Anda di halaman 1dari 13

Tugas Filsafat Ilmu

PANDANGAN ONTOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU ISLAM

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK II

HAMIDAH MUSLIMAH 0018 04 27 2019


NURUL QALBINA HUSAIN 0003 04 27 2019
HERNIANTI HARUN 0022 04 27 2019
NOVRIANINGSIH RIDWAN 0023 04 27 2019

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. penyusun panjatkan, karena berkat rahmat serta bimbingan-
Nya penulis berhasil menyelesaikan makalah tentang “PANDANGAN ONTOLOGI DALAM
FILSAFAT ILMU ISLAM”. Adapun Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat ilmu.

Penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Penulis yakin Makalah
ini masih jauh dari nilai kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat diharapkan oleh penulis demi menjadikan makalah ini bisa lebih baik lagi.
Semoga makalah ini memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat serta bermanfaat
untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Makassar, 11 Oktober 2019


Penyusun

Kelompok II

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... ……….. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ………. ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... ……… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ ………. 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... ………. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Ontology.................................................................................................. ……… 3
B. Filsafat Ilmu Islam .................................................................................. ……… 5
C. Pandangan Ontologi dalam Filsafat Ilmu Islam…………………… ...... ………..6
BAB III PENUTUP ............................................................................................ ……... ..9
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... ……... 10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang, sedangkan
sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu selalu berjalan
beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung dalam mencari
kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena semesta,
kebenaran berada disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang
pengalaman. Tujuan befilsafat menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu
biasanya terbagi menjadi tiga cabang besar filsafat, yatu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori
nilai.
Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan obor peradaban
dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih sempurna. Bagaimana masalah
dalam benak pemikiran manusia telah mendorong untuk berfikir, bertanya, lalu mencari jawaban
segala sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran.
Pada hakikatnya aktifitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan yang didasarkan pada tiga
masalah pokok yakni: Apakah yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan
apakah nilai pengetahuan tersebut. Kelihatannya pertanyaan tersebut sangat sederhana, namun
mencakup permasalahan yang sangat asasi. Maka untuk menjawabnya diperlukan sistem berpikir
secara radikal, sistematis dan universal sebagai kebenaran ilmu yang dibahas dalam filsafat
keilmuan.
Oleh karena itu, ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada “ dengan perkataan
lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Epistemologi
membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan. Dan aksiologi membahas tentang
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga
unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya, maka
manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya. Berdasarkan uraian teroretis
maka kami akan membahas menganai Pandangan Antologi dalam Filsafat Ilmu Islam.

1
II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Ontologi?
2. Apa Pengertian Filsafat Ilmu Islam?
3. Bagaimana Pandangan Ontologi dalam Filsafat Ilmu Islam?

III. TUJUAN

Setelah membaca dan memahami isi makalah ini, pembaca diharapkan mampu
menjelaskan mengenai pandangan Ontologi dalam Filsafat Ilmu Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ontologi
Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari Yunani.
Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles .
Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan
substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka
(sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi berasal dari dua kata onto dan logi, artinya ilmu tentang ada. Ontologi adalah
teori tentang ada dan realitas. Ontologi (ilmu hakikat) merupakan bagian dari metafisika, dan
metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Meninjau persoalan secara ontologis adalah
mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas. Jadi, ontologi adalah bagian dari
metafisika yang mempelajari hakikat dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh
pengetahuan atau dengan kata lain menjawab tentang pertanyaan apakah hakikat ilmu itu. Apa
yang dapat kita alami dan amati secara langsung adalah fakta, sehingga fakta ini disebut fakta
empiris, meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indra. Pembicaraan
ontologi perlu pemisahan antara kenyataan dan penampakan. dan pertanyaan penting di bidang
ontologis adalah: “apakah yang merupakan hakikat terdalam dari segenap kenyataan.
Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-
daerah yang berada pada jangkauan pengalaman manusia. Dengan demikian, objek penelaahan
yang berada dalam daerah pra pengalaman (seperti penciptaan manusia) atau pasca
pengalaman (seperti hidup sesudah mati) tidak menjadi pembahasan dalam ontologi.
Jadi ontology (dalam filsafat ilmu) adalah cara pandang mengenai objek materi suatu
ilmu, pembicaraan mengenai hakikat objek materi ilmu. Atau dengan kata lain penjelasan
tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar (akar yang paling
mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan itu).

3
Beberapa aliran dalam bidang ontology:

1. Monisme: aliran yang mempercayai bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada adalah
satu saja, baik yang asa itu berupa materi maupun ruhani yang menjadi sumber dominan
dari yang lainnya. Para filosof pra-Socrates seperti Thales, Demokritos, dan Anaximander
termasuk dalam kelompok Monisme, selain juga Plato dan Aristoteles. Sementara filosof
Modern seperti I. Kant dan Hegel adalah penerus kelompok Monisme, terutama pada
pandangan Idealisme mereka. Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan
penyelidikan filsafat yang paling kuno. Pertama kali diperkenalkan oleh filosof Yunani
bernama Thales atas pernungannya terhadap air yang terdapat dimana-mana, dan sampai
pada kesimpulan bahwa “air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari
segala sesuatu”. Yang penting bagi kita bukanlah mengenai kesimpulannya tersebut
melainkan pendiriannya bahwa mungkin segala sesuatu berasal dari satu substansi saja.

2. Dualisme: kelompok ini meyakini sumber asal segala sesuatu terdiri dari dua hakikat, yaitu
materi(jasad) dan jasmani(spiritual). Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan
berdiri sendiri, sama-sama abadi dam azali. Perhubungan antara keduanya itulah yang
menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja
sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia. Descartes adalah contoh filosof Dualis
dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan). Aristoteles
menamakan kedua hakikat itu sebagai materi dan forma (bentuk yang berupa rohani saja).
Umumnya manusia dengan mudah menerima prinsip dualisme ini, karenaa kenyataan lahir
dapat segera ditangkap panca indera kita, sedangkan kenyataan batin dapt segera diakui
adanya dengan akal dan perasaan hidup.

3. Materialisme: aliran ini menganggap bahwa yang ada hanyalah materi dan bahwa segala
sesuatu yang lainnya yang kita sebut jiwa atau roh tidaklah merupakan suatu kenyataan
yang berdiri sendiri. Menurut pahan materialisme bahwa jiwa atau roh itu hanyalah
merupakan proses gerakan kebendaan dengan salah satu cara tertentu. Materialisme
terkadang disamakan orang dengan naturalisme.Namun sebenarnya terdapat perbedaan
antara keduanya. Naturalisme merupakan aliran filsafat yang menganggap bahwa alam saja
yang ada, yang lainnya di luar alam tidak ada. (Tuhan yang di luar alam tidak ada).
Sedangkan yang dimaksud alam (natural) disana ialah segala-galanya meliputi benda dan

4
roh. Sebaliknya materialisme menganggap roh adalah kejadian dari benda, jadi tidak sama
nilainya dengan benda.

4. Idealisme: idealisme merupakan lawan dari materialisme yang juga dinamakan


spiritualisme. Aliran menganggap bahwa hakikat kenyataan yang beraneka warna itu
semua berasal dari roh (sukma) atau yang sejenis dengan itu. Intinya sesuatu yang tidak
berbentuk dan yang tidak menempati ruang. Menurut aliran ini materi atau zat itu hanyalah
suatu jenis dari pada penjelmaan roh. Alasan yang terpenting dari aliran ini adalah
“manusia menganggap roh lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan
manusia. Roh dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya, sehingga materi hanyalah
badannya, bayngan atau penjelmaan saja.

5. Agnostisisme: pada intinya Agnostisisme adalah paham yang mengingkari bahwa


manusia mampu mengetahui hakikat yang ada baik yang berupa materi ataupun yang
ruhani. Aliran ini juga menolak pengetahuan manusia tentang hal yang transenden. Contoh
paham Agnostisisme adalah para filosof Eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre yang
juga seorang Ateis. Sartre menyatakan tidak ada hakikat ada (being) manusia, tetapi yang
ada adalah keberadaan (on being)-nya

B. Filsafat Ilmi Islam


Yang dimaksud dengan filsafat ilmu islami ialah penyelidikan filosofis mengenai
masalah ilmu berdasarkan pandangan yang dibentuk oleh pemahaman akan ajaran Islam,
dengan sumber utama Al-Qur'an dan Hadis. Al-Qur'an adalah sumber seluruh pengetahuan,
Al-Qur'an mencakup seluruh bentuk pengetahuan. Pandangan yang menganggap Al-Qur'an
sebagai sebuah sumber seluruh pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab para ulama
kaum muslimin terdahulu juga berpandangan demikian. Di antaranya adalah Imam Al-Ghazali.
Dalam bukunya Ihya 'Ulumul Al-Din, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas'ud: "Jika seseorang
ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern, selayaknya ia
merenungkan Al-Qur'an". Selanjutnya beliau menambahkan: "Ringkasnya, seluruh ilmu
tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan Al-Qur'an adalah penjelasan esensi
sifat-sifat dan perbuatannya". Mengapa suatu kehendak Allah, agar manusia dengan
menggunakan indra dan akalnya dapat menemukan rahasia-rahasia alam. Sebab jika Al-Qur'an
menjelaskan secara detail mengenai hal ini jelas akan kekurangan fungsinya. Sebagaimana

5
Muhammad Abduh mengatakan: "Jika rasul itu harus menerangkan ilmu-ilmu kealaman dan
astronomi, maka itu berarti akhir dari aktifitas indera dan akan manusia, dan akan merendahkan
kebebasan manusia itu sendiri".
C. Pandangan Ontologi dalam Filsafat Ilmu Islam
M. Quraish Shihab, dalam buku Membumikan al-Qur’an, menyatakan bahwa ada
realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra, sehingga terhadapnya tidak dapat
dilakukan observasi atau eksperimen. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah swt.
dalam Q.S. al-Haqqah [69]: 38-39, yang artinya, “Maka, aku bersumpah dengan apa-apa yang
kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” “Apa-apa” tersebut sebenarnya ada dan
merupakan satu realitas, tetapi tidak ada dalam dunia empiris.

Dalam perspektif Islam juga meliputi fisika dan metafisika. Metafisika dan ilmu
pengetahuan merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya berusaha menyusun pertanyaan-
pertanyaan umum. Tetapi, metafisika berkaitan dengan konsep-konsep yang kejadiannya tidak
dapat diukur secara empiris. Dalam hal ini tidak berarti bahwa metafisika menolak ilmu
pengetahuan. Sebaliknya ilmu pengetahuan sendiri menimbulkan masalah tentang hakekat
realitas. Metafisika berusaha untuk memecahkan masalah hakekat yang tidak mampu ilmu
pengetahuan memecahkannya. Hanya, dalam diskursus filsafat Islam, objek kajiannya lebih
banyak menyentuh persoalan metafisika, terutama bagian ketuhanan dan hubungannya dengan
penciptaan alam semesta, sehingga filsafat dalam Islam disebut juga sebagai filsafat ketuhanan
(al-falsafah al-ilahiyyah) atau filsafat pertama (al-falsafah al-ula), karena menyentuh
pembahasan tentang Allah sebagai sebab pertama (causa prima). Adapun wilayah fisika terkait
dengan ilmu-ilmu ke-alaman seperti kedokteran, ilmu alam, eksakta, Astronomi, dan lain-lain,
yang di masa klasik Islam menjadi keahlian para filosof Islam.
Penjelasan dari teks di atas adalah semua yang ada di dunia ini adalah berasal dari
Tuhan, dalam hal ini adalah Allah SWT sebagai sebab pertama. Segala ilmu yang ada sekarang
ini adalah berasal dari-Nya. Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di alam semesta ini.
Baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi.
Lebih dari itu, al-Qur’an memandang alam semesta sebagai ciptaan Tuhan dengan
menggunakan kata dasar (al-khalq). Istilah ciptaan, yang berarti makhluk dan terulang
sebanyak 57 kali dalam al-qur’an ini adalah kata serupa yang digunakan untuk
mengungkapkan perilaku penciptaan itu sendiri., yakni khalaqa, yang menunjukkan proses

6
kejadian alam semestayang tunduk kepada hukum-hukum kausalitas (al-sababiyah) yang tidak
tunduk kepada perubahan dan penggantian (tahwil:tabdil), sebagaimana yang dinyatakan oleh
Al-Qur’an, Allah berfirman:

َّ ‫سنَّ ِة‬
ِ‫َّللا‬ َّ َ‫سنَّة‬
ُ ‫األولِينَ َفلَ ْن ت َِجدَ ِل‬ ُ ‫ئ إِال بِأ َ ْه ِل ِه فَ َه ْل يَ ْن‬
ُ ‫ظ ُرونَ إِال‬ َّ ‫يق ْال َم ْك ُر ال‬
ُ ِِّ‫سي‬ َّ ‫ض َو َم ْك َر ال‬
ُ ‫س ِي ِِّئ َوال يَ ِح‬ ِ ‫األر‬ ً َ‫ا ْستِ ْكب‬
ْ ‫ارا فِي‬
ُ ‫ت َ ْبدِيال َولَ ْن ت َِجدَ ِل‬
َّ ‫سنَّ ِة‬
‫َّللاِ تَحْ ِويال‬
Artinya: “karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang
jahat. rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya
sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang
telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahuluMaka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui
penyimpangan bagi sunnah Allah itu”. (QS. Fatir 35:43)
Dalam ayat lain:
ُ ‫َّللاِ فِي الَّذِينَ َخلَ ْوا ِم ْن قَ ْب ُل َولَ ْن ت َِجدَ ِل‬
َّ ‫سنَّ ِة‬
)٦٢( ‫َّللاِ ت َ ْبدِيال‬ َّ َ‫سنَّة‬
ُ

Artinya: “Sebagai sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah
Allah”. (QS. al-Ahzab 33:62)
Dalam ayat lain:
)٧٧( ‫سنَّ ِتنَا تَحْ ِويال‬ ُ ‫س ْلنَا قَ ْبلَكَ ِم ْن ُر‬
ُ ‫س ِلنَا َوال ت َِجدُ ِل‬ َ ‫سنَّةَ َم ْن قَدْ أ َ ْر‬
ُ
Artinya: “Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-
rasul Kami yang Kami utus sebelum kamudan tidak akan kamu dapati perobahan bagi
ketetapan Kami itu”. (QS. al-Fath, QS. Al-Isra’ 17:77)
Ibnu Rusyd memandang realitas itu ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1. Realitas yang adanya dari tiada dan tidak disebabkan oleh apapun atau tidak didahului oleh
adanya ruang dan waktu. Realitas inidisebut dengan realitas azali dan abadi yang merupakan
sebab bagi adanya segala sesuatu. Dalam istilah agama realitas azali disimbolkan sebagai
tuhan (Allah) yang transenden dalam semua aspek-aspeknya.
2. Realitas yang adanya dari sesuatu (misalnya bahan materi) karena sebab tertentu, serta
didahului oleh ruang dan waktu. Realits ini adalah semua benda yang ada didalam alam

7
semesta ini, termasuk keempat elemen bumi, yakni api, air, tanah, dan udara, yang dikenal
dengan (al-ustuqsat al-arba’ah).
3. Realitas yang adanya dari tiada, namun adanya karena sebab dan tidak didahului oleh ruang
dan waktu. Realitas ini adalah alam sebagai terciptanya benda-benda didalamnya. Karena
adanya tidak didahului oleh ruang dan waktu, maka ia azalai dan abadi seperti yang
menyebabkannya. Hanya, realitas ini dibawah tingkatan realitas pertama sebagi sebab
pertama yakni Allah yang maha tinggi.

Sebagai bahan perbandingan mengenai konsep ontology ilmu yang islami, mari kita lihat
QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai berikut:

‫إن في خلق السماوات واألرض واختالف الليل والنهار آليات ألولي األلباب الذين يذكرون هللا قياما وقعودا وعلى جنوبهم‬
‫ويتفكرون في خلق السماوات واألرض ربنا ما خلقت هذا باطال سبحانك فقنا عذاب النار‬

Terjemahnya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa
neraka.

Dari ayat tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Konsep Ontology Ilmu yang Islami
memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an. Artinya, melihat realitas dari
pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (pencipta) dan segala sesuatu selainNya sebagai
makhluk, segala atribut yang bisa secara benar dilekatkan pada makhluk adalah perwujudan
niscaya karena kemakhlukannya.

Olehnya itu, dapat ditarik kesimpulan tentang makna sesungguhnya ontology ketika kita
coba menarik makna dari sudut pandang Islami sebagai mata rantai yang nyaris terlupakan dengan
memberikan pengertian dasar Logos yang berarti Tuhan, jadi Ontologi disini mengandung
pengertian tentang hakikat keberadaan Tuhan.

8
BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

Ontologi berasal dari dua kata onto dan logi, artinya ilmu tentang ada. Ontologi adalah teori
tentang ada dan realitas. Ontologi (ilmu hakikat) merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika
merupakan salah satu bab dari filsafat. Meninjau persoalan secara ontologis adalah mengadakan
penyelidikan terhadap sifat dan realitas. Jadi, ontologi adalah bagian dari metafisika yang
mempelajari hakikat dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan atau dengan
kata lain menjawab tentang pertanyaan apakah hakikat ilmu itu

Konsep Ontology Ilmu yang Islami memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-
makhluk-an. Artinya, melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (pencipta)
dan segala sesuatu selainNya sebagai makhluk, segala atribut yang bisa secara benar dilekatkan
pada makhluk adalah perwujudan niscaya karena kemakhlukannya. Sehingga makna
sesungguhnya ontology ketika kita coba menarik makna dari sudut pandang Islami sebagai mata
rantai yang nyaris terlupakan dengan memberikan pengertian dasar Logos yang berarti Tuhan,
jadi Ontologi disini mengandung pengertian tentang hakikat keberadaan Tuhan.

9
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/19680819/filsafat_ilmu_menurut_pandangan_ontologi?auto=
download

https://cvlapataujayablog.wordpress.com/2016/10/03/pandangan-ontologi-dan-obyek-
materi-ilmufilsafat-ilmu-islami/

10

Anda mungkin juga menyukai