Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pernyataan Masalah


Bahan bakar minyak adalah sumber energi dengan konsumsi yang terbesar
untuk saat ini di seluruh dunia. Meningkatnya konsumsi energi dan semakin
menipisnya cadangan minyak bumi, mengakibatkan terjadinya krisis energi
terutama bahan bakar minyak. Hal tersebut menyebabkan berbagai kalangan
melakukan penelitian dalam mencari bahan bakar alternatif pengganti minyak
yang bersifat renewable atau dapat diperbarui. Salah satu sumber energi alternatif
yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah biodiesel. Biodiesel
dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil jenis minyak solar.
Biodiesel dikenal sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan dan
menghasilkan emisi gas buang yang relatif lebih bersih dibandingkan bahan bakar
fosil. Biodiesel tidak beracun, bebas dari belerang, aplikasinya sederhana dan
berbau harum. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif terbarukan yang
dihasilkan dari minyak seperti minyak sawit, minyak jarak pagar, dan minyak
karet.

1.2 Tujuan Percobaan


Adapun tujuan percobaan sebagai berikut:
1. Menjelaskan proses dan pengaruh variabel proses pada pembuatan metil
ester asam lemak.
2. Menghitung konversi trigliserida menjadi metil ester asam lemak.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Kelapa Sawit


2.1.1 Sifat Fisik dan Kimia
Sifat fisik dan kimia kelapa sawit meliputi warna, bau, rasa, kelarutan, titik
didih, titik cair, densitas, titik nyala, dan titik api (Ketaren, 1986). Beberapa sifat-
sifat fisik dan kimia minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.1, dibawah
ini:
Tabel 2.1 Sifat Fisik dan Kimia Minyak Kelapa Sawit
Sifat Fisik dan Kimia Minyak Kelapa Sawit
Titik Cair (oC) 21-24
3
Densitas (gram/cm ) 0,900
Bilangan penyabunan 224-249
Bilangan iod 14,5-19
Indeks bias D 40 oC 1,4565-1,4585
(Sumber: Ketaren, 1986)
Sifat-sifat dari minyak kelapa sawit pada umumnya dipengaruhui oleh
temperatur. Menurut Ketaren (1986), beberapa sifat fisik yang telah diketahui
adalah sebagai berikut:
1. Sifat fisik yang paling jelas adalah tidak larut dalam air. Hal ini
disebabkan karena adanya asam lemak berantai karbon panjang dan tidak
adanya gugus polar.
2. Minyak kelapa sawit berwarna kuning.
Sedangkan sifat kimia dari minyak kelapa sawit menurut Ketaren (1986), adalah
sebagai berikut:
1. Pada reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam lemak dan
gliserol. Hidrolisa ini terjadi karena adanya air atau kelembaban tinggi.
2. Penambahan sejumlah basa akan terjadi reaksi penyabunan. Jumlah asam
lemak bebas dalam minyak tidak diinginkan karena akan mempengaruhi
kualitas minyak.
3. Bila terjadi kontak dengan sejumlah oksigen, akan terjadi reaksi oksidasi
yang akan menyebabkan minyak berbau tengik.

2
2.1.2 Komposisi Minyak Kelapa Sawit
Komponen utama minyak dan lemak adalah trigliserida sedangkan
komponen non-trigliserida adalah berupa asam lemak bebas, air, kotoran dan
komponen lain yang tidak diharapkan (Ketaren, 1986). Adapun komposisi dari
asam lemak dalam minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 2.2, dibawah ini:
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit dan Minyak Inti
Kelapa Sawit
Asam Lemak Minyak Inti Sawit (%) Minyak Kelapa Sawit (%)
Asam Kaprilat 3-4 -
Asam Kaproat 3-7 -
Asam Laurat 46-52 -
Asam Miristat 14-17 1,1-2,5
Asam Palmitat 6,5-9 40-46
Asam Stearat 1-2,5 3,6-4,7
Asam Oleat 13-19 39-45
Asam Linoleat 7-11 0,5-3
(Sumber: Ketaren, 1986)
2.2 Metanol
Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alkohol atau spiritus,
adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Metanol merupakan bentuk
alkohol paling sederhana. Pada keadaan atmosfer, metanol berbentuk cairan yang
ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan
bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Metanol digunakan sebagai
bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi
etanol industri (Perry, 1984).
Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri.
Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah
beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan
sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air. Reaksi kimia metanol yang
terbakar di udara dan membentuk karbon dioksida dan air adalah sebagai berikut:
2CH3OH + 3O2 2CO2 + 4H2O
Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati
bila berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera akibat api yang
tak terlihat. Karena sifatnya yang beracun, metanol sering digunakan sebagai
bahan additif bagi pembuatan alkohol untuk penggunaan industri. Penambahan

3
racun ini akan menghindarkan industri dari pajak yang dapat dikenakan karena
etanol merupakan bahan utama untuk minuman keras (minuman beralkohol).
Metanol kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena ia dahulu merupakan
produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol dihasilkan melului proses
multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk
membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida, kemudian, gas hidrogen dan
karbon monoksida ini bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan katalis untuk
menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik dan tahap
sintesisnya adalah eksotermik (Perry, 1984).

2.2.1 Sifat-Sifat Metanol


Sifat-sifat fisik dan kimia metanol ditunjukkan pada Tabel 2.4, dibawah
ini:
Tabel 2.3 Sifat-Sifat Fisika dan Kimia Metanol
Massa Molar 32.04 g/mol
Wujud Cairan Tidak berwarna
Specific Gravity 0.7918
Titik Leleh -97 C, -142.9 oF (176 K)
o

Titik Didih 64.7 oC, 148.4 oF (337.8 K)


Kalarutan dalam Air Sangat Larut
Keasaman (pKa) ~ 15.5
(Sumber: Perry, 1984)

2.2.2 Kegunaan Metanol


Metanol digunakan secara terbatas dalam mesin pembakaran dalam,
dikarenakan metanol tidak mudah terbakar dibandingkan dengan bensin. Metanol
campuran merupakan bahan bakar dalam model radio kontrol. Salah satu
kelemahan metanol sebagai bahan bakar adalah sifat korosi terhadap beberapa
logam, termasuk aluminium. Metanol, merupakan asam lemah, menyerang lapisan
oksida yang biasanya melindungi aluminium dari korosi:
6CH3OH + Al2O3 2Al(OCH3)3 + 3H2O
Ketika diproduksi dari kayu atau bahan oganik lainnya, metanol organik
tersebutmerupakan bahan bakar terbarui yang dapat menggantikan hidrokarbon.
Namun mobil modern pun masih tidak bisa menggunakan BA100 (100%
bioalkohol) sebagai bahan bakar tanpa modifikasi. Metanol juga digunakan

4
sebagai solven dan sebagai antifreeze, dan fluida pencuci kaca depan mobil.
Penggunaan metanol terbanyak adalah sebagai bahan pembuat bahan kimia
lainnya. Sekitar 40% metanol diubah menjadi formaldehyde, dan dari sana
menjadi berbagai macam produk seperti plastik, plywood, cat, peledak, dan tekstil.
Dalam beberapa pabrik pengolahan air limbah, sejumlah kecil metanol digunakan
ke air limbah sebagai bahan makanan karbon untuk denitrifikasi bakteri, yang
mengubah nitrat menjadi nitrogen. Bahan bakar direct-methanol unik karena
suhunya yang rendah dan beroperasi pada tekanan atmosfer, ditambah lagi dengan
penyimpanan dan penanganan yang mudah dan aman membuat methanol dapat
digunakan dalam perlengkapan elektronik (Perry, 1984).

2.3 Kalium Hidroksida (KOH)


Kalium Hidroksida (KOH) berupa kristal padat berwarna putih. Dalam
perdagangan KOH disediakan dalam 2 bentuk, yaitu teknis dan p.a (pro analyst),
KOH p.a biasanya lebih mahal karena kadar kemurniannya lebih tinggi.
Penambahan KOH dalam pembuatan sabun harus tepat, karena apabila terlalu
banyak dapat memberikan pengaruh negatif, yaitu iritasi kulit. Sedangkan bila
terlalu sedikit maka sabun yang dihasilkan akan mengandung asam lemak bebas
tinggi yang mengganggu proses emulsi sabun dan kotoran (Kirk Othmer, 1981).

2.3.1 Sifat Kimia Kalium Hidroksida (KOH)


a. Termasuk dalam golongan basa kuat, sangat larut dalam air
b. Bereaksi dengan CO2 di udara membentuk K2CO3
c. Bereaksi dengan asam membentuk garam dan air
d. Bereaksi dengan Al2O3 membentuk AlO2–
e. Bereaksi dengan halida (X) menghassilkan KOX dan asam halida yang
larut dalam air
f. Bereaksi dengan trigliserida membentuk sabun dan gliserol
g. Berekasi dengan ester membentuk garam dan senyawa alkohol

2.3.2 Sifat Fisika Kalium Hidroksida (KOH)


a. Berat molekul, gr/mol : 56,10564
b. Titik lebur pada 1 atm, °C : 360
c. Titik didih pada 1 atm, °C : 1320

5
d. Densitas, gr/cm3 : 2,044
o
e. ∆H f kristal KJ/mol : -114,96
f. Kapasitas panas (C), J/K.mol : 0,75
g. Kelarutan di dalam air (25 °C) : 1100 g/L°C

2.4 Biodiesel
2.4.1 Pengertian Biodiesel
Biodiesel secara umum adalah bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari
bahan terbarukan atau secara khusus merupakan bahan bakar mesin diesel yang
terdiri atas ester alkil dari asam lemak. Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati,
minyak hewani atau dari minyak goreng bekas/daur ulang. Biodiesel merupakan
salah satu bahan bakar mesin diesel yang ramah lingkungan dan dapat diperbarui
(renewable). Biodiesel tersusun dari berbagai macam ester asam lemak yang
dapat diproduksi dari minyak tumbuhan maupun lemak hewan. Minyak tumbuhan
yang sering digunakan antara lain minyak sawit (palm oil), minyak kelapa,
minyak jarak pagar dan minyak biji kapok randu, sedangkan lemak hewani seperti
lemak babi, lemak ayam, lemak sapi, dan juga lemak yang berasal dari ikan
(Wibisono, 2007).
Biodiesel disintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon antara
C6C22 dengan reaksi transesterifikasi. Biodiesel bisa digunakan dengan mudah
karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar,
mempunyai sifat-sifat fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat
diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang ada hampir tanpa
modifikasi (Prakoso, 2003). Menurut Mittelbach (2004), bahan-bahan mentah
pembuatan biodiesel yaitu:
a. Trigliserida yaitu komponen utama aneka lemak dan minyak lemak
b. Asam lemak yaitu produk samping industri pemulusan (refining) lemak
dan minyak-lemak.
Biodiesel merupakan monoalkil ester dari asam-asam lemak rantai panjang
yang terkandung dalam minyak nabati atau lemak hewani untuk digunakan
sebagai alternatif yang paling tepat untuk menggantikan bahan bakar mesin diesel.
Biodiesel bersifat biodegradable, dan hampir tidak mengandung sulfur. Alternatif
bahan bakar terdiri dari metil atau etil ester, hasil transesterifikasi baik dari

6
triakilgliserida (TG) atau esterifikasi dari asam lemak bebas (FFA). Biodiesel
merupakan salah satu bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar disel yang
dibuat dari sumber yang dapat diperbaharui seperti minyak nabati dan lemak
hewan. Dibandingkan dengan bahan bakar fosil, bahan bakar biodiesel
mempunyai kelebihan diantaranya bersifat biodegradable, non-toxic, mempunyai
angka emisi CO dan gas sulfur yang rendah dan sangat ramah terhadap
lingkungan (Marchetti dan Errazu, 2008).
Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewan, namun
yang paling umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel adalah
minyak nabati. Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke dalam kelas besar
senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam lemak. Akan tetapi,
minyak nabati adalah triester asam lemak dengan gliserol, atau trigliserida,
sedangkan biodiesel adalah monoester asam lemak dengan metanol. Menurut
Ketaren (1986), perbedaan wujud molekuler ini memiliki beberapa konsekuensi
penting dalam penilaian keduanya sebagai kandidat bahan bakar mesin diesel
yaitu:
a. Minyak nabati (trigliserida) berberat molekul besar, jauh lebih besar dari
biodiesel (ester metil). Akibatnya, trigliserida relatif mudah mengalami
perengkahan (cracking) menjadi aneka molekul kecil, jika terpanaskan
tanpa kontak dengan udara.
b. Minyak nabati memiliki kekentalan yang jauh lebih besar dari minyak
diesel/solar maupun biodiesel, sehingga pompa penginjeksi bahan bakar di
dalam mesin diesel tak mampu menghasilkan pengkabutan (atomization)
yang baik ketika minyak nabati disemprotkan ke dalam kamar
pembakaran.
c. Molekul minyak nabati relatif lebih bercabang dibanding ester metil asam-
asam lemak. Akibatnya, cetane number minyak nabati lebih rendah
daripada cetane number ester metil. Cetane number adalah tolok ukur
kemudahan menyala/terbakar dari suatu bahan bakar di dalam mesin
diesel.
Di luar perbedaan yang memiliki tiga konsekuensi penting di atas, minyak
nabati dan biodiesel sama-sama berkomponen penyusun utama (≥ 90 %) asam-

7
asam lemak. Pada kenyataannya, proses transesterifikasi minyak nabati menjadi
ester metil asam-asam lemak, memang bertujuan memodifikasi minyak nabati
menjadi produk (biodiesel) yang kekentalannya mirip solar, cetane number lebih
tinggi, dan relatif lebih stabil terhadap perengkahan. Semua minyak nabati dapat
digunakan sebagai pengganti bahan bakar namun dengan proses-proses
pengolahan tertentu (Ketaren, 1986). Menurut Soerawidjaja (2006), macam-
macam tanaman penghasil minyak nabati serta produktifitas yang dihasilkannya
adalah sebagai berikut :
a. Sawit (Elaeis guineensis)
b. Kelapa (Cocos nucifera)
c. Alpokat (Persea americana)
d. Kacang brazil (Bertholletia excelsa)
e. Kacang makadam (Macadamia ternif)
f. Jarak pagar (Jatropha curcas)
g. Jojoba (Simmondsia califor)
h. Kacang pekan (Carya pecan)
i. Jarak kepyar (Ricinus communis)
j. Zaitun (Olea europea)

2.4.2 Karakteristik Biodiesel


Menurut Soerawidjaja (2006), karakteristik biodiesel adalah sebagai
berikut:
1) Viskositas
Viskositas adalah tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa
kapiler terhadap gaya gravitasi, dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk
mengalir pada jarak tertentu. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan untuk
mengalir akan semakin tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena
mempengaruhi kinerja injektor pada mesin diesel. Pada umumnya, bahan bakar
harus mempunyai viskositas yang relatif rendah dapat mengalir dan teratomisasi.
Hal ini dikarenakan putaran mesin yang cepat membutuhkan injeksi bahan bakar
yang cepat pula.

8
2) Flash Point
Titik nyala adalah sesuatu angka yang menyatakan suhu terendah dari
bahan bakar minyak dimana akan timbul pernyalaan api sesaat, apabila pada
permukaan minyak tersebut didekatkan pada nyala api. Titik nyala ini diperlukan
sehubungan dengan adanya pertimbangan pertimbangan mengenai keamanan
(safety) dari penimbunan minyak dan pengangkutan bahan baker minyak terhadap
bahaya kebakaran.

3) Berat jenis
Berat jenis adalah perbandingan berat dari volume sampel minyak dengan
berat air yang volumenya sama pada suhu tertentu (250 ℃). Penggunaan spesifik
gravity adalah untuk mengukur berat/massa minyak bila volumenya telah
diketahui. Bahan bakar minyak pada umumnya mempunyai spesifik gravity antara
0,74-0,94. Dengan kata lain bahan bakar minyak lebih ringan daripada air.

4) Cetane Number
Cetane number menunjukkan kemampuan bahan bakar untuk menyala
sendiri. Skala cetane number biasanya menggunakan referensi berupa campuran
antara normal setana (C16H34) dengan alpha methyl naphthalene (C10H7CH3) atau
dengan heptamethyl-nonane (C16H34). Cetane number suatu bahan bakar
didefinisikan sebagai persentase volume dari normal setana dengan campurannya
tersebut. Cetane number yang tinggi menunjukkan bahwa bahan bakar dapat
menyala pada temperatur yang relatif rendah, dan sebaliknya cetane number
rendah menunjukkan bahan bakar baru dapat menyala pada temperatur yang
relatif tinggi. Penggunaan bahan bakar mesin diesel yang mempunyai cetane
number yang tinggi dapat mencegah terjadinya knocking karena begitu bahan
bakar diinjeksikan ke dalam silinder pembakaran maka bahan bakar akan
langsung terbakar dan tidak terakumulasi. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa cetane number (CN) biodiesel lebih tinggi dari pada minyak diesel (solar).
Cetane number rata-rata minyak diesel 45, sedangkan biodiesel 62 untuk yang
berbasis kelapa sawit, 51 untuk jarak pagar dan 62,7 untuk yang berbasis kelapa
sayur.

9
Adapun syarat mutu biodiesel dapat dilihat pada table 2.4 dibawah ini:
Tabel 2.4 Syarat Mutu Biodiesel
Satuan,
No Parameter Uji Persyaratan Metode Uji
min/maks
ASTM D 1298
o 3
1. Massa Jenis pada 40 C kg/m 850-890 atau ASTM D
4052
2
Viskositas Kinematik mm /s
2. 2,3-6,0 ASTM D 445
pada 40 oC (cSt)
ASTM 613 atau
3. Angka Setana Min 51
ASTM D 6890
Titik Nyala (Mangkok o
4. C, min 100 ASTM D 93
Tertutup)
%-vol,
5. Air dan Sedimen 0,05 ASTM D 2709
maks
6. Temperatur Distilasi 90% oC, maks 360 ASTM D 1160
ASTM D 5453
atau
ASTM D 1266
mg/kg,
7. Belerang 100 atau
maks
ASTM D 4294
atau
ASTM D 2622
mg/kg,
8. Fosfor 10 AOCS Ca 12-55
maks
mg- AOCS Cd 3d-63
9. Angka Asam KOH/g, 0,5 atau ASTM D
maks 664
AOCS Ca 14-56
%-massa,
10. Gliserol Bebas 0,02 atau ASTM D
maks
6584
AOCS Ca 14-56
%-massa,
11. Gliserol total 0,24 atau ASTM D
maks
6584
%-massa,
12. Kadar Ester Metil 96,5
min
%-
massa(g-
13. Angka Iodium 115 AOCS Cd 1-25
I2/100g),
maks
(Sumber : SNI 7182, 2015)

10
2.5 Pembuatan Biodiesel dengan Metode Transesterifikasi
Menurut Mittlebatch (2004), transesterifikasi adalah tahap konversi dari
trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan
menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alcohol-alkohol
monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah
yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling
tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, biodiesel identik dengan ester
metil asam-asam lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi
trigliserida menjadi metil ester adalah :

Gambar 2.1 Reaksi Transesterifikasi Trigliserida Menjadi Metil Ester


(Mittlebatch, 2004).

Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa


adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan
dengan lambat (Mittlebatch, 2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi
transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi.
Penggunaan katalis asam atau basa masih memiliki beberapa kelemahan.
Penggunaan katalis asam diketahui membutuhkan waktu reaksi yang cukup lama
dan pemisahan katalis dan produk sangat sulit sehingga di butuhkan perlakuan
khusus untuk memisahkannya. Di samping itu, reaksi harus dilangsungkan tanpa
air karena adanya air akan meningkatkan pembentukan asam karboksilat sehingga
mengurangi rendemen reaksi. Dibanding dengan asam, katalis basa menghasilkan
reaksi dengan laju yang lebih tinggi. Namun demikian, penggunaan katalis ini
dapat menghasilkan air dari reaksi antara hidroksida dan alkohol. Pembentukan
air ini akan mengakibatkan terjadinya reaksi hidrolisis ester yang sudah terbentuk,
menghasilkan sabun yang tidak hanya mengurangi rendemen reaksi akan tetapi

11
juga menyulitkan pemisahan gliserol akibat pembentukan emulsi (Freedman,
1984). Penggunaan katalis heterogen dalam reaksi transesterifikasi minyak nabati
mununjukkan konversi yang cukup besar. Disamping persen konversi yang cukup
besar, katalis heterogen memiliki beberapa kelebihan diantaranya ketahanan
terhadap reaksi bersuhu tinggi, kemudahan pemisahan katalis dari campuran
reaksi, serta dapat digunakan berulang-ulang. Reaksi transesterifikasi sebenarnya
berlangsung dalam 3 tahap yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.2 Tiga Tahap Reaksi Transesterifikasi (Freedman, 1984).

Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah ester metil


asamasam lemak. Menurut Freedman (1984), terdapat beberapa cara agar
kesetimbangan lebih ke arah produk, yaitu:
a. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi
b. Memisahkan gliserol
c. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi
eksoterm)

Tahapan reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel selalu menginginkan


agar didapatkan produk biodiesel dengan jumlah yang maksimum. Menurut
Freedman (1984), kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan
biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut:

a) Pengaruh air dan asam lemak bebas


Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam
yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam
lemak bebas lebih kecil dari 0,5% (<0,5%). Selain itu, semua bahan yang akan
digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga

12
jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan
udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.

b) Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah


Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol
untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol
gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat menghasilkan
konversi 98%. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol
yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah.
Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%,
sedangkan pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1
karena dapat memberikan konversi yang maksimum.
c) Pengaruh perbandingan alkohol
Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi
dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol. Peran alkohol adalah
penyumbang gugus metil dalam reaksi esterifikasi. Dalam penelitian ini alkohol
digantikan dengan dimetil sulfat, diharapkan dengan digantikannya alkohol
dengan dimetil sulfat, maka reaksi akan berjalan lebih cepat dan didapatkan hasil
yang baik, karena dimetil sulfat lebih kaya akan gugus metil daripada alkohol
yang biasa digunakan.

d) Pengaruh jenis katalis


Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila
dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi
transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH),
natrium metoksida (NaOCH3), dan kalium metoksida (KOCH3). Katalis sejati
bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi
akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5-
1,5%berat minyak nabati. Jumlah katalis yang efektif untuk reaksi adalah 0,5%-
berat minyak nabati untuk natrium metoksida dan 1%-berat minyak nabati untuk
natrium hidroksida.

13
e) Pengaruh temperatur
Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada temperatur 30-65°C (titik
didih metanol sekitar 65°C). Semakin tinggi temperatur, konversi yang diperoleh
akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih efisien.

14
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat–alat yang digunakan


1. Erlenmeyer 250 ml
2. Gelas ukur 100 ml
3. Pipet volume 25 ml
4. Water batch
5. Kaca arloji
6. Magnetik stirrer
7. Termometer
8. Corong pisah 500 ml
9. Gelas kimia 250 ml
10. Spatula
11. Timbangan analitik
12. Corong gelas
13. Aluminium foil
14. Buret + statif + klem
15. Kondensor
16. Selang
17. Pipet tetes
3.2 Bahan-Bahan yang Digunakan
1. Minyak jelantah
2. Metanol
3. Asam sulfat
4. KOH
5. Indikator PP
6. Etanol
7. Asam oksalat
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Persiapan Alat
1. Reaktor berpengaduk di rangkai dengan penangas air dan kondensor
2. Alat titrasi yang terdiri dari buret, statif, dan klem di rangkai

15
3.3.2 Proses Standarisasi
1. Asam oksalat 25 ml di masukkan kedalam erlenmeyer 250 ml
2. Tambahkan 3 tetes indikator PP kedalam erlenmeyer
3. Titrasi larutan asam oksalat dengan KOH hingga larutan berubah menjadi
warna merah muda
4. Lakukan sebanyak 2 kali

3.3.3 Proses Esterifikasi


1. Metanol 78 ml di masukkan kedalam reaktor berpengaduk dan di
campurkan dengan asam sulfat 1 ml, kemudia di panaskan selama 15
menit
2. Minyak jelantah 250 ml di masukkan kedalam reaktor berpengaduk dan
di panaskan selama 1 jam dengan suhu 70ºC
3. Selama 1 jam di panaskan., setiap 15 menit sample di ambil 3 gram untuk
di hitung kadar ALB nya
4. Setelah 1 jam di panaskan, reaksi dihentikan
5. Sampel di masukkan kedalam corong pisah, kemudian diamkan sejenak
6. Pisahkan lapisan bawah sama lapisan atas
7. Ambil 3 gram sampel, dan hitung kadar ALB nya

3.3.4 Proses transesterfikasi

1. Metanol 41 ml di campurkan dengan KOH 1,84 gram di dalam reaktor


berpengaduk, lalu panaskan selama 15 menit

2. Sampel hasil esterifikasi di masukkan ke reaktor berpengaduk dan


panaskan selama 2 jam dengan suhu 70ºC

3. Hasil transesterifikasi di masukkan kedalam corong pisah dan diamkan


hingga terbentuk dua lapisan

4. Pisahkan lapisan bawah dengan lapisan atas.

5. Ambil lapisan atas dan hitung ALB nya

16
3.3.5 Analisa kadar ALB

1. Sampel di timbang seberat 3 gram

2. Sampel di masukkan ke dalam erlenmeyer

3. Etanol ditambahkan sebanyak 30 ml lalu di panaskan hingga homogen

4. Indikator pp ditambahkan 3 tetes kedalam erlenmeyer

5. Titrasi sampel dengan KOH sampai warnanya berubah menjadi merah


muda.

6. Hitung kadar ALB

3.4 Rangkaian alat

Rangkaian Rangkaian Corong

Gambar 3.1 Rangkaian Alat Corong Pisah dan Buret

Gambar 3.2 Rangkaian Reaktor berpengaduk

17
Keterangan :
1. Pemanas dan Water Batch
2. Reaktor
3. Termometer
4. Kondenser
5. Pengaduk
6. Statif

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan


Volume minyak goreng = 250 ml
Metanol untuk esterifikasi = 97,92 ml
Metanol untuk transesterifikasi = 40,40 ml
Asam sulfat = 1 ml
KOH = 1,8 gram
Yield = 75%
4.1.1 Pengujian ALB Hasil Esterifikasi
Tabel 4.1 Data Pengujian ALB pada Esterifikasi
No. Bahan Massa Volume ALB
Bahan KOH (%)
(gram) (ml)
1. Minyak Goreng 3,05 0,7 1,47
2. 15 menit pertama 3,42 2,3 4,3
3. 15 menit kedua 3,08 1,7 3,53
4. 15 menit ketiga 2,90 1,5 3,31
5. 15 menit keempat 3,23 1,3 2,57

4.1.2 Pengujian ALB hasil Transesterifikasi


Tabel 4.2 Data Pengujian ALB pada Transesterifikasi
No. Bahan Massa Volume ALB
Bahan KOH (%)
(gram) (ml)
1. Minyak Goreng 3,05 0,7 1,47
2. Hasil Transesterifikasi 3,05 2,1 1,4

4.2 Pembahasan
4.2.1 Standarisasi KOH
Pada praktikum ini KOH perlu di standarisasi terlebih dahulu untuk
mendapatkan konsentrasi yang sebenarnya karena dikhawatirkan konsentrasinya
lebih encer daripada konsentrasi yang telah diketahui. Dalam melakukan
standarisasi ini dilakukan metode standarisasi duplo untuk mendapat hasil yang
lebih akurat dengan menggunakan asam oksalat dengan normalitas 0,1 N. Pada
saat standarisasi pertama asam oksalat 0,1 N dimasukkan kedalam erlenmeyer
sebanyak 25 ml kemudian ditambahkan indikator PP beberapa tetes, setelah itu

19
larutan dititrasi dengan KOH sampai terjadi perubahan warna dengan volume
KOH yang terpakai adalah 30 ml dengan konsentrasi KOH 0,083 N. Pada saat
standarisasi kedua dilakukan percobaan yang sama dengan standarisasi pertama
sehingga didapat volume KOH yang terpakai adalah 37 ml dengan konsentrasi
0,067 N. Setelah didapat konsentrasi pada standarisasi pertama dan kedua
kemudian kedua konsentrasi tersebut dirata-ratakan dan didapat konsentrasi KOH
setelah standarisasi duplo adalah 0,075 N.

4.2.2 Esterifikasi
Pada percobaan oleokimia ini, digunakan minyak goreng sebagai bahan
baku dalam pembuatan metil ester. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menghitung ALB dari minyak goreng tersebut. Dari hasil pengujian ALB, di
dapatkan ALB minyak goreng sebesar 1,47%. Proses yang dapat dilakukan untuk
menghilangkan atau mengurangi kadar ALB adalah dengan proses esterifikasi.
Pada proses esterifikasi terjadi reaksi antara asam lemak dan metanol dengan
menggunakan katalis asam sulfat. Proses esterifikasi ini bertujuan untuk
mengurangi kadar ALB pada minyak goreng tersebut yang mengandung kadar
ALB >0,5%. Jika minyak yang berkadar ALB tinggi (>0,5%) langsung
ditransesterifikasi dengan katalis basa maka ALB akan bereaksi dengan katalis
membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup besar dapat
menghambat pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya
emulsi selama proses pencucian (Hikmah, 2010).
Dalam praktikum oleokimia ini digunakan variabel perbandingan mol
antara minyak dan metanol adalah 1:9 pada proses esterifikasi dengan volume
minyak 250 ml dan volume metanol 97,92 ml. Perbandingan mol antara minyak
dan metanol merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh terhadap
esterifikasi. Hal ini dikarenakan jenis reaksi esterifikasi adalah reaksi
kesetimbangan (reversible). Metanol yang berlebih diberikan pada reaksi ini
berguna untuk menggeser kesetimbangan ke arah produk, sehingga produk metil
ester akan meningkat. Adapun reaksi esterifikasi sebagai berikut:
RCOOH + CH3OH RCOOCH3 + H2O ................. (2)

20
Proses esterifikasi dilakukan pada suhu 70oC dengan variabel waktu selama
15, 30, 45, dan 60 menit, dimana setiap waktu reaksi tercapai dilakukan
pengambilan sampel sebanyak ±3 gram untuk dihitung kadar ALBnya. Dari
perhitungan, didapat kadar ALBnya berturut-turut adalah sebesar 4,3%, 3,53%,
3,31%, dan 2,57%. Pada pengambilan 15 menit pertama didapat kadar ALB yang
lebih besar dari saat sebelum dilakukan reaksi esterifikasi. Kenaikan kadar ALB
ini terjadi karena pada saat pemanasan adanya air pada reaktor sehingga terjadi
reaksi hidrolisis dan oksigen yang masuk kedalam reaktor sehingga terjadi reaksi
oksidasi yang mana kedua reaksi tersebut akan mengakibatkan kenaikan pada
kadar ALB tersebut (Soerawidjaja, dkk. 2006).
Walaupun begitu, pada pengambilan selanjutnya kadar ALB yang didapat
semakin menurun karena sebagian ALB terkonversi menjadi ester. Hal ini
dikarenakan lamanya waktu reaksi memberikan kesempatan kepada molekul–
molekul senyawa metanol dan minyak untuk bereaksi semakin besar, sehingga
terjadi penurunan ALB. Selain berfungsi sebagai katalis, H2SO4 juga memiliki
peran dalam menurunkan kadar ALB minyak. Hal ini ditandai dengan adanya
lapisan pada hasil esterifikasi yang berwarna hitam kecokelatan. Adanya reaksi
metanol dengan H2SO4 menyebabkan jumlah metanol berkurang, sehingga ALB
pada minyak berkurang (Aziz, dkk, 2011).

4.2.3 Transesterifikasi
Setelah dilakukan proses esterifikasi selanjutnya dilakukan proses
transesterifikasi dengan bahan baku minyak goreng yang tidak di esterifikasi.
Pada proses transesterifikasi ini digunakan variabel 1:5 dengan volume minyak
205 ml dan volume metanol 40,40 ml. Perbandingan mol antara minyak dan
metanol merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh terhadap
transesterifikas. Hal ini dikarenakan jenis reaksi transesterifikasi adalah reaksi
kesetimbangan (reversible). Metanol yang berlebih diberikan pada reaksi ini
berguna untuk menggeser kesetimbangan ke arah produk, sehingga produk metil
ester akan meningkat. Pada praktikum ini menggunakan katalis basa, yaitu KOH.
Pemilihan katalis ini dikarenakan dengan adanya katalis basa, reaksi akan berjalan

21
lebih cepat walaupun dengan suhu reaksi rendah dibandingkan dengan
penggunaan katalis asam. Adapun reaksi transesterifikasi sebagai berikut:

CH2-O-COR RCOOCH3 CH2-OH

CH–O–COR + 3CH3OH RCOOCH3 + CH– OH ...........(3)

CH2-O-COR RCOOCH3 CH2-OH

Pada praktikum ini dilakukan proses transesterifikasi dengan suhu 70oC


selama 2 jam dan terjadi kenaikan kadar ALB menjadi 1,4%.
Setelah waktu reaksi transesterifikasi selama 2 jam tercapai, maka metil
ester yang didapat dipisahkan dari hasil sampingnya yaitu gliserol. Selanjutnya
dilakukan uji densitas dari metil ester yang didapat. Pengujian ini berguna untuk
mendapatkan yield dari hasil metil ester yang didapat. Densitas yang didapat
adalah sebesar 0,878 gr/ml. Hal ini menunjukkan bahwa densitas metil ester yang
didapat sesuai dengan densitas metil ester secara teoritis (SNI) dengan range 0,85-
0,89 gr/ml. Kemudian didapatkan yield sebesar 75%.
Berdasarkan penelitian Prihanto (2017), didapat yield yang lebih besar
yaitu 87,3% dengan perbandingan mol minyak dan metanol 1:6 waktu reaksi
selama 1 jam pada suhu 60oC dengan berat katalis 1% dari jumlah minyak. Dari
penelitian tersebut didapat yield yang lebih banyak dikarenakan jumlah metanol
yang digunakan kurang sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah tumbukan
efektif untuk menghasilkan biodiesel sehingga yield biodiesel yang terbentuk
akan berkurang.

22
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Semakin lama waktu reaksi esterifikasi dan transesterifikasi, maka kadar
ALB semakin sedikit dan ALB yang terkonversi akan semakin banyak.
2. Semakin besar metanol yang ditambahkan, maka konversi akan
berlangsung sempurna.
3. Apabila jumlah katalis ditingkatkan, maka kecepatan laju reaksi juga akan
semakin meningkat.
4. Kadar ALB metil ester sebesar 1,4% sehingga yield yang didapat sebesar
75%.

5.2.1 Saran
Pada saat praktikum Oleokimia sebaiknya praktikan lebih teliti saat
memeriksa alat dan bahan dalam proses pembuatan metil ester serta terampil
dalam memasang alat yang digunakan. Dan pada saat melakukan titrasi, praktikan
diharapkan lebih teliti dalam melihat titik awal titrasi sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam menghitung konsentrasi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, I., S. Nurbayti dan B. Ulum. 2011. Esterifikasi Asam Lemak Bebas Dari
Minyak Goreng Bekas. Valensi Vol. 2 No. 2, (384‐388), ISSN : 1978 ‐
8193
Freedman, B., Pride, E.H., and Mounts, t.L., 1984, Variable Affecting the Yields
of Fatty Esters from Transesterified Vegetable Oil, JAOCS, 61 (10), 1643-
1683.
Hikmah, Z. 2010. Pembuatan Metil Ester (Biodiesel) Dari Minyak Dedak Dan
Metanol Dengan Proses Esterifikasi Dan Transesterifikasi. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-
Press.
Kirk, R.E. dan Othmer, D.F. 1981. Encyclopedia of Chemical Engineering
Technology. New York: John Wiley and Sons Inc.
Marchetti J. M., dan Errazu A. F., 2008, Esterification of Free Fatty Acids Using
Sulfuric Acid as Catalyst in the Presence of Triglycerides, Biomass
Bioenerg., 32,892-895.
Mittelbach, M dan Remschmidt, C. 2004. Biodiesel The Comprehensive
Handbook. Austria: Martin Mittelbach Publiosher.
Perry, R.H. and Green, D.W., 1984, Perry’s Chemical Engineering Handbook, 6th
ed, Mc. New York: Graw Hill Book Company, Inc.
Perry, R.H. and Green, D.W., 1997, Perry’s Chemical Engineers’ Handbook, 7th
ed., McGraw-Hill Book Company, New York.
Prakoso, Tirto, 2003, Potensi Biodiesel Indonesia. Laboratorium Termofluida dan
Sistem Utilitas, Bandung: Departemen Teknik Kimia ITB.
Prihanto, A. dan T., A., B., Irawan. 2017. Pengaruh Temperatur, Konsentrasi
Katalis dan Rasio Molar Metanol-Minyak Terhadap Yield Biodiesel dari
Minyak Goreng Bekas Melalui Proses Netralisasi-Transesterifikasi.
Akademi Kimia Industri Santo Paulus. Semarang.
Soerawidjaja, Tatang, H, dkk. 2003. Standar dan Metode Uji Biodiesel di
Indonesia.. Bandung: Departemen Teknik Kimia, ITB.

24
Soerawidjaja, T., H., A. Tahar, U. W. Siagian, T. Prakosos, I. K. Reksowardojo,
dan K. S. Permana. 2006. Studi Kebijakan Biodiesel di Indonesia.
Lembaga Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat ITB. Bandung
Wibisono, Ardian, 2007, Produksi Bio33-diesel dari Lemak Babi. Jakarta: Conoco
Phillips.

25
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN

A.1 Standarisasi NaOH


 Volume KOH = 30 ml
 Volume asam oksalat = 25 ml
 Normalitas asam oksalat = 0.1 N
V1 x N1 = V2 x N2
30 ml x N1 = 25 x 0.1
N1 = 0,083 N

 Volume KOH = 37 ml
 Volume asam oksalat = 25 ml
 Normalitas asam oksalat = 0.1 N
V1 x N1 = V2 x N2

37 ml x N1 = 25 x 0.1
N1 = 0,067 N
 Konsentrasi KOH setelah standarisasi
Didapat dari data KOH dengan asam oksalat

N KOH =

N KOH =

N KOH = 0.075 N

A.2 Esterifikasi Untuk Nisbah Molar Minyak : Metanol (1 :9 )


Volume minyak = 250 mL
Katalis H2SO4 = 1 mL
Waktu = 1 jam

Tigas asama lemak terbesar penyusun dari minyak goreng:


1. Asam palmitat C16H32O2 Mr = 256 gr/mol
2. Asam oleat C18H34O2 Mr = 282 gr/mol
3. Asam linoleat C18H30O2 Mr = 278 gr/mol
Mr = 816 gr/mol

26
38 gr/mol
Mr minyak = 854 gr/mol
Mr metanol = 32 gr/mol
metanol = 0.792 gr/ml
minyak = 0,92 gr/ml
V minyak = 250 ml
 Minyak Curah
Massa minyak
V =

250 ml =

Massa minyak = 230 ml


n minyak
n =

n =

n = 0,2693 mol

Rasio mol minyak : metanol ( 1:9 )

 =

n metanol = 2,4237 mol

 V metanol =

V metanol =

V metanol = 97,9273 ml

Densitas minyak goreng = 32 gr/mol


Berat piknometer kosong = 24,39 gr
Berat piknometer berisi = 46,36 gr

= 0,8788 gr/ml

27
 Kadar ALB
Sampel I

Kadar ALB =

= 1,47 %
Sampel II

Kadar ALB =

= 4,3 %
Sampel III

Kadar ALB =

= 3,31 %
Sampel IV

Kadar ALB =

= 2,57 %

Volume minyak goreng setelah esterifikasi:


 Massa minyak
V =

M = 205 ml x 0.8788 gr/ml


M = 180,154 gr
 Normalitas minyak
n =

n =

n = 0,2 mol

28
A.3 Transesterifikasi Untuk Nisbah Molar Minyak : Metanol (1 : 5)

 n metanol = n minyak x 5
n metanol = 0,2 x 5
n metanol = 1 mol
 Massa methanol
n =

1 =

Massa metanol = 32 gr

 Volume metanol
=

0,792 =

Volume metanol = 40,40 ml

Densitas produk metil ester


Berat piknometer kosong = 24,34 gr
Berat piknometer berisi = 45,29 gr

= = 0,8788 gr/ml

 Kadar ALB produk Metil Ester


Massa minyak = 3,05 gr
V KOH = 2,1 ml

Kadar ALB =

= 1,4%
 Yield Metil Ester
Yield = =
=
= = 75,5%

29
30
31
32
33
34
35
36
37
LAMPIRAN D
DOKUMENTASI

Gambar B.1. Pemasangan Gambar B.2. Larutan KOH


reaktor untuk proses standarisasi

Gambar B.3. Proses titrasi Gambar B.4. Proses


asam oksalat menggunakan pemisahan metil ester asam
KOH lemak dengan gliserol

38
Gambar B.5. Proses Gambar B.6. Proses
penimbangan produk hasil. pencampuran produk dengan
etanol untuk .menenentukan
kadar ALB

GambarC.8Proses
Gambar B.7. Proses titrasi,
uji aplikasi
menentukan kadar ALB metil
Pada pembuatan shamp
ester.

39

Anda mungkin juga menyukai