Anda di halaman 1dari 12

Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.

Syamsudin

Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum


M.Syamsudin
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Abstract
In the perspective of legal culture corruption denotes a behavior that contradicts to values and
norms either those of honesty, social, religion or the law. But, the emerging of the corruption
itself is influenced by individual and collective need and demand, and also iit is supported by
social culture environment that inherited the corruption tradition. Besides, legal culture of the
government dose not justify law and pays priority over social status, economy, and that of
politics of corruptor. The internal legal cultutre of law enforcement itself does not support to
solve the corruption that shows the corruption in the process of court. Departing from this
phenomenon it is clearly that corruption is regarded as society culture that difficult to solve,
instead the corruption can be proved legally but it can be regarded as other meaning for
instance commission, kompensation, reward, insentive, return fee and so on.

Kaywords: Corruption, Law En-


forcement, Legal Culture

T ulisan ini berangkat dari keprihatinan dan


kegelisahan yang mendalam terhadap
masalah besar yang sedang dihadapi
yang di beberapa negara seperti Hongkong
dan Singapura berhasil mengikis korupsi dan
menjadi ujung tombak gerakan pembe-
bangsa Indonesia dewasa ini yaitu “korupsi”. rantasan korupsi. Di lain pihak sudah ada
Menurut Suharko (2005), ditinjau dari beberapa peraturan pemerintah dengan
berbagai segi seperti legal perundang- operasinal pemberantasan korupsi. Jadi
undangan, kebijakan, dan institusi untuk secara teoritis sebenarnya hampir tidak ada
pemberantasan korupsi, Indonesia telah alasan bagi peningkatan dan perluasan
memiliki kelengkapan yang memadai, praktik korupsi di Indonesia (Suharko, 2005).
bahkan nyaris sempurna untuk melakukan Namun demikian, sejumlah fakta
pemberantasan korupsi secara sistematis. mutakhir menunjukkan tendensi yang
Indonesia telah memiliki TAP MPR Nomor sebaliknya, praktik korupsi semakin
XI/MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan meluas, vulgar dan merajalela. Perkem-
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, bangan praktek korupsi dari tahun ke tahun
Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan UU No.
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih daan Bebas KKN. Dari 1
Meskipun menurut Putusan Mahkamah
ketentuan itu lahir pula UU No. 31 Tahun Konstitusi Republik Indonesia keberadaan
1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pengadilan TIPIKOR yang diatur berdasarkan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2003 dianggap
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi inkonstitusional dan memberi kesempatan
kepada pembentuk UU untuk membentuk UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi1
Pengadilan Tipikor secara khusus.

183
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

semakin meningkat, baik dari segi kuantitas Dilihat dari segi penegakan hukum,
atau jumlah kerugian keuangan negara penanganan kasus korupsi di Indonesia
maupun dari segi kualitas yang semakin masih menunjukkan suatu yang
sistematis, canggih serta lingkupnya mengecewakan masyarakat. Berdasarkan
sesudah semakin meluas dalam seluruh hasil survei yang dilakukan oleh Indonesia
aspek masyarakat. Corruption Watch (ICW) menunjukkan
Berdasarkan laporan lembaga Transpa- bahwa Pengadilan Umum dipersepsi publik
ransi Internasional (TI) yang selalu sebagai lembaga yang masih berpihak pada
menerbitkan hasil survei Coruption Percep- pelaku korupsi. Selama tahun 2006, ICW
tion Index sejak tahun 1998, Indonesia selalu mencatat terdapat 117 terdakwa korupsi
berada di deretan atas negara-negara yang diputus bebas oleh pengadilan Umum
terkorup di dunia. Pada tahun 1998, Indo- dari 362 terdakwa korupsi yang diajukan ke
nesia pada peringkat ke-6 setelah Kamerun, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Paraguay, Honduras, Tanzania, dan Nige- Mahkamah Agung.2
ria. Pada tahun 1999, Indonesia berada pada Kasus pembebasan pelaku korupsi
peringkat ke-3 setelah Kamerun dan Negria. terjadi di hampir semua pengadilan baik di
Pada tahun 2000, Indonesia pada peringkat pusat (Jakarta) maupun di daerah-daerah.
ke-5 setelah Negria, Yugoslavia, Ukraina Di daerah misalnya, bebasnya sebanyak 22
dan Azarbaijan. Pada tahun 2001, Indone- anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sia pada peringkat ke-4 setelah Bangladesh, (DPRD) Bali dalam kasus korupsi Anggaran
Nigeria, dan Uganda. Meskipun pada tahun Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Rp 57,1
2004 nilai indeks persepsi korupsi (IPK) In- milliar. Di Garut terdapat 16 mantan anggota
donesia mengalami peningkatan, yakni 1,9 DPRD Garut periode 1999-2004 dibebaskan
menjadi 2,0 namun itu tidak signifikan setelah dinyatakan tidak bersalah dan tidak
karena tetap saja Indonesia menduduki melawan hukum. Di Pengadilan Negeri
posisi sebagai negara peringkat ke-5 Jakarta Selatan yang diputus bebas
terkorup dari 146 negara yang disurvei. misalnya kasus korupsi kredit macet Bank
Bahkan posisi itu sebenarnya lebih buruk Mandiri Rp 160 milliar dengan terdakwa
dari tahun sebelumnya karena negara yang mantan Dirut E.C.W. Neloe dan dua mantan
disurvei untuk tahun 2004 berjumlah lebih direksi Bank Mandir, Kasus korupsi
banyak (146 negara). Pada tahun 2003 In-
donesia menduduki posisi ke-6 terburuk dari 2
Hal senada juga ditunjukkan oleh hasil
136 negara yang disurvei (Kompas, 2004). survei Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP)
Tingginya tingkat korupsi di Indonesia Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
juga dicatat oleh Political Economy and bekerjasama dengan Kemitraan menunjuk-
Risk Consultancy Ltd. (PERC), sebuah kan bahwa kepercayaan publik terhadap
lembaga pemegang kekuasaan kehakiman
lembaga independen yang berkedudukan di rendah dan tidak percaya pada lembaga
Hongkong yang memantau tingkat risiko pengadilan, meskipun tidak spesifik pada
investasi di negara-negara Asia. Dari tahun pemberantasan korupsi. Responden terdiri
1998 sampai 2000, Indonesia pada dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota
peringkat pertama Negara terkorup di Asia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dan pada tahun 2001 turun menjadi peringkat pengusaha, pegawai swasta, wartawan, dan
ke-2 setelah Vietnam dan pada Tahun 2005, dosen yang didata dari 10 provinsi di Indone-
menempati urutan pertama. sia;

184
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

penyimpanan penggunaan dana Bulog Rp purna tugas yang disangka telah menerima
169 milliar dengan terdakwa Nurdin Khalid; suap bernilai puluhan juta rupiah berdasarkan
Kasus korupsi dana Jamsostek Rp1,8 milliar laporan yang masuk dari saksi pelapor
dengan terdakwa Muchtar Pakpahan. Lain sebagai korbannya (Erman, 2006).
halnya dengan kasus korupsi yang ditangani
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Batasan Pengertian Korupsi
(Tipikor), belum ada pelaku korupsi yang
Secara umum korupsi didefinisikan
diputus bebas (Jawa Pos, 2007).
sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk
Gambaran lemahnya perlakuan kepentingan pribadi. Robert Klitgaard
terhadap koruptor di Indonesia, juga (2002), merumuskan pengertian umum
ditunjukkan oleh banyaknya pelaku korupsi korupsi dalam rumus:
yang telah memadai menjadi terdakwa
diputus bebas atau lepas dari jeratan hukum.
C = M + D -A
Kalaupun sebagian dari mereka dipidana,
akan tetapi jumlahnya relatif kecil dan sanksi Dari rumus tersebut dapat dijelaskan
yang dijatuhkan terhadap pelaku korupsi bahwa, Korupsi (C=Corruption) adalah fungsi
relatif sangat ringan, tidak sesuai dengan dari Monopoli (M=Monopoly) ditambah
perbuatan yang dilakukan (Ronny, 2006). kewenangan (D=Discretion) dikurangi
Fakta-fakta tersebut mengundang Akuntabilitas (A=Acuntability). Jadi korupsi
ketidakpuasan dan keraguan masyarakat dapat terjadi apabila ada monopoli
terhadap kinerja pengadilan dalam menangani kekuasaan di tengah ketidakjelasan aturan
kasus korupsi (Kompas 2004). dan kewenangan, akan tetapi tidak ada
Ketidakpercayaan masyarakat mekanisme akuntabilitas atau
terhadap lembaga peradilan di Indonesia pertanggungjawaban kepada publik (Robert,
mengakibatkan merosotnya wibawa hukum 2002).
dan lembaga peradilan dewasa ini. Bahkan William J.Chambliss, mengemukakan
isu korupsi juga sudah memasuki lembaga bahwa dalam korupsi terlibat banyak pihak
peradilan itu sendiri. Berdasarkan laporan yang disebutnya sebagai cabal atau jejaring
tentang Bureaucratic and JudiciaryBribery korupsi. Ia melihat bahwa korupsi merupakan
yang pernah dibuat oleh Daniel Kaufmann bagian integral dari setiap birokrasi yang
pada tahun 1998 dinyatakan bahwa bertemu dengan kepentingan segelintir
penyuapan di Peradilan Indonesia adalah pengusaha, penegak hukum, dan politisi
yang paling tinggi di negara-negara seperti yang sulit dibongkar. Jejaring korupsi itu
Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolombia, Mesir, melibatkan para elit di pusat kekuasaan:
Yordania, Turki, dan lain-lain (Lubis, 1998). pucuk pimpinan eksekutif, elit partai politik,
Beberapa isu yang mengindikasikan petinggi lembaga peradilan dan kalangan
terjadinya praktek Korupsi Kolusi Nepotisme bisnis. Korupsi merupakan bagian dari
(KKN) di lembaga peradilan pernah sistem itu sendiri, oleh karena itu bukan
diungkapkan antara lain oleh Adi Andojo pekerjaan mudah untuk memberantas
Soetjipto yang membongkar kasus kolusi di korupsi karena aparat penegak hukum
Mahkamah Agung dalam kasus Gandhi Me- sering berada pada situasi yang dilematis.
morial School (Yasonna, 1996). Ditambahkan Korupsi bukanlah kejahatan di luar sistem,
pula dugaan KKN dua orang Hakim Agung oleh karena itu jejaring korupsi sangat sulit
yang masih aktif dan seorang Hakim Agung diterobos dari dalam karena kolusi antara

185
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

pengusaha dengan politisi dan aparat atau jasa tanpa ada pertalian langsung
penegak hukum. Jejaring korupsi juga sulit dengan keuntungan tertentu, selain
diterobos dari luar, karena aparat penegak keuntungan yang diharapkan akan diperoleh
hukum dapat menyediakan penjahat kelas pada masa mendatang. Bentuk korupsi
teri yang siap dikorbankan untuk melindungi seperti ini dilakukan oleh yang memberi
pelaku sesungguhnya yang berada dalam uang bulanan secara rutin kepada hakim.
jejaring tersebut (William, 2002). Harapannya kelak ketika kasusnya masuk
Paul Heywood (1977), mendefinisikan ke pengadilan, hakim yang telah digajinya
korupsi politik dengan penekanan pada langsung menangani perkaranya; (4) Korupsi
ruang publik sebagai “corrupt activities which perkerabatan (nepotisme) yaitu penunjukan
takeplace either wholly within the public secara tidak sah terhadap teman atau
sphare or at interface between the public and saudara untuk memegang suatu jabatan,
private spare –such as when politicians or atau tindakan pengutamaan dalam segala
functianories use their privileged acces to bentuk yang bertentangan dengan norma
resources (in whatever form) illigetimately to atau peraturan yang berlaku; (5) Korupsi
benefit themselves or others”. Dari batasan defensif. Korupsi ini dilakukan oleh korban
tersebut korupsi politik dibatasi oleh kriteria korupsi pemerasan. Dengan demikian orang
pelaku, yaitu politisi. Termasuk kategori yang diperas melakukan korupsi untuk
politisi adalah pejabat publik, seperti menyelamatkan kepentingannya. Korupsi
pemimpin birokrasi, pemimpin peradilan dan seperti ini sering dilakukan oleh keluarga
komandan polisi. Dengan demikian korupsi terdakwa yang tidak ingin terdakwa ditahan
di sektor bisnis atau korupsi keuangan (fi- atau diproses lebih lanjut; (6) Korupsi
nancial corruption) seperti manipulasi laporan otogenik yaitu korupsi yang dilakukan oleh
keuangan, manipulasi audit, tidak termasuk seorang diri karena mempunyai kesem-
kategori korupsi politik. Kecuali aktivitas patan untuk memperoleh keuntungan dari
korupsi tersebut melibatkan pejabat publik sesuatu yang diketahuinya sendiri. Panitera
(Paul, 1977). pengadilan kerap melakukan korupsi seperti
ini dalam administrasi pendaftaran perkara.
Syed Husein Alatas (1987), berda-
Ketidakjelasan tarif pendaftaran mem-
sarkan hasil penelitiannya di Asia, terutama
buatnya leluasa menentukan harga yang
di Malaysia dan Indonesia mengemukakan
harus dibayar oleh pengacara; (7) Korupsi
tujuh kategori korupsi, yaitu: (1) Korupsi
dukungan yaitu dukungan terhadap korupsi
transaktif yaitu uang yang menunjukkan
yang ada atau penciptaan suasana yang
adanya kesepakatan timbal balik antara
kondusif untuk dilakukaknnya korupsi.
pihak yang memberi dan menerima
Korupsi ini dilakukan oleh elit di lembaga
keuntungan bersama. Kedua pihak sama-
peradilan yang tidak mempunyai kemauan
sama aktif dalam menjalankan perbuatan
politik untuk menindak tegas bawahannya
tersebut; (2) Korupsi pemerasan yaitu jenis
(Hussein, 1987).
korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk
menyuap demi mencegah kerugian yang Fatwa Ulama Nahdlatul Ulama (NU)
mengancam dirinya, kepentingannya, atau pada Munas Alim Ulama dari kalangan NU
orang-orang dan hal-hal yang dihargainya. di Asrama Haji Pondok Gede, Agustus 2002
Korupsi yang dilakukan oleh Polisi lalu mengemukakan hal-hal sebagai berikut : (1)
lintas termasuk jenis korupsi pemerasan; Dalam pandangan syariat, korupsi meru-
(3) Korupsi investif yaitu pemberian barang pakan penghianatan berat (ghulul) terhadap

186
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan Evi Hartanti menyebutkan faktor-faktor
dampaknya, korupsi dapat dikategorikan penyebab terjadinya korupsi dikarenakan
sebagai pencurian (sariqah), perampokan lemahnya pendidikan agama dan etika,
(nahb); (2) Pengembalian uang korupsi tidak kolonialisme, kurangnya pendidikan,
menggugurkan hukuman. Karena tuntutan kemiskinan, tidak adanya sanksi yang
hukuman merupakan hak Allah, sementara keras, kelangkaan lingkungan yang subur
pengembalian uang korupsi ke negara untuk pelaku anti korupsi, struktur
merupakan hak masyarakat (hak adamiy). pemerintahan, perubahan radikal, dan
Hukuman yang layak untuk koruptor adalah keadaan masyarakat. Namun demikian
potong tangan sampai dengan hukuman faktor yang paling penting dalam dinamika
mati; (3) Money politics sebagai pemberian korupsi adalah keadaan moral dan
(berupa uang atau benda lain) untuk intelektual para pemimpin masyarakat
mempengaruhi dan atau menyelewengkan (Hartanti, 2006).
keputusan yang adil dan obyektif dalam Menurut Luhut M. Pangaribuan (2002),
pandangan syariat merupakan suap perilaku koruptif yang terjadi pada hampir
(risywah) yang dilaknat Allah, baik yang semua penegak hukum, bukan karena moral
memberi (rasyi), yang menerima (murtasyi), yang rendah namun sebagai akibat
maupun yang menjadi perantara (raaisyi) terjadinya demoralisasi dari para penegak
(Gatra, 2002). hukum itu sendiri. Akibatnya, menerima uang
secara tidak halal, menurut persepsi
Faktor Penyebab Korupsi mereka, bukanlah sesuatu yang aneh lagi,
Selo Sumardjan mengatakan bahwa akan tetapi menjadi suatu keharusan untuk
korupsi, kolusi dan nepotisme adalah dalam mereka lakukan. Setidaknya terdapat empat
satu nafas karena ketiganya melanggar hal faktor penyebab yang dapat dikemu-
kaidah-kaidah kejujuran dan norma hukum. kakan dari perilaku koruptif dari para penegak
Adapaun faktor sosial pendukung KKN hukum yaitu : (1) Kesejahteraan atau gaji
adalah : (1) Desintegrasi (anomie) sosial rendah, akan tetapi life style-nya tinggi; (2)
karena perubahan sosial terlalu cepat sejak Adanya ketidakpercayaan timbal balik di
revolusi nasional, dan melemahnya batas antara penegak hukum itu sendiri; (3) Akibat
milik negara dan milik pribadi; (2) Fokus pola korupsi yang terjadi pada masa Orde
budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial Baru; (4) Tidak adanya standar profesi bagi
beralih menjadi orientasi harta, kaya tanpa advokat (Luhut, 2002).
harta (sugih tanpo bondho) menjadi kaya Berdasarkan rekomendasi para pakar
dengan harta; (3) Pembangunan ekonomi hukum Center for The Independence of
menjadi panglima pembangunan bukan Judge and Lawyer (CIJL) pada konferensi
pembangunan sosial atau budaya; (4) dua tahunan (17-22 September 2000) di
Penyalahgunan kekuasaan negara sebagai Amsterdam, disimpulkan bahwa judicial
short cut mengumpulkan harta; (5) coruption terjadi karena tindakan-tindakan
Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, yang menyebabkan ketidakmandirian
menurun, menyebar, meresap dalam lembaga peradilan dan institusi hukum
kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak (polisi, jaksa, advokat dan hakim).
menggunakan kesempatan menjadi kaya Khususnya jika hakim atau pengadilan
(aji mumpung); (6) Pranata-pranata sosial mencari atau menerima berbagai macam
kontrol tidak efektif lagi. keuntungan atau janji berdasarkan

187
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

penyalahgunaan kekuasaan kehakiman inigorating here, deadening there; choosing


atau perbuatan lainnya, seperti suap, what parts of “law” will oprerate, which part
pemalsuan, penghilangan data atau berkas will not, what subtitute, detours, and by-
pengadilan, perubahan dengan sengaja passes will spring up; what changes will take
berkas pengadilan, pemanfaatan kepen- place openly or secretly. For want of a bet-
tingan umum untuk kepentingan pribadi, ter term, we can call some of these forces
sikap tunduk kepada campur tangan luar the legal culture. It is the element of social
dalam memutuskan perkara karena adanya attitude and value (Lawrence, 1975).
tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of Lebih lanjut dikemukakan bahwa istilah
interest, kompromi dengan pembela budaya hukum mengacu pada pengetahuan
advocat), pertimbangan keliru dalam mutasi, publik, sikap dan pola perilaku masyarakat
promosi dan pensiun, prasangka mem- berkaitan dengan sistem hukum.
perlambat proses peradilan, dan tunduk
The term legal culture has been loosly
kepada kemauan pemerintah dan partai
used to discribe a number of related phe-
politik (Putu, 2001).
nomena. It refers to public knowlege of and
Akibat adanya korupsi di pengadilan, attitudes and behavior patterns toward the
maka sudah dapat dipastikan sebagaian legal system. Do people feel and act as if
besar atau bahkan seluruhnya, produk courts are fair ? When are they willing to
lembaga peradilan tidak mencerminkan rasa use courts ? What part of the law do they
keadilan dan kepastian hukum, karena consider legitimate ? What do they know
disinyalir terjadi “main mata” di antara aparat about the law in general ? These attitudes
penegak hukum dengan para pihak pencari differ from person to person, but one can
keadilan. Permainan seperti itu semakin also speak of the legal culture of a country
memperburuk bahkan mempercepat proses or a group, if there are patterns that distin-
pembusukan lembaga peradilan yang pada guish it from the culture of the countries or
gilirannya akan menumbuhkan sikap antipati groups (Lawrence, 1975).
kepercayaan masyarakat kepada lembaga
Friedman, menelaah budaya hukum
peradilan. Kemudian yang terjadi adalah
dari pelbagai perspektif. Ia menganalisa
munculnya serta tumbuh suburnya berbagai
budaya hukum nasional yang dibedakan dari
tindakan main hakim sendiri di masyarakat
sub-budaya hukum yang berpengaruh
dalam menyelesaikan sengketa.
secara positif atau negatif terhadap hukum
nasional. Ia juga membedakan budaya
Perspektif Budaya Hukum
hukum internal dan budaya hukum
Istilah budaya hukum pertama-tama eksternal. Budaya hukum internal
dikemukakan oleh Friedman untuk merupakan budaya hukum warga
menyebut kekuatan-kekuatan sosial (social masyarakat yang melaksanakan tugas-
forces) yang mempengaruhi bekerjanya tugas hukum secara khusus, seperti polisi,
hukum di masyarakat, yang berupa elemen- jaksa hakim dalam menjalankan tugasnya,
elemen nilai dan sikap masyarakat sedangkan budaya hukum eksternal
berhubungan dengan institusi hukum. merupakan budaya hukum masyarakat pada
Dikemukakan oleh Friedman bahwa: umumnya, misalnya bagaimana sikap dan
Social forces are constantly at work on pengetahuan masyarakat terhadap
the law -destroying here, renewing there; ketentuan perpajakan, perceraian dan

188
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

sebagainya. Ia juga membedakan budaya gal culture) (Satjipto, 1980). Tuntutan-


hukum tradisional dan budaya hukum mod- tuntutan tersebut datangnya dari
ern. Dengan adanya pelbagai sistem hukum masyarakat atau para pemakai jasa hukum
dalam suatu komunitas politik tunggal maka dan menghendaki suatu penyelesaian atau
disebut pluralisme hukum. Pluralisme pemilihan cara-cara penyelesaian dari
hukum dapat berbentuk horizontal atau alternatif-alternatif penyelesaian. Pemilihan
vertikal. Pada yang horisontal masing- tersebut akan didasarkan pada pengaruh
masing subsistem atau sub-budaya faktor orientasi, pandangan, perasaan, sikap
mempunyai kekuatan hukum sama, dan perilaku seseorang dalam masyarakat
sedangkan yang vertikal kekuatan terhadap hukum. Faktor-faktor tersebut
hukumnya berbeda-beda. didasarkan pada besarnya pengaruh
Menurut Friedman, budaya hukum dorongan kepentingan, ide, sikap, keinginan,
menunjuk pada dua hal yaitu : (1) unsur adat- harapan, dan pendapat orang tentang
istiadat yang organis berkaitan dengan hukum. Jika ia memilih pengadilan, hal
kebudayaan secara menyeluruh; dan (2) tersebut disebabkan karena yang
unsur nilai dan sikap sosial. Lebih lanjut bersangkutan mempunyai persepsi positif
dikatakan bahwa sistem hukum yang terdiri tentang pengadilan dan dipengaruhi oleh
dari struktur dan subtansi, bukanlah faktor-faktor pendorong tersebut (Satjipto,
merupakan mesin yang bekerja. Apabila 1991).
kedua unsur itu berfungsi dalam masukan Jika konsep budaya hukum ini
dan keluaran proses hukum, maka dipergunakan untuk melihat penanganan
kekuatan-kekuatan sosial tertentu korupsi, maka akan nampak bahwa makna
berpengaruh terhadapnya. Kekuatan- korupsi itu sendiri akan sangat ditentukan
kekuatan sosial itu merupakan variabel oleh nilai-nilai yang ada dibalik korupsi itu
tersendiri yang disebut ‘budaya hukum’. sendiri. Dari berbagai pengertian korupsi
Variabel itu berproses bersamaan dengan yang telah dikemukakan di muka, nampak
kebudayaan sebagai suatu variasi, yang bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan
kemungkinan variabel tersebut menentang, yang bertentangan dengan nilai-nilai dan
melemahkan, atau memperkuat sistem norma-norma kejujuran, sosial, agama dan
hukum (Lawrence, 1975). hukum. Namun demikian munculnya
Friedman melihat bahwa hukum itu korupsi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh
tidak layak hanya dibicarakan dari segi tuntutan-tuntutan kebutuhan individual
struktur dan subtansinya saja, melainkan maupun kelompok serta didukung oleh
juga dari segi unsur tuntutan-tuntutan (de- lingkungan sosial-budaya yang mewarisi
mands) yang berasal dari kepentingan- tradisi korup. Di samping itu budaya hukum
kepentingan (interests) individu dan elit penguasa tidak menghargai kedaulatan
kelompok masyarakat ketika berhadapan hukum, akan tetapi lebih mementingkan
dengan institusi hukum. Kepentingan- status sosial, ekonomi dan politik para
kepentingan dan tuntutan-tuntutan tersebut koruptor. Budaya hukum internal penegakan
merupakan kekuatan-kekuatan sosial (so- hukum sendiri juga tidak mendukung
cial forces) yang tercemin dalam sikap dan pemberantasan korupsi, yang ditunjukkan
nilai-nilai yang ada di masyarakat. Unsur dengan adanya praktek korupsi dalam
kekuatan-kekuatan sosial tersebut disebut proses peradilan (judicial corruption).
oleh Friedman sebagai budaya hukum (le-

189
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

Berdasarkan hasil penelitan yang pernah kalangan hakim, vonis yang dijatuhkan bisa
dilakukan oleh Wasingatu Zakiyah dkk, ditawar dengan imbalan uang dan fasilitas
korupsi juga terjadi di seluruh lembaga (Zakiyah, 2002).
peradilan, mulai dari Pengadilan Negeri Dari penglihatan inilah, maka nampak
sampai Mahkamah Agung. Korupsi tersebut bahwa ada sebagian kalangan yang
melibatkan hampir seluruh pelaku di peradilan berpendapat bahwa korupsi sudah menjadi
seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan budaya bagi masyarakat Indonesia
panitera. Selain itu pihak luar peradilan juga (Sutandiyo, 2000). Korupsi hampir terjadi di
menjadi bagian dari praktek korupsi seperti setiap tingkatan dan aspek kehidupan
calo perkara. Karena korupsi terjadi secara masyarakat, mulai dari mengurus Ijin
meluas di pengadilan, publik lalu menjulukinya Mendirikan Bangunan (IMB), proyek
dengan istilah mafia peradilan. Mafia peradilan pengadaan di instansi-instansi pemerintah
lebih berkonotasi pada praktek korupsi antara sampai proses penegakan hukum. Tanpa
hakim, pengacara, dan jaksa, serta pihak- disadari, korupsi muncul dari kebiasaan
pihak lain di peradilan, yaitu merujuk pada yang dianggap lumrah dan wajar oleh
konspirasi untuk memenangkan salah satu masyarakat umum, seperti memberi hadiah
pihak tertentu. kepada pejabat/ pegawai negeri atau
Karena bertahun-tahun praktek korupsi keluarganya sebagai imbal jasa sebuah
dibiarkan, akhirnya korupsi peradilan pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah
menjadi sistemik. Disebut demikian karena dilakukan sebagai bagian dari budaya
mafia peradilan menjadi bagian dari sistem ketimuran. Kebiasaan ini lama-lama menjadi
peradilan itu sendiri. Praktek mafia peradilan bibit-bibit korupsi yang nyata (KPK, 2006).
seakan-akan menjadi sebuah kebiasaan Praktik korupsi sudah sedemikian hebatnya
yang wajar dan natural di lingkungan mewarnai keseharian bangsa Indonesia.
peradilan. Calo-calo perkara di peradilan Dalam ungkapan M. Hatta, korupsi pada
aman beroperasi di depan hakim, panitera, situasi yang demikian sudah dianggap
jaksa dan polisi. Hasil penelitian tersebut sebagai budaya bangsa (Sahlan, 2005).
berhasil mengungkap bahwa sekitar 300 Dalam perspektif demikian, kalaupun
responden yang menjadi sumber data pada akhirnya dapat dibuktikan legalitasnya,
penelitian, mengakui terjadinya korupsi di korupsi sebenarnya bukanlah korupsi,
pengadilan. melainkan mempunyai makna lain seperti
Berdasarkan temuan pola-pola korupsi, komisi, kompensasi, hadiah, insentif, return
mafia peradilan terjadi pada setiap tahapan fee, tali asih, asuransi, jasa keringat, dan
beracara, baik pada peradilan perdata, istilah-istilah lain yang berkonotasi serupa
pidana dan niaga. Pada tahap penyelidikan (Sugiharto, 2005).
dan penyidikan dalam peradilan pidana, Menurut pengalaman Sahlan Said
sebagai contoh, jikalau ada uang, tersangka (mantan hakim), ia sering menyaksikan
tidak harus mendekam di tahanan. Bahkan perilaku judicial corruption itu dilakukan oleh
kalau negosiasi lancar, tersangka dapat rekan-rekan seprofesinya, terutama
bebas begitu saja. Hal yang sama juga terhadap kasus-kasus yang dianggap
terjadi di Kejaksaan.Pasal-pasal meringan- “basah” seperti kasus korupsi. Misalnya
kan yang dikenakan dalam tuntutan jaksa pada waktu menangani kasus korupsi di
dianggap sebagai sebuah kebaikan yang Banyumas, di mana terdakwa adalah
harus dihargai dengan uang. Demikian di seorang pemborong yang disinyalir kasus

190
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

ini melibatlan pejabat-pejabat daerah. justru dianggap lebih penting (Yasona, 1996).
Putusan majelis hakim pada waktu itu Kasus pemalsuan putusan Mahkamah Agung
membebaskan terdakwa, tetapi ia sebagai juga menjadi bukti adanya praktek KKN di
salah satu anggota majelis berbeda lingkungan peradilan. Bukti konkrit KKN yang
pendapat dengan 2 hakim lainnya, karena terjadi di lembaga peradilan yang dilakukan oleh
menurutnya terdakwa terbukti melakukan hakim terjadi pada saat akhir tahun 1970-an
tindak pidana korupsi. Putusan tersebut hingga awal tahun 1980-an ketika digelar
sempat membuat berang Jaksa Penuntut operasi tertib pusat (obtibpus). Pada saat itu
Umum (JPU) yang mengindikasikan adanya banyak hakim yang kena jaring operasi karena
KKN. Setelah timbul kontroversi, 2 hakim tertangkap basah menerima uang suap di
tersebut diperiksa oleh Ketua Pengadilan kantornya (Yasona, 1996). Ada juga kasus
Tinggi Semarang (Sahlan, 2005). seorang hakim meminta uang suap kepada
Kasus lainnya adalah perkara korupsi seorang nyonya sebesar 50 juta rupiah untuk
Jogja Expo Center (JEC) yang terdakwanya memenangkan perkaranya (Husein, 1987).
adalah seorang anggota Dewan Perwakilan Bahkan pada dekade itu pernah ada seorang
Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Yogyakarta. hakim pria senior yang karena terbukti meminta
Majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa dan menerima uang suap, akhirnya hakim
terbukti bersalah melakukan korupsi dengan tersebut diadili dan dijatuhi pidana penjara serta
cara menyalahgunakan jabatannya untuk diberhentikan dengan tidak hormat dari
meminta uang Tunjangan Hari raya (THR). jabatannya sebagai hakim.
Pada kasus ini terdapat perlakuan
diskriminatif yakni beberapa orang yang Solusi: Dibutuhkan Penegak
mestinya berpotensi untuk menjadi terdakwa Hukum Progresif
ternyata tidak diajukan ke pengadilan, Keterpurukan penegakan hukum dalam
sehingga terkesan hanya ada 1 terdakwa menangani masalah korupsi yang
“martil” yang diajukan ke pengadilan pada digambarkan di atas pada puncaknya telah
kasus yang sarat dengan muatan politis membawa bangsa Indonesia terjatuh pada
tersebut. Pada waktu itu Kejaksaan Tinggi keadaan krisis hukum. Krisis adalah keadaan
menyatakan tidak ada terdakwa lain. tidak normal oleh karena berbagai institusi
Padahal sebelumnya sudah ada beberapa yang telah dinormakan untuk menata proses-
nama yang disidik dan tidak pernah proses dalam masyarakat tidak mampu lagi
dikeluarkan SP3 (Surat Perintah menjalankan fungsinya secara tepat. Hukum
Penghentian Penyidikan) oleh jaksa (Sahlan, kehilangan kepercayaan dan pamor untuk
2005). mewujudkan nilai keadilan yang harus
Menurut Yosanna H.Laoly, bagi diberikan. Ia tidak lagi berada pada posisi
sebagian besar praktisi hukum, dugaan otoritatif untuk menata dan mengendalikan
adanya kolusi bahkan korupsi di lingkungan proses-proses ekonomi, sosial, politik dsb,
peradilan bukan suatu yang aneh atau melainkan difungsikan sebagai alat untuk
mengejutkan. Sudah bukan rahasia lagi di kepentingan kekuasaan. Hukum tidak lagi
kalangan pengacara, mereka tidak hanya bekerja secara otentik. Dampak dari
bergantung pada logika hukum saja untuk ketidakpercayaan pada penegakan hukum
memenangkan perkara, akan tetapi juga tersebut, sebagian rakyat kemudian
bergantung pada pendekatan-pendekatan melakukan tindakan penyelesaian sendiri,
non-hukum. Pendekatan-pendekatan ini yang salah satu bentuknya adalah perbuatan

191
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

main hakim sendiri (eigenrichting). Situasi pengetahuan itu dinamis dan tak pernah
sosial menjadi anomis dan setiap orang berhenti dengan inovasi-inovasi (Satjipto,
bebas membuat tafsiran, melakukan dan 2006).
memutuskan tindakan sendiri. Satjipto Terhadap hal yang demikian juga telah
Rahardjo menggambarkan sistuasi ini banyak pikiran dan pendapat dari para ahli
sebagai Era Hukum Rakyat (Satjipto, 2002). tentang bagaimana jalan memperbaikinya.
Dalam situasi krisis atau tidak normal Di antara banyak pikiran dan pendapat yang
ini dibutuhkan pula cara-cara penyelesaian berkembang itu antara lain berkaitan dengan
hukum yang tidak normal atau cara yang di ketidakmandirian serta merosotnya
luar kebiasaan (extra-ordinary) akan tetapi martabat pribadi dari para hakim. Oleh
masih dalam koridor atau kerangka dari karena itu yang harus diperbaiki adalah
tujuan hukum tersebut. Cara yang luar kemandirian serta pribadi para hakimnya.
biasa ini bukan berarti bertindak anarkis, Penegak hukum, terutama hakim harus
akan tetapi berwatak progresif. Berpikir luar berpikiran progresif (Kompas, 2002) dan
biasa pada intinya adalah tidak membaca berani menafsirkan atau menemukan hukum
undang-undang seperti orang mengeja agar mampu menjawab semua persoalan
sebuah teks, akan tetapi mencari dan yang datang ke hadapan para hakim
mengungkap makna dari undang-undang sehingga putusan yang dihasilkan
tersebut. Akibat mencari makna itu, lalu memenuhi rasa keadilan masyarakat
berani bertindak rule-breaking. Berpikir luar (Charles, 2006).l
biasa ini harus dimulai dari kalangan
komunitas hukum seperti hakim, jaksa, Daftar Pustaka
advokat, polisi dan akademisi (Satjipto,
Azizy, Q. 2006. “Menggagas Ilmu Hukum
2006).
Indonesia”, dalam Buku : Menggagas
Rule-breaking membutuhkan berbagai Hukum Progressif Indonesia,
pendekatan cara penyelesaian hukum yang Penyunting : Ahmad Gunawan dan
holistik dan bahkan ekstra legal untuk Muammar Ramadhan, Yogyakarta:
menggali makna hukum. Pengalaman Pusataka Pelajar;
penyelesaian hukum yang hanya
mengandalkan pendekatan yuridis-formal Alatas, S.H. 1987. Korupsi: Sifat, Sebab,
yang bersifat linier hanya menambah deretan dan Fungsi. Jakarta : LP3ES;
kekecewaan para pencari keadilan. Sudah
saatnya para akademisi dan praktisi hukum Chambliss, W.J. t.t. Corruption, Bureau-
berani mentransformasikan diri untuk mencari cracy and Power, in Chambliss (ed).
pendekatan dan cara berpikir alternatif untuk Sociologcal Reading in the comflict
menyelesaikan berbagai persoalan hukum perspective;
yang kian rumit dan kompleks. Berbagai
pendekatan yang ada bukan saatnya lagi Friedman, L. M. 1975. The Legal System :
dipertentangkan dan dipersalahkan, akan A Social Science Perspektive, New
tetapi justru saling melengkapi kekurangan- York : Russel Sage Fondation;
kekurangan yang ada dengan kelebihan
masing-masing. Para lawyer harus bersikap Firdaus, M.Y. 2007. “ Pandemik Korupsi dan
terbuka dengan perkembangan yang terjadi Mentalitas Birokrasi”. Opini Radar
dan tak perlu menutup diri. Bukankah ilmu Jogja, 27 Januari 2007;

192
Korupsi dalam Perspektif Budaya Hukum ; M.Syamsudin

Gunawan, A & R, Muammar (Ed). Menggagas Kesinambungan dan Perubahan,


Hukum Progresif Indonesia. Jakarta : LP3ES.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
Puspokusumo, RM.T. 1999. “ Fungsi Om-
Hartanti, E. 2006. Tindak Pidana Korupsi. budsman dalam Negara Demokrasi”,
Jakarta : Sinar Grafika Makalah pada Seminar tentang
Fungsi Ombudsman dalam Negara
Heywood, P. 1977. “Political Corruption: Demokrasi, BPHN, 23-24 Agustus
Poblem and Perspectives” Political 1999;
Studies, Vol.45 No.3, Special Issue;
Putra, H.S. A. 2002. “Korupsi di Indonesia:
Himawan, C. 2006. Hukum sebagai Budaya atau Politik Makna” dalam
Panglima. Editor Abu Sunda. Jakarta: Wacana, Insis Press, Edisi 14, Tahun
Kompas. III,

Klitgaard, R. 2002. Penuntun Pembe- Rahardjo, S.2006. Membedah Hukum


rantasan Korupsi dalam Pemerintah Progresif. Joni Emirzon, dkk (ed).
Daerah. Terj. Masri Maris. Jakarta : Jakarta : Kompas:
YOI.
______.2006. “Pemberantasan Korupsi
Laoly, Y. H. 1996. “Kolusi: Fenomene atau Progresif”. Makalah disampaikan
Penyakit Koronis”, dalam Aldentua pada diskusi Peran Komisi Yudisial
Siringoringo dan Tumpal Sihite, (Ed). dalam Pemberantasan Mafia
Menyingkap Kabut Peradilan- Peradilan di Indonesia. FH Unissula
peradilan Kita –Menyoal Kolusi di / Kp2KKN Semarang 1 Pebruari,
Mahkamah Agung. Jakarta: Pustaka 2006;
Forum Adil Sejahtera;
______. 2006. “Hukum Progresif,
Lev, D. S. 1990. Hukum dan Politik di Indo- Kesinambungan, Merobohkan, dan
nesia, Kesinambungan dan Membangun”, Jurnal Hukum
Perubahan, terjemahan Nirwono dan Progresif Volume: 2 Nomor 1/April
AE Priyono, Jakarta : LP3ES; 2006;

Lubis, T. M. 1998. “Reformasi Hukum Anti ______. “Hukum Progresif sebagai Dasar
Korupsi” Makalah disampaikan dalam Pembangunan Ilmu Hukum Indone-
Konferensi Menuju Indonesia yang sia”. Dalam Buku : Menggagas
Bebas Korupsi, Depok, September Hukum Progressif Indonesia,
1998; Penyunting : Ahmad Gunawan dan
Muammar Ramadhan, Pusataka
Nitibaskara, Tb.R. R. 2006. Tegakkan Pelajar, Yogyakarta;
Hukum Gunakan Hukum. Jakarta :
Kompas; ______. 1991. Ilmu Hukum, Cetakan III,
Bandung : PT Citra Aditya Bakti;
Nirwono dan Priyono, AE.(ed). 1990. Hukum
dan Politik di Indonesia,

193
UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007

______. 2003. “Budaya Hukum Indonesia” Suharko. 2005. “Pemberantasan Korupsi,


dalam Sisi-sisi lain dari Hukum di In- Menuju Grand Strategy Anti Korupsi
donesia. Karolus Kopong Medan dan untuk Indonesia” Jurnal Demokrasi,
Frans J. Rengka (Ed). Jakarta : Volume II/N0.7/Januari 2005;
Penerbit Kompas;
Zakiyah, W, et.all. 2002. Menyingkap Tabir
Said, S. 2005. “Penegakan Hukum Anti Mafia Peradilan. Jakarta : ICW;
Korupsi”. Jurnal Demokrasi, Volume
II/N0.7/Januari 2005; Wignjosoebroto, S. Kompas, 4 September
2000.
Siringoringo, A dan Sihite, T.(tt) (Ed).
Menyingkap Kabut Peradilan- Jawa Pos, 8 Januari 2007;
peradilan Kita –Menyoal Kolusi di
Mahkamah Agung. Jakarta : Pustaka Jawa Pos, 19 Pebruari 2007;
Forum Adil Sejahtera;
Radar Jogja, 27 Januari 2007;
Suparman, E. 2006. “Asal Usul serta
Landasan Pengembangan Ilmu Kompas, 15 Juli 2002;
Hukum Indonesia”, dalam buku :
Menggagas Hukum Progressif Indo- Kompas, 12 Nopember 2002;
nesia, Penyunting : Ahmad Gunawan
dan Muammar Ramadhan. Kompas, 28 April 2003;
Yogyakarta : Pustaka Pelajar;
Kompas, 12 Pebruari 2004;
Sugiharto, T. 2005. “Mengebor Sumur Tanpa
Dasar” Jurnal Demokrasi, Volume II/ Kompas, 3 Pebruari 2004;
N0.7/Januari 2005.
Gatra, 10 Agustus 2002;
Soekanto, S. et. al. 1994. Antropologi
Hukum, Proses Pengembangan Ilmu
Hukum Adat, Jakarta : CV Rajawali;

rrr

194

Anda mungkin juga menyukai