Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat


dicegah dan diobati, dengan ciri adanya hambatan aliran udara yang menetap
(persisten) yang biasanya progresif dan disertai peningkatan respon inflamasi
yang kronik pada paru dan saluran pernapasan terhadap gas atau partikel yang
berbahaya (noxious). PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat
merokok dalam waktu yang lama. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. 1
Prevalensi PPOK meningkat cepat berdasarkan usia, dengan prevalensi
tertinggi pada usia > 60 tahun.
Pada tahun 2012, secara global didapatkan data bahwa lebih dari tiga juta
orang meninggal karena PPOK dan dalam beberapa dekade terakhir angka ini
semakin meningkat dikarenakan semakin meningkatnya usia harapan hidup dan
semakin tingginya pajanan factor risiko seperti faktor pejamu yang diduga
berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan
maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. 2
Secara nasional, prevalensi perokok pada tahun 2010 sebesar 34,7%.
Prevalensi perokok tinggi didapatkan pada kelompok usia 25-64 tahun dengan
rentangan 37-38,2%, sedangkan pada kelompok usia 15-24 tahun yang merokok
tiap hari sudah mencapai 18,6%. Prevalensi perokok 16 kali lebih tinggi pada laki-
laki (65,9%) daripada perempuan (4,2%). Perokok yang beresiko menderita
PPOK berkisar 15-20%. Hubungan antara merokok dengan PPOK merupakan
hubungan dosis dengan respons, semakin banyak jumlah batang rokok yang
dihisap dan semakin lama kebiasaan merokok dilakukan, maka akan semakin
tinggi risiko untuk menderita PPOK. 2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.1
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2019 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai
penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya
hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta
berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronik yang berlebihan pada
saluran napas dan parenkim paru akibat gas atau partikel berbahaya. Eksaserbasi
dan komorbid berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang pasien.2
Menurut ATS/ERS (American Thoracic Society/ Europen Respiratry
Society) mendefinisikan PPOK sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan
adanya obstruksi saluran napas yang umumnya bersifat progresif, berhubungan
dengan bronkitis kronis atau emfisema, dan dapat disertai dengan hipereaktivitas
dari saluran napas yang reversibel. PPOK adalah kelainan spesifik dengan
perlambatan arus udara ekspirasi maksimal yang terjadi akibat kombinasi penyakit
jalan napas dan emfisema, umumnya perjalanan penyakit kronik progresif dan
irreversibel serta tidak menunjukan perubahan yang berarti dalam pengamatan
beberapa bulan. (GOLD, 2008; GOLD, 2001)
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI
2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru

2
yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi
dinding alveolar.2
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
menekankan pengaruh eksaserbasi dan penyakit komorbid pada keparahan
penyakit secara individual. Berbeda dengan definisi PPOK sebelumnya yang
hanya lebih menekankan pada inflamasi kronik jalan napas dan pengaruhnya
secara sistemik. Dengan demikian pendalaman tentang eksaserbasi pada PPOK
menjadi sangat penting. (GOLD, 2017; PDPI, 2010)3

2.2. Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi.1 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan
Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5 Pada studi BOLD, penelitian
serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah 10,1%,
prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan.6
Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS),
prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat
dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding
perempuan (3,3%).7

2.3. Faktor Resiko


1. Kebiasaan merokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru sehingga kebiasaan merokok menjadi
penyebab terpenting pada PPOK. Risiko PPOK pada perokok teragntung pada
jumlah rokok yang dihisap, usia mulai merokok, dan lamanya merokok. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :2,4
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif

3
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar
lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi :2,4
1. Polusi di dalam ruangan
a. Asap rokok
b. Asap dapur ( kompor,kayu,arang,dll)
2. Polusi di luar ruangan
a. Gas buang kendaraan bermotor
b. Debu jalanan
3. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun).

3. Infeksi Saluran Nafas Bawah


Patogenesis dan progesivitas PPOK dipengaruhi oleh infeksi virus dan
bakteri, yang mana kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan nafas yang
berperan dalam menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran nafas berat pada anak
akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala repirasi pada
saat dewasa. Hal tersebut dikarenakan oleh seringnya kejadian infeksi berat pada
anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperreaktivitas bronkus yang merupakan
faktor risiko PPOK.
4. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat
dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan di luar ruangan, pemukiman
yang padat , nutrisi yang buruk dan faktor lain yang berhubungan dengan status
sosial ekonomi. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan

4
kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan
serabut otot.1,2
5. Faktor Genetik
Faktor genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1
antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Meskipun kekurangan alpha-1
antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di dunia, hal ini
menggambarkan adanya interaksi antar gen dan pajanan lingkungan yang
menyebabkan PPOK.1,2

2.4. Patofisiologi
Pada bronkhitis kronis perubahan awal terjadi pada saluran udara yang
kecil. Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal
(emfisema), yang menyebabkan hilangnya elastic recoil, hiperinflasi,
terperangkapnya udara, dan peningkatan usaha untuk bernapas, sehingga terjadi
sesak napas. Pada saluran napas kecil terjadi penebalan akibat peningkatan
pembentukan folikel limfoid dan penimbunan kolagen di bagian luar saluran
napas, sehingga menghambat pembukaan saluran napas. Lumen saluran napas
kecil berkurang karena penebalan mukosa berisi eksudat sel radang yang
meningkat sejalan dengan beratnya penyakit. Hambatan aliran udara pada PPOK
disebabkan oleh beberapa derajat penebalan dan hipertofi otot polos pada
bronkiolus respiratorius. Dengan berkembangnya penyakit, kadar CO2 meningkat
dan dorongan respirasi bergeser dari CO2 ke hipoksemia, dorongan pernapasan
juga mungkin akan hilang sehingga memicu terjadinya gagal napas. 1,5
Menurut Hipotesis Elastase-Antielastase, di dalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastin paru.
Ketidakseimbangan ini dapat dipicu oleh adanya rangsangan pada paru antara lain
oleh asap rokok dan infeksi yang menyebabkan elastase bertambah banyak atau
oleh adanya defisiensi alfa-1 antitripsin.

5
Pada PPOK terjadi penyempitan saluran napas dan keterbatasan aliran
udara karena beberapa mekanisme inflamasi, produksi mukus yang berlebihan,
dan vasokontriksi otot polos bronkus, seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan saluran pernapasan pada PPOK dan normal

Mekanisme patofisiologi yang mendasari PPOK terjadi akibat peradangan


dan penyempitan saluran nafas perifer sehingga bermanifestasi sebagai penurunan
VEP1, sementara kerusakan parenkim paru pada emfisema akan menurunkan

6
proses transfer gas pada paru, sehingga terjadi ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.1
Saluran napas normal akan melebar karena perlekatan alveolar selama
ekspirasi diikuti oleh proses pengosongan alveolar dan pengempisan paru.
Perlekatan alveolar pada PPOK rusak karena emfisema menyebabkan penutupan
jalan napas ketika ekspirasi dan menyebabkan air trapping pada alveoli dan
hiperinflasi. Saluran napas perifer mengalami obstruksi dan destruksi karena
proses inflamasi dan fibrosis, lumen saluran napas tertutup oleh sekresi mukus
yang terjebak akibat bersihan mukosilier kurang sempurna.

Gambar.2 Konsep patogenesis PPOK


2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti berikut ini:1,3
1. Sesak. Sesak yang ditimbulkan bersifat progresif (semakin lama semakin
bertambah berat) dan biasanya bertambah berat dengan aktivitas. Sesak
yang dirasakan bersifat persisten atau menetap sepanjang hari. Biasanya
pasien merasakan susah bernapas atau terengah-engah.
2. Batuk kronik. Batuk yang dirasakan pasien biasanya hilang timbul dan bisa
berdahak ataupun tidak berdahak.
3. Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan
PPOK.

7
4. Riwayat terpajan faktor risiko. Riwayat pajanan yang berisiko yaitu
terutama asap rokok, debu dan bahan kimia di tempat kerja, serta asap
dapur.
Diagnosis PPOK ditegakan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri, dll). PPOK klinis didiagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks. Sedangkan diagnosis
derajat PPOK dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri.1,3
1. Anamnesis
Adanya keluhan sesak napas, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa
keluhan atau gejala, riwayat paparan dengan faktor risiko, riwayat penyakit
sebelunya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS
sebelumnya, komorbiditas, dan dampak penyakit terhadap aktivitas.
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan. Adapun kelainan yang dapat terli
hat pada pasien PPOK adalah:
 Inspeksi : cara bernafas pursed-lips breathing, bentuk dada barrel-chest,pe
nggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga,
bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai, adanya penampilan pink puffer atau blue bloater.
 Palpasi : fremitus melemah dan sela iga melebar
 Perkusi: hipersonor, batas jantung mengecil, letak diagframa rendah, hepar
terdorong kebawah.
 Auskultasi: suara nafas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanja
ng, mengi (pada saat eksaserbasi), dan ronki.
3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Faal Paru
Penilaian menggunakan spirometri dapat menentukan derajat
obstruksi dan merupakan parameter yang paling umum yang
digunakan dalam penilaian beratnya PPOK dan memantau perkalanan
penyakit, berdasarkan penilaian VEP1, VEP1 prediksi, KVP,
VEP1/KVP dan Uji bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan): VEP1

8
diukur sebelum diberikan bronkodilator dan pada pasien dengan PPOK
stabil.1,2
 Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah rutin. Peningkat
an kadar Hb dan jumlah eritrosit (polisitemia sekunder) dan defisiensi
kadar alfa-1 antitripsin (kongenital).1,2
 Foto toraks
Pada mfisema akan didapatkan paru hiperinflasi atau hiperlusen, diafra
gma mendatar dan letak rendah, ruang retrosternal melebar dan jantung
menggantung (Jantung pendulum/eye drop appearance). Sedangkan
bronkitis kronik akan terlihat gambaran paru normal, namun terlihat
corakan bronkovaskular meningkat.1
 Kultur dan sensitivitas kuman
Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman
terhadap antibiotik yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika
tidak ada respon terhadap antobiotik yang dipakai sebagai pengobatan
pada permulaan penyakit. Infeksi saluran napas berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.1-3

9
Diagnosis PPOK

Faktor Risiko Keluhan:


1. Usia di atas 40th 1. Sesak nafas
2. Riwayat pajanan: 2. Batuk kronik
asap rokok, polusi produksi sputum
udara, polusi tempat 3. Keterbatasan aktivitas
kerja

Pemeriksaan fisik

Curiga PPOK Pemeriksaan foto


toraks

Fasilitas Fasilitas spirometri (+)


spirometri (-)

VEP1 / KVP < 70 % Normal


Post bronkodilator

PPOK secara PPOK derajat Bukan


klinis I/II/III/IV PPOK

Gambar 3. Algoritma diagnosis PPOK menurut Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia2

10
2.6 Combined COPD Assessment
Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK terhadap
masing-masing penderita berdasarkan assessment terhadap gejala yang dialami,
klasifikasi spirometri berdasarkan GOLD dan kejadian eksaserbasi.1,3

Gambar 4. Alur diagnosis PPOK menurut Global Initiative for Chronic


Obstructive Lung Disease (GOLD) 2017.1,3

11
Gambar 5. Combined COPD Assessment.
Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment:1,3,5
1. Kelompok A – Rendah Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam
setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat
eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
2. Kelompok B – Rendah Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam
setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat
eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.
3. Kelompok C – Tinggi Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per
tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi,
serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
4. Kelompok D – Tinggi Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per
tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi,
serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2

12
Tabel 1. Kriteria penilaian CAT (COPD Assesment Test)

Tabel 2. skala mMRC (Modified British Medical Research Council)


Berilah tanda cek pada kotak yang sesuai dengan kondisi anda
(hanya 1 kotak)
mMRC Level 0. Saya merasa sesak ketika melakukan olahraga berat.

mMRC Level 1. Nafas saya menjadi pendek-pendek ketika berjalan terges


a-gesa menggunakan tongkat atau berjalan mendaki bukit yang landai.

mMRC Level 2. Saya berjalan lebih lambat dari orang seusia karena nafas
saya menjadi sesak, atau saya harus berhenti sejenak untuk mengambil na
fas ketika berjalan menaik.
mMRC Level 3. Saya berhenti untuk mengambil nafas setelah berjalan ku
rang lebih 100 meter atau setelah beberapa menit dengan menggunakan m
enaik
mMRC Level 4. Saya terlalu sesak untuk pergi keluar rumah atau saya me
rasa sesak ketika memakai atau melepaskan baju.

13
2.7 Diagnosis banding
Tabel.3 PPOK dan diagnosis banding1-3
Diagnosis Gambaran klinis
PPOK 1. Onset pada usia pertengahan
2. Gejala semakin progresif
3. Terdapat riwayat merokok atau terpajan oleh
polusi yang berbahaya.
Asma 1. Onset pada awal usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala memburuk pada malam atu dini hari
4. Riwayat alergi, rhinitis, atau eksim
5. Riwayat keluarga asma
Gagal jantung 1. Ronki halus di basal paru
kongesti 2. Foto thorak memperlihatkan pembesaran
jantung, edema paru
3. Riwayat hipertensi
4. Pemeriksaan faal paru: indikasi restriksi volume
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Foto thoraks: dilatasi bronkus dan penebalan
dinding bronkus
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran thoraks : infiltrasi paru
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)
4. Lokasi prevalensi TB tinggi
Panbronkiolitis 1. Dominan pada keturunan etnis asia
difuse 2. Umumnya laki-laki, riwayat sinusitis kronis

Penyakit lain yang bisa menjadi diagnosis banding PPOK antara lain 1-3
1. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) adalah penyakit obstruksi
saluran nafas yang ditemukan pada pasien pasca tuberkulosis dengan lesi
paru minimal.

14
2. Pneumothoraks dimana keadaan cembung ditempat kelainan, perkusi
hipersonor, auskultasi saluran nafas melemah.
3. Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain misalnya destroyed
lung.

2.8 Penatalaksanaan PPOK


Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen: mengurangi
gejala, mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan,
meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah
dan menangani eksaserbasi serta menurunkan angka kematian. Adapun
penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi: edukasi, berhenti merokok, terapi
farmakologi, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanik dan terapi nutrisi.2

2.8.1 Terapi PPOK Stabil


Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi
berkala atau di rumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah
eksasebasi.1-3
a. Terapi Non- Farmakologis:
1. Motivasi dan pendidikan meliputi :
- Usaha mengurangi faktor risiko (polusi, debu)
- Edukasi-motivasi berhenti merokok
- Farmakoterapi stop merokok
2. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan,
rehabilitasi psikososial
3. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) untuk PPOK stadium III,
AGD :
- PaO2 < 55 mmHg, atau SaO2 < 88% dengan/tanpa hiperkapnia
- PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 <88% disertai hipertensi pulmonal, edema
perifer karena gagal jantung, polisitemia.

15
Tabel 4. Terapi non farmakologi pada PPOK1,3
Grup pasien Utama Direkomendasikan
PPOK
A Berhenti merokok(termasuk Aktivitas fisik
terapi farmakologi)
B-D Berhenti merokok(termasuk Aktivitas fisik
terapi farmakologi)
Rehabilitasi paru

b. Terapi farmakologis:1,3
1. Bronkodilator
- Diutamakan secara inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas
lambat atau obat berefek panjang (long acting).
- 3 golongan :
1. Agonis ß-2 : fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol,
salmeterol. . Bentuk inhaler digunakan untuk menatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai
oabat pemeliharaan digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
2. Antikolinergik : ipratropium bromide, oksitroprium bromide. Digunakan
pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
dapat mengurangi sekresi lender
3. Metilxantin : teofilin lepas lambat, bila kombinasi ß-2 dan steroid belum
memuaskan. Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan
dosis bronkodilator monoterapi.

2. Obat-obatan tambahan lain


- Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator): ambroksol, karbosistein, gliserol
iodide, gliseryl guayakolat.
- Antioksidan : N-asetil-sistein

16
- Immunoregulator (immunostimunolator,immunomodulator) : tidak rutin
- Antitusif : tidak rutin
-
Vaksinasi : influenza, pneumokokus.

Gambar 6. Algoritma pengobatan berdasarkan kelompok PPOK (GOLD 2019)1,3

2.8.2 Terapi PPOK Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya yang mengakibatkan perubahan terapi. Eksaserbasi
dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau
timbulnya komplikasi.
Pasien yang memiliki eksaserbasi akut akan mengalami gejala seperti: 5
1. Sesak nafas yang semakin bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum(sputum menjadi purulen)
Adapun klasifikasi PPOK eksaserbasi dibagi menjadi tiga, antara lain : 5
1. Ringan (memiliki 1 gejala diatas ditambah dengan infeksi saluran nafas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan > 20% nilai
dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar); terapi hanya menggunakan
SABDs(short-acting bronchodilators).
2. Sedang (hanya memiliki 2 gejala diatas) ; terapi dengan menggunakan
SABDs ditambah dengan antibiotik dan atau kortikosteroid oral.

17
3. Berat (terdapat peningkatan gejala sesak nafas, peningkatan produksi
sputum, dan peningkatan purulensi sputum) pasien membutuhkan
perawatan rumah sakit atau perawatan emergensi. Eksaserbasi berat juga
dapat berhubungan dengan gagal nafas akut.

Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah : bronkodilator seperti


pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan
selama 10-14 hari. Bila infeksi dapat diberikan antibiotik spektrum luas (termasuk
S. pneumonia, H. influenzae, M. catarrhalis).1,5
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:6
1. Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.
2. Bronkodilator : inhalasi agonis ß2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) +
antikolinergik
3. Pada eksaserbasi akut berat + aminofilin (0,5mg/ kgbb/jam). Aminofilin
bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus perlahan (10 menit) untuk
menghindari efek samping. Lalu lanjutkan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1
botol cairan perinfus. Cairan infus yang digunakan adalah dektrose 5%,
NaCl 0,9% atau ringer laktat.
4. Steroid : prednisolon 30-40mg PO selama 10-14 hari
5. Steroid intravena : pada keadaan berat.

18
Algoritma penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah dan pelayanan
kesehatan primer/puskesmas2,4

Indikasi rawat inap pada PPOK:2


a. Eksaserbasi sedang-berat
b. Terdapat komplikasi
c. Infeksi saluran nafas berat
d. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik
e. Gagal jantung kanan
Berhenti merokok adalah satu-satunya usaha intervensi yang paling efektif
dalam memperlambat progresifitas penyakit dan mengurangi risiko
berkembangnya PPOK.1 Adapun strategi untuk membantu pasien bisa berhenti
merokok meliputi 5A:1
a. Ask (tanyakan) yaitu mengidentifikasi semua perokok pada setiap
kunjungan.
b. Advise (nasihati) yaitu memberikan dorongan kuat pada semua perokok
untuk berhenti merokok.
c. Assess (nilai) yaitu keinginan untuk berusaha berhenti merokok (misal:
dalam 30 hari ke depan).
d. Assist (bimbing) yaitu bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,
menyediakan konseling praktis, serta merekomendasikan penggunaan far
makoterapi.

19
e. Arrange (atur) yaitu buat kontak lebih lanjut

2.9 Prognosis
Prognosis PPOK sangat ditentukan oleh derajat obstruksi saluran nafas.
Prognosis yang buruk ditentukan oleh dua indikator utama, yaitu derajat obstruksi
dan adanya kor pulmonal. Obstruksi yang makin berat akan memperburuk
prognosis PPOK. Bila PPOK terdeteksi sejak awal, dengan penghentian merokok
akan dapat mengurangi laju perkembangan PPOK.8

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :2,9
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh:
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi
kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limposit darah.
3. Kor pulmonal

20
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.

2.11 Pencegahan
Dalam usaha pencegahan terjadinya PPOK selain perlu diadakan program
promosi kesehatan nasional tentang gaya hidup sehat ada beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ini yaitu:1,8
1. Berhenti merokok, sehingga dapat memperlambat proses perburukan
penyakit, mencegah komplikasi, dan memperpanjang harapan hidup.
2. Latihan pernapasan (purse-lip breathing dan diaphragmatic breathing).
3. Perkusi dada, berfungsi untuk membantu mengeluarkan dahak yang
berlebihan dari paru.
4. Olahraga, pilihlah olahraga yang sanggup dilakukan oleh pasien misalnya
berjalan, bersepeda, berenang dan sebagainya.
5. Mempertahankan berat badan ideal.
6. Minum banyak air sehingga dapat membantu mengencerkan dahak.
7. Konsumsi cukup protein, buah dan sayuran.

21
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn RA
Umur : 66 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tanggal masuk RS : 23 November 2019
Tanggal pemeriksaan : 24 November 2019

ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak napas yang memberat sejak 3 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
3 tahun yang lalu, pasien pernah mengeluhkan sesak napas yang berat.
Sesak berbunyi mengi. Sesak napas dirasakan saat beraktivitas berat. Sesak tidak
dipengaruhi cuaca dan debu. Batuk (+) berdahak warna putih, batuk berdarah (-),
keringat malam (-), nyeri dada (-). Pasien rutin berobat ke RSUD Petala Bumi
setiap bulannya.
1 Tahun SMRS, pasien mengeluhkan nyeri dada, lalu dilakukan
pemeriksaan rontgen ulang, dengan hasil tampak massa tumor di paru kiri. Pasien
di rujuk ke RSUD AA, Pasien kemudian dilakukan bronkoskopi pada bulan
Januari 2019. dengan hasil tidak ditemukan sel ganas.
5 Jam SMRS, pasien mengeluhkan nyeri dada sebelah kiri. nyeri dada
muncul perlahan, tidak menjalar. dada berdebar (+). sesak napas (-). Batuk (+)
berdahak. Pasien kemudian berobat ke puskesmas.
3 Jam SMRS, saat pasien di Puskesmas, pasien merasakan sesak napas.
sesak napas berbunyi ngik. Batuk berdahak (+) berwarna putih, batuk berdarah (-),
nyeri dada (+), keringat malam (-), Demam (-), mual (+), muntah (-), Nafsu
makan berkurang (+), penurunan berat badan dari 72 kg menjadi 52 kg dalam
bulan. BAK hingga 8x dalam semalam, BAB dalam batas normal. Pasien sudah

22
pernah dilakukan bronkoskopi sebanyak 4 kali, dengan hasil tidak ditemukan sel
ganas.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat TB paru (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes melitus (+) sejak 11 bulan yang lalu
- Riwayat PPOK sejak tahun 2015, riwayat menggunakan inhaler Seretide.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama
- Riwayat TB (-)
- Riwayat asma dan alergi disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat diabetes mellitus disangkal

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan:

- Pasien bekerja sebagai sekuriti


- Kebiasaan merokok (+), selama 40 tahun 15 batang dalam sehari IB : 600
(berat)
- Alkohol (+), NAPZA (-), seks bebas (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit sedang TB : 172 Cm
Kesadaran : komposmentis BB : 52 Kg
Tekanan darah : 130/90 mmHg BMI : 17,6 (Underweight)
Nadi : 91 x/menit
Pernafasan : 24 kali/menit
Suhu : 36,5° C
Sp02 : 92%

23
Kepala dan leher:
Konjungtiva : Konjugtiva pucat(-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Bulat, isokor diameter 2mm/2mm, refleks cahaya +/+
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : Pursed-lip breathing (-), sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), JVP 5-2
cmH2O

Paru :
Inspeksi : Statis: Barrel chest (-), Otot bantu napas (+), pergerakan dinding dada
simetris kiri dan kanan.
Dinamis: simetris kiri dan kanan
Palpasi : Vokal fremitus kiri melemah dibanding kanan, sela iga melebar (-), nyeri
tekan pada dada kiri.
Perkusi : Sonor pada lapang paru kanan dan redup pada lapang paru kiri.
Auskultasi : Vesikuler (+/↓ ), Ronki (-/-), Wheezing (+/+).

Jantung :
Inspeksi : IC tidak terlihat
Palpasi : IC teraba di SIK V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung kiri : linea midclavicula sinistra
Batas jantung kanan : Linea parasternal dekstra
Auskultasi : Bunyi S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi : Datar, venektasi (-), scar (-)
Auskultasi : BU (+) normal 10x/menit
Palpasi : Supel pada seluruh lapangan abdomen, nyeri tekan (-), Hepar dan
Lien tidak teraba. nyeri tekan abdomen (+)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapangan abdomen

24
Ekstremitas :
Akral hangat, clubbing finger (-), CRT < 2 detik, edema (-/-).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah rutin (Tanggal 2-10-2018)
Hb : 13,5 g/dL
Leukosit : 18.390 uL
HCT : 39,8 %
PLT : 180.000 uL
NEUT : 90,5%
Ureum : 24 mg/dL
Kreatinin : 0.70 mg/dL
GDS : 215 mg/dL
Albumin : 3,4 gr/dl
Pemeriksaan Elektrolit (2-10-2018)
Na+ :137 mmol/L
K+ : 3,8 mmol/L
Cl-: 101 mmol/L

Troponin I kuantitatif : 2,1 ng/L (Negatif)


Foto Toraks (12 Oktober 2018)

25
Hasil rontgen toraks didapatkan :
 Identitas sesuai
 Foto PA
 Marker Right
 Kekerasan cukup
 Trakea berada di midline
 Tulang intak
 Jaringan lunak > 2 cm
 sudut kostofrenikus kanan tumpul
dan Diafragma kanan tampak
mendatar dan tenting
 sudut kostofrenikus kiri tumpul
dan diafragma kiri tampak
mendatar
 Tampak sela iga melebar
 Tampak perselubungan homogen
berbatas tegas irregular pada
lapangan paru kiri atas.
 Cor : sulit dinilai
 Kesan : massa di paru kiri atas

RESUME :
Tn. RA usia 66 tahun dirawat di RSUD AA dengan keluhan sesak nafas
yang memberat sejak 3 jam SMRS. Sesak dirasakan memberat saat pasien
beraktifitas. Sesak nafas tidak dipengaruhi cuaca dan debu. Nyeri dada (+). Pasien
juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna hijau kental. Dari hasil pemeriksaan
umum didapatkan tekanan darah pasien 130/90 mmHg, pernafasan 26x/menit dan
nadi 100x/menit. Pemeriksaan fisik pada pemeriksaan thorak, dari inspeksi
terdapat otot bantu nafas, pada pemeriksaan palpasi tidak didapatkan sela iga
melebar, pada perkusi didapatkan sonor pada lapangan paru kanan dan redup di
lapangan paru kiri. dan saat dilakukan auskultasi didapatkan vesikuler pada paru
kanan dan vesikuler menurun pada paru kiri. Jantung, abdomen dan ekstremitas
pasien dalam batas normal. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil
pemeriksaan darah rutin dan elektrolit dalam batas normal dan dari pemeriksaan
foto toraks didapatkan hasil diafragma mendatar dan sela iga melebar.

26
DIAGNOSIS
- PPOK eksaserbasi tipe II
- Tumor paru kiri jenis (?) T4N3M1a stad IV A p.s 1
- DM tipe 2
MASALAH
- Hiperglikemia (215)
- Diagnosis
- Sindroma dispepsia

RENCANA PEMERIKSAAN
1. Spirometri jika stabil
2. Cek APE harian
3. Cek sputum lengkap

RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
- Istirahat (bed rest)
- Hindari aktivitas yang berlebihan
- Diet makanan bergizi
- Jauhi asap rokok dan pemicu serangan sesak lainya

Farmakologi
- O2 nasal kanul 3L/menit
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc/8 jam
- Inhalasi Nebu combivent + pulmicort per 6 jam
- Inj Omeprazol 1 x 40 mg
- Inj Methilprednisolon 3 x 30 mg
- N Asetylcystein 3 x 200 mg
- MST tablet 3 x 10 mg po
- curcuma tab 3x1

27
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis PPOK karena adanya keluhan sesak
nafas yang sering muncul dan dipengaruhi aktifitas, berbunyi mengik, Gejala
sesak nafas sudah sering dirasakan pasien berulang-ulang dalam 3 tahun terakhir.
Batuk berkepanjangan dengan sputum berwarna putih. Berdasarkan tipe dari
gejala eksaserbasi akut pasien ini diklasifikasikan tipe berat. Pasien memiliki
riwayat merokok selama ± 40 tahun sebanyak 15 batang/hari dan berhenti sejak
15 tahun yang lalu. Didapatkan indeks Brinkman (IB) = 600 yang termasuk dalam
kategori sedang (200-600) dimana merokok pada dasarnya merupakan faktor
pemicu PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. Batuk yang disertai
dengan peningkatan jumlah sputum merupakan salah satu proses dari adanya
bronkitis kronis pada pasien. Faktor etiologi peradangan bronkus ini bisa
diakibatkan oleh terpajannya paru dengan asap rokok yang lama dan juga paparan
dari polusi udara.
Merokok merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan suatu proses
hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan produksi mukus sehingga
menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis kronis perubahan awal terjadi pada
saluran udara yang kecil, selain itu terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi
rongga udara (emfisema), yang menyebakan hilangnya elastic recoil, hiperinflasi,
terperangkapnya udara dan peningkatan usaha untuk bernafas sehingga terjadi
sesak nafas. Batuk berdahak yang berwarna kekuningan menandai adanya infeksi
sekunder oleh bakteri.
Pada pemeriksaan penunjang rontgen toraks didapatkan diafragma tenting
dan mendatar, sudut kostofrenikus tumpul, sela iga melebar, corakan
bronkovaskuler terlihat di paru kanan. Hal ini memperkuat diagnosisi PPOK pada
pasien ini.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Pocket guide for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease- A Guide for Health Care Professionals.National Institutes of
Health. National heart, Lung and blood Institute. Update 2019.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK ; Diagnosis dan
penatalaksanaan. Jakarta. Ed 2016
3. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Global Strategy for
the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease.National Institutes of Health. National heart, Lung and
blood Institute. Update 2019.
4. Barness PJ, Celli BR. Systemic manifestations and comorbidities of
COPD. Eur Respir J 2012, 33: 1165-85.
5. Alsagaff H, dkk. Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: Graha Masyara
kata Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga; 2011
6. Rani AZ, Soegondo S, Nasir AUZ. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Fa
kultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010; 105-7.
7. Indonesia KKR. Riset kesehatan dasar 2013. Ed. 2013.

29

Anda mungkin juga menyukai