Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan gawat darurat (Emergency Nursing) merupakan

pelayanan keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan

injuri atau sakit yang mengancam kehidupan. Sebagai seorang spesialis,

perawat gawat darurat menghubungkan pengetahuan dan keterampilan untuk

menangani respon pasien pada resusitasi, syok, trauma, ketidakstabilan

multisystem, keracunan, dan kegawatan yang mengancam jiwa lainnya.

Keadaan henti jantung dan henti nafas adalah kasus yang sering terjadi pada

pasien gawat darurat. Henti jantung atau cardiac arrest adalah keadaan

dimana terjadi penghentian mendadak sirkulasi normal darah karena

kegagalan jantung berkontraksi secara efektif (Hardisman, 2014 dalam

Nugroho, 2017).

Sebagai penyedia layanan pertolongan 24 jam, perawat dituntut

memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan cermat dengan tujuan

mendapatkan kesembuhan tanpa kecacatan. Oleh karena itu , perawat perlu

membekali dirinya dengan pengetahuan dan perlu meningkatkan

keterampilan yang spesifik yang berhubungan dengan kasus-kasus

kegawatdaruratan, khususnya Bantuan Hidup Dasar (Maryuani, 2009 dalam

Hasanah, 2015).

Bantuan hidup dasar atau Basic Life Support merupakan usaha yang

pertama kali dilakukan untuk mempertahankan kehidupan saat penderita

1
2

mengalami keadaan yang mengancam nyawa. Bantuan hidup dasar

merupakan salah satu upaya yang harus segera dilakukan oleh seseorang

apabila menemukan korban yang mebutuhkannya. Oleh karena itu, setiap

tenaga kesehatan khususnya perawat wajib menguasainya (Keenan,

Lamacraft, & Jubert, 2009 dalam Hasanah, 2015).

Pengetahuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dianggap dasar

keterampilan untuk perawat. Keterampilan Bantuan Hidup Dasar (BHD)

menjadi penting karena didalamnya diajarkan tentang bagaimana teknik dasar

penyelamatan korban dari berbagai kecelakaan atau musibah sehari-hari yang

biasa dijumpai (Fajarwati, 2012 dalam Nugroho, 2017).

Kesempatan hidup pasien lebih mungkin terjadi ketika pasien segera

menerima BHD, oleh karena itu menghubungi Emergency Call adalah

langkah awal yang harus dilakukan penolong, selanjutnya penolong segera

memberikan Resusitasi Jantung Paru (RJP) untuk membantu pasien agar tetap

bertahan hidup. Hal tersebut sejalan dengan data American Heart Association

(2015) sebesar 40,1% korban henti jantung dan henti nafas yang

terselamatkan setelah dilakukan RJP (Nugroho, 2017).

Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam

jangka waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti

jantung. Kondisi tersebut dapat dicegah dengan pemberian RJP dan

defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya

kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi jantung

normal. RJP dan defribilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari
3

korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk

hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45% (Nugroho, 2017).

Penyediaan defibrillator yang mudah diakses akan meningkatkan

kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera

mungkin, sehingga meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi korban

cardiac arrest sebesar 64% (American Heart Assosiacion, 2010 dalam

Nugroho, 2017).

Menurut AHA 2015 pedoman pertama yang dilakukan yaitu Danger

(Pastikan Keamanan : Aman Penolong, Aman Lingkungan, Aman Pasien),

kemudian Response dengan teknik AVPU (Alert, Verbal, Paint dan

Unrespon), setelah itu kemudian Shout for Help (meminta pertolongan).

Langkah selanjutnya yaitu C-A-B (Circulation-Airway-Breathing), 30

kompresi dada diikuti 2 nafas. Penolong harus melakukan kompresi dada

hingga kedalaman minimum 2 inci (5cm) untuk dewasa, dan tetap

menghindari kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih dari 2,4

inci/6cm), dan dengan kecepatan 100-120 kali/menit.

Hasanah (2015) dari hasil penelitiannya menunjukan bahwa ada

hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keterampilan perawat dalam

melakukan tindakan bantuan hidup dasar (BHD) di RSUD Kabupaten

Karanganyar dengan nilai p-value 0,000 dan diperoleh nilai r = 0,677 yang

berarti ada hubungan kuat dengan arah nilai r positif yaitu searah. Tingkat

pengetahuan perawat tentang bantuan hidup dasar di RSUD Kabupaten

Karanganyar pada 30 responden menunjukan dalam kategori baik 5


4

(16,7%) perawat, kategori cukup 23 (76,6%) perawat dan kategori kurang 2

(6,7%) perawat. Keterampilan bantuan hidup dasar perawat dalam kategori

terampil 4 (13,3%) perawat, kategori cukup terampil 22 (73,4%) perawat dan

kategori kurang terampil 4 (13,3%) perawat.

Dahlan (2014) dari hasil penelitiannya menunjukan bahwa sebelum

diberikan pendidikan kesehatan tentang BHD yang terbanyak dalam kategori

pengetahuan buruk, sedangkan tingkat pengetahuan tenaga kesehatan sesudah

diberikan pendidikan kesehatan tentang BHD yang terbanyak dalam kategori

pengetahuan baik. Hasil ini menunjukan pentingnya pendidikan kesehatan

terhadap tingkat pengetahuan tenaga kesehatan.

Alhidayat (2013) dari hasil penelitiannya menunjukan bahwa ada

hubungan antara tingkat pengetahuan perawat Instalasi Gawat Darurat

tentang pengkajian primer terhadap tindakan life support di Rumah Sakit

Pelamonia Makassar. Dari penelitian ini didapatkan bahwa ada hubungan

yang bermakna antara pengetahuan pengkajian primer terhadap pelaksanaan

tindakan life support, perawat dengan tingkat pengetahuan tentang pengkajian

primer yang tinggi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan tindakan life

support yang baik pula.

Berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh, perawat adalah

seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan formal bidang keperawatan

minimal setara Diploma III (D3) dan Sarjana Strata 1 (S1) baik di dalam

negeri atau luar negeri, yang program pendidikannya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut sesuai dengan pengertian


5

perawat yang disebutkan dalam Peraturan Mentri Kesehatan Nomor

HK.02.02/Menkes/148/1 Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan

Praktik Perawat.

Hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan peneliti di RSUD dr.

Soekardjo Kota Tasikmalaya pada bulan April didapatkan data dari 23 orang

perawat, 22 orang telah mendapatkan pelatihan BTCLS dan 1 orang telah

mendapatkan pelatihan ENIL. Berdasarkan data yang didapat pada tahun

2017 ada 282 tindakan bantuan hidup dasar dengan hasil semuanya berakhir

dengan kematian sedangkan pada tahun 2018 ada 237 tindakan bantuan hidup

dasar dengan hasil yang sama yaitu berakhir dengan kematian. Hasil

wawancara sederhana dari 7 orang perawat di Ruang IGD RSUD dr.

Soekardjo Kota Tasikmalaya semuanya pernah melakukan tindakan bantuan

hidup dasar dan tingkat keberhasilannya tergantung dari kasusnya, dari 7

orang perawat yang diwawancara terdapat 2 orang diantaranya yang

mempunyai sertifikat pelatihan yang sudah tidak berlaku. Hal ini

membuktikan pentingnya keterampilan bantuan hidup dasar yang harus

dimiliki oleh semua perawat.


6

Tabel 1.1
Data 3 Besar Penyakit Penyebab Kematian di Ruang IGD RSUD dr.
Soekardjo Kota Tasikmalaya Tahun 2017

No Jenis Penyakit Jumlah Jumlah


Tahun 2017 Tahun 2018
1 Stroke 88 67
2 CHF/STEMI 74 59
3 Trauma Kepala 57 43
Sumber : Rekam Medis RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya Tahun 2017 &

Tahun 2018

Keterangan : Berdasarkan tabel 1.1 diperoleh data 3 besar penyakit penyebab

kematian di Ruang IGD RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya pada tahun

2017 & tahun 2018. Penyakit tertinggi adalah Stroke, pada tahun 2017

berjumlah 88 kasus sedangkan tahun 2018 berjumlah 67 kasus, dan penyakit

terendah adalah Trauma Kepala, pada tahun 2017 berjumlah 57 kasus

sedangkan 2018 berjumlah 43 kasus.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Tingkat Pengetahuan

Dengan Keterampilan Bantuan Hidup Dasar (BHD) Pada Perawat IGD

di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan dengan

keterampilan bantuan hidup dasar (BHD) pada perawat IGD di RSUD dr.

Soekardjo Kota Tasikmalaya?”


7

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan keterampilan

bantuan hidup dasar (BHD) pada perawat IGD di RSUD dr. Soekardjo

Kota Tasikmalaya.

2. Tujuan khusus

a. Mendapat gambaran tingkat pengetahuan dalam melakukan bantuan

hidup dasar (BHD) pada perawat IGD di RSUD dr. Soekardjo Kota

Tasikmalaya.

b. Mendapat gambaran keterampilan dalam melakukan bantuan hidup

dasar (BHD) pada perawat IGD di RSUD dr. Soekardjo Kota

Tasikmalaya.

c. Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan dengan keterampilan

bantuan hidup dasar (BHD) pada perawat IGD di RSUD dr. Soekardjo

Kota Tasikmalaya.

D. Manfaat Penelitian

1. Institusi Pelayanan

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan,

pengalaman dan wawasan terutama dalam masalah keperawatan gawat

darurat untuk perawat IGD mengenai bantuan hidup dasar.


8

2. Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang berguna

bagi para pembaca untuk meningkatkan mutu pendidikan keperawatan

gawat darurat. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk

meningkatkan mutu pendidikan terutama masalah keperawatan gawat

darurat tentang pokok bahasan tingkat pengetahuan dengan keterampilan

bantuan hidup dasar (BHD) pada perawat.

3. Penulis

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti

dalam penelitian dan pembuatan skripsi serta dapat menganalisa hubungan

tingkat pengetahuan dengan keterampilan bantuan hidup dasar (BHD)

pada perawat.

Anda mungkin juga menyukai