Lasmono Susanto
Program RPL-3 Jurusan Teknologi Laboratorium Medik
Politeknik kesehatan Negeri Medan
ABSTRAK
Fhlebotomi adalah memperoleh sampel darah dalam volume yang cukup untuk pemeriksaaan
laboratorium yang memiliki resiko. Dengan demikian masalah hukum kesehatannya adalah
siapa pelaksana flebotomi (kompetensi dan kewenangannya). Dokter, perawat, dan bidan,
memiliki kompetensi dan kewenangan dalam melakukan tindakan flebotomi, sedangkan bagi
analis laboratorium dan teknisi phlebotomi, kompetensi dan kewenangan dinyatakan secara
tegas di dalam sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang
terakreditasi atau sertifikasi tertentu. Aspek medikolegal flebotomi yang utama adalah
pertanggungjawaban atau akuntabilitas profesi patologi klinik beserta SDM yang bekerja
dalam lingkup keprofesiannya kepada masyarakat.
Pendahuluan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting bagi manusia
agar dapat mencapai suatu kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara berupaya memberikan perhatian utama pada
pelayanan kesehatan, meliputi penyediaan tenaga kesehatan yang profesional hingga fasilitas
kesehatan yang memadai. Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan, negara
perlu membuat dan memberlakukan peraturan-peraturan di bidang kesehatan (hukum
kesehatan) yang akan dijadikan sebagai landasan hukum/pedoman yuridis dalam pemberian
layanan kesehatan kepada masyarakat. Hukum hukum kesehatan pada dasarnya bertujuan
untuk mengatur tentang hak, kewajiban, fungsi, dan tanggung jawab para pihak yang terkait
(stakeholders) dalam bidang kesehatan. Hukum kesehatan juga memberikan kepastian dan
perlindungan hukum kepada pemberi dan penerima jasa layanan kesehatan.
Menurut UU No.36 tahun 2014 profesi Ahli Teknologi Laboratorium Medis (ATLM)
atau di Indonesia lebih dikenal dengan Analis Kesehatan adalah profesi yang bekerja pada
sarana kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan, pengukuran, penetapan, dan
pengujian terhadap bahan yang berasal dari manusia atau bahan bukan berasal dari manusia
untuk penentuan jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi kesehatan atau faktor-faktor yang
dapat berpengaruh pada kesehatan perorangan dan masyarakat. Dalam pelaksanaan pelayanan
ini terkadang menimbulkan masalah hukum dalam hubungan antara ATLM dan pasien.
Masalah hukum itu antara lain disebabkan oleh adanya tudingan kepada ATLM yang telah
merugikan pasien akibat kesalahan prosedur maupun kesalahan pengujian/analisa terhadap
sampel pasien.
Tinjauan Pustaka
Menurut UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 11 ayat 12. Ahli
Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) adalah nama yang digunakan bagi seseorang yang
berprofesi di laboratorium medik, melakukan pelayanan pemeriksaan, pengukuran, pengujian
terhadap bahan pemeriksaan yang berasal dari manusia atau pun bukan dari manusia sehingga
bisa menentukan jenis penyakit, penyebab penyakit, membantu memantau proses
penyembuhan penyakit seseorang. Sedangkan Menurut KEPMENKES RI NOMOR
370/MENKES/SK/III/2007, Analis Kesehatan atau disebut juga Ahli Teknologi Laboratorium
Kesehatan adalah tenaga kesehatan dan ilmuan berketerampilan tinggi yang melaksanakan
dan mengevaluasi prosedur laboratorium dengan memanfaatkan berbagai sumber daya.
Sarana kesehatan ini berbentuk Laboratorium Kesehatan seperti Laboratorium Patologi
Klinik, Hematologi, Mikrobiologi, Imunoserologi, Toksikologi, Kimia Lingkungan, Patologi
Anatomi, Biologi dan Fisika. ATLM harus memiliki kemampuan untuk memeriksa sampel
berupa cairan-cairan tubuh manusia seperti darah, sputum, faeces, urine, liquor cerebro
spinalis (cairan otak), dan lain-lain untuk mendapatkan data atau hasil sebagai penegakan
diagnosa terhadap suatu penyakit. Cakupannya juga luas meliputi pemeriksaan mikrobiologi
(bakteri), parasitologi (fungi, protozoa, cacing), hematologi (sel-sel darah serta plasma),
imunologi (antigen, antibodi), kimia klinik (hormon, enzim, glukosa, lipid, protein, elektrolit,
dll).
ATLM dalam melaksanakan praktik klinik di rumah sakit harus didapat melalui proses
kredensial yang dilakukan oleh Sub Komite Kredensial Komite Non Medik Non Perawatan
Rumah Sakit maupun laboratorium. ATLM dalam memberikan pelayanan kesehatan hanya
dapat melakukan pelayanan atas permintaan tertulis dengan keterangan klinis yang jelas dari
tenaga medis dan bidan. Tugas pokok ATLM adalah mengembangkan prosedur untuk
mengambil dan memproses specimen serta melaksanakan uji analitik terhadap reagen dan
spesimen. ATLM juga harus mampu mengoperasikan dan memelihara peralatan/instrumen
laboratorium serta melakukan evaluasi data laboratorium untuk memastikan akurasi dan
prosedur pengendalian mutu dan mengembangkan pemecahan maslaah yang berkaitan dengan
data hasil uji. Mengevaluasi teknik, instrumen, dan prosedur baru untuk menentukan mafaat
kepraktisannya dan membantu klinisi dalam pemanfaatan data laboratorium secara efektif dan
efisien untuk menginterpretasikan hasil uji laboratorium. Kemampuan membuat
perencanakan, mengatur, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan laboratorium serta
membimbing dan membina tenaga kesehatan lain dalam bidang teknik kelaboratoriuman
adalah bagian dari tugas pokok yang harus dilakukan oleh tenaga ATLM. Seorang ATLM juga
harus mampu merancang dan melaksanakan penelitian dalam bidang laboratorium kesehatan.
1. Kewenangan klinis adalah wewenang yang diberikan oleh rumah sakit kepada staf
laboratorium sebagai ahli teknologi laboratorium medik (ATLM) yang memberikan
pelayanan laboratorium sesuai dengan tingkat kompetensi yang dimiliki oleh staf
ATLM tersebut.
2. Kewenangan klinis diberikan oleh komite non medik non keperawatan melalui sub
komite kredensial.
4. Uji kompetensi meliputi verifikasi portofolio, log book, surat keterangan supervisor,
observasi tindakan, unjuk kerja pemeriksaan laboratorium dan wawancara.
8. Staf Laboratorium yang baru bekerja diberikan kewenangan klinis selama 2 tahun
bekerja.
9. Staf laboratorium baru pindahan maka kewenangan klinis diberikan seusai dengan
kebijakan yang berlaku di RSUD. dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.
Secara ringkas pada pasal 22 dan 24 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, bahwa Ahli Teknologi Laboratorium Medik merupakan tenaga kesehatan maka
dengan kualifikasi minimum yang dipersyaratkan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki, wajib memiliki izin
pemerintah, harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
Salah satu wewenang Ahli Teknologi Laboratorium Medik sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2015 tentang Izin Penyelenggaraan
Praktik Ahli Teknologi Laboratorium Medik pasal 14 (1) menyebutkan bahwa ATLM
mempunyai kewenangan melakukan pengambilan dan penanganan specimen darah serta
penanganan cairan dan jaringan tubuh lainnya. Dalam hal pengambilan dan penanganan
spesimen darah sering menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai siapa tenaga kesehatan
yang lebih berkompeten secara hukum untuk dapat melakukan tindakan ini.
Diskusi
Tujuan flebotomi adalah memperoleh sampel darah dalam volume yang cukup untuk
pemeriksaan yang dibutuhkan, dengan memperhatikan pencegahan interferensi preanalisis,
memasukkannya ke dalam tabung yang benar, memperhatikan keselamatan (safety), dan
(2)
dengan sesedikit mungkin menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien . Sebanyak 46-77%
kesalahan laboratorium terjadi pada fase pra-analitik yang berhubungan dengan kualitas
(3)
sampel . Salah satu bagian dari fase pra-analitik adalah pengambilan dan penanganan
spesimen darah serta penanganan cairan dan jaringan tubuh lainnya.
Dalam profesi kesehatan, hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh
Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan
kedokteran (setidaknya hingga saat ini), sedangkan kewenangan yang bersifat khusus, dalam
arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu, diserahkan pengaturannya pada profesi
masing-masing. Sebagai dokter, perawat, dan bidan, kompetensi dalam melakukan tindakan
flebotomi telah dimilikinya dan kewenangan melakukannya pun telah dimilikinya, tanpa
disebutkan secara eksplisit di dalam sertifikasi kompetensinya dan atau surat ijin praktek
profesinya.
Dengan demikian kewenangan melakukan oleh teknisi flebotomi ataupun oleh analis
laboratorium belum diakui sebagai suatu kewenangan yang mandiri, namun harus dianggap
sebagai kewenangan yang memerlukan supervisi dari keprofesian yang menjadi "pemberi
kerjanya" sebagai penanggung-jawabnya. Etika dan standar pekerjaannya pun harus
ditetapkan, diatur dan ditegakkan oleh penanggungjawabnya. Pada pasal 61 ayat (3) UU No
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; sertifikat kompetensi diberikan oleh
penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat
sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji
kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga
sertifikasi.
Standar Profesi terdiri dari 3 bagian, yaitu (a) standar kompetensi yang telah dibahas
di atas sebagai bagian dari persyaratan profesi, (b) standar perilaku yang sebagian diatur
dalam kode etik, dan (c) standar pelayanan. Standar pelayanan, yang dalam UU Kesehatan
disebut sebagai standar profesi, diartikan sebagai pedoman yang harus dipergunakan sebagai
petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Sebenarnya dalam pandangan hukum,
standar berbeda dengan pedoman; standar tidak dapat disimpangi, pedoman dapat disimpangi.
Standar harus dilaksanakan dan bila tidak dilaksanakan maka pelakunya dianggap melakukan
kelalaian, sedangkan pedoman hanya berlaku sebagai petunjuk - pelanggaran atasnya bukan
merupakan pelanggaran hukum. Oleh karena itu di banyak negara standar dibuat hanya untuk
yang pokok-pokok saja, sedangkan hal yang rinci diatur dalam pedoman-pedoman.
Salah satu ciri profesi sebagaimana diuraikan pada bagian depan adalah otonomi
profesi, dalam arti self regulation, self governing dan self disciplining. Organisasi profesi
membuat kode etik dan standar profesi, mengawasi pelaksanaannya, dan memberikan sanksi
bagi mereka yang melanggarnya - dengan atau tanpa adanya korban atau kerugian.
Kesemuanya tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat, khususnya pengguna jasa
profesi. Upaya itu merupakan bagian dari akuntabilitas profesi. Majelis atau Dewan
Kehormatan Etik lah yang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan pemberian sanksi atas
pelanggaran etik dan disiplin profesi.
Tanggungjawab hukum kepada pasien dapat terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan
yang melanggar hukum atau yang merugikan pasien. Sifatnya pun dapat merupakan
kesengajaan ataupun kelalaian. Pelanggaran hukum dapat berupa tindakan tanpa informed
consent, pelanggaran susila, pengingkaran atas janji atau jaminan, dan lain-lain. Sedangkan
kelalaian diartikan sebagai "melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan, oleh orang-orang yang berkualifikasi sama
pada situasi dan kondisi yang identik.
Kesimpulan
Tindakan phlebotomi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Kesehatan yang memiliki
kewenangan (kapabel) dan sertifikasi kompetensi (kompeten).
Aspek hukum kesehatan tindakan flebotomi yang utama adalah pertanggungjawaban atau
akuntabilitas tenaga kesehatan yang bekerja dalam lingkup keprofesiannya kepada
masyarakat.
Organisasi profesi harus membuat kode etik dan standar profesi, mengawasi
pelaksanaannya, dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggarnya, dengan atau
tanpa adanya korban atau kerugian.
Daftar Pustaka
3. Hawkins R. Managing the Pre- and Post- Analytical Phases of the Total Testing Process.
Annals of Laboratory Medicine. 2012; 32(1): 5-16