Anda di halaman 1dari 13

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya
lah kami dapat menyelesaikan makalah yang bertema “Masyarakat Madani” ini dengan lancar
dan penuh tanggungjawab.

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan kita mengenai Masyarakat
Madani. Baik dalam bentuk pengertian, sejarah, ciri, maupun konsep-konsep dalam Al Quran
yang membantu pembahasan tema ini.

Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Sari, karena dengan tugas yang beliau berikan,
kami dapat memahami dan mencari lebih dalam lagi mengenai wawasan bersejarah islam
maupun yang lainnya.

Kami selaku penulis memohon maaf kepada pembaca apabila terdapat kata-kata maupun
kalimat yang kurang sesuai dengan semestinya. Maka dari itu kami menerima saran dan kritik
dari pembaca agar pembahasan ini menjadi lebih baik. Semoga apa yang kami berikan
bermanfaat untuk kedepannya.

Surabaya, 13 September 2016

Penulis

1
Daftar Isi

Kata Pengantar .................................................................................................................. 1

Daftar Isi .......................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 3

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 3


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 3
1.3 Tujuan Makalah ................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 4

2.1 Pengertian Masyarakat Madani ......................................................................... 4


2.2 Sejarah Masyarakat Madani .............................................................................. 5
2.3 Ciri Masyarakat Madani .................................................................................... 7
2.4 Konsep Al Quran Tentang Masyarakat Madani ................................................ 8

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 11

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 11


3.2 Saran ................................................................................................................ 12

Daftar Pustaka ................................................................................................................. 13

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Civil society atau masyarakat Madani sebenarnya sudah lama dikenal sejak masa
Aristoteles pada zaman Yunani Kuno, Cicero, pada zaman Roma Kuno, pada abad
pertengahan, masa pencerahan dan masa modern. Dengan istilah yang berbeda-beda, civil
society mengalami evolusi pengertian yang berubah dari masa ke masa. Di zaman pencerahan
dan modern, isttilah tersebut dibahas oleh para filsuf dan tokoh-tokoh ilmu sosial seperti Locke,
Hobbes, Ferguson, Rousseau, Hegel, Tocquiville, Gramsci, Hebermas.Dahrendorf, Gellner dan
di Indonesia dibahas oleh Arief Budiman, M.Amien Rais, Fransz, Magnis Suseso, Ryaas
Rasyid, AS. Hikam, Mansour Fakih.

Mewujudkan masyarakat Madani adalah membangun kota budaya bukan sekedar


merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat lokal, tetapi membangun masyarakat yang
berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan
kasih yang menghargai nilai kemanusiaan.

Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan.


Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing
warga bangsa ini untuk memerdekakan diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Masyarakat Madani?
2. Hal apa yang menjadikan sejarah terbentuknya Masyarakat Madani?
3. Ciri apa saja yang dapat menandakan Masyarakat Madani?
4. Konsep apa saja yang terdapat didalam Al Quran mengenai Masyarakat Madani?

1.3 Tujuan Makalah


1. Menjelaskan pengertian dari Masyarakat Madani
2. Menjelaskan sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya Masyarakat Madani
3. Mengetahui ciri-ciri dari Masyarakat Madani
4. Menjelaskan konsep-konsep Masyarakat Madani yang terdapat dalam Al Quran

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Masyarakat Madani


Masyarakat Madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, dalam
sejarah filsafat, sejak filsafat yunani sampai masa filsafat Islam juga dikenal istilah Madinah
atau Polis, yang berarti kota. Yaitu masyarakat yang maju dan berperadaban. Masyarakat
Madani menjadi simbol idealisme yang diharapkan oleh setiap masyarakat. Didalam Al Quran,
Allah SWT memberikan gambaran mengenai masyarakat yang ideal, sebagai gambaran dari
Masyarakat Madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ (34:5) yang berarti : “(Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Kata Madani merupakan pembentukan sifat terhadap kota Madinah, yaitu sifat yang
ditunjukkan oleh kondisi dan sistem kehidupan yang berlaku di kota Madinah. Kondisi dan
sistem kehidupan itu menjadi populer dan dianggap ideal untuk menggambarkan masyarakat
yang Islami, meskipun penduduknya terdiri dari berbagai macam keyakinan. Mereka hidup
dengan rukun, saling membantu, taat hukum, dan menunjukkan kepercayaan penuh terhadap
pimpinannya. Al Quran menjadi konstitusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup
yang terjadi diantara penduduk Madinah.
Menurut Zbigniew Rau (dengan kajian kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet),
masyarakat Madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan
negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan negara diekspresikan dengan ciri-ciri
individualisme, pasar dan pluralisme.
Dan menurut Han Sung Jao (dengan latar belakang Korea Selatan), masyarakat
Madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar
individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu
mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan
independen, yang secara bersama mengakui norma dan budaya yang menjadi identitas dan
solidaritas yang terbentuk serta akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.

4
2.2 Sejarah Masyarakat Madani
Ada dua masyarakat dalam sejarah yang tercatat sebagai masyarakat Madani, yaitu:
1. Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman a.s.. Nama Saba’
yang terdapat dalam Al Quran bahkan dijadikan nama salah satu surat di Al Quran,
surat ke-34. Keadaan masyarakat Saba’ yang diceritakan dalam Al Quran itu
mendiami negeri yang baik, subur, dan nyaman. Di tempat itu terdapat kebun
dengan tanamannya yang subur, yang mampu menyediakan rezeki dan memenuhi
kebutuhan hidup masyarakatnya. Negeri yang indah itu merupakan wujud dari
kasih sayang Allah SWT yang diberikan kepada masyarakat Saba’. Allah SWT juga
Maha Pengampun bila terjadi kesalahan pada masyarakat tersebut.maka dari itu,
Allah SWT memerintahkan masyarakat Saba’ untuk bersyukur kepada Allah SWT
yang telah menyediakan kebutuhan hidup mereka. Kisah keadaan masyarakat Saba’
ini sangat populer dengan ungkapan Al Quran: “Baldattun thayyibatun wa Rabbun
Ghafur”.
2. Masyarakat Madaniah setelah menjadi traktat, perjanjian Madinah antara
Rasulullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama
Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Madinah adalah nama
kota di negara Arab Saudi, tempat yang didiami Rasulullah SAW sampai akhir
hayat beliau sesudah hijrah. Kota itu sangat populer karena menjadi pusat kelahiran
dan berkembangnya agama Islam setelah Mekah. Di kota Madinah, Rasulullah
SAW membangun masjid yang dikenal dengan nama Masjid Nabawi. Perjanjian
Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling tolong-
menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al Quran
sebagai konstitusi, menjadikan Rasulullh SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan
penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi
penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama
yang dianutnya.

Filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM) yang memandang civil society sebagai sistem
kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini merupakan fase pertama
sejarah wacana civil society. Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem
kenegaraan dengan menggunakan istilah “Koinonia Politike”, yaitu sebuah komunitas politik
tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai macam ekonomi-politik dan pengambilan
keputusan. Rumusan civil society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-

5
1679 M) dan John Locke (1632-1704 M), yang memandangnya sebagai kelanjutan dari evolusi
Natural Society. Menurut Hobbes, sebagai antitesa negara civil society mempunyai peran
untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak,
sehingga ia mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi setiap warga
negara. Berbeda dengan John Locke, kehadiran civil society adalah untuk melindungi
kebebasan dan hak milik setiap warga Negara.

Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society
dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Ferguson, menekankan visi etis pada civil
society dalam kehidupan sosial. Pemahamannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh
dampak revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang
mencolok.

Fase ketiga, pada tahun 1792 Thomas Paine mulai memaknai wacana civil society
sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga Negara, bahkan dia dianggap sebagai
antitesa Negara. Menurut pandangan ini, Negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka.
Konsep Negara yang absah, menurut mazhab ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan
yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna
sesuatu masyarakat sipil, semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya
sendiri.

Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh Hegel (1770-
1837 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1937 M). Dalam pandangan
ketiganya civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan.

Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang
dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M). Pemikiran Tocqueville tentang
civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan
politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika
memiliki daya tahan yang kuat. Adapun tokoh yang pertama kali menggagas istilah civil
society ini adalah Adam Ferguson dalam bukunya ”Sebuah Esai tentang Sejarah Masyarakat
Sipil” (An Essay on The History of Civil Society) yang terbit tahun 1773 di
Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat Madani pada visi etis kehidupan
bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang
diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme, serta mencoloknya perbedaan
antarindividu.

6
2.3 Ciri Masyarakat Madani

1. Bertuhan, artinya masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui
adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagain landasan yang mengatur kehidupan
sosial. Manusia secara universal memiliki posisi yang sama menurut fitrah kebebasan dalam
hidupnya, sehingga komitmen terhadap kehidupan sosial juga dilandasi oleh relativitas
manusia di hadapan Tuhan. Landasan hukum Tuhan dalam kehidupan sosial itu lebih objektif
dan adil, karena tidak ada kepentingan tertentu yang diutamakan dan tidak ada kelompok lain
yang diabaikan.
2. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun
kelompok menghormati pihak lain secara adil. Kelompok sosial mayoritas hidup
berdampingan dengan kelompok minoritas sehingga tidak muncul kecemburuan sosial.
Kelompok yang kuat tidak menganiaya kelompok yang lemah, sehingga tirani minoritas dan
anarkhi mayoritas dapat dihindarkan.
3. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya. Prinsip tolong-menolong antaranggota masyarakat didasarkan pada
aspek kemanusiaan karena kesulitan hidup yang dihadapi oleh sebagian anggota masyarakat
tertentu, sedangkan pihak lain memiliki kemampuan membantu untuk meringankan kesulitan
hidup tersebut.
4. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan Allah
SWT sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang
berbeda tersebut. Masalah yang sangat menonjol dari sikap toleran ini adalah sikap keagamaan,
dimana setiap manusia memilki kebebasan dalam beragama dan tidak ada hak bagi orang lain
yang berbeda agama untuk mencampuri. Keyakinan beragama tidak dapat dipaksakan. Rasio
dan pengalaman hidup keagamaan manusia mampu menentukan sendiri agama yang
dianggapnya benar.
5. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial. Setiap anggota masyarakat memiliki hak
dan kewajiban yang seimbang untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan keutuhan
masyarakatnya sesuai dengan kondisi masing-masing. Konsep zakat, infak, sedekah, dan hibah
bagi umat Islam serta “jizyah” dan ”kharaj” bagi non Islam, merupakan salah satu wujud
keseimbangan yang adil dalam masalah tersebut. Keseimbangan hak dan kewajiban itu berlaku
pada seluruh aspek kehidupan sosial, sehingga tidak ada kelompok sosial tertentu yang
diistimewakan dari kelompok sosial lainnya sekedar karena ia mayoritas. Kasus pengusiran
kaum Yahudi dari kota Madinah didasari oleh pengkhianatan mereka terhadap Piagam

7
Madinah yang membantu kaum musyrik memerangi kaum muslimin dalam perang Khandak,
bukan karena mereka minoritas.
6. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap
ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan hidup
umat manusia. Ilmu pengetahuan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat
manusia. Ilmu pengetahuan memberikan kemudahan dan meningkatkan hasrat serta martabat
manusia, di samping memberikan kesadaran akan posisinya sebagai khalifah Allah SWT.
Namun di sisi lain, ilmu pengetahuan juga bisa menjadi ancaman yang membahayakan
kehidupan manusia, bahkan lingkungan hidup bila pemanfaatannya tidak disertai dengan nilai-
nilai akhlak manusia.
7. Berakhlak mulia. Sekalipun pembentukan akhlak masyarakat dapat dilakukan
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan semata, tetapi relativitas manusia dapat menyebabkan
terjebaknya konsep akhlak yang relatif. Sifat subjektif manusia sering sukar untuk dihindari.
Maka dari itu konsep akhlak tidak boleh dipisahkan dengan nilai-nilai Ketuhanan, sehingga
substansi dan aplikasinya tidak terjadi penyimpangan. Aspek Ketuhanan dalam aplikasi akhlak
memotivasi manusia untuk berbuat tanpa menggantungkan reaksi serupa dari pihak lain.

2.4 Konsep Masyarakat Madani dalam Al Quran


Konsep masyarakat Madani sebagaimana yang telah ditekankan oleh Al Quran dan telah
dirumuskan pada uraian terdahulu adalah masyarakat yang terbaik (khairah ummah),
masyarakat yang seimbang (ummatan wasathan), dan masyarakat moderat (ummah
muqtashidah). Berikut ini dikutip ayat-ayat yang menggunakan istilah-istilah tersebut :

1. Khairah Ummah dalam QS. Ali Imran (3): 110, yakni ;

َّ ِ‫وف َوت َ ْن َه ْونَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُؤْ ِمنُونَ ب‬


ِ‫اَّلل‬ ِ ‫اس تَأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬ ِ َّ‫ت ِللن‬ْ ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ َّمة أ ُ ْخ ِر َج‬
َ‫ب لَ َكانَ َخي ًْرا لَ ُه ْم ِم ْن ُه ُم ْال ُمؤْ ِمنُونَ َوأ َ ْكث َ ُر ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬
ِ ‫َولَ ْو َءا َمنَ أ َ ْه ُل ْال ِكتَا‬
Terjemahan : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.

8
2. Ummatan Wasathan dalam QS. al-Baqarah (2): 143, yakni ;

‫ش ِهيدًا‬ َ ‫سو ُل َعلَ ْي ُك ْم‬ ُ ‫الر‬َّ َ‫اس َويَ ُكون‬ ِ َّ‫علَى الن‬ َ ‫ش َهدَا َء‬ ُ ‫طا ِلت َ ُكونُوا‬ ً ‫س‬ َ ‫َو َكذَ ِل َك َجعَ ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
‫ب َعلَى َع ِقبَ ْي ِه‬ ُ ‫سو َل ِم َّم ْن يَ ْنقَ ِل‬
ُ ‫الر‬ َ ‫َو َما َجعَ ْلنَا ْال ِق ْبلَةَ الَّتِي ُك ْن‬
َّ ‫ت َعلَ ْي َها إِ ََّّل ِلنَ ْعلَ َم َم ْن يَتَّبِ ُع‬
‫اس‬ َّ ‫ضي َع إِي َمانَ ُك ْم ِإ َّن‬
ِ َّ‫َّللاَ ِبالن‬ َّ ‫يرة ً ِإ ََّّل َعلَى الَّذِينَ َهدَى‬
َّ َ‫َّللاُ َو َما َكان‬
ِ ُ‫َّللاُ ِلي‬ َ ِ‫َت لَ َكب‬
ْ ‫َو ِإ ْن َكان‬
‫وف َر ِحي ٌم‬ ٌ ‫لَ َر ُء‬

Terjemahan :" Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-
nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia”.

3. Ummah Muqtashidah dalam QS. al-Maidah (5): 66, yakni ;

‫اْل ْن ِجي َل َو َما أ ُ ْن ِز َل إِلَ ْي ِه ْم ِم ْن َربِ ِه ْم ََل َ َكلُوا ِم ْن فَ ْوقِ ِه ْم َو ِم ْن‬ ِ ْ ‫َولَ ْو أَنَّ ُه ْم أَقَا ُموا الت َّ ْو َراة َ َو‬
َ‫سا َء َما َي ْع َملُون‬ َ ‫ير ِم ْن ُه ْم‬
ٌ ِ‫صدَة ٌ َو َكث‬ ِ َ ‫ت أ َ ْر ُج ِل ِه ْم ِم ْن ُه ْم أ ُ َّمةٌ ُم ْقت‬ ِ ‫ت َ ْح‬
Terjemahan :” Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil
dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan
mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada
golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan
mereka”.
Konsep khairah ummah sebagaimana dalam QS. Ali Imran (3):110, adalah model
masyarakat terbaik dan yang ideal, diberi tugas untuk mengembangkan beberapa fungsi
profetik, terutama senantiasa menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran, serta tidak
bercerai berai dan berselisih setelah memperoleh keterangan yang jelas. Al Quran memberi
petunjuk beberapa mekanisme damai untuk memecahkan problem internal, yaitu
metode syūrah (musyawarah), ishlāh (rekonsiliasi), dan berdakwah dengan cara al-hikmah wa
al-mujādalah bi allati hiya ahsan (seruan dengan kebijaksanaan serta perundingan dengan cara
yang lebih baik).

9
Konsep ummatan wasathan sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 143, adalah
masyarakat yang seimbang. Masyarakat seimbang adalah posisi ditengah-tengah (wastah),
yakni menggabungkan yang terbaik dari segala yang bertentangan. Penempatan posisi tengah
itu bukan hanya dengan pernyataan negasi, misalnya, bukan kapitalisme dan bukan pula
sosialisme.
Konsep ummah muqtashidah sebagaimana dalam QS. al-Maidah (5): 66, adalah
masyarakat yang moderat, yakni entitas tertentu di kalangan ahli kitab, dan posisi ummah disitu
adalah minoritas. Maksudnya, adalah kelompok kecil dalam masyarakat yang tetap setia
menebarkan kebaikan dan perbaikan serta meminimalisir kerusakan. Kelihatan bahwa
makna ummah muqtashidah ini hampir identik dengan ummah wasath, karena keduanya
mengandung makna moderat dalam ketidakterjebakan pada titik ekstrim. Keduanya juga
berfungsi memelihara konsistensi penerapan nilai-nilai utama di tengah berbagai komunitas
sekitar yang telah menyimpang. Bedanya, cakupan ummah muqtashid adalah sub-komunitas
seagama (Yahudi atau Nasrani), sedangkan ummah wasath adalah komunitas seagama itu
sendiri, yakni Islam.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masyarakat Madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kata Madani
merupakan pembentukan sifat terhadap kota Madinah, yaitu sifat yang ditunjukkan oleh
kondisi dan sistem kehidupan yang berlaku di kota Madinah. Kondisi dan sistem kehidupan itu
menjadi populer dan dianggap ideal untuk menggambarkan masyarakat yang Islami, meskipun
penduduknya terdiri dari berbagai macam keyakinan.
Ada dua masyarakat yang tercatat sebagai sejarah masyarakat Madani. Yang pertama
adalah masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman a.s.. Keadaan masyarakat
Saba’ yang diceritakan dalam Al Quran itu mendiami negeri yang baik, subur, dan nyaman.
Kisah keadaan masyarakat Saba’ ini sangat populer dengan ungkapan Al Quran: “Baldattun
thayyibatun wa Rabbun Ghafur”. Dan yang kedua adalah Masyarakat Madaniah setelah
menjadi traktat, perjanjian Madinah antara Rasulullah SAW beserta umat Islam dengan
penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling tolong-
menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al Quran sebagai
konstitusi, menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk
agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Ciri yang dimiliki oleh masyarakat Madani sendiri dibagi menjadi tujuh, yaitu :

1. Bertuhan
2. Damai
3. Tolong-menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya
4. Toleran
5. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial
6. Berperadaban tinggi
7. Berakhlak mulia

11
Dan mengenai konsep masyarakat Madani dalam Al Quran sendiri dibagi menjadi tiga,
yaitu :

1. Khairah Ummah dalam QS. Ali Imran (3): 110


2. Ummatan Wasathan dalam QS. al-Baqarah (2): 143
3. Ummah Muqtashidah dalam QS. al-Maidah (5): 66

3.2 Saran

Melalui makalah ini, saya berharap semoga pembahasan mengenai masyarakat


Madani dapat dipahami oleh pembaca. Selain itu penulis mohon maaf apabila terdapat
kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca, untuk kesempurnaan dari makalah saya ini.

12
Daftar Pustaka

Ahmadi, H. 2000. Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Asiyah, Udji. 2015. Islamica. Surabaya : Kelapa Pariwara

Azra, Azyumardi. 1999. Menuju Masyarakat Madani. Cetakan ke-1. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya

Masykuri Abdillah, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI:
Jakarta.

https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_madani

13

Anda mungkin juga menyukai