lebih menyukai
pembangunan stadion. Alasannya karena lebih terlihat hasilnya, dan bisa jadi
bukti wujud nyata pembangunan. Padahal, stadion tak bisa diakses dengan
gampang oleh orang umum. Sedangkan sepak bola nasional, khususnya di usia
dini, lebih membutuhkan banyak lapangan agar semua anak dari berbagai
kalangan bisa mendapat akses bermain sepak bola yang layak dengan mudah.

Kesulitan membangun lapangan latihan, terutama di kota-kota besar, mungkin


disebabkan oleh keterbatasan lahan dan (mungkin) arah pembangunan daerah
yang kurang mendukung perkembangan olahraga, khususnya sepak bola. Oleh
sebab itu, tanpa dukungan nyata dari pemerintah dan swasta (yang baik hati
untuk membantu secara materil), pembangunan infrstruktur sepak bola akan
berjalan lambat.

Kedua, tekait soal kompetisi. Ganesha mengungkapkan, dalam kompetisi usia


muda yang paling penting adalah bersifat reguler dan jangka panjang. Itu
sebabnya ia kurang setuju dengan format kompetisi yang bersifat turnamen dan
berskala nasional. Sayangnya, dua hal ini masih umum terjadi dalam sepak bola
usia muda. Bahkan, diakuinya sendiri, PSSI pun masih berpikiran demikian,
dalam artian harus ada kompetisi yang berskala nasional. Padahal, hal itu tak
perlu dilakukan mengingat geografis Indonesia yang besar.

Kompetisi berbentuk liga jangka panjang yang dimainkan di akhir pekan jauh
lebih baik karena yang paling dibutuhkan anak-anak muda ini adalah waktu
bermain. Berlatih sesuai kebutuhan di hari-hari biasa (dan bersekolah), lalu
bermain di akhir pekan. Bandingkan dengan turnamen yang hanya beberapa kali
main, lalu selesai begitu saja. Jika akademi atau SSB-nya kalah duluan, maka
waktu bermainnya pun jadi lebih sedikit.

Bila sudah berbicara kompetisi reguler, maka yang paling mudah dan murah
tentu jika kompetisinya bersifat lokal (tingkat kabupaten/kota rasanya sudah
besar, jika ada tingkat kecamatan lebih bagus). Pembinaan sepak bola di ranah
lokal bisa menghemat biaya. Selain itu, dana yang dialokasikan untuk akomodasi
keluar kota/provinsi untuk mengikuti turnamen bisa dihindari.

Padahal, cukup dengan mengembangkan liga junior reguler di daerah


masing-masing, talenta anak-anak tetap bisa berkembang dengan maksimal. Dan
lagi, liga tersebut bisa memudahkan klub-klub asal daerah setempat untuk
merekrut bakat-bakat lokal yang ada ketimbang mencari di luar daerah, sehingga
tiap klub di Indonesia lebih kental ‘rasa lokalnya’. Kondisi ini juga bisa
meningkatkan rasa keterikatan geografis suporter dengan klub.

Selain itu, kompetisi reguler di daerah masing-masing membuat para pemain


muda tetap dekat dengan keluarga. Pendidikan yang baik dimulai dari keluarga
sendiri, sehingga, bila pemain-pemain muda ini lebih sering bermain di
lingkungan yang dekat dengan keluarga, pendidikan karakter dan dukungan
moral untuk mereka pun lebih mudah didapat.

Ketiga yaitu pembentukan akademi klub. Saat ini, PSSI dalam tahap ingin
memaksakan klub-klub lokal untuk mulai membangun akademi. Harapannya,
beberapa tahun mendatang klub-klub lokal sudah bisa memiliki tim kelompok
umur sendiri, minimal dari tim U-19 hingga U-15.

Ganesha menjelaskan, selain memang kebutuhan untuk AFC Pro License Club,
pembentukan akademi ini bisa menjadi jalan bagi klub untuk memproduksi
pemain-pemain bertalenta. Baginya, klub harus mulai berpikir manfaat yang
didapat jika membentuk akademi. Pemain-pemain baru dan berkualitas bisa
diperoleh dengan harga yang lebih murah.

Jika dipikir lebih jauh lagi, manajemen klub bisa menawarkan kontrak jangka
panjang bagi pemain-pemain bertalenta tersebut, dan bisa dijual untuk
menambah kas klub jika pemain tersebut akhirnya menarik perhatian klub-klub
lain.

Selain itu, terkait dengan poin nomor dua, pembentukan akademi klub juga
bisa menjadi jembatan bagi SSB untuk menyalurkan talenta-talenta muda yang
berada di usia tanggung, sehingga jenjang karier sepak bola mereka tidak
tersendat, mengingat masalah jenjang karir ini merupakan masalah yang cukup
sering terjadi. Akademi klub bisa merekekrut pemain-pemain yang mereka
pantau dengan baik di liga-liga junior di daerah mereka.

Yang keempat, dan tak kalah penting, adalah pembentukan pelatih yang
berkualitas. Pemain-pemain bagus tentu muncul dari tangan-tangan pelatih
berkualitas. Itu sebabnya peningkatan jumlah kursus kepelatihan sepak bola
diharapkan mampu meningkatkan jumlah pelatih-pelatih berkualitas. Namun
yang tak kalah penting adalah bagaimana pelatih-pelatih itu tetap belajar
bagaimana menangani para pemain muda, mulai dari latihan yang tepat, langkah
pencegahan cedera, hingga cara pandang dalam melatih.

Latihan yang tepat akan membuat pemain terhindar dari kondisi rentan cedera.
Menurut Ganesha, pemain muda yang cedera adalah buntut dari salahnya pola
latihan. Mayoritas cedera yang dialami pemain muda dikarenakan cedera
non-kontak, dan faktor utamanya adalah kelelahan. Oleh sebab itu, pelatih harus
bisa menjaga agar para pemainnya tetap bugar dan tak memberi porsi latihan
ataupun waktu bermain yang berlebihan.

Pelatih harus bisa memberi pengertian keada orang tua yang seringkali selalu
ingin melihat anaknya terus bermain, bahkan ketika kondisinya sedang tidak fit.
Tidak kalah penting, pelatih juga harus bisa menghindari sikap ‘menerima
pemain titipan’ demi keuntungan pribadi.

Selain itu, pelatih harus membangun cara pandang bahwa dalam pembinaan usia
muda, kemenangan dan gelar juara bukanlah yang tepenting (apalagi cuma
sekedar gelar untuk SSB-nya). Tujuan utama pembinaan usia muda adalah terus
mengasah kemampuan fisik, teknik, dan mental anak-anak muda harapan bangsa
hingga akhirnya mereka menjadi pemain profesional, bukan memenangkan gelar
juara di usia muda. Jika meraih gelar, itu adalah bonus saja. Namun jangan
sampai memaksakan mereka untuk harus menang sehingga mengabaikan masa
depan anak-anak muda tersebut. Apalah arti menang di kejuaraan junior namun
ujung-ujungnya cedera dan harus mengubur mimpi menjadi pemain profesional?
Semuanya dimulai dengan mengubah pola pikir kita masing-masing untuk
membangun sepak bola Indonesia, khususnya di pembinaan usia dini. Jelas
terlihat bahwa kita semua masih harus bekerja keras dalam membangun sepak
bola nasional, terlebih masalah mindset ini pun nampaknya masih saling
berbenturan dalam tubuh PSSI selaku penggerak roda sepak bola negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai