Trigger Cases
Trigger Cases
SKENARIO KASUS
Hari Selasa, tanggal 30 Mei 2017 di BPM Bidan “M” di Kota “B”.
Data klien : Ny. “P” berusia 40 tahun, riwayat obstetri G5P4A0, anak terkecil berusia dua tahun.
Riwayat persalinan yang lalu lahir di bidan dan mengalami perdarahan setelah melahirkan plasenta.
Hasil pemeriksaan Hb terakhir 2 minggu yang lalu 9 gr%.
Ibu datang ke tempat praktik bidan “M” dengan keluhan mules sejak 12 jam yang lalu dan ingin
mengedan. Hasil pemeriksaan bidan pembukaan sudah lengkap dan kepala sudah didasar panggul.
Setelah dipimpin mengedan selama 30 menit bayi lahir spontan langsung menangis. Setelah 30 menit
kelahiran bayi plasenta belum juga lahir, uterus berkontraksi, terdapat pengeluaran darah sedikit dari
jalan lahir. Bidan mendiagnosis ibu mengalami retensio plasenta. Dengan mempertimbangkan adanya
indikasi manual plasenta pada ibu ini, akhirnya bidan memutuskan melakukan manual plasenta, dan
plasenta berhasil dilahirkan.
Tugas belajar:
1. Pada kasus diatas, bidan mendiagnosa klien dengan retensio plasenta, atas dasar apa bidan
menetapkan analisis tersebut ? jelaskan!
Bidan mendiagnosis klien dengan retensio plasenta karena plasenta tidak lahir setelah 30 menit
kelahiran bayi, uterus berkontraksi, dan terdapat pengeluaran darah sedikit dari jalan lahir.
2. Apa yang anda ketahui mengenai retensio plasenta, meliputi :
a. Pengertian
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi 30
menit setelah bayi lahir. (Triana,dkk., 2015)
b. Etiologi
1) Plasenta belum lepas dari dinding uterus, dapat disebabkan oleh:
2) Sebab fungsionil: His kurang kuat untuk melepaskan plasenta (sebab utama). Selain itu
dapat terjadi karena tempat insersi di sudut tuba atau karena bentuknya seperti
plasenta membranecea (bentuk plasenta lebar dan tipis hampir memenuhi seluruh
korion).
3) Sebab patologi-anatomis: Implantasi plasenta yang perlekatannya ke dinding uterus
terlalu kuat seperti plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta. (Saifuddin,
2007)
4) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan, disebabkan oleh tidak adanya
kontraksi yang adekuat (atonia uteri) atau karena kesalahan dalam penanganan kala III,
seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu dilakukan sebelum terjadinya pelepasan dari
plasenta dapat menyebabkan kontraksi menjadi tidak teratur, pemberian uterotonik yang
tidak tepat waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi (pembentukan constriction
ring). (Dewi, 2015)
Sepanjang plasenta belum terlepas sama sekali, maka tidak akan menimbulkan
perdarahan, tetapi jika sebagian plasenta telah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang
cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi segera. (Dewi, 2015)
c. Faktor risiko
Menurut Saifuddin (2009), faktor predisposisi retensio plasenta antara lain:
1) Grandemultipara.
Paritas mempunyai pengaruh terhadap kejadian perdarahan postpartum yang
diakibatkan retensio plasenta karena pada setiap kehamilan dan persalinan terjadi
penurunan sel-sel desidua.
2) Kehamilan ganda, sehingga memerlukan implantasi plasenta yang luas.
3) Kuret berulang, karena plasenta dapat tertanam lebih dalam pada uterus
4) Plasenta previa, karena dibagian isthmus, pembuluh darah sedikit, sehingga perlu
lebih masuk kedalam perlekatannya.
5) Bekas seksio caesaria
d. Patofisiologi
Pada persalinan kala III, fisiologis plasenta yang normal dan pelaksanaan manajemen aktif
kala III yang benar menjadi penyebab pasti kelahiran plasenta secara normal. Saat dimana
terjadi kesalahan penanganan kala III dan atau kontraksi uterus ditemukan tidak bekerja
dengan baik (atonia uteri) maupun terjadi plasenta inkarserata dimana plasenta tidak dapat
lahir karena terhalang oleh cincin rahim, maka didapatkan bahwa plasenta telah lahir
sebagian, dan yang memperparah keadaan ini adalah perdarahan yang banyak dan terus-
menerus jika tidak segera diberi pertolongan. Sementara plasenta akreta, inkreta, dan
perkreta akan menyebabkan plasenta tidak dapat lahir seluruhnya karena fisiologis plasenta
yang tidak normal sehingga menyebabkan kontraksi jelek dan perlu dilakukan penangan
lebih khusus yaitu histerektomi untuk mengatasinya. (Dewi, 2015)
e. Penegakkan diagnosa meliputi tanda dan gejala
Menurut Triana (2015), tanda-tanda retensio plasenta dibagi 2, yaitu :
Tanda-tanda yang selalu ada
1) Plasenta belum lahir 30 menit setelah anak lahir
2) Ada perdarahan
3) Kontraksi uterus baik
4) Pada eksplorasi jalan lahir tidak ada robekan
Tanda-tanda yang kadang menyertai
1) Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
2) Inversio uteri akibat tarikan
3) Perdarahan lanjutan
Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta, menurut jenis-jenis retensio plasenta
(Triana, 2015) :
1) Plasenta adhesiva : adalah keadaan dimana adanya implantasi yang kuat dari
jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi
fisiologis.
2) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion hingga memasuki sebagian
lapisan myometrium
3) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion hingga memasuki lapisan
myometrium lebih dalam. Tanda-tandanya sama dengan plasenta akreta
4) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion menembus lapisan myometrium
hingga lapisan serosa dinding uterus. Tanda-tandanya salam dengan plasenta
akreta dan inkreta.
5) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam cavum uteri yang
disebabkan oleh kontriksi ostium uteri internum.
5. Buat pembahasan bersumber dari literature maupun jurnal yang membahas tentang evidence
based kasus retensio plasenta !
1) If the placenta is not expelled spontaneously, the use of additional oxytocin (10 IU, IV/IM)
in combination with controlled cord traction is recommended. (Weak recommendation,
verylow-quality evidence)
2) The use of ergometrine for the management of a retained placenta is not recommended
as this may cause tetanic uterine contractions which may delay the expulsion of the
placenta. (Weak recommendation, very-low-quality evidence)
3) The use of prostaglandin E2 alpha (dinoprostone or sulprostone) in the management of
retained placenta is not recommended. (Weak recommendation, very-low-quality
evidence)
4) A single dose of antibiotics (ampicillin or first-generation cephalosporin) is recommended
if manual removal of the placenta is practised. (Weak recommendation, very-low-quality
evidence)
Remarks
1) The GDG found no empirical evidence to support recommending the use of uterotonics
for the management of a retained placenta in the absence of haemorrhage. The above
recommendation was reached by consensus.
2) The WHO guide, “Managing complications in pregnancy and childbirth” (WHO, 2007),
states that if a placenta is not expelled within 30 minutes after the delivery of a baby, the
woman should be diagnosed as having a retained placenta. Since there is no evidence
for or against this definition, the delay used before this condition is diagnosed is left to the
judgement of the clinician.
3) The same WHO guide also suggests that in the absence of haemorrhage, the woman
should be observed for a further 30 minutes after the initial 30 minutes, before the manual
removal of the placenta is attempted. The GDG noted that spontaneous expulsion of the
placenta can still occur, even in the absence of bleeding. A conservative approach is
therefore advised and the timing of the manual removal of the placenta as a definitive
treatment is left to the judgement of the clinician.
4) The recommendation regarding the use of prostaglandin E2 is informed by a lack of
evidence on this question and also by concerns related to adverse events, particularly
cardiac events.
5) Direct evidence of the value of antibiotic prophylaxis after the manual removal of the
placenta was not available. The GDG considered indirect evidence of the benefit of
prophylactic antibiotics from studies of caesarean section and abortion, as well as
observational studies of other intrauterine manipulations.
6) Current practice suggests that ampicillin or first-generation cephalosporins may be
administered when the manual removal of the placenta is performed.
7) This question was identified as a research priority for settings in which prophylactic
antibiotics are not routinely administered and those with low infectious morbidity.
6. Bagaimana kewenangan bidan dalam penanganan kasus retensio plasenta, jelaskan
menggunakan undang-undang maupun standar yang berlaku di Indonesia!
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010
tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi
pelayanan kesehatan ibu yang di dalamnya meliputi penanganan pemberian uterotonika pada
manajemen aktif kala tiga dan postpartum.
Dalam SPK disebutkan bidan memiliki kewenangan untuk mengenali dan melakukan tindakan
yang tepat ketika terjadi retensio total atau parsial. Hal ini tertulis dalam buku Standar Pelayanan
Kebidanan standar ke-20 “Penanganan Kegawatdaruratan Retensio Plasenta”
Pernyataan standar: bidan mampu mengenali retensio plasenta dan memberikan pertolongan
pertama, termasuk plasenta manual dan penanganan perdarahan sesuai dengan kebutuhan.
Hasil: penurunan kejadian perdarahan hebat akibat retensio plasenta, ibu dengan retensi
plasenta mendapatkan pelayanan yang tepat dan cepat, penyelamatan ibu dengan retensio
plasenta meningkat.
Prasyarat:
a. Bidan telah terlatih dan terampil dalam: fisiologi dan manajemen aktif kala III; pengendalian
dan penanganan perdarahan termasuk pemberian oksitosika, cairan iv dan plaseta manual.
b. Tersedianya peralatan dan perlengkapan penting: sabun, air bersih yang mengalir, handuk
bersih untuk mengeringkan tangan, alat suntik steril sekali pakai, set infus dengan jarum
berukuran 16 dan 18, sarung tangan steril.
c. Tersedianya obat-obatan antibiotik dan oksitosika (oksitosin dan metergin), dan tempat
penyimpanan yang memadai.
d. Adanya partograf dan catatan persalinan atau kartu ibu.
e. Ibu, suami dan keluarga diberitahu tindakan yang akan dilakukan (inform
consent/persetujuan tindakan medik).
f. Sistem rujukan yang efektif, termasuk bank darah berjalan dengan baik untuk ibu yang
mengalami perdarahan pasca persalinan sekunder.
Proses:
o Melaksanakan penatalaksanaan aktif kala III pada semua ibu yang melahirkan secara
vagina (standar 11).
o Mengamati adanya tanda dan gejala retensio plasenta (perdarahan yang terjadi sebelum
plasenta lahir lengkap, sedangkan uterus tidak berkontraksi, biasanya disebabkan retensio
plasenta. Perdarahan sesudah plasenta lahir, sedangkan uterus terasa lembek juga
mungkin disebabkan oleh adanya bagian plasenta atau selaput ketuban yang tertinggal di
dalam uterus. Jadi plasenta dan selaput ketuban harus diperiksa kembali kelengkapannya).
o Bila plasenta tidak lahir 15 menit sesudah bayi lahir, ulangi penatalaksanaan aktif kala III
dengan memberikan oksitosin 10 IU IM dan teruskan penegangan tali pusat terkendali
dengan hati-hati. Teruskan melakukan penatalaksanaan aktif kala III 15 menit atau lebih,
dan jika plasenta masih belum lahir, lakukan penegangan tali pusat terkendali untuk terakhir
kalinya. Jika plasenta masih tetap belum lahir dan ibu tidak mengalami perdarahan hebat,
rujuk segera ke rumah sakit atau puskesmas terdekat.
o Bila terjadi perdarahan, maka plasenta harus segera dilahirkan secara manual. Bila tidak
berhasil, lakukan rujukan segera.
o Berikan cairan iv: NaCl 0,9 % atau RL dengan tetesan cepat jarum berlubang besar (16/18
G) untuk mengganti cairan yang hilang sampai nadi dan tekanan darah membaik atau
kembali normal.
o Siapkan peralatan untuk melakukan teknik manual yang harus dilakukan secara aseptik.
o Baringkan ibu terlentang dengan lutut ditekuk dan kedua kaki di tempat tidur.
o Jelaskan kepada ibu apa yang akan dilakukan dan jika ada berikan diazepam 10 mg IM.
o Cuci tangan sampai sebagian siku dengan sabun, air bersih yang mengalir, dan handuk
bersih, gunakan sarung tangan panjang steril/DTT (hal ini untuk melindungi ibu dan bidan
terhadap infeksi).
o Masukkan tangan kanan dengan hati-hati. Jaga agar jari-jari tetap merapat dan melengkung,
mengikuti tali pusat sampai mencapai plasenta (pegang tali pusat dengan tangan kiri untuk
membantu)
o Ketika tangan kanan sudah mencapai plasenta, letakkan tangan kiri di fundus agar uterus
tidak naik. Dengan tangan kanan yang berada di dalam uterus carilah tepi plasenta yang
terlepas, telapak tangan kanan menghadap ke atas lalu lakukan gerakan mengikis ke
samping untuk melepaskan plasenta dari dinding uterus.
o Bila plasenta sudah terlepas dengan lengkap, keluarkan plasenta dengan hati-hati dan
perlahan (jangan hanya memegang sebagian plasenta dan menariknya keluar)
o Bila plasenta sudah lahir, segera lakukan masase uterus. Bila tidak ada kontraksi, (lihat
standar 21).
o Periksa plasenta dan selaputnya. Jika tidak lengkap, periksa lagi kavum uteri dan keluarkan
potongan plasenta yang tertinggal, dengan cara seperti di atas.
o Periksa robekan terhadap vagina. Jahit robekan bila perlu (penelitian menunjukkan bahwa
hanya robekan yang menimbulkan perdarahan yang perlu dijahit).
o Bersihkan ibu agar merasa nyaman.
o Jika tidak yakin plasenta sudah keluar semua atau jika perdarahan tidak terkendali, maka
rujuk ibu ke rumah sakit dengan segera (lihat standar 21).Buat pencatatan yang akurat.
7. Obat-obatan apa saja yang digunakan dalam penanganan retensio plasenta, jelaskan mengenai
indikasi, kontra indikasi, cara kerja, dan dosis maksimal!
Nama
No. Indikasi Kontraindikasi Cara Kerja Dosis Maksimal
Obat
1 Oksitosin Induksi persalinan yang kontraksi uterus Oksitosin akan Induksi persalinan: infus
umur kandungannya hipertonik, menempel pada intravena 1-4
cukup, mengendalikan obstruksi reseptor di otot miliunit/menit dinaikkan
perdarahan sesudah mekanik pada polos uterus dalam interval tak kurang
melahirkan, terapi jalan lahir; gawat menyebabkan dari 20 menit sampai
tambahan pada aborsi janin; setiap kontraksi otot dicapai pola persalinan
spontan/aborsi karena keadaan yang polos. Reseptor mirip persalinan normal
kelainan, merangsang tidak tersebut dosis maksimum 20
laktasi pada kasus memungkinkan meningkat seiring miliunit/menit (bila
kegagalan ejeksi ASI persalinan per dengan dibutuhkan dosis tinggi,
vaginam, uterus penambahan usia gunakan larutan 10
dengan kehamilan. unit/500 mL); jangan
resistensi Oksitosin juga menggunakan total lebih
oksitosin; bekerja pada otot dari 5 unit per hari
preeklamsia dinding pembuluh (pengulangan pada hari
berat atau umbilikus berikutnya mulai lagi
terhadap sistem sehingga dengan 1-4
kardiovaskular pembuluh darah miliunit/menit).
mengecil. Selain Bedah Caesar: injeksi
itu, oksitosin juga intravena lambat 5 unit
bekerja pada sel- segera setelah
sel mioepitel yang persalinan; Pencegahan
ada di payudara, perdarahan pasca
sehingga timbul persalinan: injeksi
refleks intravena lambat 5 unit
pengeluaran air setelah keluar plasenta
susu.
2 Diazepam Pemakaian jangka Depresi Kerja utama Oral: ansietas 2 mg 3
pendek pada ansietas pernapasan, diazepam yaitu kali/hari, dinaikkan bila
atau insomnia, gangguan hati potensiasi inhibisi perlu sampai 15-30
tambahan pada putus berat, miastenia neuron dengan mg/hari dalam dosis
alkohol akut, status gravis, asam gamma- terbagi.
epileptikus, kejang insufisiensi aminobutirat Injeksi
demam, spasme otot pulmoner akut, (GABA) sebagai intramuskular atau injeksi
kondisi fobia dan mediator pada intravena lambat
obsesi, psikosis sistim saraf pusat. (kedalam vena yang
kronik, glaukoma Dimetabolisme besar dengan kecepatan
sudut sempit menjadi metabolit tidak lebih dari 5
akut, serangan aktif yaitu N- mg/menit)
asma akut, desmetildiazepam Dengan
trimester dan oxazepam. melalui Rektal sebagai
pertama Kadar puncak larutan untuk ansietas
kehamilan, bayi dalam darah akut dan agitasi: 10 mg
prematur; tidak setelah 1 – 2 jam (lansia 5 mg) diulang
boleh digunakan pemberian oral. setelah lima menit bila
sendirian pada Waktu paruh perlu. Untuk ansietas
depresi bervariasi antara apabila pemberian oral
20 – 50 jam tidak dapat dilakukan
tergantung usia obat diberikan melalui
dan fungsi hati rektum sebagai
supositoria: 10-30 mg
(dosis lebih tinggi
terbagi)
3 Ampisilin Infeksi saluran kemih, hipersensitivitas Ampisilina Oral: 0,25-1 gram tiap 6
otitis media, sinusitis, terhadap termasuk jam.
infeksi pada mulut (lihat penisilin golongan Injeksi intramuskular
keterangan di atas), penisilina atau injeksi intravena
bronkitis, uncomplicated merupakan atau infus, 500 mg setiap
community- acquired antibiotik 4-6 jam.
pneumonia, spektrum luas Infus intravena, 2 g
infeksi Haemophillus yang bakterisid. setiap 4 - 6 jam, selama
influenza, salmonellosis Efektif : 10 – 14 hari.
invasif; listerial 1.Kuman gram- Neonatal 50 mg/kg bb
meningitis positif : setiap 6 jam. bayi 1-3
S.pneumoniae, bulan, 50-100 mg/kg bb
enterokokus dan setiap 6 jam.
stafilokokus Anak 3 bulan – 12 tahun,
2.Kuman gram- 100 mg/kg bb setiap 6
negatif : jam (maksimal 12 g
gonokokus, H. sehari)
influenzae,
beberapa jenis E.
coli, Shigella,
Salmonella dan
P. mirabilis.
4 Metronidazole Uretritis dan vaginitis Hipersensitivitas, Metronidazole Oral: 800 mg tiap 8 jam
karena Trichomonas kehamilan adalah antibakteri selama 5 hari.
vaginalis, amoebiasis trimester dan antiprotozoa Anak 1-3 tahun, 200 mg
intestinal dan hepar, pertama sintetik derivat tiap 8 jam
pencegahan infeksi nitroimidazoi yang 3-7 tahun, 200 mg tiap 6
anaerob pasca operasi, mempunyai jam
giardiasis aktifitas 7-10 tahun, 200-400 mg
karena Giardia bakterisid, tiap 8 jam.
lambliasis amebisid dan Rektal: 1 gram tiap 8 jam
trikomonosid. selama 3 hari, kemudian
Dalam sel atau 1 gram tiap 12 jam.
mikroorganisme Infus intravena: 500 mg
metronidazole tiap 8 jam dengan
mengalami kecepatan 5 ml/menit.
reduksi menjadi Anak, untuk semua cara
produk polar. pemberian, 7,5 mg/kg bb
Hasil reduksi tiap 8 jam
mempunyai aksi
antibakteri
dengan jalan
menghambat
sintesa asam
nukleat.
Metronidazole
efektif terhadap
Trichomonas
vaginalis,
Entamoeba
histolytica,
Gierdia lamblia.
Metronidazole
bekerja efektif
baik lokal
maupun sistemik.