Anda di halaman 1dari 15

BAB III

PEMBAHASAN

1. Kenapa terjadi persalinan premature ?


Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 37 minggu, dimana terjadi kontraksi uterus yang teratur
yang berhubungan dengan penipisan dan dilatasi serviks.
Menurut usia kehamilannya, maka klasifikasi persalinan premature adalah sebagai berikut:
1. Usia kehamilan 32-36 minggu disebut persalinan premature (preterm)
2. Usia kehamilan 28-32 minggu disebut sangat premature (very preterm)
3. Usia kehamilan antara 20-27 minggu disebut ekstrim premature (extremely
preterm)
Menurut berat badan lahir, maka bayi premature dibagi dalam kelompok:
1. Berat badan bayi 1500-2500 gram disebut bayi dengan berat badan lahir rendah.
2. Berat badan bayi 1000-1500 gram disebut bayi dengan berat badan sangat
rendah.
3. Berat badan bayi <1000 gram disebut bayi dengan berat badan lahir ekstrim
rendah.
Berdasarkan usia kehmilan pada kasus ini maka pasien dapat disebut persalinan
prematur dengan berat janin 1700 gram disebut dengan berat badan lahir rendah.

faktor penyebab persalinan premature

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari faktor risiko persalinan


preterm, namun faktor risiko tersebut tidak selalu menyebabkan terjadinya persalian
preterm, bahkan sebagian persalinan preterm normal tidak mempunyai faktor risiko.

Beberapa faktor risiko di atas yang diketahui meningkatkan persalinan preterm


dapat digolongkan menjadi dua kriteria:

1. Kriteria Mayor

a. Kehamilan Ganda
b. Hidramnion

18
c. Anomali Uterus
d. Pembukan Servik > 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu
e. Panjang Servik < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (TVS)
f. Riwayat abortus pada trimester 2 > 1x
g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm
i. Riwayat konisasi
j. Iritabilita uterus
k. Penggunaan kokain atau amfetamin

2. Kriteria Minor

a. Penyakit yang disertai demam


b. Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu
c. Riwayat pielonefritis
d. Merokok lebih dari 10 batang per hari
e. Riwayat abortus pada trimester 2
f. Riwayat abortus pada trimester 1 lebih dari 2 x

Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan preterm
jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor atau dua atau lebih faktor risiko minor,
atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor).

Penelitian-penelitian tentang epidemiologi dan patogenesis persalinan preterm


menyimpulkan 4 jalur penyebab yang mendasari terjadinya persalian preterm, yaitu;

1. Infeksi dan inflamasi


2. Aktivasi maternal-fetal hipotalamus-hipofisis-axis adrenal
3. Perdarahan desidua
4. Peregangan uterus

Masing-masing dari keempat jalur penyebab persalinan preterm tersebut akan


menyebabkan kontraksi uterus, dilatasi serviks, pecah ketuban dan persalinan preterm.
Keempat jalur patogenesis persalinan preterm ini mempunyai mediator kimia yang unik.

19
1.1.1. Infeksi dan Inflamasi

Banyak bukti yang menunjukan bahwa mungkin sepertiga kejadian


persalian preterm pada populasi (wanita hamil) berkaitan dengan infeksi intra
uteri. Dari penelitian yang dilakukan oleh Bobbit dkk membuktikan infeksi intra
amnion subklinis sebagai penyebab persalinan preterm dimana dengan
amniosintesis didapat mikroorganisme patogen sekitar 20% dari wanita-wanita
yang mengalami persalinan preterm dengan membran korioamnion yang intak
dan tanpa gejala klinis infeksi.

Bakteri yang sering dihubungkan dengan terjadinya persalinan preterm


adalah: Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella
ureaplasma dan Escherchia coli tapi kebanyakan bakteri-bakteri vagina ini
virulensinya rendah. Bakteri lain yang juga sering berhubungan dengan infeksi
saluran genitalia,seperti: N. Gonorrhoeae, C. Trachomatis, Streptococcus group
B dan E.Coli.

Korioamnionitis adalah infeksi pada membran janin dan cairan amnion,


juga dihubungkan dengan persalinan preterm. Infiltrasi sel-sel radang pada
membran janin dan desidua merangsang pengeluaran prostaglandin yang
memicu terjadi persalinan. Cara yang paling sering menyebabkan infeksi intra
uteri adalah melalui jalur ascenden dari bakteri di saluran genitalia bawah ke
lapisan koriondesidua selanjutnya menuju rongga amnion dan dapat menyebakan
desiduitis, korioamnionitis, koriovaskulitis. Dan bila memasuki aliran darah
janin dapat mengakibatkan bakterimia pada janin dan sepsis. Jalur ascenden ini
dapat dijelaskan sebagai berikut

1. Mikroorganisme menghasilkan enzim protease dan musinase yang


menghidrolisis barier mukus serviks dan melemahkan jaringan
kolagen pada selaput membran korioamnion sehingga
mikroorganisme dapat menembus serviks.
2. Bakteri juga menghasilkan fosfolipase yang berperan dalam
pembentukan asam arakidonat (senyawa pembentuk prostaglandin).

20
Prostaglandin merupakan mediator penting terjadinya kontraksi otot
polos uterus dan pembukaan serviks.
3. Mikroorganisme menghasilkan sitokin dan kemokin inflamasi seperti
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor
(TNF) yang merangsang pembentukan prostaglandin dan matrix
metalloproteinase (MMP) yang menyebabkan kerusakan membran,
preterm premature rupture of the membrane (PPROM), pembukaan
serviks dan kontraksi uterus.
4. Pada janin yang terinfeksi, terjadi peingkatan produksi corticotropin
releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus janin dan plasenta yang
menyebabkan peningkatan sekresi kortikotropin janin, selanjutnya
meningkatkan produksi kortisol oleh adrenal janin. Sekresi kortisol
akan meningkatkan produksi prostaglandin dan menyebabkan
kontraksi uterus.

Patogenesis terjadinya persalinan preterm oleh karena infeksi melalui


beberapa jalur yang dijelaskan sebagai berikut: jalur pertama yang menginisiasi
persalinan preterm adalah invasi bakteri pada koriodesidua yang merangsang
pelepasan endotoksin, eksotosin, dan mengaktifkan desidua dan membran janin
untuk menghasilkan berbagai sitokin yaitu TNF-α, IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan
granulocyte colony-stimulating factor (GCSF). Sitokin, endotoksin, dan
eksotosin merangsang pembentukan dan pelepasan prostaglandin serta
mengawali kemotaksis neutrofil, infiltrasi dan aktivasi, dimana pada puncaknya
akan terjadi pembentukan dan pelepasan matrix metalloproteinase dan substansi
bioaktif lainnya. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus dimana invasi
metalloproteinase pada membran korioamnion menyebabkan pecah ketuban dan
juga menyebabkan perlunakan dan remodelling kolagen serviks.[2, 8, 9]

Produksi prostanoid pada desidua, korion, amnion dan sel miometrium


dan produksi endotelin oleh sel amnion dan sel desidua dirangsang oleh
tingginya konsentrasi endotoksin dan juga oleh IL-1 dan TNF-α. Keberadaan IL-
6 pada serum, cairan amnion serta sekret servikovagina berhubungan dengan

21
kejadian korioamnionitis dan persalinan preterm. Aktivasi dari jejaring sitokin
menyebabkan apoptosis plasenta dan selaput korioamnion dengan glikoprotein
pada Fas Ligand (Fasl). Fasl diatur oleh TNF-α pada plasenta. Apoptosis dari sel
otot polos servik berperan dalam pembukaan serviks dan mengambil tempat
pada sel epitel amnion dalam sel selaput janin dan menyebabkan pecahnya
selaput ketuban.

Jalur kedua yang berperan adalah prostaglandin dehidrogenase di


jaringan korion yang menghambat masuknya prostaglandin ke miometrium
sehingga mencegah terjadinya kontraksi uterus. Infeksi korionik dapat
menurunkan aktivitas prostaglandin dehidrogenase sehingga menyebabkan
peningkatan jumlah prostaglandin yang mencapai miometrium.

Jalur ketiga melibatkan janin. Pada janin yang terinfeksi terjadi


peningkatan produksi CRH (Corticotropin Releasing Hormone) oleh
hipotalamus janin dan plasenta yang menyebabkan peningkatan sekresi
kortikotropin janin, yang selanjutnya meningkatkan produksi kortisol oleh
adrenal janin. Pada akhirnya sekresi kortisol akan meningkatkan produksi
prostaglandin dan menyebabkan timbulnya kontraksi uterus. Pada 88% kasus
janin terinfeksi dan terjadi peningkatan sitokin, terjadi persalinan dalam waktu
48-72 jam kemudian.

1.1.2. Aktivitas Maternal-Fetal Hipotalamus-Hipofisis-Axis Adrenal

Stres meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm dengan


meningkatkan pelepasan CRH (Corticotropin Releasing Hormone). CRH berasal
dari hipotalamus dan berperan sebagai mediator pelepasan ACTH
(Adrenocorticotropin Hormone), kemudian ACTH akan meningkatkan sekresi
kortisol. Peningkatan kortisol secara cepat dapat meningkatkan jumlah CRH
dalam sirkulasi darah sehingga produksi prostaglandin juga meningkat.
Prostaglandin berperan sebagai uterotonin dan meningkatkan kemampuan
miometrium melalui peningkatan jumlah reseptor oksitosin dan juga melalui

22
pembentukan gap-junction. CRH juga merangsang produksi esterogen plasenta
dengan menstimulasi prekursor dari kelenjar adrenal janin. Esterogen
berinteraksi dengan miometrium sehingga terjadi kontraksi dan pembukaan
serviks.

1.1.3. Perdarahan Desidua

Perdarahan desidua merupakan perdarahan yang terjadi didalam desidua


yaitu jaringan endometrium yang membatasi uterus, yang berhubungan dengan
membran janin dan plasenta. Perdarahan desidua menyebabkan penurunan
fungsi dari pembuluh darah uteroplasenta sehingga menyebabkan kekurangan
oksigen pada janin yang akan melepaskan CRH, meningkatkan serbukan
makrofag dengan pelepasan sitokinnya atau secara langsung merangsang
produksi protease dan prostanoid desidua melalui pembentukan trombin.
Aktivasi thrombin merangsang koagulasi dan pembentukan gumpalan darah
(clot), sehingga merangsang produksi protease yang memiliki kemampuan
merusak membrane janin dan menyebabkan dilatasi serviks sehingga terjadi
pecah ketuban. Trombin juga secara tidak langsung memiliki efek uterotonika
pada miometrium dan merangsang kontraksi.

Berkurangnya aliran darah ke uterus akibat kelainan pembuluh darah


berakibat terjadinya kerusakan jaringan setempat oleh lipid peroksidase (LOP)
dan radikal bebas, ini akan meningkatkan produksi prostanoid, protease dan
endotelin yang akan meningkatkan pelepasan CRH.

1.1.4. Peregangan Uterus

Peregangan uterus yang berlebihan seperti polihidramnion, kehamilan


multipel dan kelainan anatomi uterus dapat meningkatkan risiko persalinan
preterm spontan. Mekanisme yang ditimbulkan adalah peregangan dapat
meningkatkan aktivasi miometrium, pengeluaran prostaglandin dan sitokin, serta
meningkatkan reseptor oksitosis pada miometrium sehingga terjadi persalinan
preterm.

23
1.1.5. Matrix Metalloproteinase

Matrix metalloproteinase (MMP) yang juga disebut dengan matrixins,


mendegradasi kedua protein matriks dan nonmatriks, meliputi proteoglikan
didalam ruang ekstraselular. Manusia memiliki 23 jenis MMP. MMP merupakan
golongan enzim yang menggunakan zinc sebagai mekanisme katalitik untuk
menghidrolisis substrat peptida. MMP dibagi menjadi empat golongan meliputi:

1. Kolagense; meliputi MMP-1, MMP-8 yang disekresikan oleh


neutrofil, dan MMP-13. Tipe kolagen ini dapat memecah kolagen
yang berstruktur helix dan menghancurkan kolagen tipe I dan III.
2. Gelatinase; meliputi MMP-2 dan MMP-9. Kelompok ini mempunyai
struktur fibronektin tipe II yang berfungsi untuk berikatan dengan
gelatin dan memecah struktur gelatin.
3. Stromelysins; meliputi MMP-3, MMP-10, dan MMP-11, yang dapat
menghancurkan kolagen tipe IV, V, IX,dan X
4. Membran MMP tipe 1; meliputi MMP-14, kelompok ini memiliki
furin pada strukturnya yang memiliki fungsi mengaktivasi MMP di
intraselular, tipe ini tidak diekskresikan ke ekstraselular.

Matrix metalloproteinase berperanan penting dalam perbaikan dan


remodeling jaringan, penyembuhan luka pada respon terhadap trauma, dan pada
morphogenesis. Perananya tidak hanya terbatas untuk degradasi matriks
ekstraselular tetapi juga pada sel permukaan dan aktivasi dari protein matriks
ekstraselular. MMP menghancurkan sel permukaan atau molekul matriks
ekstraselular yang mengubah sel matriks atau interaksi sel-sel, dan menghasilkan
growth factors. MMP memainkan peran dalam migrasi sel, diferensiasi sel,
pertumbuhan, apoptosis dan respon inflamasi yang tidak berhubungan dengan
degradasi kolagen atau molekul matriks lainnya. MMP memiliki peranan dalam
kerusakan fetal membran, ripening of the cervix, dan kontraksi uterus.

Matrix metalloproteinase disintesis dalam bentuk laten oleh beberapa sel


seperti fibroblas dan leukosit. Mekanisme kerja MMP mengakibatkan degradasi

24
matriks ekstraselular merupakan suatu stimulus yang bekerja melalui ikatan
membran atau reseptor interselular, yang mengakibatkan signal cascade
intraselular yang menyebabkan sintesis MMP mRNA. Kemudian MMP mRNA
dirubah dalam bentuk laten atau pro-MMP, membutuhkan aktivasi oleh
proteinase lain di dalam matriks ekstraselular. MMP aktif dapat berikatan
dengan inhibitor MMP dan menyebabkan degradasi. Beberapa MMP seperti
MMP-11 diaktifkan melalui jalur furin proteolitik.

Matrix metalloproteinase-9 dan MMP-2 berhubungan dengan respon


inflamasi. MMP-2 dan MMP-9 merupakan enzim yang diekspresikan dalam
plasenta dan fetal membran. MMP-9 diekspresikan di epitel amnion dan bersama
MMP-2 di chorion trophoblast, aktifitas MMP diregulasi oleh tissue inhibitors of
matrix metalloproteinase (TIMP). Keseimbangan antara MMP-2, MMP-9 dan
TIMP memiliki peranan penting dalam aktifitas kolagenolitik lokal.

1.1.5.1. Peranan Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9)

Matrix metalloproteinase (MMP) merupakan kelompok


enzim yang bekerja dengan mendegradasi komponen matrix
ekstraselular. Kolagenase interstisial (MMP-1) dapat membelah
kolagen tipe I, II dan III. Gelatinase (MMP- 2 dan MMP -9) mampu
menguraikan lebih lanjut fragmen kolagen yang telah terdenaturasi
oleh kolagenase interstitial. Enzim gelatinase juga mampu
menguraikan berbagai macam komponen membrane basal dan
proteoglikan.

Matrix metalloproteinase-9 yang juga dikenal sebagai 92-kDa


type IV collagenase / gelatinase B, mendegradasi berbagai
komponen matriks ekstraselular meliputi kolagen tipe IV, V, dan XI,
elastin, proteoglikan, dan gelatin. MMP-9 disekresi oleh berbagai
sel-sel penghasil produk inflamasi, sel tumor, dan sel normal sebagai
zymogen. MMP-9 dianggap memiliki hubungan dengan cellular
migration, invasi dan tissue remodeling pada proses reproduksi.

25
MMP-9 diketahui diproduksi oleh banyak inflammatory cells seperti
macrophage, polymorphonuclear leukocytes, T-lymphocytes, dan B-
lymphocytes. Peningkatan konstrentrasi MMP-9 di segmen bawah
uterus selama persalinan diinduksi oleh adanya IL-8 dan TNF-α.

Beberapa sitokin telah teridentifikasi potensial memodulasi


ekspresi MMP pada membrane fetal, namun mekanisme aktivasi
MMP belum diketahui secara pasti. In vitro stimulasi terhadap
amniokorion manusia dengan IL-1β atau TNF-α menyebabkan
sekresi dari MMP-9 proenzim. Dari percobaan yang menggunakan
amniokorion yang distimulasi dengan lipopolisakarida (LPS)
menunjukkan bahwa IL-1β merupakan sitokin kunci yang
menginduksi ekspresi MMP-9 pada jaringan.

Pada membran janin produksi IL-8, TNF-α, IL-6 dan IL-1β


meningkat, menyebabkan peningkatan MMP-9, penurunan MMP-2,
dan penurunan kadar TIMPs. Enzim MMP-9 meningkat sacara
signifikan oleh amnion tapi tidak oleh korion. Kadar MMP-9
meningkat ketika amion dipapar oleh TNF-α atau IL-1β, walaupun
sekresi dari korion tidak berubah. Peningkatan aktivitas kolagenase
menyebabkan lemahnya kekuatan regangan membrane dan memicu
pecahnya membrane (Peltier MR, 2003). TNF-α dan IL-β
memperlihatkan efek produksi MMP-9 dari amnion.

Stimulasi sel amnion dan korion oleh IL-1β dan TNF-α


menyebabkan peningkatan produksi prostaglandin E2 (PGE2)
melalui cyclooxygenase (COX)-2. PGE2 menyebabkan peningkatan
produksi MMP-9 atau menyilang membrane menstimulasi ripening
serviks pada serviks atau menstimulasi kontraksi oleh miometrium.

Pada suatu analisa imunohistokimia biopsi servik


menunjukkan bahwa IL- 1β diproduksi predominan oleh leukosit,
IL-6 oleh leukosit, sel epitel glandular dan sel epitel permukaan, dan

26
IL-8 diproduksi terutama oleh leukosit, sel epitel glandular, sel epitel
permukaan dan sel stroma. Sitokin proiflamasi menginduksi ripening
servik melalui beberapa jalan. IL-1β dan TNF-α meningkatkan
produksi MMP-1, MMP-3, MMP-9 dan cathepsin S. Dan IL-1β
menurunkan regulasi ekspresi TIMP-2, inhibitor endogen MMP-2.
Proteinase ini mencerna kolagen dan serat elastin pada metrix
ekstraselular servik yang meningkatkan cervical compliance.

Penelitian yang dilakukan oleh Botsis pada tahun 2006, yang


menilai panjang servik dan kadar plasma proMMP-9 untuk
memprediksi kelahiran preterm pada wanita hamil dengan ancaman
persalinan, mendapatkan nilai sensitifitas 81.1% dan spesitifitas
92.1% jika hanya dilakukan pemeriksaan panjang servik saja. Tetapi
nilai sensitifitas dan spesitifitas meningkat menjadi sensitifitas
90,9% dan spesitifitas 98.3% ketika kedua pemeriksaan tersebut
dilakukan. Jadi kadar plasma proMMP-9 dapat digunakan untuk
memprediksikan persalinan preterm bila fasilitas USG tidak ada.

Berbagai faktor etiologi dari persalinan preterm dan pecah


ketuban dini disebabkan oleh sistem MMP melalui 4 jalan. Kunci
dari MMP-9 pada persalinan preterm ditunjukkan pada.

1. Konsentrasi MMP-9 stabil pada plasma maternal selama


kehamilan tampa komplikasi sampai persalinan dimulai
2. Kosentrasi MMP-9 meningkat pada cairan ketuban
selama persalinan aterm dan preterm, pada kehamilan
dengan koriomanionitis dengan atau tampa pecah
ketuban
3. Aktifasi dan konsentrasi MMP-9 meningkat pada cairan
ketuban pada kehamilan dengan komplikasi pecah
ketuban dini
4. Gen MMP-9 terinduksi pada membrane fetus selama
persalinan, pecah ketuban dan korioamnionitis.

27
Dari kedua enzim gelatinase, MMP-9 diketahui berkaitan
sangat spesifik dengan adanya infeksi intra amnion. Fortunato dkk
(1997) menemukan kadar MMP-2 pada wanita hamil yang tidak
dalam persalinan dan wanita dengan infeksi intra-amnion. Namun
MMP-9 hanya ditemukan pada wanita dengan infeksi intraamnion.

Penelitian lain menemukan bahwa terdapat peningkatan kadar enzim ini dalam cairan
amnion pada wanita dengan PPROM. Penelitian lain mengatakan bahwa kadar MMP-9 plasma
meningkat tiga kali lipat pada wanita dengan rupture membrane spontan atau persalinan spontan,
meski tidak meningkat secara signifikan dalam waktu 1 minggu menjelang persalinan.
Penemuan-penemuan ini menunjukkan bahwa peningkatan MMP-9 dapat digunakan untuk
memperkirakan terjadinya persalinan preterm atau adanya rupture membrane pada wanita
dengan tanda dan gejala adanya persalinan preterm, apapun hasil kultur cairan amnionnya.

Faktor resiko pada kasus ini yaitu Ibu yang primipara dan pembukaan serviks >2
cm sebelum 32 minggu

Pada kasus ini terjadi.

- Ibu yang primipara yang merupakan faktor resiko terjadinya infeksi dan inflamasi
dengan koriamnion tanpa gejala klinis infeksi. Patogenesis yang terjadi adalah
bakteri yang masuk pada koriodesidua yang merangsang pelepasan endotoksin,
eksotoksin dan mengaktifkan desidua dan membran janin untuk menghasilkan
berbagai sitokin yaitu TNF-α, IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan granulocyte colony-
stimulating factor (GCSF). Sitokin, endotoksin, dan eksotosin merangsang
pembentukan dan pelepasan prostaglandin serta mengawali kemotaksis neutrofil,
infiltrasi dan aktivasi, dimana pada puncaknya akan terjadi pembentukan dan
pelepasan matrix metalloproteinase dan substansi bioaktif lainnya. Prostaglandin
akan merangsang kontraksi uterus dimana invasi metalloproteinase pada membran
korioamnion menyebabkan pecah ketuban dan juga menyebabkan perlunakan dan
remodelling kolagen serviks.

28
2. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat ?

Manajemen persalinan preterm sangat bergantung pada beberapa faktor,


diantaranya:[10, 11]

1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat


bilamana selaput ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai
4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila
TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan ≥34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,
mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas perawatan neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi persalinan preterm.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.

Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan


seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio
sesarea terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang,
pemakaian forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya
dilakukan episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala.
Bila janin presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan
episiotomi lebar dan perlindungan forceps terutama pada bayi < 35 minggu.[10, 11]

Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi,
bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai
indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik. Indikasi seksio sesarea:[10, 11]

 Janin sungsang

29
 Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih
kontroversial)
 Gawat janin
 Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
 Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi

Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan sebagainya).

Tocolytic

Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,


tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan
serviks pada kehamilan preterm. Alasan pemberian tokolisis pada persalianan
preterm ialah:[10, 11]

1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur


2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir
surfaktan paru janin
3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih
lengkap
4. Optimalisasi personil.

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis pada persalinan preterm,
antara lain:[10, 11]

 Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan


tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya
hanya diperlukan 20 mg, obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi
berulang, sedanhkan dosis perawatan 3x10 mg.
 Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat
digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 μg/menit, sedangkan per oral: 4

30
mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15
μg/menit, subkutan: 250 μg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg
setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema
paru.
 Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara
bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat
ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada
ibu ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi,
nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
 Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat
menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases
(COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin
merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko
kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil
daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam
konteks percobaan klinis.

Untuk menghambat proses persalinan preterm, selain tokolisis, pasien juga perlu
membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual. Kontraindikasi
relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti tidak baik,
seperti:[10, 11]

a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien
stabil dan kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

31
Pada kasus ini ibu sudah datang dengan pembukaan >2 cm sehinggga pemberian tokolitik
untuk menghambat proses persalinan sudah sulit dilakukan pada pasien seharusnya
diberikan MgSo4 sebagai “brain protector” untuk mencegah Cerebral palsy pada bayi di
usia 3 tahun hal ini dapat terjadi karena magnesium pada orang dewasa terbukti
menstabilkan tonus intrakranial, mengurangi fluktuasi aliran darah otak, mengurangi
cedera reperfusi, dan memblok kerusakan intraselular yang diperantarai kalsium.
Magnesium mengurangi sintesis sitokin dan endotoksin bakteri. Dengan demikian, juga
dapat mengurangi efek inflamasi akibat infeksi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin B Abdul. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
2. Cunningham F G, Gant NF. 2014. Williams Obstetri. Edisi 24. McGraw-Hill Education
eBooks. Diakses tanggal 1 Desember 2017.
3. Mahajan.,& Magon. (2017). Study of risk factors for preterm births in a teaching
hospital: A prospective. Int J Med and Dent Sci;6(1):1407-1412.
4. Salas. (2017). Ethical challenges posed by clinical trials in preterm labor: a case study.
Global Forum on Bioethics in Research. Buenos Aires: BioMed Central.
5. Offiah., O’Donoghue., & Kenny. (2013). Clinical Risk Factors for Preterm Birth. Anu
Research Centre, Cork University Maternity Hospital Ireland.
6. Koucký M., Germanová A., Hájek Z., Pařízek A., Kalousová M., Kopecký P. (2009).
Pathophysiology of Preterm Labour. Prague Medical Report. Czech Republic: Charles
University in Prague.

32

Anda mungkin juga menyukai