Anda di halaman 1dari 10

Aspek Hukum Kesehatan Tindakan Phlebotomi

Bagi Ahli Teknologi Laboratorium Medis

Lasmono Susanto
Program RPL-3 Jurusan Teknologi Laboratorium Medik
Politeknik kesehatan Negeri Medan

ABSTRAK

Fhlebotomi adalah memperoleh sampel darah dalam volume yang cukup untuk pemeriksaaan
laboratorium yang memiliki resiko. Dengan demikian masalah hukum kesehatannya adalah
siapa pelaksana flebotomi (kompetensi dan kewenangannya). Dokter, perawat, dan bidan,
memiliki kompetensi dan kewenangan dalam melakukan tindakan flebotomi, sedangkan bagi
analis laboratorium dan teknisi phlebotomi, kompetensi dan kewenangan dinyatakan secara
tegas di dalam sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang
terakreditasi atau sertifikasi tertentu. Aspek medikolegal flebotomi yang utama adalah
pertanggungjawaban atau akuntabilitas profesi patologi klinik beserta SDM yang bekerja
dalam lingkup keprofesiannya kepada masyarakat.

Pendahuluan

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting bagi manusia
agar dapat mencapai suatu kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara berupaya memberikan perhatian utama pada
pelayanan kesehatan, meliputi penyediaan tenaga kesehatan yang profesional hingga fasilitas
kesehatan yang memadai. Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan, negara
perlu membuat dan memberlakukan peraturan-peraturan di bidang kesehatan (hukum
kesehatan) yang akan dijadikan sebagai landasan hukum/pedoman yuridis dalam pemberian
layanan kesehatan kepada masyarakat. Hukum hukum kesehatan pada dasarnya bertujuan
untuk mengatur tentang hak, kewajiban, fungsi, dan tanggung jawab para pihak yang terkait
(stakeholders) dalam bidang kesehatan. Hukum kesehatan juga memberikan kepastian dan
perlindungan hukum kepada pemberi dan penerima jasa layanan kesehatan.

Hukum kesehatan sangat penting dipahami dan dipedomani oleh ATLM


(Laboratorium/rumah sakit) dalam pemberian layanan kesehatan kepada pasien. Dengan
begitu, pihak ATLM (Laboratorium/rumah sakit) dapat mengantisipasi potensi munculnya
masalah hukum di kemudian hari. Namun faktanya masih banyak kalangan ATLM
(Laboratorium/rumah sakit) yang belum memahami seluk-beluk hukum kesehatan terutama
tentang medikolegal tindakan plebotomi. Terbatasnya pengetahuan untuk dapat mengakses
informasi mengenai hukum kesehatan tentang medikolegal plebotomi dan hukum tentang
kewenangan ATLM merupakan salah satu penyebab kurang dipahaminya dan dipedomaninya
hukum kesehatan oleh Managemen Laboratorium/rumah sakit bahkan oleh tenaga ATLM itu
sendiri.

Menurut UU No.36 tahun 2014 profesi Ahli Teknologi Laboratorium Medis (ATLM)
atau di Indonesia lebih dikenal dengan Analis Kesehatan adalah profesi yang bekerja pada
sarana kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan, pengukuran, penetapan, dan
pengujian terhadap bahan yang berasal dari manusia atau bahan bukan berasal dari manusia
untuk penentuan jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi kesehatan atau faktor-faktor yang
dapat berpengaruh pada kesehatan perorangan dan masyarakat. Dalam pelaksanaan pelayanan
ini terkadang menimbulkan masalah hukum dalam hubungan antara ATLM dan pasien.
Masalah hukum itu antara lain disebabkan oleh adanya tudingan kepada ATLM yang telah
merugikan pasien akibat kesalahan prosedur maupun kesalahan pengujian/analisa terhadap
sampel pasien.

Hubungan yang beresiko menimbulkan konflik antara ATLM (rumah


sakit/Laboratorium) dan pasien juga terjadi akibat adanya keluhan atau kekecewaan secara
terbuka oleh pasien terhadap layanan dari ATLM (Laboratorium/rumah sakit), Keluhan atau
kekecewaan pasien yang diungkapkan secara terbuka ini dianggap oleh ATLM
(Laboratorium /rumah sakit) sebagai bentuk pencemaran nama baik. Apabila pihak pasien
yang dijatuhi vonis pidana oleh pengadilan akan merasa/menilai pihak ATLM
(Laboratorium/rumah sakit telah melakukan kriminalisasi terhadap pasien. Kondisi faktual ini
menunjukkan bahwa pihak ATLM (Laboratorium/rumah sakit) maupun pihak pasien sama-
sama berpotensi terjerembab kedalam masalah hukum.

Kewenangan ATLM dalam melakukan praktik di laboratorium medis salah satunya


adalah pengambilan dan penanganan spesimen darah serta penanganan cairan dan jaringan
tubuh lainnya. Di dalam prakteknya pengambilan sampel darah (phlebotomi) di rumah sakit
atau di laboratorium sering dilakukan oleh ATLM. Tindakan phlebotomi ini berkaitan dengan
kegiatan mendapatkan spesimen darah dari pasien untuk diperiksa secara laboratorium yang
beresiko menimbulkan perdarahan yang berlebihan, pingsan, hematoma, infeksi dan
terjadinya beberapa tusukan akibat sulitnya mencari vena.
Dengan demikian masalah hukum kesehatannya adalah siapa pelaksana flebotomi
(kompetensi dan kewenangannya), dan siapa yang bertanggungjawab atas risiko yang terjadi.
Apakah seorang ATLM berkewajiban melakukan tindakan plebotomi dan haruskah seorang
ATLM bertanggung jawab secara medikolegal terhadap tindakan plebotomi.

Tinjauan Pustaka

Pelayanan laboratorium merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan


kesehatan. Laboratorium mengambil tugas penting sebagai penunjang pelayanan medis dan
mempunyai peran sebesar 60 – 70% dalam penegakan diagnosis, tindak lanjut pengobatan,
(1)
pengawasan, keputusan rawat inap serta pasien pulang . Atas dasar ini maka peningkatan
pelayanan pemeriksaan laboratorium harus selalu terjamin termasuk tenaga kesehatan yng
terlibat didalam prosedur Laboratorium.

Menurut UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 11 ayat 12. Ahli
Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) adalah nama yang digunakan bagi seseorang yang
berprofesi di laboratorium medik, melakukan pelayanan pemeriksaan, pengukuran, pengujian
terhadap bahan pemeriksaan yang berasal dari manusia atau pun bukan dari manusia sehingga
bisa menentukan jenis penyakit, penyebab penyakit, membantu memantau proses
penyembuhan penyakit seseorang. Sedangkan Menurut KEPMENKES RI NOMOR
370/MENKES/SK/III/2007, Analis Kesehatan atau disebut juga Ahli Teknologi Laboratorium
Kesehatan adalah tenaga kesehatan dan ilmuan berketerampilan tinggi yang melaksanakan
dan mengevaluasi prosedur laboratorium dengan memanfaatkan berbagai sumber daya.
Sarana kesehatan ini berbentuk Laboratorium Kesehatan seperti Laboratorium Patologi
Klinik, Hematologi, Mikrobiologi, Imunoserologi, Toksikologi, Kimia Lingkungan, Patologi
Anatomi, Biologi dan Fisika. ATLM harus memiliki kemampuan untuk memeriksa sampel
berupa cairan-cairan tubuh manusia seperti darah, sputum, faeces, urine, liquor cerebro
spinalis (cairan otak), dan lain-lain untuk mendapatkan data atau hasil sebagai penegakan
diagnosa terhadap suatu penyakit. Cakupannya juga luas meliputi pemeriksaan mikrobiologi
(bakteri), parasitologi (fungi, protozoa, cacing), hematologi (sel-sel darah serta plasma),
imunologi (antigen, antibodi), kimia klinik (hormon, enzim, glukosa, lipid, protein, elektrolit,
dll).

ATLM dalam melaksanakan praktik klinik di rumah sakit harus didapat melalui proses
kredensial yang dilakukan oleh Sub Komite Kredensial Komite Non Medik Non Perawatan
Rumah Sakit maupun laboratorium. ATLM dalam memberikan pelayanan kesehatan hanya
dapat melakukan pelayanan atas permintaan tertulis dengan keterangan klinis yang jelas dari
tenaga medis dan bidan. Tugas pokok ATLM adalah mengembangkan prosedur untuk
mengambil dan memproses specimen serta melaksanakan uji analitik terhadap reagen dan
spesimen. ATLM juga harus mampu mengoperasikan dan memelihara peralatan/instrumen
laboratorium serta melakukan evaluasi data laboratorium untuk memastikan akurasi dan
prosedur pengendalian mutu dan mengembangkan pemecahan maslaah yang berkaitan dengan
data hasil uji. Mengevaluasi teknik, instrumen, dan prosedur baru untuk menentukan mafaat
kepraktisannya dan membantu klinisi dalam pemanfaatan data laboratorium secara efektif dan
efisien untuk menginterpretasikan hasil uji laboratorium. Kemampuan membuat
perencanakan, mengatur, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan laboratorium serta
membimbing dan membina tenaga kesehatan lain dalam bidang teknik kelaboratoriuman
adalah bagian dari tugas pokok yang harus dilakukan oleh tenaga ATLM. Seorang ATLM juga
harus mampu merancang dan melaksanakan penelitian dalam bidang laboratorium kesehatan.

Kewenangan Klinis (Clinical Privillage) tenaga ATLM menurut Permenkes No 411


dan Permenkes No. 42 tahun 2015 adalah:

1. Kewenangan klinis adalah wewenang yang diberikan oleh rumah sakit kepada staf
laboratorium sebagai ahli teknologi laboratorium medik (ATLM) yang memberikan
pelayanan laboratorium sesuai dengan tingkat kompetensi yang dimiliki oleh staf
ATLM tersebut.

2. Kewenangan klinis diberikan oleh komite non medik non keperawatan melalui sub
komite kredensial.

3. Kewenangan klinis diberikan setelah staf laboratorium ATLM mengikuti uji


kompetensi yang dilakukan oleh rumah sakit melalui komite non medik non
keperawatan beserta tim asesor atau mitra bastari (peer group).

4. Uji kompetensi meliputi verifikasi portofolio, log book, surat keterangan supervisor,
observasi tindakan, unjuk kerja pemeriksaan laboratorium dan wawancara.

5. Kewenangan klinis meliputi jenjang:


a. Pranata Laboratorium Kesehatan Ahli yang dilakukan oleh ATLM yang
memiliki ijazah DIV analis kesehatan dan S1 Tekonologi Laboratorium
Kesehatan.

b. Pranata Laboratorium Kesehatan Terampil yang dilakukan oleh ATLM


dengan memiliki ijazah DIII Analis Kesehatan dan SMAK.

6. Kewenangan klinis berlaku selama 3 tahun

7. Lingkup kewenangan klinis (clinical privillege) ATLM untuk pelayanan


laboratorium berpedoman pada buku putih standar dan ketentuan persyaratan sesuai
acuan pada Kepmenkes RI Nomor 370 Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi
Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan dan Permenkes RI Nomor 42 tahun 2015
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Ahli Teknologi Laboratorium Medik serta
Keputusan MenPAN tentang jabatan fungsional Pratana Laboratorium Kesehatan.

8. Staf Laboratorium yang baru bekerja diberikan kewenangan klinis selama 2 tahun
bekerja.

9. Staf laboratorium baru pindahan maka kewenangan klinis diberikan seusai dengan
kebijakan yang berlaku di RSUD. dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.

Secara ringkas pada pasal 22 dan 24 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, bahwa Ahli Teknologi Laboratorium Medik merupakan tenaga kesehatan maka
dengan kualifikasi minimum yang dipersyaratkan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki, wajib memiliki izin
pemerintah, harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.

Salah satu wewenang Ahli Teknologi Laboratorium Medik sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2015 tentang Izin Penyelenggaraan
Praktik Ahli Teknologi Laboratorium Medik pasal 14 (1) menyebutkan bahwa ATLM
mempunyai kewenangan melakukan pengambilan dan penanganan specimen darah serta
penanganan cairan dan jaringan tubuh lainnya. Dalam hal pengambilan dan penanganan
spesimen darah sering menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai siapa tenaga kesehatan
yang lebih berkompeten secara hukum untuk dapat melakukan tindakan ini.
Diskusi

Tujuan flebotomi adalah memperoleh sampel darah dalam volume yang cukup untuk
pemeriksaan yang dibutuhkan, dengan memperhatikan pencegahan interferensi preanalisis,
memasukkannya ke dalam tabung yang benar, memperhatikan keselamatan (safety), dan
(2)
dengan sesedikit mungkin menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien . Sebanyak 46-77%
kesalahan laboratorium terjadi pada fase pra-analitik yang berhubungan dengan kualitas
(3)
sampel . Salah satu bagian dari fase pra-analitik adalah pengambilan dan penanganan
spesimen darah serta penanganan cairan dan jaringan tubuh lainnya.

Di dalam praktek, phlebotomi di rumah sakit atau di laboratorium dilakukan oleh


tenaga perawat atau analis laboratorium atau orang yang dilatih khusus untuk itu, yang
selanjutnya akan disebut sebagai teknisi phlebotomi. Seorang phlebotomis perlu mengetahui
darah apa yang akan diambil, peralatan apa yang akan dipakai, dibagian anatomi mana
mengambilnya, adakah iv-line yang sudah terpasang, bagaimana mencegah infeksi,
bagaimana mencegah atau mengurangi rasa sakit, bagaimana berkomunikasi dengan pasien -
termasuk memperoleh persetujuannya, bagaimana prosedur pelaksanaan yang benar agar tepat
mengenai vena, dan faktor keselamatan (safety). Tindakan flebotomi itu sendiri memiliki
risiko, setidaknya adalah perdarahan yang berlebihan, pingsan, hematoma, infeksi dan
terjadinya beberapa tusukan akibat sulitnya mencari vena. Bila dikaitkan dengan pemeriksaan
terhadap darah yang diambilnya, maka risiko lainnya adalah tertukarnya sampel, pengenceran
darah bila diambil dari iv-line, emboli dll.

Kemampuan atau kompetensi diperoleh seseorang dari pendidikan atau pelatihannya,


sedangkan kewenangan atau authority diperoleh dari penguasa atau pemegang otoritas di
bidang tersebut melalui pemberian ijin. Kewenangan memang hanya diberikan kepada mereka
yang memiliki kemampuan, namun adanya kemampuan tidak berarti dengan sendirinya
memiliki kewenangan.

Dalam profesi kesehatan, hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh
Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan
kedokteran (setidaknya hingga saat ini), sedangkan kewenangan yang bersifat khusus, dalam
arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu, diserahkan pengaturannya pada profesi
masing-masing. Sebagai dokter, perawat, dan bidan, kompetensi dalam melakukan tindakan
flebotomi telah dimilikinya dan kewenangan melakukannya pun telah dimilikinya, tanpa
disebutkan secara eksplisit di dalam sertifikasi kompetensinya dan atau surat ijin praktek
profesinya.

Sedangkan bagi analis laboratorium dan teknisi phlebotomi, kompetensi mereka


diperoleh dari pendidikan menengah atau pelatihan atau kursus, sehingga kompetensinya
harus dinyatakan secara tegas di dalam sertifikat kompetensinya. Sertifikat kompetensi
tersebut harus dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga
sertifikasi tertentu. Pendidikan analis laboratorium dan teknisi phlebotomi bukanlah
pendidikan profesi, bukan pula pendidikan vokasi.

Dalam peraturan perundangundangan di Indonesia belum diatur tenaga kesehatan yang


disebut sebagai teknisi flebotomi, oleh karena itu teknisi phlebotomi belum sah sebagai salah
satu tenaga kesehatan. Ada kecenderungan bahwa suatu pekerja di bidang kesehatan akan
lebih mudah diakui sebagai tenaga kesehatan apabila pendidikannya setidaknya mencapai D3.
Hal ini perlu dilakukan agar konsumen kesehatan terjamin kepentingan dan keselamatannya.
Sementara itu analis laboratorium atau analis kesehatan telah merupakan tenaga kesehatan
sebagaimana diatur dalam PP 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, meskipun belum ada
permenkes yang mengaturnya lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan kewenangannya
melakukan flebotomi.

Dengan demikian kewenangan melakukan oleh teknisi flebotomi ataupun oleh analis
laboratorium belum diakui sebagai suatu kewenangan yang mandiri, namun harus dianggap
sebagai kewenangan yang memerlukan supervisi dari keprofesian yang menjadi "pemberi
kerjanya" sebagai penanggung-jawabnya. Etika dan standar pekerjaannya pun harus
ditetapkan, diatur dan ditegakkan oleh penanggungjawabnya. Pada pasal 61 ayat (3) UU No
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; sertifikat kompetensi diberikan oleh
penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat
sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji
kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga
sertifikasi.

Pada UU yang sama dalam penjelasan pasal 15 menyebutkan bahwa pendidikan


profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta
didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan vokasi
merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.
Etika profesi dibuat oleh organisasi profesi, atau tepatnya masyarakat profesi, untuk
mengatur sikap dan tingkah-laku para anggotanya, terutama berkaitan dengan moralitas. Etika
profesi di bidang kesehatan mendasarkan ketentuan-ketentuan di dalamnya kepada etika
umum dan sifat-sifat khusus moralitas profesi pengobat pada umumnya, seperti patient
autonomy, beneficence, non maleficence, justice, truth telling, privacy, confidentiality,
loyality, dll. Etika profesi bertujuan untuk mempertahankan keluhuran profesi dan melindungi
masyarakat yang berhubungan dengan profesi tersebut. Etika profesi umumnya dituliskan
dalam bentuk Kode Etik dan pelaksanaannya diawasi oleh sebuah Majelis atau Dewan
Kehormatan Etik.

Standar Profesi terdiri dari 3 bagian, yaitu (a) standar kompetensi yang telah dibahas
di atas sebagai bagian dari persyaratan profesi, (b) standar perilaku yang sebagian diatur
dalam kode etik, dan (c) standar pelayanan. Standar pelayanan, yang dalam UU Kesehatan
disebut sebagai standar profesi, diartikan sebagai pedoman yang harus dipergunakan sebagai
petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Sebenarnya dalam pandangan hukum,
standar berbeda dengan pedoman; standar tidak dapat disimpangi, pedoman dapat disimpangi.
Standar harus dilaksanakan dan bila tidak dilaksanakan maka pelakunya dianggap melakukan
kelalaian, sedangkan pedoman hanya berlaku sebagai petunjuk - pelanggaran atasnya bukan
merupakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu di banyak negara standar dibuat hanya untuk
yang pokok-pokok saja, sedangkan hal yang rinci diatur dalam pedoman-pedoman.

Dengan mengingat bahwa tindakan phlebotomi masih merupakan lingkup keprofesian


patologi klinik, maka etika dan standar yang berlaku bagi para teknisi phlebotomi ditetapkan
oleh masyarakat profesi patologi klinik. Masyarakat profesi ini pulalah yang
bertanggungjawab atas pembinaan dan pengawasannya.

Penjelasan ps 25 UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK: Dewan Kehormatan kode etik


dibentuk oleh organisasi profesi untuk menegakkan etika, pelaksanaan kegiatan profesi serta
menilai pelanggaran profesi yang dapat merugikan masyarakat atau kehidupan
profesionalisme di lingkungannya. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberikan
landasan hukum bagi organisasi profesi untuk melaksanakan fungsi kepengawasan di bidang
profesi yang diperlukan untuk menjamin perlindungan masyarakat atas penyimpangan
pelaksanaan profesi.

Salah satu ciri profesi sebagaimana diuraikan pada bagian depan adalah otonomi
profesi, dalam arti self regulation, self governing dan self disciplining. Organisasi profesi
membuat kode etik dan standar profesi, mengawasi pelaksanaannya, dan memberikan sanksi
bagi mereka yang melanggarnya - dengan atau tanpa adanya korban atau kerugian.
Kesemuanya tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat, khususnya pengguna jasa
profesi. Upaya itu merupakan bagian dari akuntabilitas profesi. Majelis atau Dewan
Kehormatan Etik lah yang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan pemberian sanksi atas
pelanggaran etik dan disiplin profesi.

Sebuah profesi dikatakan akuntabel apabila organisasinya dapat memastikan bahwa


pelayanan profesional di bidang itu hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang kapabel atau
kompeten. Mereka harus memastikan bahwa profesional yang berpraktek harus tetap terjaga
kompetensi dasarnya, dapat meningkatkan kompetensinya sesuai dengan perkembangan
jaman / IPTEK yang terkait, dan memastikan bahwa mereka bekerja mematuhi standar
perilaku dan standar pelayanan yang diterbitkannya. Mekanisme pengawasan pelaksanaan
standar harus disusun dan diterapkan, serta suatu instrumen untuk mengubah perilaku
(deterrent effect) harus diberlakukan. Instrumen tersebut dapat berupa penghargaan (reward)
atau berupa hukuman (punishment). Namun yang lebih penting adalah bahwa penghargaan
ataupun hukuman tersebut dapat mencegah pengulangan kejadian yang serupa di kemudian
hari. Sebagaimana telah disinggung di atas, organisasi profesi (tepatnya masyarakat profesi)
dapat membentuk Dewan Kehormatan Kode Etik (atau apa pun namanya sepanjang fungsinya
sama) yang akan melaksanakan proses persidangan (hearing) hingga pemberian sanksi atau
pembinaan (disciplining).

Tanggungjawab hukum kepada pasien dapat terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan
yang melanggar hukum atau yang merugikan pasien. Sifatnya pun dapat merupakan
kesengajaan ataupun kelalaian. Pelanggaran hukum dapat berupa tindakan tanpa informed
consent, pelanggaran susila, pengingkaran atas janji atau jaminan, dan lain-lain. Sedangkan
kelalaian diartikan sebagai "melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan, oleh orang-orang yang berkualifikasi sama
pada situasi dan kondisi yang identik.

Pertanggungjawabannya dapat berupa tanggungjawab pidana dengan berbagai


ancaman hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dapat pula berupa
tanggungjawab perdata dalam bentuk pembayaran uang ganti rugi. Tanggungjawab pidana
dibebankan langsung kepada pelakunya apabila kompetensi itu telah sah atau terakreditasi,
atau menjadi tanggungjawab pemberi perintahnya apabila dalam kondisi sebaliknya.
Penanggungjawab dianggap telah lalai memberikan perintah kepada orang untuk melakukan
tindakan yang diluar kompetensinya, padahal diketahuinya bahwa kesalahan atau kerugian
dapat terjadi karenanya. Sedangkan tanggungjawab perdatanya menjadi beban pemberi kerja
berdasarkan doktrin respondeat superior atau pasal 1367 KUH Perdata.

Kesimpulan

 Tindakan phlebotomi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Kesehatan yang memiliki
kewenangan (kapabel) dan sertifikasi kompetensi (kompeten).

 Aspek hukum kesehatan tindakan flebotomi yang utama adalah pertanggungjawaban atau
akuntabilitas tenaga kesehatan yang bekerja dalam lingkup keprofesiannya kepada
masyarakat.

 Organisasi profesi harus membuat kode etik dan standar profesi, mengawasi
pelaksanaannya, dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggarnya, dengan atau
tanpa adanya korban atau kerugian.

Daftar Pustaka

1. Goswami B, Singh B, Chawla R, and Mallika V. Evaluation of Error in a Clinical


Laboratory: A OneYear Experience. Clinical Chemistry and Laboratory Medicine. 2010;
48(1): 63-66.

2. Parapia LA. History of bloodletting by phlebotomy. Br J Haematol. 2008;143:490–5.


10.1111/j.1365-2141.2008.07361.x

3. Hawkins R. Managing the Pre- and Post- Analytical Phases of the Total Testing Process.
Annals of Laboratory Medicine. 2012; 32(1): 5-16

Anda mungkin juga menyukai