Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni
1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga
istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati,
Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu,
sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto
mempunyai anak Kartika.
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar.
Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said
Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di
HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa
nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS
(Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT.Ia berhasil
meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun
dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan
sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende,
Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1
Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya
Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945
Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar
(ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara.
Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi
Gerakan Non Blok.Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang
menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya.
Dikenal sebagai Dr. Drs. H. Mohammad Hatta, beliau lebih akrab disapa bung Hatta.
Tetapi, beliau sebetulnya lahir dengan nama Mohammad Athar, di Fort de Kock, yang saat ini
dikenal sebagai Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 12 Agustus 1902. Meninggal sebagai
seorang yang dihormati pada usia 77 tahun di Jakarta, 14 Maret 1980.
Bung Hatta dilahirkan dan dibesarkan di keluarga taat beragama. Kakeknya yang
bernama Abdurahman Batuhampar merupakan Ulama pendiri masjid yang cukup kokoh. oleh
orang tua bernama Siti Saleha. Ayahnya bernama H. Mohammad Djamil. Bung Hatta
ditinggalkan oleh ayahnya saat ia masih berusia 8 bulan. Bung Hatta kecil atau Mohammad
Athar awalnya bersekolah di sekolah swasta, kemudia pindah setelah 6 bulan ke sekolah
rakyat. Pada pertengahan semester 3, beliau pindah ke ELS (Europeesche Lagere School)
hingga tahun 1913 yang saat ini dikenal sebagai SMA N 1 Padang. Setelah itu, beliau
menempuh pendidikan ke MULO (Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs).
Semenjak bersekolah di MULO, Mohammad Hatta sudah mulai tertarik untuk belajar
dan mengikuti berbagai bidang seperti organisasi pemuda. Hinga akhirnya beliau menjadi
bendahara dalam Jong Sumatranen Bond.
Pada tahun 1926, tepatnya tanggal 17 Januari, Bung Hatta memimpin Perhimpunan
Indonesia yang mengakibatkan keterlambatan dalam menyelesaikan pendidikannya. Pada
tahun yang sama, bung Hatta didatangi oleh Semaun, anggota PKI yang kemudian tercipta
sebuah perjainjan bernama Konvensi Semaun-Hatta. Konvensi tersebut menyebabkan Hatta
dimusuhi oleh Pemerintah Belanda.
Tahun berikutnya, 25 September tahun 1927, Mohammad Hatta resmi ditangkap oleh
pihak Belanda karena mengikuti pertai teralarang yang dikaitkan dengan konvensi Semaun-
Hatta. Dipenjara di Rotterdarm, Belanda, selama 3 tahun, hingga akhirnya Bung Hatta beserta
3 rekannya dibebaskan oleh Mahkamah Pengadilan Den Haag dari segala tuduhan pada
dirinya.
Setelah menyelesaikan studinya di Belanda, bung Hatta kembali ke Tanah Air. Hatta
kemudian sibuk menuliskan berbagai artikel dari politik hingga ekonomi di Daulah Ra’jat dan
mengikuti berbagai kegiatan politik lainnya. Beberapa artikel yang terkenal dan ditulis oleh
Bung Hatta adalah “Soekarno Ditahan” terbit 10 Agustus 1933 dan “Tragedi Soekarno” terbit
pada 30 November 1933
Semua tulisan Bung Hatta merupakan salah satu reaksi penolakan terhadap Soekarno
yang ditahan oleh Pemerintah Belanda, berikut pengasingan Soekarno ke Pulau Flores.
Pemerintah Belanda melanjutkan penangkapan dan pengasingan pada kompeni Partai
Pendidikan Nasional Indonesia, dan mereka ditahan selama satu tahun, kemudian diasingkan
ke Boen Digoel.
Selama pengasingan di Boen Digoel, Bung Hatta tetap menulis artikel untuk beberapa
surat kabar pemandangan. Bung Hatta sempat dipindahkan pengasingan ke Banda Neira dan
lebih bebas berekspresi hingga akhirnya dipertemukan dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo dan
Mr. Iwa Kusumasumantri.
Tahun 1942, Belanda mulai menyerah kepada Jepang. Jepang mulai menguasai
wilayah Tanah Air. Hatta kembali ke Jakarta dan menjadi penasihat hingga diberikan
penghargaan berupa kantor dan rumah untuk ditinggali.
Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI,
membentuk panitia 9 beranggotakan Ir. Soekarno, Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad
Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan
Abikusno Tjokrosujos pada tanggal 22 Juni 1945.
Pada 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta diculik dan diasingkan ke
Rengasdengklok oleh para kaum muda yang saat ini dikenal sebagai peristiwa
Rengasdengklok. Hal ini dilakukan oleh kaum muda agar Indonesia bisa merdeka lebih cepat.
Tepat tanggal 17 Agustus 1945 bertempat di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta
pada pukul 10.00 WIB, Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Bung Karno. Tepat sehari
setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Bung Hatta resmi dilantik menjadi Wakil
Presiden Republik Indonesia pertama menemani Bung Karno sebagai Presiden.
Pada 12 Juli 1947, Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi Pertama yang saat ini
diperingati sebagai Hari Koperasi Indonesia, berikut ditetapkannya Bung Hatta sebagai Bapak
Koperasi Indonesia karena jasa dan pergerakannya yang istimewa dalam bidang ekonomi dan
bidang koperasi. Hal tersebut melengkapi biografi Mohammad Hatta yang luar biasa.
Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909. Sutan
Sjahrir menjadi perdana menteri Indonesia pertama pada masa pemerintahan Soekarno.
Pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) ini mempunyai julukan "Bung Kecil" yang memiliki
peranan besar dalam kemerdekaan Indonesia. Sebagai kader dan pendiri partai PSI, Sjahrir
muda sering bepergian ke berbagai daerah.Pada masa hidupnya, Sjahrir sering diasingkan
oleh Belanda, antara lain ke Boven Digul (Papua) dan Bandarneira (Maluku) bersama Bung
Hatta. Kehidupan di balik jeruji pun juga Sjahrir rasakan ketika dituduh terlibat dalam
percobaan pembunuhan Presiden Soekarno saat itu. Tak ayal, suami Poppy Sjahrir ini
kemudian berpindah dari penjara satu ke penjara lainnya di Kota Madiun (Jawa Timur),
RSPAD (Jakarta Pusat), Jalan Keagungan (Jakarta Utara), dan RTM Budi Utomo (Jakarta
Pusat). Verenigde Ondergrondse Corps (Korps Bawah Tanah Bersatu).
Sjahrir menjadi perdana menteri pertama di Indonesia, dan memimpin kabinet selama
tiga kali dalam periode 1945-1947. Sjahrir menjadi orang penting dalam perjuangan mencapai
kemerdekaan Indonesia, gerilya Sjahrir dimulai setelah ia dibebaskan dari penjara Belanda
pada 1942. Geliat perjuangan politik Sjahrir dimulai ketika menempuh pendidikan di
Belanda. Sjahrir tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Bung
Hatta. Sekembalinya ke Hindia Belanda (belum bernama Indonesia), Sjahrir dan Bung Hatta
aktif memimpin Pendidikan Nasional Indonesia, partai yang bertujuan untuk memberdayakan
rakyat jelata melalui pendidikan.Puncak karir politik Sjahrir ketika menulis manifesto yang
membuatnya terlihat berseberangan dengan Soekarno. Sjahrir menulis Parjuangan Kita,
tulisan yang terkesan menyerang Bung Besar itu. Jika Soekarno begitu terobsesi dengan
persatuan dan kesatuan, Sjahrir menulis sebaliknya. Ini cuplikan kalimat dalam Perjuangan
Kita, “Setiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-
usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam
itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan”.
Kecaman yang dilancarkan Sjahrir tidak berhenti sampai di situ. Lagi, Sjahrir menulis
tentang Bung Karno : “Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis,
feodalistis, sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita”.
Sjahrir juga mengkritik gaya agitasi massa Bung Besar yang menurutnya tidak menghasilkan
sesuatu yang besar dan berguna bagi Indonesia.Karir politik Bung Kecil menurun ketika PSI
hanya berhasil merebut dua persen suara dalam Pemilu 1955. PSI hanya mampu merebut lima
kursi dari 257 kursi parlemen. Sjahrir menyebut PSI merupakan orang sosialis dalam arti
tepat dan juga tukang mimpi yang profesional.
Sjahrir terkesan seperti kena getah dari partai yang didirikannya sendiri. Salah
seorang pengurus PSI, Sumitro Joyohadikusumo, pindah ke Singapura untuk membantu
melancarkan pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1957-1958. Ketika itu, Sjahrir telah
pensiun dari aktivitas politik, namun Bung Karno menyebut Sjahrir dan PSI sebagai
‘cecunguk’ yang anti persatuan dan kesatuan. Menurut Bung Karno, cecunguk tersebut wajib
untuk ditumpas sampai habis.Setelah itu, Sjahrir seolah tak lepas dari pembuangan dan jeruji
besi. Hingga akhirnya Sjahrir menderita sakit dan diijinkan berobat ke mana saja kecuali
Belanda. Hal itu ditulis Presiden Soekarno dalam surat izin yang dikeluarkannya. Sjahrir
lantas berobat ke Zurich, Swiss sejak Mei 1965. Sjahrir meninggal dunia di Zuric pada 9
April 1966.Saat itu juga Presiden Soekarno lantas menetapkan Sutan Sjahrir sebagai
Pahlawan Nasional. Sjahrir dimakamkan TM Pahlawan Kalibata dan kala itu pemerintah
menyerukan agar rakyat mengibarkan bendera setengah tiang selama tiga hari lamanya
sebagai tanda penghormatan dan juga hari berkabung nasional.
4. Biografi singkat Syarifuddin Prawiranegara
Tokoh yang lahir di Anyar Kidul yang memiliki nama kecil “Kuding”, yang berasal
dari kata Udin pada nama Syariffudin. Ia memiliki darah keturunan Sunda dari pihak ibu dan
Sunda Minangkabau dari pihak ayah. Buyutnya dari pihak ayah, Sutan Alam Intan, masih
keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang
Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian
memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa,
namun cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur.
Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di
Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya
diambilnya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas
Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de
Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum).
Pra-kemerdekaan
Sebelum kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio
swasta (1939-1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta
pegawai Departemen Keuangan Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang
bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Pemerintah Darurat RI
Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk
Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad
Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka,
1948. Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948.
Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian
Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan
dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI
dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah
terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di
Jakarta.
Pada awal tahun 1958, PRRI berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena
ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang
semakin menguat. Syafruddin diangkat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera
Tengah.
Pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah
pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung
dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti
dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI.
Mohammad Roem adalah salah satu tokoh populer sebagai negosiator dalam
perundingan Roem-Royen tahun 1949. Ia pahlawan nasional yang terkenal sebagai diplomat
ulung dalam perundingan-perundingan yang melibatkan Indonesia dan Belanda sekaligus
pemimpin Indonesia pada masa Perang Revolusi. Ia lahir di Parakan Temanggung 16 Mei
1908.
I Gusti Ngurah Rai. Dikenal juga sebagai seorang Brigadir Jenderal TNI yakni
(Anumerta). Salah satu pahlawan yang ikut serta dalam perjuangan Republik Indonesia
mencapai sebuah kemerdekaan. I Gusti Ngurah Rai lahir pada tanggal 30 Januari 1917 tepat
di Desa Carangsari, Petang atau Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda.
I Gusti Ngurah Rai memiliki riwayat perjuangan hingga pada 20 November 1946
yang mana akhir dari kehidupannya di dunia. Meninggal di Marga, wilayah Tabanan, Bali
Indonesia. Disebutkan juga jika pahlawan ini mencapai usia 29 tahun. Secara jelas juga
pahlawan Indonesia ini berasal dari Kabupaten Badung merupakan wilayah Bali.
Kepemimpinan I Gusti Ngurah Rai Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Republik
Indonesia.
Semasa kempemimpinannya I Gusti Ngurah Rai dikenal sebagai salah satu pejuang
yang memiliki sebuah pasukan yang dinamai Ciung Wanara. Pasukan yang dibentuk tersebut
melakukan tugas pertempuran yang terakhir dan dikenal juga dengan sebutan Puputan
Margarana.
Sekitar 1.372 seluruh anggota pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai yakni
dikenal dengan MBO (Markas Besar Oemoem) pimpinan atau dewan Perjoeangan Republik
Indonesia Sunda Kecil atau dikenal dengan (DPRI SK) dibuatkan sebuah nisan yang terletak
di Kompleks Monumen De Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga, Tabanan. Secara
keseluruhan atau detail dari perjuangan I Gusti Ngurah Rai beserta resimen CW bisa disimak
dari beberapa buku yang diterbitkan misalnya seperti “Bergerliya Bersama Ngurah Rai”
(Dicetak tepat pada kota Denpasar.BP, tahun 1994).
Bahkan menurut kesaksian dri seorang staf MBO DPRI SK, menjelaska jika I Gusti
Bagus Meraku Tirtayasa seorang peraih “Anugerah Jurnalistik Harkitnas pada tahun 1992”.
Buku tersebut berjudul “Orang-orang di sekitar Pak Rai: yakni merupakan sebuah cerita para
sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI I Gusti Ngurah Rai.
Pada saat ini juga pemerintahan Indonesia mengeluarkan dan menganugerahkan
sebuah Bintang Mahaputra serta kenaikan pangkat menjadi seorang Brigjen TNI atau dikenal
dengan (anumerta). Dari situlah namanya kemudian kembali diabadikan menjadi salah satu
bandara udara yang ada di Bali sampai saat ini yakni Bandar Udara Internasional Ngurah Rai
serta sebuah nama kapal perang dengan nama KRI I Gusti Ngurah Rai.
Bukan hanya itu saja, sampai saat ini juga diberikan sebuah pengahargaan dan
penghormatan yang mana bisa kita jumpai sebuah foto dari pahlawan I Gusti Ngurah Rai di
salah satu mata uang Indonesia dengan pecahan 50.000.
Pendidikan I Gusti Ngurah Rai
Selain dikenal sebagai pejuang atau pahlawan Indonesia, I Gusti Ngurah Rai juga
dikenal dengan pendidikan yang di laksanakan sebelumnya. I Gusti Ngurah Rai memulai
masa pendidikannya di Holands Inlandse School yang ada di Bali. Setelah menyelesaikan
pendidikannya di HIS, I Gusti Ngurah Rai kembali melanjutkan karirnya ke MULO
(pendidikan ini setingkat dengan sekolah lanjutan tingkat pertama) yang ada di kota Malang
pada saat itu.
Setelah menyelesaikan pendidikan di sana, I Gusti Ngurah Rai masuk dalam ilmu
kemiliterannya yang ada di Prayodha Bali, kemudian melanjutkan kembali pendidikan di
Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) yang ada di Kota Magelang, dan dikenal
juga dengan pendidikan Arteri Malang. Dari pendidikan yang sudah ditempuh sebelumnya
dan ditambah dengan kecerdasan yang dimiliki I Gusti Ngurah Rai, dirinya sempat menjadi
salah satu intel sekutu yang ada di daerah Bali serta Lombok. Nama I Gusti Ngurah Rai
kembali dikenal ketika dirinya ikut berjuang melawan penjajah colonial.
Sri Sultan yang memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun adalah seorang
yang berpendirian tegas dan nasionalis sejati. Dua hari setelah proklamasi Sri Sultan
mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Soekarno Hatta dan menyatakan bahwa
kerajaan Yogyakarta adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
kemudian diikuti oleh raja-raja Surakarta yakni Paku Alaman dan Mangkunenggaran pada
tanggal 1 September 1945.
Meski ia seorang raja, jiwa besar Sri Sultan Nampak ketika ia ikhlas dan tanpa
pamrih menerima jabatan sebagai Menteri Negara demi kepentingan rakyat banyak.
Yogyakarta kemudian ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara dengan pertimbangan
keamanannya lebih baik daripada Jakarta.
Selain menteri, Sri Sultan pernah menjabat sebagai Menteri pertahanan dan
pemerintahan, wakil perdana menteri pada cabinet natsir, dan terakhir sebagai Wakil Presiden
RI hasil pemilu 1971. Ia juga menjabat sebagai ketua Komite Olahraga Nasional
Indonesia(KONI), ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, serta ketua dewan Pembimbing
Lembaga Pariwisata Nasional. Sri Sultan Hamengku Buwono IX diberi gelar pahlawan
nasional oleh pemerintah melalui SK Presiden RI No.053/TK/1990.
8. Biografi Soedirman
Jendral Sudirman adalah salah satu dari sekian banyak Pahlawan Revolusi Nasional
Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia merupakan Panglima dan Jendral
RI yang pertama dan termuda.
Pada usia yang masih terbilang muda, yakni 31 tahun, Jendral Sudirman sudah
menjadi seorang jendral. Tidak hanya itu, ia juga dikenal sebagai pejuang yang gigih dan
teguh dalam memegang prinsip.
Jendral Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916. Ia
berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang pekerja di pabrik gula Kalibagor
Banyumas dan ibunya keturunan Wedana Rembang.
Jendral Sudirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa yang
tersohor akan pendidikan nasionalisme besutan Ki Hajar Dewantara
itu. Setelah tamat dari Taman Siswa, ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK
(sekolah guru) Muhammadiyah, Solo namun tidak sampai tamat.
Selama menempuh pendidikan di sana, Jendral Sudirman aktif dalam kegiatan
organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Ia kemudian mengabdikan dirinya menjadi guru HIS
Muhammadiyah, Cilacap dan pemandu di organisasi Pramuka Hizbul Wathan tersebut.
Sutomo lahir di Surabaya provinsi Jawa Timur pada tanggal 3 Oktober 1920 dan
meninggal di Padang Arafah negara Arab Saudi pada tanggal 7 Oktober 1981 di usia 61
tahun. Kita mengenalnya dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo. Bung Tomo
merupakan pahlawan yang terkenal karena jasanya ketika era mempertahankan kemerdekaan
dalam memotivasi semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajahan Belanda dengan
bantuan tentara NICA. Perlawanan ini berakhir dengan penyebab pertempuran surabaya 10
November 1945 dan hingga kini pertempuran ini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Sejarah Partai Golkar (FPG) mendesak pemerintah
agar memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo pada 9 November 2007.
Waktu itu era pemerintahan SBY. Gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo dan
momennya tepat pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.
Bung Tomo dilahirkan di daerah Kampung Blauran yang berada di pusat kota
Surabaya yang waktu itu masih Hindia Belanda. Ayahnya adalah seorang kepala keluarga
yang bernama Kartawan Tjiptowidjojo yang merupakan pegawai kelas menengah yang
mengabdi di pegawai pemerintahan. Jabatannya adalah staf pribadi di pabrik swasta di bidang
impor-ekspor milik Belanda dan sebagai asisten di kantor pelayanan pajak pemerintah.
seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia mengaku memiliki hubungan darah dengan
beberapa sahabat dekat dari Pangeran Diponegoro yang jasadnya dikebumikan di Malang.
Ibunda Bung Tomo memiliki darah campuran antara Jawa Tengah, Madura dan
Sunda. Sebelum ia berhijrah ke Surabaya, ibunda Bung Tomo bekerja untuk perusahaan
mesin jahit Singer di bagian distributor lokal. Masa mudanya bekerja menjadi polisi di
kotapraja dan pernah menjadi anggota asosiasi Sarekat Islam.
Dia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah
internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim
Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas
di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di
partai politik berideologi Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai perdana menteri
Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951
karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan
pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno.
Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah
dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal.
Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai
pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai
Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia
bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro
Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945
sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno
pada tahun 1960.
Abdul Haris Nasution lahir pada 3 Desember 1918, di Kotanopan, Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara. Nasution adalah anak petani yang menggeluti dunia militer setelah
sebelumnya sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Nasution merupakan
penggagas Dwifungsi ABRI, sebuah konsep dalam peran ganda militer yang tidak lagi
menjadikan tentara sebagai pembela rakyat, tetapi juga bermain dalam lapangan politik.
Selain konsepsi dwifungsi ABRI, ia dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan
perang gerilya dituangkan dalam bukunya ‘Strategy of Guerrilla Warfare’ menjadi buku wajib
akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia di West Point,
Amerika Serikat.
Selama Revolusi Fisik (1946-1948), A.H. Nasution mempelajari arti dukungan rakyat dalam
perang gerilya ketika memimpin Divisi Siliwangi. Dari perang itu lahir gagasannya tentang
metode perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini kemudian
dikembangkan menjadi Perintah Siasat No. I ketika terjadi Agresi Militer II (1948-1949).
Perintah itu berisi tentang persiapan perang gerilya yang kemudian dikenal sebagai doktrin
pertahanan rakyat total. Sampai saat ini Doktrin itu masih dianut oleh TNI.
a. Pada tahun 1940, Nasution mendaftar sebagai calon perwira cadangan Belanda.
b. Tahun 1942 pertama kali Nasution perang melawan Jepang di Surabaya tetapi
pasukannya kalah telak dan ia melarikan diri ke Bandung.
c. Tahun 1943 ia masuk militer lagi dan menjadi Wakil Komandan Barisan Pelopor di
Bandung.
Tahun 1945, setelah Jepang kalah perang, Nasution turut terlibat mendirikan Badan
Keamanan Rakyat.
e. Bulan Mei 1946, Nasution dilantik Presiden Soekarno menjadi Panglima Divisi
Siliwangi.
f. Bulan Februari 1948, diangkat menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah
Jenderal Soedirman). Akhir 1949, diangkat menjadi KSAD.
Sebagai tentara, Nasution merupakan sosok yang berusaha menjauhkan diri dari pusat
kekuasaan. Meski mengagumi Soekarno, namun ia sering terlibat perselisihan dengan
Sukarno. Permusuhan dengan Sukarno mencapai puncaknya ketika Nasution tidak bisa
menerima intervensi politisi sipil dalam persoalan internal militer. Kemudian Nasution
mengajukan petisi agar Sukarno membubarkan Parlemen pada 17 Oktober 1952. Tetapi dari
petisi yang dilayangkanya Nasution dicopot dari jabatannya karena dianggap menekan
Sukarno.
Sukarno sadar dia tidak dapat menengahi konflik internal Angkatan Darat yang tak
kunjung reda, sehingga tahun 1955 Sukarno memberikan jabatan yang sama KSAD kepada
Nasution. Pengangkat menjadi KSAD saat itu mencairkan hubungan keduanya yang sempat
menegang. Bahkan saat itu Nasution ditunjuk sebagai cofonnateur dalam pembentukan
Kabinet Karya dan Kabinet Kerja.
Persahabatan Nasution dan Sukarno tidak berlangsung lama sebab sejak awal 1960-
an, hubungan kedua tokoh itu mulai renggang. Nasution tidak bisa menerima sikap Bung
Kamo yang dekat dengan PKI. Pertentangan tersebut berubah menjadi persaingan terbuka
setelah peristiwa G30S.
Nasution nyaris menjadi korban G30S. Namanya masuk dalam daftar penculikan.
Beruntung, Nasution dapat lolos dari sergapan Pasukan Untung, walaupun puterinya, Ade
Irma Suryani harus menjadi korban. Karakter Nasution yang berani terang-terangan
menentang komunis sebelumnya pernah ia lakukan pada tahun 1948 ketika memimpin
pasukan Siliwangi menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Maka tidak mengherankan
ketika geger PKI tahun 60-an, Nasution ikut ke dalam pertentangan arus politik tersebut.
Menurut silsilah, dari pihak ayah Muwardi masih keturunan langsung dari Raden
Sunan Landoh atau Syeh Jangkung sedangkan dari pihak Ibu Muwardi masih keturnan Ario
Damar (Bupati Palembang). Namun dari ketigabelas bersaudara ini ada tiga yang meninggal
saat masih kecil yaitu : Soenardi, Tarnadi dan Soedewi. Muwardi sangat beruntung lahir dari
golongan ningrat sehingga tak heran, Muwardi dan kakak adiknya dapat menikmati berbagai
fasilitas salah satunya adalah pendidikan yang layak dan bermutu.
Pada tahun 1913 Bapak Sastrowardojo pindah ke Desa Jakenan untuk mengajar di
Sekolah Rakyat Bumi Putera, karena kepintarannya Muwardi dipindahkan ke HIS
(Hollandsch Inlandsche School) di Kudus yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar
bahasa Belanda. Sebagai seorang pendidik, Sastrowardojo ingin agar putra-putrinya menjadi
orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada dirinya. Melihat
kepandaian Muwardi dan rasa sayang jika anaknya sekolah terlalu jauh dari rumah
Sastrowardojo memindahkan Moewardi ke Europesche Lagere School di Pati.
Setamat dari ELS tahun 1921 ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap (Ayah dari
Mayjen Ernst Julius Magenda-Direktur Intelejen ABRI era 1960-an) memberi rekomendasi
agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen)
atau Sekolah Dokter Bumi Putera di Jakarta. Pada jaman itu, tidak hanya kecerdasan otak
yang dapat mengantarkan seseorang untuk menikmati pendidikan namun diperlukan juga
rekomendasi dari seseorang yang terpandang.
Hampir 12 tahun waktu yang diperlukan oleh Muwardi untuk dapat mendapatkan
ijazah dokternya, bukan karena bodoh.
Keaktifannya di dunia mahasiswa dan kepanduanlah yang menyebabkan Muwardi
harus menunda-nunda kelulusannya. Meski dirasa berat dan membutuhkan waktu yang cukup
lama (baru lulus 1 Desember 1933), namun seharusnya ijazah tersebut sudah dua tahun
terdahulu (1931) diberikan kepada Muwardi. Kecerdasan Moewardi masih diingat oleh para
gurunya di STOVIA. Seorang gurunya bahkan menawarkan jabatan sebagai Beroeps-
Assistant atau Asisten Proffesor pada Geneeskundige Hoge School (Sekolah Tinggi
Kedokteran bagian Hidung, Kerongkongan dan Telinga).
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran");
lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal
di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti
Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah
kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi
untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh
Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja
sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun
Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung
hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan
Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta
dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan
dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Karya tulis:
Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
Dari Hal Ilmu Quran
Muhammad voor en na de Hijrah
Gods Laatste Boodschap
Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi
koleganya, Oktober 1954)
Karya terjemahan:
Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya
Shakespeare)
Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard
Kipling)
Sejarah Dunia (karya E. Molt)
Karier politik:
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua
di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
anggota Volksraad (1921-1924)
anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama
Mesir pada tahun 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya
tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas
dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku
dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu
diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.