Anda di halaman 1dari 3

Dalam kepercayaan masyarakat suku Bugis, wanita tidak hanya sebagai lambang

kehormatan,sebagaimana yang terlihat dari penghargaan terhadap wanita melalui dui’


menre’ (uang panaik atau uang lamaran) sebagai syarat dalam pernikahan adat Bugis. Melainkan
juga memiliki dimensi yang luas. salah satu dari dimensi tersebut yakni keberadaan wanita
sebagai pembuka jalan bagi rizky pasangannya.Dalam kepercayaan masyarakat Bugis terdahulu,
seorang suami yang seusai menikah rizkynya meningkat dibandingkan sebelum dia menikah,
maka isterinya dipandang sebagai pembawa rizky. Sebaliknya, seorang lelaki yang kehidupannya
justru mengalami banyak kesusahan,kesulitan dan jauh dari hidup sejahtera,setelah menikah,
diasumsikan memiliki pasangan yang kurang berkah. Tentu saja, takaran ini hanya bisa
digunakan apabila seorang suami telah bekerja keras ,namun tidak kunjung mengalami
perkembangan bagi kehidupan perekonomiannya. Maka, tidaklah mengherankan apabila para
orang-orang tua Bugis terdahulu, memiliki pengalaman menikah berulang kali hingga
mendapatkan kebaikan rizky yang diharapkan. Bagaimana pandangan ini bisa muncul dalam
masyarakat Bugis? Hingga kini belum ada jawaban yang pasti, namun pandangan-pandangan
seperti ini dapat kita temukan dalam sebuah hadist. Dalam sebuah riwayat, rasulullah
menyatakan” bahwa peruntungan nasib bersama para wanita” para wanita yang diberkahi akan
dapat menularkan keberkahannya kepada lelaki yang hidup bersamanya. Apakah pandangan ini
berasal dari sumber hukum Islam (hadist) tersebut? Tidak ada yang dapat memastikan. Namun,
melihat kentalnya pertautan antara Islam dengan tradisi kehidupan masyarakat Bugis, maka tidak
menutup kemungkinan kebenaran pandangan tersebut.

Pertanyaan mendasar saat ini adalah, Bagaimana mengetahui seorang wanita diberkahi sebagai
prasyarat pembuka rizky bagi pasangannya? Tentu saja pertanyaan ini sangat sulit untuk
dijawab. Masyarakat bugis memiliki kriteria yang kadang abstrak dalam pemilihan calon
pasangan dibandingkan masyarakat suku lainnya. Dalam masyarakat jawa, misalnya, mereka
secara selektif mengedepankan 3B (bibit, bebet dan bobot) dalam urusan pemilihan pasangan
dalam menikah. Bibit merepresentasikan keunggulan nasab, atau keturunan. bebet, berkaitan
dengan lingkungan pergaulan , adapun bobot erat kaitannya dengan kepribadian meliputi watak,
dan status pribadi (pangkat, jabatan, kemampuan akademik). Dalam perkembangannya, takaran
abstrak dalam pemilihan pasangan tersebut mulai berubah menjadi sangat selektif ketika relasi
keluarga sudah semakin luas dan tidak mungkin dibatasi lagi dalam norma keluarga besar.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengamatan seksama penulis menunjukkan adanya perubahan
kriterium umum yang ada pada masyarakat Bugis. Mulanya seorang bisa dikatakan sangat pantas
untuk dijadikan calon isteri apabila si wanita telah memiliki status haji. Haji dalam hal ini,
merepresentasikan kekayaan dan kemapanan, betapapun hanya orang –orang yang memiliki dana
cukup saja yang mampu naik haji, terlebih lagi, yang menunaikannya adalah seorang gadis muda
yang belum menikah, maka tak pelak mereka akan menjadi prioritas dalam urusan pernikahan.
Akibatnya,saat itu Booming haji pun merebak di kalangan para gadis muda dan penyandangnya
dikenal dengan haji muda, yang dapat diidentifikasi dengan mudah melalui songko’ haji yang
dikenakannya dalam keseharian, termasuk di sekolah.

Zaman berkembang, meminjam istilah prof. Koentjoro, pendidikan yang awalnya dipandang
sebelah mata oleh masyarakat, karena dinilai menghabiskan banyak biaya sementara acapkali
hasilnya tidak sebanding dengan mata pencaharian sebagai pedagang,yang hasilnya jelas dan
meraup keuntungan yang melimpah, lalu dipandang sebagai jalan transformasi kehidupan.
Kalangan menengah mulai menjadikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Paradigma
tentang seorang wanita tidak perlu sekolah, mulai terkikis kini. Selanjutnya, proses seleksi isteri
pun beralih pada pada tingkat pendidikan seseorang. Seseorang pria berpendidikan cenderung
akan memilih isteri yang memiliki isteri yang berpendidikan. Pendidikan menjadi magnet bagi
para pria untuk menjatuhkan pilihan terhadap wanita tertentu. Waktu berlalu diiringi perubahan
yang mengikutinya. Kecenderungan dalam masyarakat pun mulai menempatkan pekerjaan
seseorang wanita sebagai tolak ukur kebanggaan. Seseorang pria akan sangat bangga memiliki
pasangan dengan pekerjaan mapan dan membanggakan. Dan pekerjaan seperti dokter dan PNS
di kalangan masyarakat Sulawesi –selatan, memenuhi kriteria tersebut. Maka tidak
mengherankan apabila masyarakat berlomba-lomba menjadi seorang PNS, bukan hanya soal
kemapanan (kepastian hidup) atau prestise (kebanggan) melainkan juga sebagai daya tarik yang
akan mempermudah mereka untuk mendapatkan jodoh yang diidam-idamkan.

Dari sini, tentu tidak ada yangsalah dengan kerangka berfikir tersebut, sebab pada dasarnya
seseorang pria akan memilih wanita yang memiliki banyak “kelebihan” tertentu untuk dijadikan
pasangannya , dibandingkan dengan yang lain. Namun jika kita menilik pada persoalan berkah
tadi, maka akan sangat sulit didapati bahwa berkah itu berkenaan dengan pelbagai kriterium tadi.
Berkah sebagaimana padangan orang-orang terdahulu, lebih dilihat sebagai unsur yang tidak
tampak, unsur yang menggerakkan seorang laki-laki untuk mendapatkan hasil yang lebih baik
bagi keluarganya. Dalam hal ini, berkah sebagai prasyarat pembuka rizky, kemudian kita
gambarkan sebagai spirit bukannya yang bersifat ada (being). Spirit Itulah kunci yang dimiliki
para wanita-wanita Bugis terdahulu (berlaku juga secara umum untuk masyarakat lainnya),
cukup banyak bukti dalam kehidupan bahwasanya kisah suksesnya pria-pria perantau (diaspora)
Bugis –Makassar dalam berbagai profesinya sebagai pedagang, pejabat,politisi yang jika ditilik
lebih jauh tidak lepas dari peran spirit yang dipancarkan dari seorang isteri. Seperti mengafirmasi
adagium yang terkenal selama ini “ dibalik seorang pria yang sukses, terdapat wanita yang hebat
(tangguh). Seperti Itulah hakikat makna berkah yang mudah saya pahami sebab jika tidak
demikian, terlebih mengacu pada sesuatu yang ada (being),yakni sesuatu yang melekat pada
pasangannya, maka peran iman-makmun akan menjadi sangat kabur. Seorang laki-laki sebagai
imam tetap digariskan bertanggung jawab dalam urusan lahir-batin rumah tangganya, dan semua
itu harus berada di pundaknya. Melimpahkan tanggung jawab terutama dalam hal ekonomi
terlebih lagi dengan terencana, sebagaimana tercermin dalam penetapan kriteria pemilihan isteri,
justru mengerus kemuliaannya sebagai seorang imam dalam rumah tangga.

Terngiang pesan rasulullah SAW tentang bagaimana seseorang muslim harus memilih isterinya”
seseorang wanita dipilih karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, karena agamanya, maka
pilihlah mereka dengan dasar agama, maka sesungguhnya itu sangat baik bagimu”. Seseorang
wanita yang menyadari keberagamaannya, tentu sadar dan mengerti tentang kedudukannya di
hadapan suaminya , mengerti hak dan kewajibannya, dan akan menjadi penguat terbaik bagi si
suami ketika menjalankan tanggung-jawab sebagai seorang imam. Dalam kondisi tersebut
keberkahan akan selalu menaunginya sebagai isteri. Dengan demikian, kearifan tentang wanita
sebagai pembuka rizky, tentu dipahami sebatas itu , sehingga membatasi diri untuk menikah
sekali saja, tidak lebih daripada itu.

Edelweiss, Surakarta, 11 maret 2013

Anda mungkin juga menyukai