Anda di halaman 1dari 51

“DIABETES MELITUS PADA LANSIA”

Di susun oleh :

Ahmad Winoto NIM:0914201


Bayu ardi nugroho NIM:0914201035
Dyah ayu sari astiti NIM:0914201
Fifit hariyanto NIM:0914201
Heri setiawan NIM:0914201
Misbahul munir NIM:0914201
Moh. Aminudin NIM:0914201
Roma irwan NIM:0914201
Supyan jauhari NIM:0914201

FAKULTAS KESEHATAN
PRODI S-1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BAKTI INDONESIA
BANYUWANGI
2010
Laporan Pendahuluan

Pada klien lansia dengan kasus “ DM ”

I . Konsep penyakit

A. Definisi
DM adalah gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat, dan lemak yang
diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara relatif kekurangan insulin. (Standar Perawatan
Pasien hal 401).
DM adalah penyakit karena kekurangan hormon insulin sehinga glukosa tidak dapat diolah oleh
badan dan kadar glukosa dalam darah meningkat, lalu dikeluarkan dalam kemih yang menjadi
terasa manis. (Kamus Kedokteran Ramali, Ahmad hal 92).
DM adalah keadaan, hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan matabolik akibat gangguan
hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan
pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop
elektron. (Kapita Selekta Kedokteran jilid 1, edisi 3 hal 580).

B. Etiologi

a. Fungsi saluran pangkreas dan seresi insulin yang kurang.


b. Perubahan-perubahan karena usila sendiri yang berkaitan dengan resistensi, insulin, akibat
kurangya massa otot dan perubahan vaskuler.
c. Aktivitas fisis yang berkurang, banyak makan, badan kegemukan.
d. Keberadaan penyakit lain,sering menderita stress, operasi dan istirahat lain.
e. Sering menggunakan bermacam-macam obat-obatan.
f. Adanya faktor keturunan
(Ilmu Penyakit Dalam, hal 693).
C. Patofisiologi

Proses Menua
Degeneratif sel otak
 Anatomi alat-alat pencernaan mengecil
 Sel pankreas mengecil
 Penyakit keturunan
 Iskemik
 Elastisitas dinding pada usia lanjut menurun

 Penurunan bahan pembentukan glukosa

Vikositas darah ( O2 << Hiperglikemi Hipermetabolik


adekuat meningkat
katabolisme

Tranfer O2 ke otak menurun Pembongkaran


lemak Sisa
pembakaran
Otak iskemik
Berkurang
Gangguan frekuensi / otak protein

Cadangan lemak
Fitrasi ginjal
menurun
berkurang
Sirkuilasi O2 Serangan Pusat Produk
S. S.
Diperifer << sinkop Ketaja autonom Aktifitas si Frekue
mendadak Op Sens enzim enzim nsi
man
tik ori Dihipotal meningk menin /hibul
Kes. amus at gkat us
Jaringan Resiko
menurun terjadi menur
injuri Mental un
Hormon
Pusin
Ulkus Pandanga epineprin Peningka HCL
Penurunan Kalium
g meningka tan rasa mening
kesadaran n lapar kat lolos
Gx. t
Gangren (polivagi melalui
Konse urin
Kabur )
Gx. p diri Palpitasi Mual
Penyembuh Kardiovask dan
an luka uler Rasa Output
tnemon
menurun Iskhemik nyam Depres cairan
mening
an i kat
Resiko Kelemaha
infeksi Kontraksi n otot
atrium Input
Intolerans berkura
Pusin i aktivitas ng
Resiko
infark g
jantung
D. Gambaran klinis

 Kesemutan  Kelemahan
 Katarak  Mengantuk
 Kelelahan  Penyembuhan luka lambat
(Ilmu Penyakit Dalam, 693)

E. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resti untuk DM. Dapat
dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah seaktu, kadar glukosa darah, lalu diikuti dengan
TTGO (tes toleransi glukosa oral).

F. Prognosis

Prognosis DM usia tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya buruk. Pasien tua
dengan tipe II (DMTTI) yang terawat dengan baik prognosisnya baik. Pada pasien DM yang jatuh
dalam koma hipoglikemia prognosisnya kurang baik.

G. Diagnosis

Diagnosis pasti DM usia lanjut ditegakkan kalau didapatkan kadar glukosa darah puasa < 140
mg/dl. Apabila kadar glukosa darah puasa< 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan DM
perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan (TTGO).
{Ilmu Penyakit Dalam hal 694}

H. Komplikasi

Akut
a. Koma hipoglikemia
b. Ketoasidosis
c. Koma hiperosmolar nonketotik
Kronik
a. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar ; pembuluh darah jantung, pembuluh darah
tepi, pembuluh darah otak.
b. Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil ; retmopati diabetik, nefropati diabetik.
c. Neuropati diabetik.
d. Rentan infeksi, seperti : Tb. Paru, gingivitis dan isk.
e. Kaki diabetik.
( Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid I halaman 582 )

I. Penata laksanaan

 DM usia lanjut dapat dikendalikan dengan baik, misalnya dengan Tx :


1. Istirahat
- Bila ada komplikasi berat.
2. Diet
- Sesuai dengan kebutuhan menurut berat badan atau gizi penderita :
o Kurus : BB x 40 – 60 kalori sehari
o Normal : BB x 30 kalori sehari
o Gemuk : BB x 20 kalori sehari
o Obes : BB x 10 – 15 kalori sehari
3. Medikamentosa
- Insulin dan obat anti diabetik
 DM usia lanjut untuk tipe II sehingga diperhatikan kasus perkasus, cara hidup pasien, keadaan
gizi dan kesehatannya, adanya penyakit lain yang menyertai serta ada / tidaknya. Komplikasi
DM.
 Pedoman penatalaksanaan
1. Menilai penyakitnya secara menyeluruh dan memberikan pendidikan kepada pasien dan
keluarga.
2. Menghilangkan gejala – gejala akibat hiperglikemia seperti rasa haus, sering kencing, lemas,
gatal – gatal.
3. Lebih bersifat konservatif, usahakan agar glukosa darah tidak terlalu tinggi ( 200 220 mg / dl ).
4. Mengendalikan glukosa darah dan berat badan.
II. Konsep Askep
A. Pengkajian
a. Identitas
DM pada pasien usia lanjut umumnya terjadi pada usia > 60 tahun dan umumnya adalah DM
tipe II ( non insulin dependen ) atau tipe DMTTI.
b. Keluhan utama
DM pada usila mungkin cukup sukar karena sering tidak khas dan asimtomatik ( contohnya ;
kelemahan, kelelahan, BB menurun, terjadi infeksi minor, kebingungan akut, atau depresi ).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Terjadi pada penderita dengan DM yang lama.
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien datang ke RS dengan keluhan gangguan penglihatan karena katarak,
rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot ( neuropati perifer ) dan luka pada tungkai
yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam anggota keluarga tersebut salah satu anggota keluarga ada yang menderita DM.
f. Pemeriksaan fisik pada Lansia
 Sel ( perubahan sel )
Sel menjadi lebih sedikit, jumlah dan ukurannya menjadi lebih besar, berkurangnya jumlah
cairan tubuh dan berkurangnya cairan intrasel.
 Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan pucat dan terdapat bintik –
bintik hitam akibat menurunnya aliran darah kekulit dan menurunnya sel – sel yang
memproduksi pigmen, kuku pada jari tengah dan kaki menjadi tebal dan rapuh. Pada orang
berusia 60 tahun rambut wajah meningkat, rambut menipis / botak dan warna rambut kelabu,
kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.
 Sistem Muskuler
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang pengecilan otot karena menurunnya
serabut otot. Pada otot polos tidak begitu berpengaruh.
 Sistem pendengaran
Presbiakusis ( menurunnya pendengaran pada lansia ) membran timpani menjadi altrofi
menyebabkan austosklerosis, penumpukan serumen sehingga mengeras karena meningkatnya
keratin.
 Sistem Penglihatan
Karena berbentuk speris, sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar,
lensa menjadi keruh, meningkatnya ambang penglihatan ( daya adaptasi terhadap kegegelapan
lebih lambat, susah melihat gelap ). Hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang
karena berkurangnya luas pandangan. Menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru
pada skala.
 Sistem Pernafasan
Otot – otot penafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas sillia, paru
kurang elastis, alveoli kurang melebar biasanya dan jumlah berkurang. Oksigen pada arteri
menurun menjadi 75 mmHg. Karbon oksida pada arteri tidak berganti – kemampuan batuk
berkurang.
 Sistem Kardiovaskuler
Katub jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 %
pertahun. Kehilangan obstisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat
meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
 Sistem Gastointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar menurun, asam
lambung menurun waktu pengosongan lambung, peristaltik lemah sehingga sering terjadi
konstipasi, hati makin mengecil.
 Sistem Perkemihan
Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %, laju filtrasi
glumesulus menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang sehingga kurang mampu
memekatkan urine, Dj urin menurun, proteinuria bertambah, ambang ginjal terhadap glukosa
meningkat, kapasitas kandung kemih menurun ( zoome ) karena otot – otot yang lemah,
frekwensi berkemih meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan, pada orang terjadi
peningkatan retensi urin dan pembesaran prostat ( 75 % usia diatas 60 tahun ).
 Sistem Reproduksi
Selaput lendir vagina menurun / kering, menciutnya ovarium dan uterus, atrofi payu darah
testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara berangsur – angsur,
dorongan sek menetap sampai usia diatas 70 tahun asal kondisi kesehatan baik.
 Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah,
berkurangnya ACTH, TSH, FSH, dan LH, menurunnya aktivitas tiroid sehingga laju metabolisme
tubuh ( BMR ) menurun, menurunnya produk aldusteran, menurunnya sekresi, hormon godad,
progesteron, estrogen, testosteron.
 Sistem Sensori
Reaksi menjadi lambat kurang sensitif terhadap sentuhan (berat otak menurun sekitar 10 – 20
%)

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman ( pusing ) berhubungan dengan berkurangnya suplai O 2
2. Gangguan pola pemenuhan nutrisi ( kurang ) berhubungan dengan peningkatan katabolisme.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot.
4. Gangguan konsep diri berhubungan dengan penurunan keadaan mental.
5. Depresi berhubungan dengan gangguan konsep diri yang lama.
6. Kram / kekakuan otot berhubungan dengan hilangnya kalium melalui urin berhubungan dengan
pasien kadang tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya.
7. Pandangan kabur berhubungan dengan penurunan 5 optikus .
8. Resiko dehidrasi berhubungan dengan output cairan meningkat.
9. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan proses penyembuhan luka.
10. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan kesadaran.
11. Resiko infark jantung berhubungan dengan kontraksi atrium menurun.
III. Rencana Askep
 Gangguan rasa nyaman ( pusing ) berhubungan dengan berkurangnya suplai O 2.
Tujuan : ketidaknyamanan hilang / terkontrol
Kriteria hasi :
o Pasien tampak rilex
o Ekpresi wajah tidak menyeringai
o Mengungkapkan metode yang mengurangi nyeri
Intervensi :
1. Pempertahankan tirah baring selama fase akut
R/ meminimalkan stimulasi / meningkatkan relaxsasi
2. Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala
R/ tindakan yang menurunkan tekana vaskuler
3. Minimalkan aktivitas vasokontriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala
R/ aktivitas yang meningkat vasokontriksi menyebabkan sakit kepala
4. Bantu pasien dalam ambulasi sosial
R/ pusing dan penglihatan kabur sering berhubungan dengan sakit kepala . pasien juga
mengalami episode hipotensi postural
5. Kolaborasi pemberian O2
R/ memenuhi kebutuhan O2 pada otak sehingga dapat menurunkan nyeri kepala
6. Kolaborasi untuk pemberian analgetik
R/ menurunkan / mengontrol nyeri dan menurunkan rangsang
 Gangguan konsep diri berhubungan dengan penurunan keadaan mental
Tujuan : menunjukkan pandangan yang realistis dan
pemahaman diri dalam situasi
Kriteria hasil :
1. Mengenali dan memasukkan perubahan kedalam konsep diri yang akurat dan tanpa
mengabaikan pemahaman diri.
2. Menunjukkan adanya adaptasi terhadap perubahan.
Intervensi :
1. Tanyakan dengan nama apa pasien ingin dipanggil
R/ menunjukkan penghargaan dan pengakuan personal.
2. Identifikasi orang terdekat dari siapa pasien merasakan kenyamanan
R/ memungkinkan privasi untuk hubungan personal khusus.
3. Dengarkan dengan aktif masalah dan kelakuan pasien
R/ menyampaikan perhatian dan lebih dan dapat lebih efektif mengidentifikasikan masalah dan
keluhan klien.
4. Dorong pengungkapan perasaan menerima apa yang dilakukannya
R/ membantu pasien menerima perubahan dan mengurangi ansietas mengenai fungsi gaya
hidup.
5. Berikan lingkungan yang tidak berbahaya
R/ meningkatkan perasaan aman, mendorong verbalisasi.
6. Amati komunikasi non verbal
R/ komunikasi non verbal adalah bagian besar dari komunikasi.
7. Kolaborasi, rujuk pada dukungan psikiatri
R/ mungkin dibutuhkan untuk membantu pasien mencapai kesehatan optimal.
 Resiko Infeksi berhubungan dengan penurunan proses penyembuhan luka
Tujuan : Infeksi dapat dicegah
Kriteria hasil : Terjadi penurunan resiko infeksi
Intervensi :
1. Berikan isolasi / pantau pengunjung sesuai indikasi
R/ menurunkan resiko infeksi
2. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan handscone
steril
R/ tindakan yang stertil membantu mengurangi resiko infeksi bagi petugas
3. Lakukan inpeksi pada daerah luka ganren, berikan perhatian utama pada jalur hiperalimentasi
4. Gunakan teknik steril pada penggantian balutan
5. Gunakan hanscone untuk merawat luka
6. Kolaborasi pemberian antibiotik

ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES MELITUS PADA LANSIA

Monday, November 17, 2014


A. Konsep Dasar Medis

1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh
karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun
relatif (Arjatmo, 2002).

2. Etiologi
a. Diabetes Tipe I
1) Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau
kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
2) Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai
jaringan asing, Yaitu oto antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
3) Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
b. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes
tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi
insulin.
Faktor-faktor resiko :
1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga

3. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :

1) Tipe I: Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)


2) Tipe II: Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
3) Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
4) Diabetes mellitus gestasional (GDM)

4. Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan glukosa ke
dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan
oleh sel beta di pankreas. Bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat
glukosa akan tetap berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien
diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan autoimun
sel beta pankreas.
Pada diabetes melitus tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin normal tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam
sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat

5. Manifestasi Klinik
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada.
Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada
pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua,
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang
luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan
pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan
pengobatan lazim.

6. Penatalaksaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar
glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Ada 5 komponen
dalam penatalaksanaan diabetes :
1) Diet
2) Latihan
3) Pemantauan
4) Terapi (jika diperlukan)
5) Pendidikan

7. Komplikasi
a. Komplikasi akut
1) Diabetes ketoasidosis
b. Komplikasi kronis:
1) Retinopati diabetic
2) Nefropati diabetic
3) Neuropati
4) Displidemia
5) Hipertensi
6) Kaki diabetic
7) Hipoglikemia
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
DM pada pasien usia lanjut umumnya terjadi pada usia ≥ 60 tahun dan umunya adalah DM tipe II (non
insulin dependen) atau tipe DMTTI
b. Keluhan utama
DM pada usia lanjut mungkin cukup sukar karena sering tidak khas dan asimtomatik (contohnya:
kelemahan, kelelahan, BB menurun, terjadi infeksi minor, kebingunan akut atau depresi).
c. Riwayat penyakit dahulu
Terjadi pada penderita dengan DM yang lama
d. Riwayat penyakit sekarang
Pada umumnya pasien datang ke RS dengan keluhan gangguan penglihatan karena katarak, rasa
kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar
sembuh dengan pengobatan lazim.
e. Riwayat penyakit keluarga
Dalam anggota keluarga tersebut salah satu anggota keluarga ada yang menderita DM
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sel (Perubahan sel)
Sel menjadi lebih sedikit,jumlah dan ukurannya menjadi lebih besar, berkurangnya jumlah cairan
tubuh dan berkurangbya cairan intrasel.
b. Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan lemak, kulit kering dan pucat dan terdapat bintik-bintik hitam akibat
menurunnya aliran darah kekulit dan menurunnya sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari
tengah dan kaki menjadi tebal dan rapuh. Pada orang berusia 60 tahun rambut wajah meningkat,
rambut menipis/botak dan warna rambut kelabu, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya..
c. Sistem muskuler
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang pengecilan otot karena menurunnya serabut
otot. Pada otot polos tidak begitu berpengaruh.
d. Sistem pendengaran
Presbiakusis (menurunnya pendengaran pada lansia) membran timpani menjadi altrofi menyebabkan
austosklerosis, penumpukkan serumen sehingga mengeras karena meningkatnya keratin
e. Sistem penglihatan
1) Karena berbentuk speris, sfingther pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, lensa
menjadi keruh, meningkatnya ambang penglihatan (daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat,
susah melihat gelap).
2) Hilangnya akomodasi menurunnya lapang pandang karena berkurangnya luas pandangan.
3) Menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada skala.

f. Sistem pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,menurunnya aktivitas silia, paru kurang
elastis, alveoli kurang melebar biasanya dan jumlah berkurang. Oksigen pada arteri menurun menjadi 75
mmHg. Karbon oksida pada arteri tidak berganti kemampuan batuk berkurang.
g. Sistem Kardiovaskuler
Katub jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1%
pertahun. Kehilangan obstisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer.
h. Sistem Gastrointestinal
Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar menurun, asam lambung
menurun waktu pengosongan lambung, peristaltik lemah sehingga sering terjadi konstipasi, hati makin
mengecil.
i. Sistem Perkemihan
Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, laju filtrasi
glumerulus menurun sampai 50%, fungsi tubulus berkurang sehingga kurang mampu memekatkan
urine, proteinuria bertambah, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung kemih
menurun karena otot yang lemah, frekuensi berkemih meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan,
pada orang terjadi peningkatan retensi urin dan pembesaran prostat (75% usia diatas 60 tahun).
j. Sistem Reproduksi
Selaput lendir vagina menurun/kering, menciutnya ovarium dan uterus, atrofi payudara testis masih
dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur, dorongan seks menetap
sampai usia 70 tahun asal kondisi kesehatan baik
k. Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah, berkurangnya ACTH,
TSH, FSH dan LH. Menurunnya aktivitas tiroid sehingga laju metabolisme tubuh (BMR) menurun.
Menurunnya produk aldusteran, a. menurunnya sekresi, hormon godad, progesteron, estrogen dan
testosteron.
l. Sistem Sensori
Reaksi menjadi lambat kurang sensitif terhadap sentuhan (berat otak menurun sekitar 10-20%)

3. Pemeriksaan Diagnostik Test


a. Glukosa darah sewaktu
b. Kadar glukosa darah puasa
c. Tes toleransi glukosa
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan:
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2
jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
5. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme
protein, lemak.
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai dengan tugor kulit menurun
dan membran mukasa kering.
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer) ditandai
dengan gangren pada extremitas.
d. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang kurang.
e. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.
f. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan penglihatan.

6. Intervensi Dan Rasional


a. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme
protein, lemak
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil:
1) Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
2) Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya

Intervensi Rasional
Timbang berat badan sesuai indikasi. Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.

Tentukan program diet, pola makan dan Mengidentifikasikan kekurangan dan


bandingkan dengan makanan yang dapat penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
dihabiskan klien.

Auskultrasi bising usus, catat nyeri Hiperglikemi, gangguan keseimbangan cairan dan
abdomen atau perut kembung, mual, elektrolit menurunkan motilitas atau fungsi
muntah dan pertahankan keadaan puasa lambung (distensi atau ileus paralitik).
sesuai indikasi.

Berikan makanan cair yang mengandung Pemberian makanan melalui oral lebih baik
nutrisi dan elektrolit. Selanjutnya diberikan pada klien sadar dan fungsi
memberikan makanan yang lebih padat. gastrointestinal baik.

Identifikasi makanan yang disukai. Kerja sama dalam perencanaan makanan.

Libatkan keluarga dalam perencanaan Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberi


makan. informasi pada keluarga untuk memahami
kebutuhan nutrisi klien.

Observasi tanda hipoglikemia (perubahan Pada metabolism kaborhidrat (gula darah akan
tingkat kesadaran, kulit lembap atau berkurang dan sementara tetap diberikan tetap
dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka diberikan insulin, maka terjadi hipoglikemia
rangsang, cemas, sakit kepala, pusing). terjadi tanpa memperlihatkan perubahan tingkat
kesadaran.

b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai dengan tugor kulit menurun
dan membran mukosa kering.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuh
Kriteria Hasil:
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba,
turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam
batas normal.

Intervensi Rasional

Kaji riwayat klien sehubungan dengan Membantu memperkirakan kekurangan volume


lamanya atau intensitas dari gejala seperti total. Adanya proses infeksi mengakibatkan
muntah dan pengeluaran urine yang demam dan keadaan hipermetabolik yang
berlebihan. meningkatkan kehilangan air.

Pantau tanda-tanda vital, catat adanya Hipovolemi dimanifestasikan oleh hipotensi dan
perubahan tekanan darah ortostatik. takikardia. Perkiraan berat ringannya hipovolemi
saat tekanan darah sistolik turun ≥ 10 mmHg dari
posisi berbaring ke duduk atau berdiri.

Pantau pola napas seperti adanya Perlu mengeluarkan asam karbonat melalui
pernapasan Kussmaul atau pernapasan pernapasan yang menghasilkan kompensasi
yang berbau keton. alkalosis respiratoris terhadap keadaan
ketoasidosis. Napas bau aseton disebabkan
pemecahan asam asetoasetat dan harus
berkurang bila ketosis terkoreksi.

Pantau frekuensi dan kualitas pernapasan, Hiperglikemia dan asidosis menyebabkan pola
penggunaan otot bantu napas, adanya dan frekuensi pernapasan normal. Akan tetapi
periode apnea dan sianosi. peningkatan kerja pernapasan, pernapasan
dangkal dan cepat serta sianosis merupakan
indikasi dari kelelahan pernapasan atau
kehilangan kemampuan melalui kompensasi
pada asidosis.`

Pantau suhu, warna kulit, atau Demam, menggigil, dan diaphoresis adalah hal
kelembapannya. umum terjadi pada proses infeksi, demam
dengan kulit kemerahan, kering merupakan
tanda dehidrasi.

Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor Merupakan indicator tingkat dehidrasi atau
kulit, dan membrane mukosa. volume sirkulasi yang adekuat.

c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer) ditandai
dengan gangren pada extremitas.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidakterjadi komplikasi.
Kriteria Hasil:
1) Menunjukan peningkatan integritas kulit
2) Menghindari cidera kulit

Intervensi Rasional

Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, Menandakan aliran sirkulasi buruk yang dapat
turgor, vaskuler, perhatikan kemerahan. menimbulkan infeksi
Ubah posisi setiap 2 jam beri bantalan Menurunkan tekanan pada edema dan
pada tonjolan tulang menurunkan iskemia

Pertahankan alas kering dan bebas lipatan Menurunkan iritasi dermal

Beri perawatan kulit seperti penggunaan Menghilangkan kekeringan pada kulit dan
lotion robekan pada kulit

Lakukan perawatan luka dengan teknik Mencegah terjadinya infeksi


aseptik

Anjurkan pasien untuk menjaga agar kuku Menurunkan resiko cedera pada kulit oleh
tetap pendek karena garukan

Motivasi klien untuk makan makanan TKTP Makanan TKTP dapat membantu penyembuhan
jaringan kulit yang rusak

d. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang kurang.


Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kelelahan dapat teratasi.
Kriteria Hasil:
1) Mengidentifikasikan pola keletihan setiap hari.
2) Mengidentifikasi tanda dan gejala peningkatan aktivitas penyakit yang mempengaruhi toleransi
aktivitas.
3) Mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
4) Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.

Intervensi Rasional

Diskusikan kebutuhan akan aktivitas. Buat Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk
jadwal perencanaan dan identifikasi meningkatkan tingkat aktivitas meskipun klien
aktivitas yang menimbulkan kelelahan. sangat lemah.

Diskusikan penyebab keletihan seperti Dengan mengetahui penyebab keletihan, dapat


nyeri sendi, penurunan efisiensi tidur, menyusun jadwal aktivitas.
peningkatan upaya yang diperlukan untuk
ADL.

Bantu mengidentivikasi pola energi dan Mengidentifikasi waktu puncak energi dan
buat rentang keletihan. Skala 0-10 (0=tidak kelelahan membantu dalam merencanakan
lelah, 10= sangat kelelahan) akivitas untuk memaksimalkan konserfasi energi
dan produktivitas.
Berikan aktivitas alternatif dengan periode Mencegah kelelahan yang berlebih.
istirahat yang cukup/ tanpa diganggu.

Pantau nadi , frekuensi nafas, serta Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat
tekanan darah sebelum dan seudah ditoleransi secara fisiologis.
melakukan aktivitas.

Tingkatkan partisipasi klien dalam Memungkinkan kepercayaan diri/ harga diri yang
melakukan aktivitas sehari-hari sesuai positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat
kebutuhan. ditoleransi.

Ajarkan untuk mengidentifikasi tanda dan Membantu dalam mengantisipasi terjadinya


gejala yang menunjukkan peningkatan keletihan yang berlebihan.
aktivitas penyakit dan mengurangi
aktivitas, seperti demam, penurunan berat
badan, keletihan makin memburuk.

e. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.


Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil:
1) Tidak ada rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolesia.
2) Terjadi perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Intervensi Rasional

Observasi tanda-tanda infeksi dan Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang
peradangan sperti demam, kemerahan, biasanya telah mencetuskan keadaan
adanya pus pada luka, sputum purulen, ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi
urine warna keruh atau berkabut. nosokomial.

Tingkatkan upaya pencegahan dengan Mencegah timbulnya infeksi nosokomial.


melakukan cuci tangan yang baik pada
semua orang yang berhubungan dengan
pasien termasuk pasiennya sendiri.

Pertahankan teknik aseptik pada prosedur Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan
invasif. menjadi meddia terbaik dalam pertumbuhan
kuman.

Berikan perawatan kulit dengan teratur Sirkulasi perifer bisa terganggu dan
dan sungguh-sungguh, masase daerah menempatkan pasien pada peningkatan risiko
tulang yang tertekan, jaga kulit tetap terjadinya kerusakan pada kulit.
kering, linen kering dan tetap kencang.

Berikan tisue dan tempat sputum pada Mengurangi penyebaran infeksi.


tempat yang mudah dijangkau untuk
penampungan sputum atau secret yang
lainnya.

f. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan penglihatan.


Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tidak terjadi injury
Kriteria hasil:
1) Dapat menunjukkan terjadinya perubahan perilaku untuk menurunkan factor risiko dan untuk
melindungi diri dari cidera.
2) Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
Intervensi Rasional

Hindarkan lantai yang licin. Lantai licin dapat menyebabkan risiko jatuh pada
pasien.

Gunakan bed yang rendah. Mempermudah pasien untuk naik dan turun dari
tempat tidur.

Orientasikan klien dengan ruangan. Lansia daya ingatnya sudah menurun, sehingga
diperlukan orientasi ruangan agar lansia bisa
menyesuaikan diri terhadap ruangan.

Bantu klien dalam melakukan aktivitas Lansia sudah mengalami penurunan dalam fisik,
sehari-hari sehingga dalam melakukan aktivitas sehari
diperlukan bantuan dari orang lainsesuai dengan
yang dapat ditoleransi

Bantu pasien dalam ambulasi atau Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi
perubahan posisi lansia.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall, 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih. Jakarta : EGC.

Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. Jakarta : EGC, 1999.

sistem endokrin
Selasa, 31 Mei 2011

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS

A. Pengertian

Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan
oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif (Arjatmo, 2002).

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).

B. Etiologi

1. Diabetes tipe I :
o Faktor genetik Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
o Faktor-faktor imunologi Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu
otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
oFaktor lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta.
2. Diabetes Tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada
diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :

o Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)


o Obesitas
o Riwayat keluarga

C. Tanda dan Gejala


Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada.
Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada
pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua,
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang
luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan
pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan
pengobatan lazim. Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan
adalah :

1. Katarak

2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10.Neuropati viseral
11.Amiotropi
12.Ulkus Neurotropik
13.Penyakit ginjal
14.Penyakit pembuluh darah perifer
15.Penyakit koroner
16.Penyakit pembuluh darah otak
17.Hipertensi

Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat
muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada
pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena
itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut. Penyakit yang mula-mula ringan dan
sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien
mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan
timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun
dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa
lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak
bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak. Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat
menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral
tampak lebih jelas.

D. PATHOFISIOLOGI

Pada diabetes mellitus terjadi defesiensi insulin yang disebabkan karena hancurnya sel – sel
beta pankreas karena proses outoimun. Disamping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak bisa
disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah yang menimbulkan hiperglikemi. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tiak dapat mengabsobsi semua sisa glukosa yang
akhirnya dikeluarkan bersama urine (glukosaria). Ketika glukosa yang berlebih di eksresikan kedalam
urine, ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebih, keadaan ini disebutdiuresis
osmotik.

Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan simpanan kalori yang menimbulkan kelelahan, kegagalan pemecahan lemak dan protein
meningkatkan pembentukan badan keton, merupakan produksi, disamping pemecahan lemak oleh
badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbagan asam basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan. Ketoasidosis diabetic menimbulkan tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
hiperventilasi, napas bau aseton. Bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma,
bagkan kematian.
Pada DM tipe II masalah yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan. Jika sel – sel beta tidak mampu mengimbangi permintaan kebutuhan akan insulin maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipeII. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin merupakan
cirri khas akibat DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetika
tadak terjadi pada DM tipe II, paling sering terjadi pada usia > 30 tahun.

Komplikasi vaskuler jangka panjang dari diabetes antara lain: pembuluh – pembuluh kecil
(mikroagiopati), pembuluh – pembuluh sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan
lesi spesifik diabetic yang menyerang kapiler, arterial retina, glomerulus ginjal, syaraf – syaraf perifer,
otot – otot kulit. Makroangiopati mempunyai gambaran berupa arterosklerosis. Pada akhirnyan akan
mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Kalau ini mengenai arteri – arteri perifer maka dapat
mengakibatkan insufusuensi vaskuler perifer yang di sertai ganggren pada ekstrimitas.

E. ANAMNESA

1. Pengkajian.
Mengumpulkan data pasien DM baik dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, wawancara,
observasi dan dokumentasi secara biopsikososial dan spiritual.
a. Identitas klien.
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, suku bangsa, status perkawinan,
alamat, tanggal masuk rumah sakit, no.register RS, Diagnosa medis, penanggung jawab.
Keluhan utama.
Biasanya pasien datang dengan keluhan : pusing, lemah, letih, luka yang tidak sembuh.
b. Riwayat penyakit sekarang.
• perubahan pola berkemih.
• Pusing.
• Mual, muntah.
• Apa ada diberi obat sebelum masuk RS.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Apakah pasien punya penyakit DM sebelumnya.
d. Riwayat penyakit keluarga.
Tanyakan pada pasien apa ada keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti yang di derita
pasien.
e. Pemeriksaan fisik.
• Keadaan umum : penampilan, tanda vital, kesadaran, TB, BB.
• Kulit : keadaan kulit, warnanya, turgor,edema, lesi, memar.
• Kepala : keadaan rambut, warna rambut, apa ada massa.
• Mata : bagaimana pupilnya, warna sklera, kunjungtiva, bagaimana reaksi pupil terhadap cahaya,
apakah menggunakan alat bantal.
• Hidung : strukturnya, apa ada polip, peradangan, fungsi penciuman.
• Telinga : strukturnya, apa ada cairan keluar dari telinga, peradangan, nyeri.
• Mulut : keadaan mulut, gigi, mukosa mulut dan bibir, apa ada gangguan menelan.
• Leher : keadaan leher, kelenjar tiroid.
• Dada/pernapasan/sirkulasi : bentuk dada, frekuensi napas, apa ada bunyi tambahan, gerakan dinding
dada.
• Abdomen : struktur, kebersihan, apa ada asites, kembung, bising usus, apa ada nyeri tekan.
f. Kebutuhan biologis.
• Nutrisi : pola kebiasaan makanan,
jenis makanan / minuman.
• Eliminasi : pola, frekuensi, jumlah, warna, bau, konsistensi (BAK/BAB ).
• Istirahat / tidur : kebiasaan tidur selama di rumah dan RS.
• Aktivitas : Apakah terganggu atau terbatas, faktor yang memperingan atau memperberat, riwayat
pekerjaan.
g. Riwayat psikologis.
Bagaimana pola pemecahan masalah pasien terhadap masalahnya demikian juga keluarga.
h. Riwayat sosial.
Kebiasaan hidup, konsep diri terhadap masalah kesehatan, hubungan dengan keluarga, tetangga,
dokter, perawat.

F. DIAGNOSTIK

1. Glukosa darah sewaktu


2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl).

Kadar glukosa darah sewaktu

 Plasma vena :
o <100
o 100 - 200 = belum pasti DM
o >200 = DM
 Darah kapiler :
o <80
o 80 - 100 = belum pasti DM
o > 200 = DM

Kadar glukosa darah puasa

 Plasma vena :
o <110>
o 110 - 120 = belum pasti DM
o > 120 = DM
 Darah kapiler :
o <90>
o 90 - 110 = belum pasti DM
o > 110 = DM

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :

1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)


2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr
karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl).

G. PENGELOLAAN
Pilar Pengelolaan DM
1. Edukasi
2. Perencanaan Makan
3. Latihan Jasmani
4. Intervensi Farmakologi

1. Edukasi

Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh.
Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan
masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan
keterampilan dan motivasi.

Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang:

 Penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM.
 Penyulit DM.
 Intervensi farmakologis dan non farmakologis.
 Hipoglikemia.
 Masalah khusus yang dihadapi.
 Perawatan kaki pada diabetes.
 Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran keterampilan.
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti
perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan Perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang
memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi.

Masalah kaki yaitu borok di kaki dengan atau tanpa infeksi terlokalisasi atau menyerang seluruh kaki
adalah dan kematian berbagai jaringan tubuh karena hilangnya suplai darah, infeksi bakteri, dan
kerusakan jaringan sekitarnya merupakan masalah utama pada penderita diabetes.

Klasifikasi penyakit kaki pada penderita diabetes melitus :

 Tingkat 0 : Risiko tinggi mengalami penyakit kaki, belum ada borok.


 Tingkat 1 : Borok permukaan yang tidak terinfeksi.
 Tingkat 2 : Borok lebih dalam, sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan.
 Tingkat 3 : Borok dalam yang melibatkan tulang dan formasi abscess.
 Tingkat 4 : Kematian jaringan tubuh terlokalisir, seperti di ibu jari kaki, bagian depan kaki
atau tumit.
 Tingkat 5 : Kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki.
Untuk mendiagnosis dan menangani kerusakan saraf kaki dilakukan beberapa tes antara lain
pengukuran:
a. Merasakan sentuhan ringan
b. Kepekaan pada suhu
c. Sensasi pada getaran
d. Efisiensi saraf untuk mengirim pesan ke dan dari otak

Resiko tinggi mengalami masalah kaki karena diabetes, yaitu :

 Mengalami kerusakan saraf kaki.


 Mempunyai penyakit pembuluh darah di kaki.
 Pernah mepunyai borok di kaki.
 Bentuk kaki berubah.
 Adanya callus.
 Buta atau penglihatan buruk , penyakit ginjal terutama gagal ginjal kronis.
 Para lansia, terutama yang hidup sendirian.
 Orang-orang yang tidak bisa menjangkau kaki mereka sendiri untuk membersihkannya.
 Kontrol kadar gula darah yang buruk.
 Berkurangnya indra perasa di kaki.

Petunjuk umum untuk mencegah borok kaki:

 Periksa kaki anda setiap hari untuk mendeteksi adanya borok sedini mungkin, apakah ada kulit
retak, melepuh,bengkak, luka, atau perdarahan.
 Periksa sepatu anda baik bagian dalam ataupun luar sebelum memakainya untuk mendeteksi
batu atau benda sejenis lainnya yang mungkin ada.
 Pastikan kaki anda diukur setiap kali membeli alas kaki yang baru.
 Jauhkan kaki dari udara panas, air panas, dan lain-lain.
 Pakaikan alas kaki pelindung di dalam rumah dan hindari berjalan tanpa alas kaki.
 Pakai sepatu yang bertali dan cukup ruang untuk ibu jari kaki.
 Berikan pelembab pada daerah kaki yang kering , tetapi tidak pada sela-sela jari.
 Bersihkan kaki setizp hari, keringkan dengan handuk termasuk sela-sela jari.
 Segera ke dokter bila kaki luka atau berkurang rasa.

2. Perencanaan makanan
Biasanya pasien DM yang berusia lanjut terutama yang gemuk dapat dikendalikan hanya dengan
pengaturan diet saja serta gerak badan ringan dan teratur.

Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolan diabetes, meski sampai saat ini tidak ada
satu pun perencanaan makan yang sesuai untuk semua pasien. Perencanaan makan harus disesuaikan
menurut kebiasaan masing-masing individu. Yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung,
serat.

Faktor yang berpengaruh pada respon glikemik makanan adalah cara memasak, proses penyiapan
makanan, dan bentuk makan serta komposisi makanan (karbohidrat, lemak, dan protein). Jumlah
masukan kalori makanan yang berasal dari karbohidrat lebih penting daripada sumber atau macam
karbohidratnya. Gula pasir sebagai bumbu masakan tetap diijinkan. Pada keadaan glukosa darah
terkendali, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5 % kebutuhan kalori.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:

 Karbohidrat 60 – 70 %
 Protein 10 – 15 %
 Lemak 20 – 25 %

Makanan dengan komposisi sampai 70 – 7 5 % masih memberikan hasil yang baik. Jumlah
kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari, diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak
tidak jenuh MUFA (Mono Unsurated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poli Unsaturated Fatty Acid) dan
asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25 g / hari, diutamakan serat larut.
Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Pemanis buatan yang aman dan dapat diterima untuk
digunakan pasien diabetes termasuk yang sedang hamil adalah: sakarin, aspartame, acesulfame,
potassium, dan sukralose. Jumlah kalori disesuaikan dengan status gizi,umur , ada tidaknya stress akut,
kegiatan jasmani. Untuk penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa tubuh (IMT) dan rumus
Broca.

Indeks massa tubuh ( IMT ) dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB ( Kg ) / TB ( M2 )

 IMT Normal Wanita = 18.5 – 23.5


 IMT Normal Pria = 22.5 – 25
 BB kurang = < 18.5

BB lebih

 Dengan resiko = 23.0- 24.9


 Obes I = 2.5.0 - 29.9
 Obes II = = 30.0

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI

Kalori Basal :
Laki-Laki : BB idaman ( kg ) X 30 kalori / kg = …………Kalori
Wanita : BB idaman ( kg ) X 25 kalori / kg = …………Kalori

Koreksi / Penyesuaian :
Umur > 40 tahun :-5% X Kalori basal = …………Kalori
Aktivitas Ringan : + 10 % X Kalori basal = ……………Kalori
Sedang : + 20 %
Berat : +30 %
BB Gemuk : - 20 % X Kalori basal = - / +…………Kalori
Lebih : -10 %
Kurang : 20 %
Stress metabolik :10 – 30 % X Kalori basal = + ……… Kalori
Hamil trimester I& II = + 300 Kalori
Hamiltrimester III / laktasi = + 500 Kalori

Total Kebutuhan = ……… Kalori

Sumber : PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2002

Petunjuk Umum untuk Asupan Diet bagi Diabetes:

 Hindari biskuit, cake, produk lain sebagai cemilan pada waktu makan.
 Minum air dalam jumlah banyak, susu skim dan minuman berkalori rendah lainnya pada waktu
makan.
 Makanlah dengan waktu yang teratur.
 Hindari makan makanan manis dan gorengan.
 Tingkatkan asupan sayuran dua kali tiap makan.
 Jadikan nasi, roti, kentang, atau sereal sebagai menu utama setiap makan.
 Minum air atau minuman bebas gula setiap anda haus.
 Makanlah daging atau telor dengan porsi lebih kecil.
 Makan kacang-kacangan dengan porsi lebih kecil.

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani teratur (3 – 4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe II. Latihan jasmani dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dimaksud ialahjalan, bersepeda santai, jogging, berenang.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Kegiatan
sehari – hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun tetap dilakukan tetap
dilakukan. Batasi atau jangan terlalu lama melakukan kegiatan yang kurang gerak seperti menonton
televisi.

4. Intervensi Farmakologis

Apabila pengendalian diabetesnya tidak berhasil dengan pengaturan diet dan gerak badan barulah
diberikan obat hipoglikemik oral. Di Indonesia umumnya OHO yang dipakai ialah Metformin 2 – 3 X 500
mg sehari.
Pada pasien yang mempunyai berat badan sedang dipertimbangkan pemberian sulfonilurea.

Pedoman pemberian sulfonilurea pada DM usia lanjut :

 Harus waspada akan timbulnya hipoglikemia. Ini disebabkan karena metabolisme sulfonilurea
lebih lambat pada usia lanjut, dan seringkali pasien kurang nafsu makan, sering adanya
gangguan fungsi ginjal dan hati serta pengaruh interaksi sulfonilurea dengan obat-obatan lain.
 Sebaiknya digunakan digunakan sulfonyl urea generasi II yang mempunyai waktu paruh pendek
dan metabolisme lebih cepat.
 Jangan mempergunakan klorpropamid karena waktu paruhnya sangat panjang serta sering
ditemukan retensi air dan hiponatremi pada penggunaan klorpropamid. Begitu pula bila ada
komplikasi ginjal, klorpropamid yang kerjanya 24 – 36 jam tidak boleh diberikan, oleh karena
ekskresi obat sangat berkaian dengan fungsi ginjal. Hipoglikemia akibat klorpamid dapat
berlangsung lama, berbeda dengan hipoglikemi karena tolbutamid.
 Sulfonilurea dengan kerja sedang ( seperti glibenklamid, glikasid), biasanya dosis awal setengah
tablet sehari, kalau perlu dapat dinaikkan 1 – 2 kali sehari.
 Dosis oral pada umumnya bila dianggap perlu dapat dinaikkan tiap 1 – 2 minggu. Untuk
mencegah hipoglikemia pada pasien tua lebih baik tidak memberikan dosis maksimum.
 Kegagalan sekunder dapat terjadi setelah penggunan OHO beberapa lama. Pada kasus sperti ini
biasanya dapat dicoba kombinasi OHO dengan insulin atau langsung diberikan insulin saja.

H. TEKNIK PEMBERIAN INSULIN

Cara pemberian insulin ada beberapa macam: a) intra vena: bekerja sangat cepat yakni dalam 2-
5 menit akan terjadi penurunan glukosa darah, b) intramuskuler: penyerapannya lebih cepat 2 kali lipat
daripada subkutan, c) subkutan: penyerapanya tergantung lokasi penyuntikan, pemijatan, kedalaman,
konsentrasi. Lokasi abdomen lebih cepat dari paha maupun lengan. Jenis insulin human lebih cepat dari
insulin animal, insulin analog lebih cepat dari insulin human.
Insulin diberikan subkutan dengan tujuan mempertahankan kadar gula darah dalam batas
normal sepanjang hari yaitu 80-120 mg% saat puasa dan 80-160 mg% setelah makan. Untuk pasien usia
diatas 60 tahun batas ini lebih tinggi yaitu puasa kurang dari 150 mg% dan kurang dari 200 mg% setelah
makan. Karena kadar gula darah memang naik turun sepanjang hari, maka sesekali kadar ini mungkin
lebih dari 180 mg% (10 mmol/liter), tetapi kadar lembah (through) dalam sehari harus diusahakan tidak
lebih rendah dari 70 mg% (4 mmol/liter). Insulin sebaiknya disuntikkan di tempat yang berbeda, tetapi
paling baik dibawah kulit perut.
Dosis dan frekuensi penyuntikan ditentukan berdasarkan kebutuhan setiap pasien akan insulin.
Untuk tujuan pengobatan, dosis insulin dinyatakan dalam unit (U). Setiap unit merupakan jumlah yang
diperlukan untuk menurunkan kadar gula darah kelinci sebanyak 45 mg% dalam bioassay. Sediaan
homogen human insulin mengandung 25-30 IU/mg.
Salah satu insulin yang dapat menjadi pilihan untuk terapi DM yaitu LANTUS®(nama dagang)
dengan nama generik insulin glargine, indikasi dari LANTUS® yaitu untuk DM tipe 1 dan tipe 2. LANTUS®
dikontraindikasikan bagi pasien yang hipersensitif terhadap insulin glargine, efek samping yang mungkin
terjadi yaitu nyeri pada sisi injeksi dan hipoglikemia. LANTUS® (PT Sanofi-Aventis) bisa menjadi pilihan
karena insulin glargine telah diuji dan dinyatakan efektif dan aman untuk diberikan kepada kasus-kasus
DM tipe 1 dan tipe 2 oleh FDA dan oleh ’the European Agency for the Evaluation of Medical Products’.
LANTUS® juga memiliki keuntungan karena memberikan kenyamanan untuk pasien dengan satu kali
suntikan per hari dan pasien dapat dengan mudah dan aman mentitrasi LANTUS®.

Bentuk sediaan LANTUS® yaitu (1) Cartridges: 3 ml untuk digunakan OptiPen Pro (300 IU insulin
glargine), box cartridges 5 x 3 ml, (2) Vials: 10 ml vials (1000 IU insulin glargine), (3) Pre-filled pens: 3 ml
Optiset pre-filled, disposable pen (pen sekali pakai) dengan nama OptiSet®, optiset 5×3 ml, incremental
dose = 2 IU, max dose/inj = 40 IU. Dosis LANTUS® yaitu pasien tipe 2 yang telah diobati dengan obat
hiperglikemia oral, memulai dengan insulin glargine dengan dosis 10 IU sekali sehari. Dosis selanjutnya
diatur menurut kebutuhan pasien,dengan dosis total harian berkisar dari 2-100 IU.Pasien yang mau
menukar insulin kerja sedang atau panjang sekali sehari menjadi insulin glargine sekali sehari, tak perlu
melakukan perubahan dosis awal. Tapi jika pemberian sebelumnya dua kali sehari, maka dosis awal
insulin glargine dikurangi sekitar 20% untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Untuk selanjutnya
dosis diatur sesuai kebutuhan pasien.

Insulin glargine adalah ’long-acting basal insulin analouge’ yang pertama kali dipergunakan
dalam pengobatan DM baik tipe-1 maupun tipe-2, disuntikkan subkutan malam hari menjelang tidur.
Insulin glargine tidak diberikan secara intra vena karena dapat menyebabkan hipoglikemia. Preparat ini
dibuat dari modifikasi struktur biokimiawi ’native human insulin’ yang menghasilkan khasiat klinik yang
baru yaitu ’delayed onset of action and a constant, peakless effect’, yang mencapai hampir 24 jam
efektif. Memiliki potensi yang setara dengan insulin NPH dalam menurunkan HbA1c dan kadar glukosa
darah, namun lebih aman oleh karena ’peakless effect’ tersebut dapat mengurangi kejadian hipoglikemi
malam hari. Preparat ini dinyatakan efektif dan aman untuk diberikan kepada kasus-kasus diabetes
melitus tipe-1 maupun tipe-2, dan mampu memenuhi kebutuhan insulin basal.

Target pengendalian glukosa darah pada penggunaan monoterapi insulin glargine pada kasus-
kasus DMG mengacu pada ’American Collage of Obstetricians and Gynecologist for Women with GDM’,
yaitu glukosa puasa ≤ 95 mg/dl, 2 jam pp ≤ 120 mg/dl. Hasil penelitian pada dasarnya menjelaskan
bahwa insulin glargine berhasil mengendalikan glukosa darah pada kasus-kasus DMG sesuai target
seperti tersebut di atas, tanpa terjadi hipoglikemi, dengan beberapa catatan sebagai berikut: (a) glukosa
2 jam pp sebelum perlakuan tidak lebih dari 150 mg/dl, (b) dosis awal bervariasi 10-50 unit, disuntikkan
pagi hari sebelum makan pagi, ditingkatkan 3-5 unit bertahap untuk mencapai target pengendalian
glukosa darah, (c) dosis waktu partus bervariasi 18-78 unit, (d) waktu dilahirkan tidak ada bayi dengan
berat badan lebih dari normal, dan tidak ada yang mengalami hipoglikemi, (e) dosis perhari dalam
trimester pertama adalah 0,4-0,5 unit/kg, trimester kedua 0,5-0,6 unit/kg, dan trimester ketiga 0,7-0,8
unit/ kg.

I. PENYAKIT YANG DISEBABKAN

Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal, seperti hormon
sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan yang sedang laik daun saat
ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus sering disebut terkait oleh akromegali dan
hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.

Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada resistansi
insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia, yang
berdampak pada penyakit kardiovaskular dan berakibat kematian.[7]

GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan menstimulasi


glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam lemak. Sebaliknya, insulin-
like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan kepekaan terhadap insulin, terutama pada otot lurik.
Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio IGF-I tidak dapat menurunkan resistansi
insulin, oleh karena berlebihnya GH.

Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian banyak orang, tetapi
karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini akan memicu komplikasi pada toleransi
glukosa.

Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang menjadi penyebab


obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada hiperglisemia dan turunnya toleransi
glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi glukoneogenesis dan glikogenolisis. Saat bersinergis
dengan kofaktor hipertensi, hiperkoagulasi, dapat meningkatkan risiko kardiovaskular.

Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid berupa tri-iodotironina dengan
hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa.

Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang disebabkan oleh
hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas, feokromositoma, glukagonoma
dan somatostatinoma.

Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1. Sinergi hormon
berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-α, dijumpai membawa sinyal apoptosis bagi sel beta,
baik in vitro maupun in vivo.[8] Apoptosis sel beta juga terjadi akibat mekanisme Fas-FasL,[9][10] dan/atau
hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain hiperaktivitas sel T CD8- dan CD4-
ASKEP KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELLITUS

A. KONSEP MEDIS

1. Pengertian

Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetic dan klinis termasuk

heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 1995).

Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai keluhan metabolic akibat

gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada berbagai organ dan system

tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, dan lain-lain (Mansjoer, 1999).

2. Etiologi

Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tetapi umumnya diketahui

karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter memegang peranan penting.

a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)

Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille Diabetes, yang gangguan ini

ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah).


Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih tinggi

atau adanya infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga

pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM.

Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau – pulau langerhans pankreas, yang membuat

kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody sendiri akan

menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan peran munculnya penyakit

ini (Brunner & Suddart, 2002)

b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran terjadinya NIDDM. Faktor herediter

memainkan peran yang sangat besar. Riset melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan

terjadinya NIDDM sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak

insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin

sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami gangguan. Faktor

resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang besar.

Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder berupa

program penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM tidak selalu dapat dicegah maka

sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tanda-tanda/gejala yang ditemukan adalah kegemukan,

perasaan haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari berat

badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan peningkatan gula

darah (Brunner & Suddart, 2002)

3. Patofisiologi
a. DM Tipe I

Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel

beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial.

Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria (glukosa dalam darah)

dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic)

sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).

Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat

badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses

glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya

berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam

basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000)

b. DM Tipe II

Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.

Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah

tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa.

Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan

mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah

insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya maka kadar

glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000)


4. Manifestasi Klinik

a. Poliuria

Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel menyebabkan

hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel

berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari

hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).

b. Polidipsia

Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan penurunan volume

intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor

haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia).

c. Poliphagia

Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka produksi energi

menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang

akan lebih banyak makan (poliphagia).

d. Penurunan berat badan

Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan dan tidak mampu

mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama

otot mengalami atrofidan penurunan secara otomatis.

e. Malaise atau kelemahan (Brunner & Suddart, 2002)


5. Komplikasi

Diabetes Mellitus bila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi pada berbagai

organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, saraf, dan lain-lain (corwin, 2000)

6. Tes Diagnostik

a. Adanya glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict (reduksi) yang tidak khasuntuk

glukosa, karena dapat positif pada diabetes.

b. Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar glukosa dalam darah dengan cara Hegedroton

Jensen (reduksi).

1) Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.

2) Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.

3) Osmolitas serum 300 m osm/kg.

4) Urine = glukosa positif, keton positif, aseton positif atau negative (Bare & suzanne, 2002)

8. Penatalaksanaan Medik

Diabetes Mellitus jika tidak dikelola dengan baik akamn menimbulkan berbagai penyakit dan diperlukan

kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan

berbagai usaha dan akan diuraikan sebagai berikut :

a. Perencanaan Makanan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,

protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu :

1) Karbohidrat sebanyak 60 – 70 %

2) Protein sebanyak 10 – 15 %

3) Lemak sebanyak 20 – 25 %

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam beberapa porsi yaitu

1) Makanan pagi sebanyak 20%

2) Makanan siang sebanyak 30%

3) Makanan sore sebanyak 25%

4) 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.

b. Latihan Jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit yang

disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.

Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olehraga sedang berjalan

cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.

c. Obat Hipoglikemik

1) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :

1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.

2) Menurunkan ambang sekresi insulin.

3) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.

Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan masih bisa dipakai pada pasien

yang beratnya sedikit lebih.

Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena resiko

hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien

dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.

2) Biguanid

Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin.

Sebagai obat tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (imt

27-30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea

3) Insulin

Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :

a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam keadaan ketoasidosis atau

pernah masuk kedalam ketoasidosis.

b) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet (perencanaan makanan).
c) DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif maksimal. Dosis insulin oral atau

suntikan dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan hasil glukosa darah

pasien. Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak tercapai

sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin.

d) Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Edukator bagi pasien diabetes yaitu pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan

yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan

penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang optimal. Penyesuaian keadaan

psikologik kualifas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan

diabetes (Bare & Suzanne, 2002)

B. KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian (Doengoes, 2001)

a. Aktivitas / istrahat.

Tanda :

1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot menurun.

2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.

3) Letargi / disorientasi, koma.

b. Sirkulasi

Tanda :
1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada ekstremitas dan tachicardia.

2) Perubahan tekanan darah postural : hipertensi, nadi yang menurun / tidak ada.

3) Disritmia, krekel : DVJ

c. Neurosensori

Gejala :

Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk, lifargi, stuport / koma (tahap lanjut).

Sakit kepala, kesemutan, kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan, gangguan memori

(baru, masa lalu) : kacau mental, refleks fendo dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.

d. Nyeri / Kenyamanan

Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis dengan palpitasi : tampak sangat

berhati – hati.

e. Keamanan

Gejala :

1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.

2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia / paralysis otot termasuk otot – otot

pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam).

3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria / anuria jika terjadi hipololemia

barat).

4) Abdomen keras, bising usus lemah dan menurun : hiperaktif (diare).


f. Pemeriksaan Diagnostik

Gejala :

1) Glukosa darah : meningkat 100 – 200 mg/dl atau lebih.

2) Aseton plasma : positif secara menyolok.

3) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.

4) Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m osm/l.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah, poliuria, evaporasi.

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi

insulin/penurunan intake oral : anoreksia, abnominal pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik akibat

pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau karena proses luka.

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan sirkulasi.

e. Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan perubahan fungsi fisiologis akibat

ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena ketidakseimbangan elektrolit.

f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi, perubahan kimia darah, insufisiensi

insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi, hipermetabolik.

g. Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).


h. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan.

i. Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kesalahan interprestasi (Doengoes, 2001)


4. Perencanaan / Intervensi

DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN

1. Defisit volume cairan Klien akan mendemonstrasikan hidrasi 1. Kaji pengeluaran urine 1. M
berhubungan dengan adekuat, dengan kriteria : 2. Pantau tanda-tanda vital keku
hiperglikemia, diare, 3. Monitor pola napas mun
1. Nadi perifer dapat teraba, turgor kulit
4. Observasi frekuensi dan kualitas
muntah, poliuria, evaporasi sebe
baik. pernapasan
5. Timbang berat badan 2. Pe
2. Vital sign dalam batas normal, haluaran diak
urine lancer. 6. Pemberian cairan sesuai dengan
indikasi mer
3. Kadar elektrolit dalam batas normal kead

3. Par
mel
alka
pern
berh
aset

4. Kor
mem
pern

5. Me
caira
keef

6. Tipe
dera
2. Ketidakseimbangan nutrisi Klien akan mengkonsumsi secara tepat 1. Timbang berat badan. 1. Pen
kurang dari kebutuhan jumlah kebutuhan kalori atau nutrisi tida
tubuh berhubungan yang di programkan dengan kriteria : 2. Auskultasi bowel sound. 2. Hip
dengan defisiensi 3. Berikan makanan lunak / cair. caira
insulin/penurunan intake 1) Peningkatan barat badan. pen
oral: anoreksia, abnominal2) 4.
Pemeriksaan albumin dan globulin Observasi tanda hipoglikemia 3. Pe
pain, gangguan dalam batas normal. misalnya : penurunan tingkat berf
kesadaran/hipermetabolik kesadaran, permukaan teraba dan
akibat pelepasan hormone3) Turgor kulit baik, mengkonsumsi dingin, denyut nadi cepat, lapar, kesa
stress, epinefrin, cortisol, 4. Me
GH atau karena proses makanan sesuai program. kecemasan dan nyeri kepala. itu
luka. hipo
5. Berikan Insulin. 5. Aka
keda
3. Kerusakan integritas kulit Tujuan : Klien akan mempertahankan 1. Observasi tanda – tanda infeksi 1. Kem
berhubungan dengan integritas kulit tetap utuh dan terhindar dari
2. Ajarkan klien untuk mencuci 2. Men
adanya luka. dari inteksi dengan kriteria :
tangan dengan baik, untuk 3. Gan
1) Tidak ada tanda – tanda infeksi. mempertahankan kebersihan bila
tangan pada saat melakukan
2) Tidak ada luka. resik
prosedur.
3) Tidak ditemukan adanya perubahan 3. Pertahankan kebersihan kulit. 4. Pe
warna kulit. men
4. Dorong klien mengkonsumsi diet urin
secara adekuat dan intake cairan perk
3000 ml/hari.
5. M
5. Antibiotik bila ada indikasi
bakt

4. Resiko infeksi Tujuan : Klien akan menunjukkan tidak 1. Kaji keadaan kulit yangrusak 1. Me
berhubungan dengan adanya tanda “inteksi, dengan kriteria : mem
penurunan fungsi leucosit/ 2. Bersihkan luka dengan teknik
dap
gangguan sirkulasi a. Luka sembuh septic dan antiseptic
2. Me
b. Tidak ada edema sekitar luka. 3. Kompres luka dengan larutan pad
Nacl
c. Tidak terdapat pus, luka cepat 3. Sela
mongering. 4. Anjurkan pada klien untu
agarmenjaga predisposisi jarin
terjadinya lesi.
4. Ke
5. Pemberian obat antibiotic. pred

5. Anti

5 Nyeri berhubungan dengan Tujuan : Klien akan menunjukkan nyeri1. Kaji tingkat nyeri 1. Nye
adanya ulcus (luka berkurang / teratasi dengan kriteria : 2. Observasi tanda-tanda vital jarin
diabetes mellitus). lakt
a. Klien tidak mengeluh nyeri 3. Ajarkan klien tekhnik relaksasi 2. Pa

b. Ekspresi wajah ceria 4. Ajarkan klien tekhnik Gate dim


Control vita
dan
5. Pemberian analgetik 3. N
oksi
4. Mem
sara
5. Ana
nyer
sehi
5. Implementasi
Merupakan tahap dimana rencana keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi.

Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai peningkatan kesehatan baik yang

dilakukan secara mandiri maupun kolaborasi dan rujukan.

6. Evaluasi
Merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk mencapai kemampuan klien dan tujuan dengan

melihat perkembangan klien. Evaluasi klien diabetes mellitus dilakukan berdasarkan kriteria yang

telah ditetapkan sebelumnya pada tujuan


DAFTAR PUSTAKA

Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi 8), EGC, Jakarta

Carpenito, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi 2), EGC, Jakarta

Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta

Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi III), EGC,
Jakarta.

FKUI, 1979, Patologi, FKUI, Jakarta

Ganong, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta

Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta

Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC, Jakarta

Hinchliff, 1999, Kamus Keperawatan, EGC, Jakarta

Price, S. A dan Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi, EGC, Jakarta

Sherwood, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, (edisi 21), EGC, Jakarta

Sobotta, 2003, Atlas Anatomi, (Edisi 21), EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai