Anda di halaman 1dari 19

A.

LATAR BELAKANG

Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak

terjadi di masyarakat namun kurang mendapat perhatian (neglected diseases).

Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak

menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan

banyak korban, tetapi penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan

manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak dan pada

akhirnya dapat pula menyebabkan kematian (Djarismawati, 2008).

Prevalensi kecacingan di Indonesia masih relative tinggi di tahun 2006,

yaitu sebesar 32,6% , terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu

dari sisi ekonomi. Kelompok ekonomi rendah ini mempunyai resiko tinggi

terjangkit penyakit cacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga

hiegene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya (Kemenkes, 2006).

Angka kejadian infeksi cacing yang tinggi tersebut dikarenakan

rendahnya tingkat kebersihan diri dan lingkungan, kurangnya pemakaian jamban

keluarga yang menimbulkan pencemaran tanah dengan feses disekitar halaman

rumah. Hal ini dapat dimengerti karena Indonesia adalah Negara dengan tingkat

pengetahuan, keadaan sanitasi lingkungan dan hiegene masyarakat yang masih

rendah sehingga sangat menyokong terjadinya infeksi dan penularan cacing

(Gandahusada, dkk, 1998). Kondisi ini dapat menyebabkan tingginya angka

prevalensi kecacingan di tambah lagi dengan ekonomi masyarakat yang rendah

(Safar, 2003).

1
Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),

penyerapan (absorbsi) dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi

cacingan dapat menimbulkan kurangnya gizi berupa kalori dan protein serta

kehilangan darah yang dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh dan

menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak. Sehubungan dengan tingginya

angka prevalensi infeksi cacingan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

yaitu pada daerah iklim tropik, yang merupakan tempat ideal bagi perkembangan

telur cacing, perilaku yang kurang sehat seperti buang air besar di sembarang

tempat, bermain tanpa menggunakan alas kaki, sosial ekonomi, umur, jenis

kelamin, mencuci tangan, kebersihan kuku, pendidikan dan perilaku individu,

sanitasi makanan dan sumber air (Andaruni, dkk. 2012).

Salah satu cacing yang tingkat infeksinya masih tinggi di Indonesia ialah

cacing Enterobius vermicularis. Biasanya cacing Enterobius vermicularis di

sebut juga Pinworm, Buttworm, Seatworm, Threadworm dan dalam Bahasa

Indonesia di sebut cacing kremi. Penyakit yang di timbulkan oleh cacing ini di

sebut Oxyuriasis atau Enterobiasis ( Sandjaja, 2007).

Enterobius vermicularis merupakan nematoda usus yang siklus hidupnya

tidak melalui tanah. Penyakit yang di timbulkan oleh cacing ini disebut

Enterobiasis dengan rasa gatal di sekitar anus yang terjadi pada malam hari

sehingga tidur anak menjadi tergganggu, maka anak menjadi lemah, nafsu makan

berkurang dan pada anak perempuan cacing ini dapat menyebabkan radang pada

2
tuba falopii (salpingitis) dan akan sering buang air kecil ( Natadisastra dan

Agoes, 2009).

Infeksi Enterobius vermicularis sangat berbahaya bagi masyarakat

apalagi masyarakat dengan fasilitas perumahan yang terbatas serta sanitasi

lingkungan yang tidak memadai. Hal ini yang dapat di temukan di Dusun Air

Sagu.

Dusun Air Sagu merupakan salah satu dusun yang terletak di Desa

Noelbaki dan terletak di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang. Di

Dusun Air Sagu terdiri atas 10 RT dan RT 09 merupakan salah satu RT yang

sebagian besar di huni oleh para pengungsian dari Timor Leste. Tetapi sekarang

para pengungsian tersebut sudah menjadi warga Noelbaki karena sudah menetap

lama di Desa Noelbaki. Namun, fasilitas perumahan yang di huni oleh para

pengungsian dari Timor Leste masih sangat terbatas karena mereka semua

tinggal di dalam sebuah gedung yang sudah lama.

Di dalam gedung tersebut terdiri dari 20 orang kepala keluarga dan

memiliki anak-anak dengan jumlah yang banyak serta sanitasi lingkungan yang

tidak memadai karena tinggal dengan padat anggotanya. Hal ini terbukti pada

saat melakukan survei peneliti melihat bahwa tembok dari gedung tersebut

sebagian sudah rubuh. Rumah-rumah yang ada di dalam gedung tersebut di

batasi oleh sekat dan berlantai tanah, berdinding bebak dan memiliki tiga WC

dua WC rusak tetapi masih juga di gunakan sedangkan WC yang baik hanya 1

dan tingkat kebersihan lingkungannya masih kurang di perhatikan karena masih

3
di temukan pembuangan sampah di halaman rumah, air yang tergenang di

halaman rumah dan akses jalan yang rusak. Taraf kehidupan masyarakat disana

juga masih tergolong rendah sehingga berdampak pada kesehatan dan tingkat

pendidikan masyarakat.

Menurut survei pendahuluan yang di lakukan peneliti terhadap dua orang

anak di temukan bahwa salah satu anak tersebut menderita cacing Enterobius

vermicularis dan sangat berpeluang untuk bisa menularkan ke kakak adiknya

yang ada di dalam rumah maupun teman-temannya baik di sekolah maupun di

lingkungan rumahnya. Selain itu berdasarkan hasil observasi peneliti juga

mendapatkan informasi dari orang tua anak tersebut yang menjelaskan tentang

gejala yang di alami anak tersebut yaitu sering merasa gatal di sekitar anus sudah

sejak lama, nafsu makan berkurang serta berat badan menurun.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengambil

penelitian dengan judul “ Prevalensi Enterobiasis Pada Anak-Anak Di Dusun Air

Sagu RT 09 RW 04 Desa Noelbaki Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten

Kupang Tahun 2014 ”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berapakah prevalensi Enterobiasis pada anak-anak di Dusun Air Sagu

RT 09 RW 04 Desa Noelbaki Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang

Tahun 2014.

4
C. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui prevalensi infeksi kecacingan Enterobius

vermicularis pada anak-anak di Dusun Air Sagu RT 09 RW 04 Desa

Noelbaki Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang tahun 2014.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk menghitung prevalensi infeksi kecacingan Enterobius vermicularis

pada anak-anak di Dusun Air Sagu RT 09 RW 04 Desa Noelbaki

Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang tahun 2014.

b. Untuk mengetahui sikap, pengetahuan dan perilaku pada anak-anak di

Dusun Air Sagu RT 09 RW 04 Desa Noelbaki Kecamatan Kupang

Tengah Kabupaten Kupang tahun 2014.

D. MANFAAT

1. Bagi Masyarakat

Sebagai informasi tambahan bagi masyarakat tentang bahaya

infeksi kecacingan Enterobius vermicularis sehingga pentingnya kebersihan

diri dan lingkungan untuk mencegah terjadinya infeksi kecacingan

Enterobius vermicularis pada anak-anak di Dusun Air Sagu RT 09 RW 04

Desa Noelbaki.

5
2. Bagi Peneliti

Sebagai sarana menerapkan ilmu pengetahuan yang telah di dapat

selama mengenyam pendidikan di Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes

Kemenkes Kupang.

3. Bagi Institusi

Sebagai bahan tambahan referensi perpustakaan sekaligus informasi

bagi penelitian selanjutnya.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Enterobiasis

a. Pengertian

Enterobiasis adalah kejadian infeksi kecacingan yang di

akibatkan oleh masuknya cacing spesies Enterobius vermicularis pada

tubuh manusia yang di tandai dengan timbulnya rasa gatal di daerah

sekitar anus pada kasus infeksi berat (Gandahusada, 2006).

b. Epidemiologi

Penyebaran cacing Enterobius vermicularis lebih luas dari pada

cacing lainnya. Penularan dapat terjadi pada keluarga atau kelompok

yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing dapat diisolasi dari debu

dari ruangan.

Sekolah atau kafetaria sekolah yang menjadi sumber infeksi bagi

anak sekolah. Dalam lingkungan rumah tangga dan beberapa anggota

6
keluarga yang terinfeksi cacing kremi, telur cacing kremi dapat di

temukan (92 %) di lantai, kursi, meja, buffet, tempat duduk, kakus

(toilet), bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam (Sandjaja, 2007).

Kebersihan perorangan penting untuk mencegah terjadinya

enterobiasis. Kuku tangan hendaknya di potong pendek dan tangan di

cuci bersih sebelum makan. Guna mengendalikan penyebaran telur anak

yang menderita enterobiasis sebaiknya memakai celana panjang jika

hendak tidur, supaya alas tidur (kasur) tidak terkontaminasi telur cacing

dan tidak dapat menggaruk daerah perianal (Gandahusada, 2006).

2. Enterobius vermicularis

a. Morfologi dan daur hidup

Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. pada ujung anterior

ada pelebaran seperti sayap yang di sebut alae. Bulbus esofagus jelas

sekali, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar

dan penuh telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap

dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda Tanya (?),

spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di

rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan

rongga sekum. Makanannya adalah isi usus (Sutanto, 2008).

Cacing betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir

telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi

uterus dan vaginanya. Telur jarang di keluarkan di usus, sehingga jarang

7
di temukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada

satu sisi (asimetrik). Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari

dinding telur cacing tambang. Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam

setelah di keluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara

dingin. Dalam keadaan lembap telur dapat hidup sampai 13 hari

(Sutanto, 2008).

Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum.

Cacing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah

bertelur (Sutanto, 2008).

Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang atau bila

larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke

usus besar. Bila telur matang yang tertelan, telur menetas di duodenum

dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di

yeyunum dan bagian atas ileum (Sutanto, 2008).

Waktu yang di perlukan untuk daur hidupnya, mulai dari

tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang

bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung 2 minggu sampai 2 bulan.

Mungkin daurnya hanya berlangsung 1 bulan karena telur cacing dapat di

temukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu setelah pengobatan

(Sutanto, 2008).

8
Sumber:http://www.Standford.edu/group/parasites/parasites2004/enterobius/enterob
ius_lifecycle

b. Patologi dan gejala klinis

Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi

yang berarti. Gejala klinis yang menonjol di sebabkan iritasi di sekitar

anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke

daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal (Sutanto,

2008).

Beberapa gejala Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu

makan, berat badan turun, aktifitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi

menggeretak, insomnia dan masturbasi (Sutanto, 2008).

c. Cara penularan

Penularan dapat di pengaruhi oleh :

9
1. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk

daerah perianal (autoinfeksi) atau tangan dapat

menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri

sendiri karena memegang benda-benda maupun pakaian

yang terkontaminasi.

2. Debu merupakan sumber infeksi karena mudah di

terbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu dapat

tertelan.

3. Retrofeksi melalui anus : larva dari telur yang menetas di

sekitar anus kembali masuk ke usus (Sutanto, 2008).

Anjing dan kucing tidak mengandung cacing kremi

tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat

menempel pada bulunya ( Sutanto, 2008).

d. Diagnosis

Diagnosa infeksi cacing ini melalui penemuan telur

Enterobius vermicularis berupa sediaan hapusan perianal. Apabila

sediaan hapus perianal mengalami penundaan pembacaan

sebaiknya di simpan sediaan pada suhu 270C karena pada suhu

10
tersebut telur dapat mempertahankan morfologinya selama 6 jam

(Irianti, 2009).

Telur cacing dapat di ambil dengan mudah dengan alat anal

swab yang di tempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari

sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat(cebok)

(Sutanto, 2008).

e. Metode penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif yaitu membuat gambaran tentang prevalensi Enterobiasis

pada anak-anak di Dusun Air Sagu RT 09 RW 04 Desa Noelbaki.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian adalah Laboratorium Parasitologi Jurusan Analis

Kesehatan Poltekkes Kemenkes kupang, lokasi pengambilan sampel di

11
lakukan di Dusun Air Sagu RT 09 RW 04 Desa Noelbaki sedangkan

waktu penelitian di lakukan pada bulan Juni sampai Juli 2014.

3. Variabel penelitian

Variabel bebas : Variabel


penggangu:
pengetahuan, sikap dan
perilaku. Imunitas
perorangan

Variabel terikat :

Kejadian Infeksi Enterobius


vermicularis

4. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah anak-anak yang tinggal di

Dusun Air Sagu RT 09 RW 04 Desa Noelbaki.

5. Sampel dan teknik sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi dari anak-anak

yang tinggal di Dusun Air Sagu RT 09 RW 04 Desa Noelbaki

sedangkan teknik sampel dalam penelitian ini adalah Purposive

12
sampling yaitu teknik sampling yang mengambil responden berdasarkan

kriteria peneliti (Notoatmodjo,2010). Kriteria yang di gunakan pada

penelitian ini ialah anak-anak dengan usia 2-12 tahun di Dusun Air Sagu

RT 09 RW 04 Desa Noelbaki.

6. Definisi operasional

1. Prevalensi Enterobiasis adalah suatu gambaran kejadian infeksi

kecacingan yang di akibatkan oleh masuknya caing spesies

Enterobius vermicularis.

2. Cacing Enterobius vermicularis adalah cacing nematoda usus yang

tidak di tularkan lewat tanah.

3. Waktu pengambilan sampel adalah pada pagi hari sebelum anak

mandi dan berdefekasi.

4. Pemeriksaan laboratorium untuk identifikasi telur cacing

Enterobius vermicularis adalah pemeriksaan yang dilakukan

dengan metode langsung ( metode perianal swab).

5. Sikap,perilaku dan pengetahuan merupakan salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi timbulnya infeksi cacing Enterobius

vermicularis.

7. Prosedur penelitian

13
a. Pemeriksaan telur cacing dengan metode pita plastik perekat :

Pemeriksaan infeksi cacing Enterobius vermicularis metode pita

plastik perekat (adhesive cellophane tape) menurut Graham 1941

(Cit. Sandjaja (2007) :

1) Alat dan bahan :

a) Mikroskop.

b) Objek glass.

c) Selotip (cellophane) transparan.

2) Cara kerja :

a) Alat dan bahan yang akan di gunakan disiapkan .

b) Pasien di persiapkan tindakan dengan posisi terungkap

dan membuka celana agar memudahkan untuk mengambil

specimen pada daerah di sekitar anus yaitu di bagian

perianal.

c) Selotip yang transparan, di tempelkan pada anus atau

perianal pasien.

d) Kemudian selotip tersebut di angkat dan di tempelkan

pada objek glass.

e) Preparat siap untuk di periksa.

14
b. Pemeriksaan telur cacing metode Kato-Katz

1) Alat dan bahan :

a) Kawat kasa (selebar 3x4 cm untuk menyaring tinja).

b) Kertas karton tebal (selebar 3x4 cm di tengahnya

berlubang).

c) Objek glass.

d) Tutup botol dari karet.

e) Kertas saring (selebar 10x10 cm).

f) Kertas berminyak tidak tembus air ( selebar 10x 10

cm).

g) Bambu/Lidi dan tinja.

h) Selofan (selebar ± 2,5x3 cm).

i) Larutan untuk mewarnai selofan terdiri atas : 100

bagian aquades/ 6 % fenol, 100 bagian gliserin dan 1

bagian larutan hijau melachiete 3 %.

j) Selofan di rendam dalam larutan selama 18-24 jam

sebelum di gunakan.

2) Cara kerja :

a) Kertas saring di letakkan di atas kertas berminyak di

meja laboratorium.

15
b) Tinja diambil kira-kira 20-50 mg dengan lidi,

selanjutnya diletakkan di atas kertas saring di atas meja

laboratorium.

c) Kawat kasa di letakkan di atas tinja.

d) Objek glass di ambil dan kertas karton diletakkan di

atas objek glass ( lubang kertas karton harus berada di

tengah objek glass).

e) Kawat kasa di atas tinja ditekan dengan lidi, kemudian

dengan lidi tinja di atas kawat kasa di masukkan ke dalam

lubang kertas karton.

f) Tinja di atas objek glass ditutup dengan selofan.

g) Sediaan diletakkan secara terbalik di atas kertas saring.

h) Sediaan dibiarkan selama 20-30 menit.

i) Telur cacing dihitung ( jumlah telur cacing x 1000/50=

jumlah telur dalam 1 gram tinja) dibawah mikroskop.

8) Analisis hasil

a. Data karakteristik sampel dan kuesioner di sajikan secara deskriptif

dalam bentuk tabel sedangkan untuk perhitungan kuesioner di

sajikan dalam bentuk Skala Guttman.

b. Data prevalensi Enterobiasis di sajikan dalam bentuk rumus :

16
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝐸. 𝑣𝑒𝑟𝑚𝑖𝑐𝑢𝑙𝑎𝑟𝑖𝑠
𝑥 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑛𝑎𝑘

9) Jadwal penelitian

No. Jenis kegiatan Bulan

Maret April Mei Juni Juli Agustus

1. Pengumpulan judul

proposal.

2. Menentukan lokasi

penelitian.

17
3. Melakukan survei

pendahuluan.

4. Penyusunan proposal.

5. Seminar proposal.

6. Mendaftar nama anak-

anak yang ada di

Dusun Air Sagu RT

09 RW 04.

7. Pengambilan sampel

secara anal swab.

8. Penyusunan KTI.

9. Ujian KTI.

10) Rincian biaya

No. Jenis pengeluaran Jumlah

1. Biaya transportasi (Penfui- Rp. 200.000

Noelbaki-Dusun Air Sagu RT

09 RW 04)

18
2. Biaya alat dan bahan Rp. 300.000

pemeriksaan ( kaca objek dan

ceellotiphe)

3. Biaya ATK Rp. 300.000

4. Biaya pemeriksaan Rp. 400.000

5. Biaya tak terduga Rp. 350.000

Total Rp. 1.550.000

19

Anda mungkin juga menyukai