Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

WHO memperkirakan sekitar 10% kelahiran hidup mengalami komplikasi perdarahan


post partum. Perdarahan post partum merupakan penyebab utama dari 150.000 kematian ibu
setiap tahun di dunia dan hampir 4 dari 5 kematian karena perdarahan post partum terjadi
dalam waktu 4 jam setelah persalinan. Komplikasi paling sering dari perdarahan post partum
adalah anemia. Jika kehamilan terjadi pada seorang ibu yang telah menderita anemia, maka
perdarahan post partum dapat memperberat keadaan anemia dan dapat berakibat fatal1.
Perdarahan merupakan sebab langsung pada lebih dari 17% dari 4200 kematian ibu di
Amerika Serikat, sesuai data yang diperoleh dari pregnancy mortality surveillance system of
the centers for disease control and prevention. Perdarahan merupakan faktor utama kematian
ibu di UK, seperti yang dilaporkan dalam Confidential Enquiry into Maternal and Child
Health (2008). Dalam suatu laporan pihak swasta dari Hospital Corporation of Amerika,
Clark,dkk (2008) melaporkan bahwa 12 persen kematian ibu disebabkan oleh perdarahan
obsetrik. Di negara dengan sumber daya yang lebih terbatas, peran perdarahan dalam angka
kematian ibu bahkan lebih nyata. Memang, perdarahan merupakan penyebab tunggal
terpenting kematian ibu diseluruh dunia. Perdarahan obsetrik berperan dalam hampir
sebagian diantara semua kematian post partum dinegara berkembang.2
Perdarahan post partum adalah penyebab utama kematian maternal, bila tidak mendapat
penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta proses
penyembuhan kembali.4 Perdarahan dalam bidang obstetri dapat terjadi baik dalam masa
kehamilan, persalinan maupun nifas. Maka dari itu, perdarahan yang terjadi dalam masa-
masa tersebut harus kita anggap sebagai suatu keadaan yang akut dan serius. Setiap wanita
hamil, dan nifas yang mengalami perdarahan harus segera dirawat dan ditentukan
penyebabnya, sehingga selanjutnya dapat diberikan pertolongan yang tepat, hal ini
diharapkan secara tidak langsung dapat mengurangi angka kematian ibu.2

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan 500 cc atau lebih setelah kala III selesai
(setelah plasenta lahir). Pengukuran darah yang keluar sukar untuk dilakukan secara tepat3.

2.2. Klasifikasi3
Klasifikasi berdasarkan saat terjadinya Perdarahan Post Partum dapat dibagi :
1. Perdarahan post partum primer, yang terjadi dalam 24 jam pertama dan biasanya
disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir dan sisa sebagian plasenta.
Dalam kasus yang jarang, bisa karena inversio uteri.
2. Perdarahan post partum sekunder yang terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh
karena sisa plasenta.

2.3. Faktor Penyebab


Faktor penyebab dari perdarahan post partum yaitu tonus, tissue, trauma, dan trombin,
singkat ’4T’5
1. TONUS
Penyebab perdarahan pascasalin yang akut dan berat seringkali disebabkan oleh
lemahnya kekuatan kontraksi miometrium, sehingga dapat menghasilkan
komplikasi yang lebih berat dimana terjadi syok hipovolemik. Atonia uteri terjadi
karena sebab-sebab yang telah dikemukakan sebelumnya.
Kurangnya kontraksi otot uterus ini juga bisa disebabkan karena kelelahan otot
akibat dari persalinan yang terlalu lama atau juga bisa karena perangsangan. Juga
bisa karena obat-obat yang dapat menurunkan kekuatan kontraksi seperti; halogen,
nitrat, NSAID, MgSO4, dan nifedipine.

2. TISSUE
Pada dasar plasenta biasanya didapatkan lapisan bahan fibrinoid yang disebut
dengan “lapisan nitabuch”. Hal ini berkaitan dengan pelepasan plasenta saat uterus

2
yang berkontraksi. Tapi pemisahan plasenta dari lapisan ini dapat terganggu bila
vili penempel plasenta berkembang ke bawah ke dalam miometrium sehingga
mengganggu lapisan tersebut. Seperti pada plasenta akreta, dimana tak terdapat
lapisan ini sehingga plasenta akan melekat pada miometrium, sehingga bila terlepas
sebagian akan menyebabkan perdarahan yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan
miometrium tak dapat berkontraksi dengan baik untuk menghentikan perdarahan
sebab ada sebagian plasenta yang masih melekat.

3. TRAUMA
Pada persalinan kerusakan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun
disebabkan oleh tindakan dalam persalinan. Dan pada persalinan per abdomen
resiko terjadi perdarahan dua kali lebih besar dibanding per vaginam.
Pada bekas operasi sesar, terjadi peningkatan resiko terjadinya ruptur uteri. Ruptur
uteri juga bisa didapatkan bila sebelumnya memiliki riwayat robekan total atau
robekan dalam. Terjadinya robekan ini termasuk akibat dari fibroidektomi,
uteroplasti, reseksi dari serviks dan perforasi uterus akibat peregangan, kuret,
biopsi, histeroskopi, laparoskopi atau penggunaan kontrasepsi intra uterina.
Trauma juga dapat terjadi pada persalinan yang lama, terutama pada pasien dengan
disproporsi sefalopelvik yang relatif maupun absolut dan pada uterus yang telah
dirangsang dengan oksitosin atau prostaglandin.

4. TROMBIN
Dalam periode postpartum kelainan pada sistem koagulasi dan pembekuan tidak
selalu terjadi pada perdarahan yang banyak, hal ini ditekankan efikasi dari
kontraksi dan retraksi untuk mencegah perdarahan. Endapan fibrin pada tempat
plasenta, bekuan darah dan suply pembuluh darah memegang peranan penting pada
jam-jam dan hari-hari setelah persalinan dimana kelainan pada area ini dapat
mencetuskan perdarahan pascasalin sekunder atau eksaserbasi perdarahan karena
penyebab lainnya dimana yang paling sering trauma.
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun
didapat. Kelainan pembekuan darah bisa berupa :

3
-
Hipofibrinogenemia, dapat menyebabkan peningkatan koagulasi intravaskular.
-
Disseminated Intravascular Coagulation / Consumptive Coagulopathy
-
Trombositopenia
-
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
-
HELLP syndrome (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet
Count )
-
Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit
karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan
trombosit sudah rusak.

2.4. Etiologi1
Etiologi Perdarahan Post Partum dibedakan atas :
1. Perdarahan dari tempat melekatnya plasenta
a. Hipotonia – atonia uteri
b. Retensio Plasenta
2. Trauma jalan lahir
a. Episiotomi yang melebar
b. Robekan perineum, vagina, atau cervix
c. Ruptur uteri
3. Gangguan koagulasi
Jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan di atas, misalnya pada kasus
trombofilia, sindroma HELLP, preeklampsia, solusio plasenta, kematian ianin
dalam kandungan, dan emboli air ketuban.

1.1 Tabel tanda dan gejala 4


Penyebab yang harus dipikirkan Gejala dan Tanda
Atonia uteri  Perdarahan segar setelah anak lahir
 Uterus tidak berkontraksi atau lembek
Retensio plasenta  Plasenta belum dilahirkan dalam 30 menit
setelah kelahiran bayi
Sisa plasenta  Plasenta atau sebagian selaput (mengandung

4
pembuluh darah) tidak lengkap
 Perdarahan dapat muncul 6-10 hari pasca salin
disertai subinovulasi uterus
Robekan jalan lahir  Perdarahan segar
 Darah segar yang mengalir segera setelah bayi
lahir
Ruptura uteri  Perdarahan segar (perdarahan intraabdominal
dan atau pervaginam
 Nyeri perut yang hebat
 Kontraksi yang hilang
Inversio uteri  Fundus uteri tidak terba pada palpasi abdomen
 Lumen vagina terisi massa
 Nyeri ringan atau berat
Gangguan pembekuan darah  Perdarahan tidak berhenti, encer, tidak terlihat
gumpalan darah
 Kegagalan terbentuknya gumpalan pada uji
pembekuan darah sederhana
 Terdapat faktor prediposisi :
 Solusio plasenta
 Kematian janin dalam uterus
 Eklampsia
 Emboli air ketuban

2.4.1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenra


A. Hipotoni sampai atonia uteri1
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir.

5
Gambar 1.1 Atonia uteri

Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:


 Melakukan secara rurin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan
akibat atonia uteri.
 Pemberian misoprostol peroral 2 - 3 tablet (400 - 600 pg) segera setelah bayi
lahir.

Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut.1


1. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau
anak terlalu besar.
2. Kelelahan karena persalinan lama
3. Kehamilan grande-multipara.
4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderira penyakit
menahun.
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
6. Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

6
Diagnosis1
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan
masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri
masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan
bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah
sebanyak 5OO - 1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih
terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian
darah pengganti.

Tujuan pengobatan3
1. Tuiuan pengobatan adalah untuk menimbulkan kontraksi uterus. Pertama-tama
dapat diberiakan obat-obat yang dapat menimbulkan kontraksi uterus seperti
oksitosin dan atau pemberian obat-obat golongan methergin secara intravena
atau intramuskuler. Disamping pemberian obat ini dapat dilakukan masase
uterus melalui dinding abdomen.
2. Bila dengan cara tersebut di atas perdarahan masih berlangsung terus,dapat
dilakukan kompresi bimanual uterus. Sebelumnya kandung kemih harus
dikosongkan.

Kompresi bimanual uterus3,4


Ada dua cara melakukan kompresi bimanual uterus.
1. Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling
mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau
aliran darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan,
pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke
fasilitas kesehatan rujukan. Bila belum berhasil, coba dengan kompresi
bimanual internal. (lihat gambar 1.2 )

7
Gambar 1.2 Cara kedua kompresi bimanual eksterna uterus

2. Kompresi bimanual internal


Uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju
tangan dalam untuk menjepit pembuluh darah didalam miometrium
(sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang
terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berukuran atau berhenti,
tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap
terjadi, coba kompresi aorta abdominalis. (lihat gambar 1.3).

Gambar 1.3 Cara pertama kompresi bimanual interna uterus

8
Pemasangan tampon uterovagina3
1. vagina dibuka dengan spekulum, dinding depan dan belakang serviks
dipegang dengan ring tang, kemudian rampon dimasukkan dengan
menggunakan tampon tang melalui serviks sampai ke fundus uteri, Tampon
tang ditarik beberapa,cm, dan kemudian memegang lagi tampon dan
didorong ke fundus uteri. Hal ini diulangi berkali-kali sampai seluruh
rongga urerus dipenuhi oleh tampon. Sedangkan tangan asisten berada di
fundus uteri (lihat gambar 1.4).

Gambar 1.4 Cara pemasangan tampon uterovaginalis

2. apabila perdarahan masih terjadi setelah pemasangan tampon ini,


pemasangan tampon tidak boleh diulangi dan segera harus dilakukan
laparatomi untuk melakukan histerektomi ataupun ligasi arteria
hipogastrika.

9
B. Retensio Plasenta1
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir
disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenra
dan urerus. Disebut sebagai plasenm akreta bila implantasi menembus desidua
basalis dan Niabuch layer, disebut sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai
menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai
menembus perimetrium.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa,
bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil
dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat
menimbulkan Perdarahan post partum primer atau (lebih sering) sekunder. Proses
kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh
perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian
lepas tempi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya
tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum
terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang
sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala
III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan placenta manual, meskipun
kala uri belum lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau
setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak
lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan
dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan
jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim
dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberintransfusi darah sesuai dengan
keperluannya.

10
2.4.2. Robekan Jalan Lahir1
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi. karena versi ekstraksi.
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis(sfingter ani terputus),
robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan
uretra dan bahkan, yang terberat, ruptura uteri. Oleh karena itu, pada setiap
persalinan hendaknya dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan
adanya robekan ini. Perdarahan yag terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya,
karena ada robekan atau sisa plasenta, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara
melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum
unuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan
pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena ruptur uteri dapat diduga pada
persalinan macet/kaset, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya
atonia uteri dan tanda cairan bebas intra abdominal. Semua titik sumber perdarahan
harus diklem, diikat dan dijahit dengan catgut lapis demi lapis sampai perdarahan
berhenti.

Gambar 1.5 Robekan jalan lahir


Ketengan gambar :
A Dejarajat I Mukosa vagina, forchette posterior, kulit perineum
B Dejarajat II Mukosa vagina, forchette posterior, kulit
perineum, ototo perineum
C Dejarajat III Mukosa vagina, forchette posterior, kulit

11
perineum, otot perineum, otot spingter ani
eksternal
D Dejarajat IV Mukosa vagina, forchette posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot spingter ani
eksternal, dinding rektum anterior

2.4.3. Inversio Uteri1


Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah
terjadinya inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan di mana lapisan dalam
uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat
bersifat inkomplit sampai komplit. Pada Inverio inkomplit, fundus uteri tidak
sampai keluar dari serviks, sedangkan pada inversion komplit seluruh uterus
keluar dari serviks.
Inversio uteri biasanya terjadi dengan cepat disertai perdarahan dan syok. Syok
terjadi seringkali tidak sesuai dengan banyaknya darah yang hilang. Banyaknya
perdarahan tergantung pada kemampuan uterus yang mengalami inverse untuk
mengadakan kontraksi dan jenis inversinya.
Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri,
serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke
bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya
ditarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver
Crede) atau tekanan intraadnominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk
keras atau bersin).

Gambar 1.6 Reposisi Inversio uteri

12
(a) Inversion uteri total (b) reposisi uterus melalui serviks (c) restitusi uterus

Inversio uteri ditandai dengan tanda-tanda1:


- syok karena kesakitan
- perdarahan banyak bergumpal
- di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang
masih melekat.
- bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya
cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat utenrs
mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.
Menegakkan diagnosis inversion uteri dilakukan palpasi abdomen dan
pemeriksaan dalam. Palpasi abdomen padan inversion inkomplit didapatkan
cekungan berbentuk seperti kawah pada fundus uteri, sedangkan pada inversion
komplit fundus uteri tidak dapat diraba. Pemeriksaan pada inversion inkomplit
teraba fundus uteri di vagina atau bahkan sudah keluar dari vagina3.
Prinsip perawatan inversion uteri adalah mengatasi syok. Segera setelah syok
dapat diatasi, dilakukan reposisi secara manual, dan apabila reposisi berhasil
diberikan uterotonika3.

Gambar 1.7 Inversio uteri inkomplit. Pada inset ditunjukkan derajat dari inversi

13
Gambar 1.8 Cara manual dalam melakukan reposisi uterus yang mengalami inversi

Tindakan1
Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai berikut :
1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah
pengganti dan pemberian obat.
2. Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus
yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong
endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks
sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat
dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.
3. Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil
dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau
i.m. tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan
tangan operator baru dilepaskan.
4. Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya.

2.4.4. Gangguan Koagulasi1


Kausal Perdarahan post partum karena gangguan pembekuan darah baru
dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat

14
pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi
mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan
merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari
gusi, rongga hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,
terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product)
serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial tbromboplastin time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin
dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang
diiakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar,
trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino
caproic acid).

Penatalaksanaan6
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya
perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari
terjadinya perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty
liver pada kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia.
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien
dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat.
Satu unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 –
10.000/mm3. Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala
perdarahan telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi
trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000 – 50.000/mm3, jika
direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan diperlukan
suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh
trombosit hanya 3 – 4 hari.
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX,
X dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan
adanya kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-

15
sel penerima. Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan
laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai secara empiris4.
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen,
dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von
Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu
pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.

2.5. Diagnosis3
1. Untuk membuat diagnosis perdarahan post partum perlu diperhatikan ada perdarahan
yang menimbulkan hipotensi dan anemia. Apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus,
pasien akan jatuh dilam keadaan syok. Perdarahan post partum tidak hanya terjadi pada
mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap persalinan kemungkinan
untuk terjadinya perdarahan post partum selalu ada.
2. Perdarahan yang terjadi di sini dapat deraq atau merembes saja. Perdarahan yang deras
biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani, sedangkan
perdarahan yang merembes karena kurang nampak seringkali tidak mendapat perhatian
yang seharusnya. Perdarahan yang bersifat merembes ini bila berlangsung lama akan
mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan,
maka darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.
3. Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di vagina
dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan dari
tingginya fundus uteri setelah uri keluar.
4. Untuk menentukan etiologi dari postpartum diperlukan pemeriksaan yang lengkap
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan
dalam.
5. Pada atonia uteri teriadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palp,asi abdomen
urerus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus
berkontraksi dengan baik, sehingga pada palpas teraba uterus dan pemeriksaan
inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina,
hematoma dan adanya sisa-sisa plasenta.

16
2.6. Pencegahan3
Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum adalah memimpin
kala II dank kala III persalinan secara lege artis. Apabila persalinan diawasi oleh seorang
dokter spesialis obstetric-ginekologi ada yang mengajurkan untuk memberikan suntikan
ergometrin secara intravena setelah anak lahir, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah
perdarahan yang terjadi.

2.7. Tatalaksana
Tatalaksana pada perdarahan post partum mempunyai dua tujuan, yaitu :
1) Mengganti darah yang hilang
2) Menghentikan perdarahan.
Pada umumnya kedua tindakan dilakukan bersama-sama, tetapi apabila keadaan tidak
mengijinkan maka penggantian darah yang hilang yang diutamakan.

17
1.2 Alogritma Perdarahan Pasca Persalinan7

18
BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan Post Partum merupakan penyebab utama dari 150.000 kematian ibu setiap tahun
di dunia dan hampir 4 dari 5 kematian karena perdarahan post partum terjadi dalam waktu 4 jam
setelah persalinan.
Perdarahan post partum adalah perdarahan 500 cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah
plasenta lahir). Pengukuran darah yang keluar sukar untuk dilakukan secara tepat.
Oleh karena itu para tenaga kesehatan diharapkan dapat mengetahui hal-hal apa saja yang
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan serta cara-cara penanganannya. Diharapkan dengan
adanya deteksi dini, ketepatan diagnosis serta kecepatandalam penanganan perdarahan
pascasalin, angka kematian ibu akibat perdarahan dapat diturunkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin B Abdul. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.
2. Cunningham F G, Gant NF. 2014. Williams Obstetri. Edisi 24. McGraw-Hill Education
eBooks. Diakses tanggal 1 Desember 2017.
3. Wiknjosastro Hanifa. 2000. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
4. Moegni M Endy, Ocviyanti Dwiana. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesahatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
5. Smith J.R Postpartum Haemorrhage. updated 23 September 2014. Diakses tanggal 28
November 2017 dari http://emedicine.medscape.com/article/275038-overview.
6. Rayburn, W. F., Carey, J. C., 2001, Obstetri & Ginekologi, Jakarta: Penerbit Widya
Medika
7. Hartono P. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Perdarahan Pasca-Salin. 2016.
Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal

20

Anda mungkin juga menyukai