Anda di halaman 1dari 11

EPIDURAL ANASTESIA

A. PENDAHULUAN
Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi local kedalam
ruang epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal dari medula
spinalis dan melintasi ruang epidural. Anestetik local melewati duramater memasuki
cairan cerebro spinal sehingga menimbulkan efek anestesinya. Efek anesthesia yang
dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal dan terbentuk secara segmental. (1)
Anesthesia epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan blok motorik
minimal sampai anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat dikontrol
dengan pemilihan obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia post operasi secara
kontinu dengan narkotik atau local anestesi melalui kateter epidural semakin popular
saat ini.

B. ANATOMI
Daerah epidural tersusun atas bagian dasar oleh membran sacrococcygeal, bagian
posterior dibatasi oleh ligamentum flavum dan daerah anterior dari lamina dan processus
articularis, bagian anterior dibatasi oleh ligamentum longitudinal posterior yang
membungkus tulang vertebra dan discus intervertebralis. Bagian lateral dibatasi oleh
foramen intervertebralis dan pedikel
Ruang epidural berisi lemak dan jaringan limphatik maupun vena epidural. Vena
tidak memiliki katub dan berhubungan langsung dengan vena intracranial. Vena juga
berhubungan dengan vena thorasik dan vena abdominal. Vena pada foramen
intervertebralis, berlanjut pada pelvis yaitu pada pleksus vena sacralis. Daerah paling luas
didaerah tengah dan runcing pada bagian lateralnya. Pada daerah lumbal luasnya 5-6 mm
dan pada daerah thoraks luasnya 3-5 mm.

C. FISIOLOGI.
1. Blokade neural.
Anestesi local yang ditempatkan didaerah epidural bereaksi secara langsung pada
akar nervus spinalis yang terdapat dibagian lateral dari ruang epidural. Akar nervus
tersebut dibungkus dengan lapisan dural dan anestesi local mencapai cairan
serebrospinal dengan menyerap pada dura. 0nset blok lebih lama dibandingkan
dengan anestesi spinal, dan intensitas blok sensoris dan motorik rendah.
2. Kardiovaskuler.
Hipotensi akibat dari blokade simpatik mirip seperti yang digambarkan pada anestesi
spinal. Dosis yang besar dari anestesi local yang digunakan dapat diabsorbsi
secara sistemik, mengakibatkan terjadinya depresi miokard. Epinefrin yang
ditambahkan pada anestesi local dapat diabsorbsi dan akan memberikan efek sitemik
seperti takikardi dan hipertensi.

1
Anesthesia epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme pulmoner
pada pembedahan ortopedi. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya
peningkatan perfusi keanggota gerak bagian bawah. Selain itu terdapat
kecenderungan terjadinya penurunan koagulasi, penurunan agregasi platelet, dan
perbaikan fungsi fibrinolitik selama anestesi epidural.
perubahan fisiologis lain serupa dengan yang dihasilkan oleh anestesi spinal.

D. INDIKASI.
Pada umumnya indikasi epidural anestesi sama dengan spinal anestesi. Sebagai
keuntungan epidural anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara kontinyu setelah
penempatan cateter epidural, oleh karena itu tehnik ini cocok untuk pembedahan yang
lama dan analgesia setelah pembedahan.

Indikasi Khusus :

1. Pembedahan sendi panggul dan lutut


Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi epidural untuk pembedahan panggul
dan lutut dapat mengurangi insidens trombosis vena. Penyebab kematian pasien yang
menjalani pembedahan sendi yang total adalah emboli paru. Lagi pula kehilangan
darah selama pembedahan sendi panggul lebih kecil
pada pemakaian tehnik anestesi epidural.
2. Revaskularisasi ektremitas bawah
Penelitian menunjukkan bahwa anestesia epidural pada pasien dengan penyakit
pembuluh darah periper , aliran darah kedistal selama rekonstruksi pembuluh
darah anggota gerak bagian bawah adalah baik
dan penyumbatan cangkokan pembuluh darah setelah operasi adalah kecil
dibandingkan dengan anestesi umum.
3. Persalinan.
Pasien-pasien obsteric yang takut nyeri melahirkan dapat ditangani dengan epidural
anestesi dan memperoleh bayi dengan riwayat biokemia yang baik dari pada bayi
dilahirkan pada ibu yang diberikan opioid atau anetestetik lainnya secara intravena.
4. Penanganan nyeri post operasi.
Anestesi local konsentrasi rendah dan opoid atau kombinasi obat ini dengan analgesik
lain adalah manjur pada kontrol nyeri post operasi. Analgesia post operasi ini
memudahkan ambulatory dini dan kerja sama yang baik dengan phisio terapi.

2
E. KONTRA INDIKASI
Absolut :

 Pasien tidak setuju


 Infeksi local pada daerah kulit yang akan ditusuk.
 Sepsis generalisata (seperti septicemia, bacteremia).
 Koagulopathi.
 Alergi terhadap suatu jenis anestetik local.
 Peningkatan tekanan intracranial.

Relatif :

 Hipovolemia
 Penyakit SSP
 Nyeri punggung kronik.
 Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin, dripiridamol, dan
NSAID

PROSEDUR
1. Persiapan peralatan dan Jarum epidural.
Seperti pada anestesi umum, obat-obatan serta mesin anestesia disiapkan sebelum
penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk
vasopressor untuk mencegah hipotensi, oksigen suplemen melalui nasal kanula atau
masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik
Pada umumnya jarum weiss atau tuohy ukuran 17 yang digunakan untuk ideintifikasi
ruang epidural. Jarum ini mempunyai stylet dan ujungnya tumpul dengan lubang pada
sisi lateral dan mempunyai dinding tipis yang dapat dilalui kateter ukuran 20. Jarum
ukuran 22 sering digunakan untuk tehnik dosis tunggal.
2. Menentukan posisi pasien
Pasien dapat diposisikan pada posisi duduk, posisi lateral atau posisi prone dengan
pertimbangan yang sama dengan anestesi spinal.
3. Identifikasi Ruang epidural
Ruang epidural teridentifikasi setelah ujung jarum melewati ligamentum flavum dan
menimbulkan tekanan negatif pada ruang epidural. Metode untuk identifikasi ini dibagi
dalam dua kategori : loss of resistance tehnik dan hanging drop tehnik.
4. Loss of resistence tehnik.
Tehnik ini adalah cara yang umum dipakai untuk identifikasi ruang epidural. Cara ini
dengan mengarahkan jarum melewati kulit masuk kedalam ligamentum interspinosus,
dimana dibuktikan oleh adanya tahanan. Pada saat ini intraduser dikeluarkan dan jarum
dihubungkan dengan spoit yang diisi dengan udara atau Nacl 0,9 %, kemudian tusukan
dilanjutkan sampai keruang epidural.

3
Ada dua cara mengendalikan kemajuan penempatan jarum. Pertama
menempatkan dua jari menggenggam spoit dan jarum dengan tekanan tetap pada
pangkalnya sehingga jarum begerak kedepan sampai jarum masuk kedalam ruang
epidural. Pendekatan lain dengan menempatkan jarum beberapa millimeter dan saat itu
dihentikan dan kendalikan dengan hati-hati. Dorsum tangan non dominan menyokong
belakang pasien dengan ibu jari dan jari tengah memegang poros jarum. Tangan non
dominan mengontrol masuknya jarum epidural dan setelah itu ibu jari tangan dominan
menekan fluger dari spoit. Ketika ujung jarum berada dalam ligamentum fluger tidak bisa
ditekan dan dipantulkan kembali, tetapi ketika jarum masuk ruang epidural terasa
kehilangan tahanan dan fluger mudah ditekan dan tidak dipantulkan kembali. Cara yang
kedua lebih cepat dan lebih praktis tetapi memerlukan pengalaman sebelumnya untuk
menghindari penempatan jarum epidural pada lokasi yang
salah.

Apakah suntikan dengan Nacl 0,9 % atau udara yang dipakai pada loss of
resistens tehnik tergantung pada pilihan praktisi. Ada beberapa laporan gelembung
udara menyebabkan inkomplet atau blok tidak sempurna; betapapun ini terjadi hanya
dengan udara dalam jumlah yang banyak.
5. Hanging Drop tehnik.
Dengan tehnik ini jarum ditempatkan pada ligamentum intrspinosus , pangkal
jarum diisi dengan cairan Nacl 0,9 % sampai tetesan menggantung dari pangkal jarum.
Selama jarum melewati struktur ligamen tetesan tidak bergerak; akan tetapi waktu ujung
jarum melewati ligamentum flavum dan masuk dalam ruang epidural, tetesan cairan ini
terisap masuk oleh karena adanya tekanan negatif dari ruang epidural. Jika jarum
menjadi tersumbat, atau tetesan cairan tidak akan terisap masuk maka jarum telah
melewati ruang epidural yang ditandai dengan cairan serebrospinal pada pungsi dural.
Sebagai konsekuensi tehnik hanging drop biasanya digunakan hanya oleh praktisi yang
berpengalaman .
6. Pilihan tingkat block.
Anestesia epidural dapat dilakukan pada salah satu dari empat segmen dari
tulang belakang (cervical, thoracic, lumbar, sacral). Anestesia epidural pada segmen
sacralis biasanya disebut sebagai anesthesia caudal.

4
1) Lumbar epidural anesthesia.
a) Midline approach.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutup kain steril dan
diidentifikasi interspace L4-5 sejajar Krista iliaka. Interspace dipilih dengan
palpasi apakah level L3-4 atau L4-5. Jarum ukuran 25 digunakan untuk anestesi
local dengan infiltrasi dari suferfisial sampai kedalam ligamentum interspinosa
dan supraspinosa. Jarum ukuran 18 G dibuat tusukan kulit untuk dapat dilalui
jarum epidural. Jarum epidural dimasukkan terus pada tusukan kulit dan
dilanjutkan kearah sedikit kecephalad untuk memperkirakan lokasi ruang
interlaminar dan sebagai dasar adalah pada perocesus spinosus superior. Setelah
jarum masuk pada struktur ligamentum , spoit dihubungkan dengan jarum dan
tahanan diidentifikasi. Poin utama disini bahwa adanya perasaan jarum masuk
pada struktur ligamentum. Apabila perasaan kurang jelas adalah akibat tahanan
pada otot paraspinosus atau lapisan lemak mengakibatkan injeksi local anestesi
kedalam ruang lain dari pada ruang epidural dan terjadi gagal blok. Apabila ini
terjadi penempatan jarum pada ligamentum diperbaiki, kemudian jarum
dilanjutkan masuk keruang epidural dan loss of resistensi diidentifikasi dengan
Hati-hati.
b) P
Paramedian approach
Biasanya dipilih pada kasus dimana operasi atau penyakit sendi degeratif sebelumnya ada kontra
indikasi dengan median approach. Tehnik ini lebih mudah bagi pemula, karena saat jarum
bergerak kedalam ligamen dan perubahan tahanan tidak terjadi, maka jarum masuk ke otot
paraspinosus dan tahanan hanya dirasakan bila jarum sampai pada ligamentum flavum.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutupi kain streril seperti pada mid line approach. Jarum
ditusukkan kira-kira 2-4 cm kelateral garis tengah pada bagian bawah processus
spinosus superior. Tusukan kulit dibuat dan jarum epidura langsung diarahkan
kecephalad seperti pada median approach dan kemudian jarum dilanjutkan kearah
midline. Setelah strukur dermal ditembusi spoit dihubungkan dengan jarum dan selanjutnya
jarum masuk masa otot psraspinosus akan terasa tahanan minimal dan kemudian sampai ada
peningkatan tahanan yang tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum. Jika jarum
telah melewati ligamentum flavum dan setelah loss of resiten teridentifikasi maka jarum telah
masuk kedalam ruang epidural.

Gambar. Anestesia epidural lumbal : pendekatan paramedian


.
2. Thoracic epidural anesthesia.
Thoracic epidural anesthesia adalah tehnik yang lebih sulit dari pada lumbar epidural anesthesia
, dan kemungkinan untuk trauma pada medulla spinalis adalah besar. OLeh karena itu, yang

5
penting bahwa praktisi sepenuhnya familiar dengan lumbar epidural anesthesia
sebelum mencoba thoracic epidural block.
a. Midline approach
Interspase lebih sering diidentifikasi dengan pasien pada posisi duduk. Pada segmen atas
thoracic, sudut processus spinosus lebih miring dan curam kearah kepala. Jarum dimasukkan
melewati jarak yang relatif pendek mencapai ligamentum supraspinous dan interspinous, dan
ligamentum flavum diidentifikasi biasanya tidak lebih dari 3-4 cm dibawah kulit. Kehilangan
tahanan yang tiba-tiba adalah tanda masuk dalam ruang epidural. Semua tehnik epidural
anesthesia diatas regio lumbal kemungkinan kontak langsung dengan medulla spinalis harus
dipertimbangkan selama mengidentifikasi ruang epidural. Jika didapatkan nyeri yang membakar
kemungkinan bahwa jarum epidural kontak langsung dengan medulla spinalis harus
dipertimbangkan dan jarum harus dengan segera dipindahkan. Kontak berulang dengan tulang
dan tidak didapatkan ligamentum atau ruang epidural adalah indikasi untuk merubah pada
pendekatan paramedian.

Gambar. Epidural anestesia thorakal : pendekatan median.

. Paramedian approach.
Pada pendekatan paramedian , interspase diidentifikasi dan jarum ditusukkan kira-kira 2 cm
kelateral garis tengah pada pinggir kaudal prosesus spinosus superior. Pada tehnik ini jarum
ditempatkan hampir tegak lurus pada kulit dengan sudut minimal 10-15 derajat kearah
midline dan dilanjutkan sampai lamina atau pedikle dari tulang belakang disentuh. Jarum
ditarik kebelakang dan ditujukan kembali agak kecephalad. Jika tehnik ini sempurna ujung
jarum akan kontak dengan ligamentum flavum. Spoit dihubungkan dengan jarum, dan pakai
tehnik loss of resistence atau hanging drop untuk mengidentifikasi ruang epidural. Sama dengan
paramedian approach pada regio lumbar, jarum harus dilanjutkan sebelum ligamentum flavum
dilewati dan ruang epidural didapatkan.

Gambar. Anestesi epidural thorakal : pendekatan paramedian.

3. Cervical epidural anesthesia.


Tehnik ini khusus dilakukan dengan pasien pada posisi duduk dan leher difleksikan. Jarum
epidural dimasukkan pada midline khususnya pada interspase C5-C6 atau C6-C7 dan ditusukkan
secara relatif datar kedalam ruang epidural dengan memakai tehinik loss of resistence dan lebih
sering dengan hanging drop.

6
Gambar. Anestesia epidural cervical : pendekatan
median.

E. Penempatan kateter.
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada operasi yang lama dan
pemberian analgesia post operasi.
(1). Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel diposisikan kearah
cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik kembali1-2 cm untuk menurunkan insiden
parestesia dan pungsi dural atau vena.
(2). Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami parasthesia yang
tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter harus
direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-
sama.
(3). Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter.
(4). Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian belakang pasien
yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk, kateter ditarik kembali 2-3
cm dari ruang epidural.
(5). Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat dilakukan untuk
mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan kemudian kateter diplester dengan kuat
pada bagian belakang pasien dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat dengan
pembalutan.

F. Obat-obatan untuk anestesi epidural.


Anestetik local.
Pilihan obat anestetik local untuk anesthesia epidural ditentukan oleh lamanya prosedur
operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah kerja singkat,
mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja lama. Buvipakain
konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris untuk
setiap blok sensorik dibandingkan dengan obat lainnya.

Tabel. Anestetik local untuk anesthesia epidural


Obat Konsentrasi Lama anesthesia dengan
epinefrin (menit)
Chloroprokain 2–3 % 60
Lidokain 1,5 % 60 – 90
Mepivakain 1,5 % 90 – 120
Bupivakain 0,5 % > 180

7
Etidokain 1,0 % > 150

Epinefrin.
Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi local yang disuntikkan kedalam ruang
epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan absorbsi, menurunkan
konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan sitemik. Epinefrin juga
mengurangi suatu kelainan akibat penyuntikan intravaskuler. Sejumlah kecil epinefrin
diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek beta adrenergik, peningkatan tahanan
pembuluh darah sistemik dan peningkatan denyut jantung.
Tes dosis
Karena anestesi epidural termasuk meninjeksikan sejumlah besar obat anestesi local,
pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar. Aspirasi pluger dari spoit dapat
menarik darah atau CSS. Kateter epidural ditarik kembali dan ditempatkan pada tempat lain
apabila terdapat darah atau CSS dalam kateter. Tes dosis selalu diperlukan, hal ini terdiri dari 3
ml anestesi local dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan mengandung 5 mg
epinefrin (lidokain 1,5 % dan epinefrin 1 : 200.000 yang sering digunakan). Bila jarum atau
kateter masuk kedalam vena epidural mengakibatkan peningkatan denyut jantung 20 denyut
permenit atau lebih besar dalam dua menit. Jika jarum atau kateter terletak diruang epidural , hal
tersebut tidak terjadi dan tidak ada perubahan tekanan darah atau denyut jantung.
Sering sejumlah kecil cairan teraspirasi sebelum obat anestesia diinjeksikan. Adanya cairan ini
adalah cairan serebrospinal atau anestesia lokal yang diinjeksikan sebelumnya. Dipstick test
membedakan adanya glukosa, dimana cariran serebrospinal mengandung glukosa dan tidak ada
pada cairan anestesi lokal.

Dosis anestesi.
Penyebaran obat anestetik local dalam ruang epidural hanya tergantung pada volume yang
dinjeksikan . sedang konsentrasi anestetik local dalam larutan hanya berpengaruh pada derajat
dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih lambat walaupun ditambahkan sodium
bikarbonat kedalam anestesi local untuk mempercepat onsetnya.
Volume larutan anestetik yang tepat untuk anesthesia epidural lumbal berkisar dari 15 – 25 ml.
Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adala 1,6 ml per segemen spinal
yang dianestesi. Pada ruang epidural torakal yang sempit kurang lebih dibutuhkan setengahnya.
Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra abdominal yang meningkat
diperlukan volume anestetik local lebih sedikit untuk mencapai distribusi yang diberikan.
Penambahan anestetik local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada
observasi klinik. Bila anestetik dihabiskan untuk dua dermatom , penambahan sepertiga sampai
setengah dari jumlah anestetik local semula akan diperoleh anesthesia yang adekuat. Bilamana
menggunakan anestetik epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan dosis diberikan
pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi local.

8
Opioid.
Dibandingkan dengan spinal opioid , epidural opioid menghasilkan efek yang hampir sama dan
dibutuhkan perhatian yang sama, karena diberikan jumlah yang lebih besar. Opioid mempunyai
kerja sinergis dengan anestetik local yaitu memepertinggi efektivitas konsentrasi yang kecil dari
obat anestetik local.

(2,3,4,5,7)
KOMPLIKASI
1. Intra operatif

a. Pungsi dural
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika hal ini terjadi, ahli
anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya. Perubahan keanestesi spinal
dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian
anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal keruang
subarachnoid melalui jarum. Jika anestesi epidural diperlukan ( misalnya untuk analgesia post
operasi), kateter akan direposisikan keda-lam interspace diatas pungsi dengan demikian ujung
dari kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi spinal dengan
injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.

b. Komplikasi kateter
(1). Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.. hal ini lebih
sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian lateral dibandingkan apabila
jarum diinsersikan pada median atau ketika bevel dari jarum secara cepat ditusukkan kedalam
ruang epidural. Hal tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya sebagian yang
melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada kasus terakhir ,
pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam ruang epidural dapat memudahkan
insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan direposisikan bersama-sama jika
terjadi tahanan.
(2). Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga darah teraspirasi
oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan dosis test. Kateter seharusnya ditarik secara
perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada aspirasi dari pengetesan. Penarikan penting
agar dapat segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.
(3). Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak terjadi infeksi, tetap
memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi dibandingkan dengan pembedahan.
Pasien seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah yang terjadi. Komplikasi
dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter lebih besar dibandingkan dengan komplikasi dari
penanganan secara konservatif.
c. Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja . Injeksi dengan sejumlah basar volume
anestesi local kedalam ruang subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal yang total.

9
d. Injeksi intravaskuler anestesi local kedalam vena epidural menyebabkan toksisitas pada
sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang menyebabkan konvulsi dan kardiopulmonary arrest.

e. Overdosis anestesi local. Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan disebabkan
oleh adanya penggunaan obat yang jumlahnya relatif basar pada anesthesia epidural.

f. Kerusakan spinal cord. Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset
parestesia unilateral menandakan insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang epidural.
Selanjutnya injeksi atau insersi kateter pada bagian ini dapat menyebabkan trauma pada serabut
saraf. Saluran kecil arteri pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini dimana
melewati celah pada foramen intervertebral. Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan
iskemia spinal cord anterior atau hematoma epidural.

g. Perdarahan. Perforasi pada vena oleh jarum dapat menyebabkan suatu perdarahan yang
emergensi dan mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik
mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada tempat itu
maka dapat meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat.

2. Post Operasi
a. Sakit kepala post pungsi dural. Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17,
menyebabkan sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post punsi dural .
b. Infeksi. Abses epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi
epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara hematogen
pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi dapat juga timbul dari
kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang dipergunakan untuk pertolongan nyeri
post operasi atau melalui suatu infeksi kulit pada tempat insersi. Pasien akan mengalami demam,
nyeri punggung yang hebat dan lemah punggung secara local. Selanjutnya dapat terjadi nyeri
serabut saraf dan paralisis. Pada awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit dari
lumbal pungsi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau Magnetik
Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah dekompresi laminektomi
dan pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan
cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan.
c. Hematoma epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural.
Trauma pada vena epidural menimbulkan koagulophati yang dapat menyebabkan suatu
hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung yang hebat dan defisit
neurologi yang persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan
computered tomographi atau MRI. Decompresi laminektomy penting dilakukan untuk
memelihara fungsi neurologi.

10
REFERENSI

1. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and Caudal anesthesia. In : Introducton to


anesthesia, editor : Longnecker DE, Murphy FL, ed 9 th, WB Saunders Company,
1997.
2. Molnar R. Spinal, aepidural, and Caudal anesthesia. In : Clinical Anesthesia Procedures
of the Massachusetts General Hospital, editor Davison JK, Eukhardt WF, Perese DA,
ed 4 th, London, Little brown and Company, 1993.
3. Tetlaff JE, Spinal, Epidural and Caudal Block. In : Clynical Anestesiolgy. Editor :
Morgan GE, Mikhail MS, ed 2 nd, USA , Appleton & Lange, 1996.
4. Mulroy MF, Epidural Anesthesia. In : Regional anesthesia, ed 2 nd, USA, Little, Brown
and Company, 1996.
5. Conachie I, Geachie J. Reginal anaesthetic Technique. In A Practice of Anesthesi, editor :
Healy TEJ, Cohen PJ, ed 6 th, London, Edward Arnold, 1995.
6. Brown DL, Spinal, Epidural and Caudal anesthesia. In : Anesthesia, editor : Miller RD,
ed 5 th, Volume 1, California, Churchill Livingstone, 2000.
7. Bernards CM, Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical Ansthesia,
editor : Barrash PG, Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott Williams and
Wilkins, 2001.
8. Dalens B, Lumbar Epidural Anesthesia . In Regional Anesthesia in infans, children and
adolescents, editor : Garner J, USA, Williams & Wilkins wevwerly Europe, 1995.
9. Dalens B and Khandwala R, Thoracic and Cervical Epidural Anesthesia . In : Regional
Anesthesia in Infans, Children, and Adolescents, editor : Garner J, USA, Eilliams
Weverly Europe, 1995.
10. Katz J, Spinal and Epidural. In : Atlas of RegionalAneasthesia, ed 2 nd, California,
USA, Appleton & Lange, 1994.

11

Anda mungkin juga menyukai