DIABETES MELLITUS
2. Etiologi
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur,
intoleransi terhadap glukosa juga meningkat, untuk golongan usia lanjut
diperlukan batas glukosa darah yang lebih tinggi dari pada orang dewasa non
usia lanjut.
Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas,
aktivitas fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta,
penggunaaan obat-obatan, disamping karena pada lansia terjadi penurunan
sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih dari 50% lansia diatas 60 tahun yang
tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang
abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan sebagai
diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin
terutama pada post reseptor.
Pada lansia cenderung terjadi peningkatan berat badan, bukan karena
mengkonsumsi kalori berlebih namun karena perubahan rasio lemak-otot dan
penurunan laju metabolisme basal. Hal ini dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya diabetes mellitus. Penyebab diabetes mellitus pada lansia secara
umum dapat digolongkan ke dalam dua besar :
a. Proses menua/kemunduran (Penurunan sensitifitas indra pengecap,
penurunan fungsi pankreas, dan penurunan kualitas insulin sehingga insulin
tidak berfungsi dengan baik).
b. Gaya hidup (life style) yang jelek (banyak makan, jarang olahraga, minum
alkohol, dan lain-lain.)
3. Klasifikasi
a. Diabetes melitus tipe I :
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
baik melalui proses imunologik maupun idiopatik. Karakteristik Diabetes
Melitus tipe I:
1. Mudah terjadi ketoasidosis
2. Pengobatan harus dengan insulin
3. Onset akut
4. Biasanya kurus
5. Biasanya terjadi pada umur yang masih muda
6. Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4
7. Didapatkan antibodi sel islet
8. 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
b. Diabetes melitus tipe II :
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin. Karakteristik Diabetes Mellitus tipe II :
1. Sukar terjadi ketoasidosis
2. Pengobatan tidak harus dengan insulin
3. Onset lambat
4. Gemuk atau tidak gemuk
5. Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun
6. Tidak berhubungan dengan HLA
7. Tidak ada antibodi sel islet
8. 30%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
9. ± 100% kembar identik terkena
4. Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada
lansia umumnya tidak ada. Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda
disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia
disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada
pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat
terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada
stadium lanjut. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan
akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.
Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua,
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus
dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya
gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta
kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh
dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang
sering ditemukan adalah :
a. Katarak
b. Glaukoma
c. Retinopati
d. Gatal seluruh badan
e. Pruritus Vulvae
f. Infeksi bakteri kulit
g. Infeksi jamur di kulit
h. Dermatopati
i. Neuropati perifer
j. Neuropati viseral
k. Amiotropi
l. Ulkus Neurotropik
m.Penyakit ginjal
n. Penyakit pembuluh darah perifer
o. Penyakit koroner
p. Penyakit pembuluh darah otak
q. Hipertensi
5. Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu
memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar.
Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas.
Bila insulin tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat
glukosa akan tetap berada di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di
dalam darah meningkat.
Pada DM tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan
predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun
dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan
terhadap insulin itu sendiri.
Pada DM tipe 2 yang sering terjadi pada lansia, jumlah insulin normal
tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang
sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah
menjadi meningkat
6. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi
vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah
mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
a. Diet
Suatu perencanaan makanan yang terdiri dari 10% lemak, 15%
Protein, 75% Karbohidrat kompleks direkomendasikan untuk mencegah
diabetes. Kandungan rendah lemak dalam diet ini tidak hanya mencegah
arterosklerosis, tetapi juga meningkatkan aktivitas reseptor insulin.
b. Latihan
Latihan juga diperlukan untuk membantu mencegah diabetes.
Pemeriksaan sebelum latihan sebaiknya dilakukan untuk memastikan bahwa
klien lansia secara fisik mampu mengikuti program latihan kebugaran.
Pengkajian pada tingkat aktivitas klien yang terbaru dan pilihan gaya hidup
dapat membantu menentukan jenis latihan yang mungkin paling berhasil.
Berjalan atau berenang, dua aktivitas dengan dampak rendah, merupakan
permulaan yang sangat baik untuk para pemula. Untuk lansia dengan
NIDDM, olahraga dapat secara langsung meningkatkan fungsi fisiologis
dengan mengurangi kadar glukosa darah, meningkatkan stamina dan
kesejahteraan emosional, dan meningkatkan sirkulasi, serta membantu
menurunkan berat badan.
c. Pemantauan
Pada pasien dengan diabetes, kadar glukosa darah harus selalu
diperiksa secara rutin. Selain itu, perubahan berat badan lansia juga harus
dipantau untuk mengetahui terjadinya obesitas yang dapat meningkatkan
resiko DM pada lansia.
d. Terapi (jika diperlukan)
Sulfoniluria adalah kelompok obat yang paling sering diresepkan
dan efektif hanya untuk penanganan NIDDM. Pemberian insulin juga dapat
dilakukan untuk mepertahankan kadar glukosa darah dalam parameter yang
telah ditentukan untuk membatasi komplikasi penyakit yang
membahayakan.
e. Pendidikan
1.Diet yang harus dikomsumsi
2. Latihan
3. Penggunaan insulin
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Glukosa darah sewaktu
b. Kadar glukosa darah puasa
c. Tes toleransi glukosa
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali
pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan metabolisme protein, lemak.
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai
dengan tugor kulit menurun dan membran mukasa kering.
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik
(neuropati perifer) ditandai dengan gangren pada extremitas.
d. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang kurang.
e. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan glukosa darah yang tinggi.
f. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan penglihatan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi
pasien dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil :
- Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
- Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
1. Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.
2. Tentukan program diet, pola makan, dan bandingkan dengan makanan
yang dapat dihabiskan klien.
R/ Mengidentifikasikan kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan
terapeutik.
3. Auskultrasi bising usus, catat nyeri abdomen atau perut kembung, mual,
muntah dan pertahankan keadaan puasa sesuai inndikasi.
R/ Hiperglikemi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
menurunkan motilitas atau fungsi lambung (distensi atau ileus paralitik).
4. Berikan makanan cair yang mengandung nutrisi dan elektrolit. Selanjutnya
memberikan makanan yang lebih padat.
R/ Pemberian makanan melalui oral lebih baik diberikan pada klien sadar
dan fungsi gastrointestinal baik.
5. Identifikasi makanan yang disukai.
R/ Kerja sama dalam perencanaan makanan.
6. Libatkan keluarga dalam perencanaan makan.
R/ Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberi informasi pada keluarga
untuk memahami kebutuhan nutrisi klien.
7. Observasi tanda hipoglikemia (perubahan tingkat kesadaran, kulit lembap
atau dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala,
pusing).
R/ Pada metabolism kaborhidrat (gula darah akan berkurang dan
sementara tetap diberikan tetap diberikan insulin, maka terjadi
hipoglikemia terjadi tanpa memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran.
8. Kolaborasi :
a. Lakukan pemeriksaan gula darah dengan finger stick
R/ Analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat daripada
memantau gula dalam urine.
b. Pantau pemeriksaan laboratorium (glukosa darah, aseton, pH, HCO3)
R/ Gula darah menurun perlahan dengan penggunaan cairan dan terapi
insulin terkontrol sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel dan
digunakan untuk sumber kalori. Saat ini, kadaar aseton menurun dan
asidosis dapat dikoreksi.
c. Berikan pengobatan insulin secara teratur melalui iv
R/ Insulin regular memiliki awitan cepat dan dengan cepat pula
membantu memindahkan glukosa ke dalam sel. Pemberian melalui IV
karena absorpsi dari jaringan subkutan sangat lambat.
d. Berikan larutan glukosa ( destroksa, setengah salin normal).
R/ Larutan glukosa ditambahkan setelah insulin dan cairan membawa
gula darah sekitar 250 mg /dl. Dengan metabolism karbohidrat
mendekati normal, perawatan diberikan untuk menghindari
hipoglikemia.
e. Konsultasi dengan ahli gizi
R/ Bermanfaat dalam penghitungan dan penyesuaian diet untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi.
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan osmotik diuresis ditandai
dengan tugor kulit menurun dan membran mukosa kering.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan
atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh
tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian
kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam
batas normal.
Intervensi :
1. Kaji riwayat klien sehubungan dengan lamanya atau intensitas dari gejala
seperti muntah dan pengeluaran urine yang berlebihan.
R/ Membantu memperkirakan kekurangan volume total. Adanya proses
infeksi mengakibatkan demam dan keadaan hipermetabolik yang
meningkatkan kehilangan air.
2. Pantau tanda – tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah
ortostatik.
R/ Hipovolemi dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan
berat ringannya hipovolemi saat tekanan darah sistolik turun ≥ 10
mmHg dari posisi berbaring ke duduk atau berdiri.
3. Pantau pola napas seperti adanya pernapasan Kussmaul atau pernapasan
yang berbau keton.
R/ Perlu mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang
menghasilkan kompensasi alkalosis respiratoris terhadap keadaan
ketoasidosis. Napas bau aseton disebabkan pemecahan asam asetoasetat
dan harus berkurang bila ketosis terkoreksi.
4. Pantau frekuensi dan kualitas pernapasan, penggunaan otot bantu napas,
adanya periode apnea dan sianosi.
R/ Hiperglikemia dan asidosis menyebabkan pola dan frekuensi
pernapasan normal. Akan tetapi peningkatan kerja pernapasan,
pernapasan dangkal dan cepat serta sianosis merupakan indikasi dari
kelelahan pernapasan atau kehilangan kemampuan melalui kompensasi
pada asidosis
5. Pantau suhu, warna kulit, atau kelembapannya.
R/ Demam, menggigil, dan diaphoresis adalah hal umum terjadi pada
proses infeksi, demam dengan kulit kemerahan, kering merupakan tanda
dehidrasi.
6. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membrane mukosa.
R/ Merupakan indicator tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang
adekuat.
7. Pantau masukan dan pengeluaran
R/ Memperkirakan kebutuhan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan
keefektifan terapi yang diberikan.
8. Ukur berat badan setiap hari.
R/ Memberikan hasil pengkajian terbaik dari status cairan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
9. Pertahankan pemberian cairan minimal 2500 ml/hari
R/ Mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi.
10. Ingkatkan lingkungan yang menimbulkan rasa nyaman. Selimuti klien
dengan kain yang tipis.
R/ Menghindari pemanasan yang berlebihan terhadap klien lebih lanjut
dapat menimbulkan kehilangan cairan.
11. Kaji adanya perubahan mental atau sensori.
R/ Perubahan mental berhubungan dengan hiperglikemi atau
hipoglikemi, elektrolit abnormal, asidosis, penurunan perfusi serebral,
dan hipoksia. Penyebab yang tidak tertangani, gangguan kesadaran
menjadi predisposisi aspirasi pada klien.
12. Observasi mual, nyeri abdomen, muntah, dan distensi lambung.
R/ Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung
sehinnga sering menimbulkan muntah dan secara potensial
menimbulkan kekurangan cairan dan elektrolit.
13.Observasi adanya perasaan kelelahan yang meningkat, edema,
peningkatan berat badan, nadi tidak teratur, dan distensi vaskuler.
R/ Pemberian cairan untuk perbaikan yang cepat berpotensi
menimbulkan kelebihan cairan dan gagal jantung kronis.
14. Kolaborasi :
a. Berikan terapi cairan sesuai indikasi :
1. Normal salin atau setengah normal salin dengan atau tanpa dekstrosa.
R/ Tipe dan jumlah cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan
dan respon klien secara individual.
2. Albumin, plasma, atau dekstran.
R/ Plasma ekspander (pengganti) dibutuhkan jika mengancam jiwa
atau tekanan darah sudah tidak dapat kembali normal dengan usaha
rehidrasi yang telah dilakukan.
15. Pasang kateter urine.
R/ Memberikan pengukuran yang tepat terhadap pengeluaran urine
terutama jika neuropati otonom menimbulkan retensi atau inkontinensia.