Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN JIWA


DENGAN ISOLASI SOSIAL DI BANGSAL SRIKANDI
RUMAH SAKIT GRHASIA

DISUSUN OLEH :

ENIP SEKAR SULISTYANI


3214051

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN VII


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA
2014

Jl. Ringroad Barat, Ambarketawang, Gamping, Sleman Yogyakarta

Telp (0274) 434200

LEMBAR PENGESAHAN

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN JIWA


DENGAN ISOLASI SOSIAL DI BANGSAL SRIKANDI
RUMAH SAKIT GRHASIA

Disusun oleh:

Enip Sekar Sulistyani


3214051

Telah disetujui pada


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Perseptor Pembimbing Klinik

(Riski Hidayati S.Kep., Ns) (………………………...) ( Siska Ariyani, S.Kep)

Mahasiswa

( Enip Sekar Sulistyani)

LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian,
dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba,
dkk. 2008).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk.
2009). Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang
diterima sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif
atau mengancam (Wilkinson, 2007).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain. Terjadinya
perilaku menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan faktor
presipitasi.Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor
predispoisi terjadinya perilaku menarik diri.Kegagalan perkembangan dapat
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu,
takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa
tertekan.Keadaan menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan
orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri,
kegiatan sehari-hari hampir terabaikan.
Isolasi sosial (menarik diri) adalah suatu keadaan dimana individu
mengalami suatu kebutuhan atau mengharapakan untuk melibatakan orang
lain, akan tetapi tidak dapat membuat hubungan tersebut.

B. Rentang Respon
Manusia sebagai makhluk sosial adalah memenuhi kebutuhan sehari –
hari, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada hubungan
dengan lingkungan sosialnya. Hubungan dengan orang lain dan lingkungan
sosialnya menimbulkan respon – respon sosial pada individu. Rentang respon
sosial individu berada dalam rentang adaptif sampai dengan maladaptif.
Respon adaptif, yaitu respon individu dalam penyesuaian masalah yang dapat
diterima oleh norma -norma sosial dan kebudayaan, meliputi :
1. Solitude (Menyendiri)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya, dan merupakan suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah – langkah selanjutnya
2. Autonomy (Kebebasan)
Respon individu untuk menentukan dan menyampaikan ide – ide pikiran
dan perasaan dalam hubungan sosial.
3. Mutuality
Respon individu dalam berhubungan interpersonal dimana individu saling
memberi dan menerima.
4. Interdependence (Saling Ketergantungan)
Respon individu dimana terdapat saling ketergantungan dalam melakukan
hubungan interpersonal.

C. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan
perkembangan yang dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak
percaya orang lain, ragu takut salah, putus asa terhadap hubungan dengan
orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan
dan merasa tertekan.
1. Teori Biologikal dan hubungannya dengan menarik diri
a. Genetik. Transmisi gangguan alam perasaan yang membuat perasaan
sedih dan individu merasa tak pantas berada ditengah lingkungan
sosialnya. Keadaan ini diteruskan melalui garis keturunan. Frekuensi
gangguan alam perasaan meningkat pada kembar monozigot dibanding
dizigot walaupun diasuh secara terpisah.
b. Neurotransmitter. Katekolamin : Penurunan relatif dari katekolamin
otak atau aktifitas sistem katekolamin menyebabkan timbulnya depresi
dan berusaha menghindari lingkungan sosial. Asetilkolin : Suatu
peningkatan aktifitas kolinergik dapat menjadi faktor penyebab dan
berusaha menghindasi lingkungan social.
Serotonin : Suatu defisit pada sistem serotoninergik dapat merupakan
faktor penyebab dari depresi dan berusaha menghindasi lingkungan
social
- Endokrin. Keadaan sedih berkaitan dengan gannguan hormon
seperti pada hipotiroidisme dan hipertirodisme, terapi estrogen
eksogen, dan post partum.
- Kronobiologi Gangguan dari ritme sirkadian.
2. Teori Psikologikal dan hubungannya dengan menarik diri
Uraian teori psikologikal dan hubungannya dengan menarik diri yang
dipaparkan disini lebih spesifik berdasarkan Teori Perkembangan Erik H.
Erikson. Menurut Erikson, dalam menuju maturasi psikososial, manusia
perlu menjalankan 8 tugas perkembangan (development task) sesuai
dengan proses perkembangan usia. Faktor stimulasi menjadi sangat
penting melalui proses belajar menuju maturasi. Untuk mengembangkan
hubungan social yang positif, setiap tugas perkembangan sepanjang daur
kehidupan diharapkan dilalui dengan sukses sehingga kemampuan
membina hubungan social dapat menghasilkan kepuasan bagi individu.
Sebaliknya tugas perkembangan yang tidak dijalankan dengan baik
memberikan implikasi masalah psikososial di kemudian hari, yaitu:
a. Masa bayi/anak usia 0 – 1,5 tahun (konflik basic trust vs mistrust).
Bayi sangat bergantung pada orang lain dalam pemenuhan
kebutuhan biologis dan psikologisnya. Bayi biasanya
berkomunikasi untuk dipenuhi kebutuhannya dengan menangis.
Kesediaan ibu secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan makan,
rasa aman, rasa nyaman dan kehangatan akan berimplikasi pada
pemebntukan rasa percaya pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya. Kegagalan ibu dalam memenuhi kebutuhannya
akan berimplikasi pada rasa tidak percaya pada diri sendiri, orang
lain, lingkungannya dan perilaku menarik diri
b. Masa anak usia 1,5 – 3 tahun (Conflik otonomy vs shame and
doubt).
Pada rentang usia ini, anak mulai menyadari dirinya terpisah
dengan orang lain (memiliki otonomi). Anakan mulai berkreasi
dalam kebebasan dirinya seperti berlari-lari kian kemari, memegang
segala sesuatu yang disukainya, dapat mengendalikan organ-organ
tubuhnya dan dapat menyatakan menolak atau menerima sesuatu
dari orang lain. Otonomi anak yang berkembang pada tahap ini
menuju pada membina hubungan dengan orang lain secara
interdependent. Kegagalan anak dalam membina hubungan dengan
lingkungannya dan keluarga cenderung membatasi kebebasannya
tas dasar pertimbangan yang negatif terhadap lingkungannya (over
protective) berimplikasi pada kepribadian anak yang pemalu dan
peragu. Pada kondisi lebih lanjut mengakibatkan individu menarik
diri dari orang lain dan lingkungannya.
c. Masa anak usia 3 – 6 tahun (Conflik initiative vs guilt). Pada usia
ini semakin berkembang rasa inisitatif anak. Anak mulai banyak
bertanya secara kritis dan mencoba melakukan tugas tertentu.
Inisiatif yang ditunjukkan misalnya mandi sendiri, memebreskan
sendiri permainannya, membantu adiknya dan sebagainya. Pada
usia ini, anak mulai menghadapi tuntutan normative dari
lingkungannya. Hal ini dapat menimbulkan krisis pada anak
sehingga akan mengalami kekecewaaan yang selanjutnya menuju
pada rasa bersalah yang berlebihan. Sebaliknya jika lingkungannya
kondusif maka berimplikasi pada pembentukan kepribadian anak
yang berinisiatif. Perilaku yang menunjukkan rasa bersalah yaitu,
takut memulai pekerjaan yang baru, meminta maaf secara
berlebihan dan menjadi sangat malu hanya karena kesalahan kecil.
Pada kondisi lebih lanjut dapat menimbulkan menarik diri.
d. Masa anak usia 6 – 12 tahun (Conflik industry vs inferiority). Pada
usia ini, anak mulai terdorong untuk melaksanakan tugas-tugas
yang dihadapinya secara sempurna dan menghasilkan karya-karya
tertentu. Pada usia ini anak mulai bersekolah dan memulai
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan baru di lingkungan sekolah
dan keluarga. Dengan bersekolah, anak memulai mengembangkan
hubungan interpersonal dengan peer groupnya terutama dengan
yang berjenis kelamin sama. Anak mulai mampu menukar
kemampuannya, merasakan kegunaannya dan berkesempatan
mebandingkan dirinya dengan teman sebayanya. Orang tua tidak
lagi menjadi satu-satunya sumber identifikasi anak. Anak mulai
melihat dan mengagumi orang lain selain orang tua dan temannya.
Figur guru sangat menjadi panutan bagi anak sehingga sering kali
anak menjadi lebih percaya pada gurunya daripada orang tuanya.
Oleh karena itu orang tua dan guru haruslah menjadi figure yang
seimbang untuk ditiru anak.
e. Masa usia 12 – 20 tahun (Conflik identity vs role confusion).
Merupakan usia peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa, yang
sering disebut pubertas. Perubahan fisik dan kejiwaan terjadi begitu
pesat sehingga dapat mengganggu keseimbangan diri yang
sebelumnya sudah tercapai. Secara biologis kemampuan anak sama
dengan orang dewasa, namun secara psikosial dianggap masih labil.
Mereka dianggap tidak pantas berperilaku seperti anak-anak tetapi
lingkungan juga tidak mengakui mereka sebagai orang dewasa.
Pada usia ini, remaja mulai menunjukkan identitas dirinya, baik
dalam seksual, umur dan pekerjaan. Kelompok teman sebaya
menjadi sangat penting bagi remaja. Melalui teman sebaya, remaja
dapat mengeksprersikan perasaan, pikiran, memainkan peran dan
bereksperimen dengan peran. Dalam kelompok inilah remaja
mendapat pengakuan dan menerima keberadaannya. Sikap orang
tua yang terbuka, mengembangkan komunikasi yang akrab,
menghargai pendapat dan pikiran remaja, memberikan kesempatan
untuk mengekspresikan diri sebagai sahabat bagi remaja akan
sangat membantu remaja dalam memperoleh identitas dirinya.
Sikap orang tua dan lingkungan yang tidak mendukung ke arah
remaja menemukan identitas dirinya dengan selalau saling
bertentangan akan menimbulkan kegagalan perkembangan yaitu
terjadi kebingungan peran yang ditunjukkan dengan perilaku tidak
mempunyai tujuan hidup yang pasti, tidak mampu bertanggung
jawab terhadap perbuatannya sendiri dan mengadopsi nilai-nilai
orang lain tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu. Pada kondisi
lebih lanjut mengakibatkan menarik diri.
f. Masa usia 20 – 40 tahun (Conflik intimacy vs isolation). Tahap ini
merupakan tahap perkembangan dewasa awal. Individu mulai
bekerja dan meningkatkan hubungan yang khusus dengan lawan
jenisnya. Usia ini dapat juga dikatakan sebagai karier dan berumah
tangga. Pada usia ini individu biasanya juga sudah terlepas dari
orang tuanya sehingga kegagalan maupun kesuksesan dalam tahap
perkembangan ini lebih banyak ditentukan oleh dirinya sendiri dan
pasangan hidupnya daripada orang tuanya. Kegagalan dalam
memenuhi perkembangan pada tahap ini mengakibatkan individu
merasa terisolasi dan mearik diri.
g. Masa usia 40 – 60 tahun (Conflik generativity vs stagnation). Usia
40 – 60 tahun merupakan usia ketika seseorang mengalami titik
karier puncak. Pada usia ini, individu akan menghasilkan sesuatu
yang dapat ditawarkan kepada keturunannya. Dapat berupa tulisan,
ide atau pikiran. Individu pada tahap perkembangan ini akan
banyak memberikan nasihat dan pengarahan. Kegagalan pada tahap
perkembangan ini berakibat individu mengalami stagnasi dimana
individu lebih banyak menceritakan dirinya sendiri daripada
mendengarkan orang lain. Implikasinya terhadap perkembangan
psikososial dimana individu akan dijauhi dan menjauhkan diri dari
orang lain dan lingkungannya yang disebut dengan menarik diri.
h. Masa usia 65 tahun keatas. Masa ini, individu akan mengalami
masa kepuasan dan ketidakpuasan dalam kehidupannya. Bila dalam
tahap perkembangan sebelumnya individu mengalami kepuasan dan
siap mengalami penurunan fungsi hidupnya bahkan kematian. Hal
ini disebut dengan individu telah mencapai integritas diri.
Kegagalan pada usia ini, mengakibatkan individu akan mengalami
keputusasaan hidup atau despair dengan berperilaku menangis dan
apatis, sulit menerima perubahan dan sangat bergantung pada orang
lain (tidak mandiri). Jika tidak mendapatkan perhatian
mengakibatkan individu menarik diri dari orang lain dan
lingkungan.

3. Teori sosiokultural dan hubungannya dengan menarik diri


Menurut Kartini Kartono (1999, dikutip oleh Sunaryo, 2004)
menyebutkan bahwa timbulnya gangguan mental/gangguan jiwa ditinjau
dari factor sosial-budaya/sosio-kultural sebagai berikut:
a. Konflik dengan standar social dan norma etis. Gangguan mental
dapat terjadi karena individu tidak mampu berperilaku sesuai
dengan standar social dan norma etik yang berlaku sehingga dalam
kehidupan social akan terjadi benturan dengan masyarakat yang
menganut standar social dan norma etik tertentu.
b. Overproteksi orang tua. Akibat dari overproteksi atau perlindungan
orang tua yang berlebihan terhadap anak mengakibatkan anak
menjadi tidak mandiri, tidak percaya diri, tidak memiliki harga diri,
ragu-ragu dan tidak memiliki kreativitas dan inisiatif. Dengan
demikian mentalitas anak menjadi rapuh sehingga dapat
diasumsikan bahwa lama kelamaan individu akan menarik diri dari
orang lain dan lingkungan.
c. Anak yang ditolak/tidak diterima dalam kelahirannya (rejected
child)
Sering terjadi pada pasangan suami-isteri yang belum dewasa
secara psikis sehingga pada saat hamil dan melahirkan cenderung
menolak atau tidak mau bertanggung jawab sebagai ayah dan ibu
yang baik (tidak cukup memberikan kasih saying). Hal ini dapat
membentuk pribadi anak yang labil, mentalitas yang rapuh karena
tidak percaya diri, tidak meiliki harga diri dan curiga sehingga dapat
menimbulkan menarik diri dari hubungan social.
d. Kondisi broken home. Keluarga yang broken home mengakibatkan
anak mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan, hati yang
kacau, bingung, sedih, hidup terombang-ambing antara kasih
sayang dan kekecewaan terhadap orang tua. Selanjutnya anak
menjadi mudah tersinggung, kesedihan yang berlebihan, putus asa,
merasa terhina dan merasa berdosa. Perilaku anak akan
menyimpang dari norma social seperti agresif, sadistic, kriminal
dan psikopatis. Kondisi ini mengakibatkan individu dijauhi atau
menjauhkan diri dari orang lain dan lingkungan social.
e. Konflik budaya. Pertemuan budaya antara daerah atau suku bangsa
yang satu dengan lainnya membutuhkan saling pengertian dan
adaptasi sosial. Apabila terjadi konflik budaya dapat menimbulkan
kecemasan, ketakutan dan kehidupan perasaan semakin datar,
dingin dan beku. Ekses yang terjadi adalah perilaku yang
menyimpang seperti tindakan kejahatan, kekalutan bathin dan stress
psikososial. Kesemuaannya itu akan membawa individu pada
kondisi menarik diri dari hubungan social.
f. Lingkungan sekolah yang tidak kondusif. Lingkungan sekolah yang
tidak kondusif seperti temperamen guru yang kejam, aktivitas
peserta didik yang tertekan, bangunan tidak memenuhi syarat, tidak
memiliki tempat rekreasi, dan sebagainya berimplikasi terhadap
gangguan emosi anak serta konflik yang menjurus pada gangguan
psikososial. Anak menjadi minder, tidak ada kebanggaan diri dan
menurunnya kreatifitas sehingga berdampak pada harga diri yang
rendah sehingga mengakibatkan menarik diri dari hubungan
sosialnya.
g. Cacat jasmaniah. Anak yang cacat jasmani cenderung merasa malu,
minder, dibayangi ketakutan, keragu-raguan akan masa depannya
sehingga menimbulkan harga diri rendah yang menjurus pada
menarik diri.
Motif kemewahan materi/financial. Dewasa ini orang berlomba-lomba
untuk memperoleh kemewahan material/finansial. Kebahagiaan hidup
diukur dari suksesnya sesorang menduduki jabatan tinggi, status social dan
sukses finasial. Karena ukuran hidupnya/harga dirinya adalah sukses
finansial, sementara kenyataannya tidak sesuai dengan harapan maka
individu merasa renhdah diri atau martabatnya menurun. Akibatnya
menjauhkan diri dari hubungan social dan lingkungan.

D. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal, meliputi:
1. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah
dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian
karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini
dapat menimbulkan isolasi sosial.
2. Stressor Biokimia
Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik
serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
3. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO
adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya
MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
4. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien
skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena
dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun
penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah
laku psikotik.
5. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala
psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel
otak.
6. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
7. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk
mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena
ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas
yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan
terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah
serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga
perkembangan psikologis individu terhambat.
E. Pohon Masalah
Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Deficit perawatan diri Perubahan persepsi sensori : Halusinasi

Malas beraktifitas Isolasi Sosial

Harga diri rendah kronis

F. Tanda dan Gejala


Menurut Purba, dkk. (2008)
Inefektif tanda
koping dan gejala isolasi sosial yang dapat
individu Inefektif Koping Keluarga
ditemukan dengan wawancara, adalah:
1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6. Pasien merasa tidak berguna
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

Mengidentifikasi data subyektif


1. Mengungkapkan perasaan tidak berguna, penolakan oleh lingkungan
2. Mengungkapkan keraguan tentang kemampuan yang dimiliki

Mengidentifikasi data objektif


1. Tampak menyendiri dalam ruangan
2. Tidak berkomunikasi, menarik diri
3. Tidak melakukan kontak mata
4. Tampak sedih, afek datar
5. Posisi meringkuk di tempat tidur dengang punggung menghadap ke
pintu
6. Adanya perhatian dan tindakan yang tidak sesuai atau imatur dengan
perkembangan usianya
7. Kegagalan untuk berinterakasi dengan orang lain didekatnya
8. Kurang aktivitas fisik dan verbal
9. Tidak mampu membuat keputusan dan berkonsentrasi
10. Mengekspresikan perasaan kesepian dan penolakan di wajahnya

G. Akibat yang ditimbulkan


1. Perilaku isolasi sosial : menarik diri dapat berisiko terjadinya perubahan
persepsi sensori halusinasi. Perubahan persepsi sensori halusinasi adalah
persepsi sensori yang salah (misalnya tanpa stimulus eksternal) atau
persepsi sensori yang tidak sesuai dengan realita/kenyataan seperti
melihat bayangan atau mendengarkan suara-suara yang sebenarnya tidak
ada.
2. Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari panca
indera, di mana orang tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun yang
dapat disebabkan oleh psikotik, gangguan fungsional, organik atau
histerik.Halusinasi merupakan pengalaman mempersepsikan yang
terjadi tanpa adanya stimulus sensori eksternal yang meliputi lima
perasaan (pengelihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman,
perabaan), akan tetapi yang paling umum adalah halusinasi
pendengaran.

H. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi Psikofarmaka
a. Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial
dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental:
faham, halusinasi. Gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau
tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari,
tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan
rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut,
akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe).
Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk
pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
b. Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental
serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping
seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat
mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama jantung.
Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy,
kelainan jantung (Andrey, 2010).
c. Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan
idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan
fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering,
penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi
terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut
sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan
strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing
strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat
mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan pasien
mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak
berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan
memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain ke
dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan
cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien memasukkan
kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu
kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang
atau lebih dan menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal
kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL) adalah tingkah laku yang berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
 Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
 Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB
dan BAK.
 Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
 Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
 Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
 Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
 Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti
dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak
merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya
tanpa tujuan yang positif.
 Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi
tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala
primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang
dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi
bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.
b. Tingkah laku sosial adalah tingkah laku yang berhubungan dengan
kebutuhan sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang
meliputi:
 Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya
menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan
sebagainya.
 Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,
menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada
kesulitan dan sebagainya.
 Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu
berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling
menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam
berkomunikasi.
 Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih
dari dua orang).
 Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan
dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah
sakit.
 Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata
krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas
maupun orang lain.
 Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang
bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori
lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak
membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.
4. Penatalaksanaan asuhan keperawatn pada pasien isolasi sosial terdiri dari
penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis.
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial meliputi
metode pendekatan proses keperawatan dan terapi modalitas.
Metode Pendekatan Proses Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu metode pemberian asuhan keperawatan
yang sistematis dan rasional. Enam fase atau langkah dari proses
keperawatan tersebut meliputi pengkajian, perumusan diagnosa
keperawatan, engidentifikasian outcame, perencanaan, implementasi dan
evaluasi.
Pengkajian Asuhan Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dari dasar utama dari proses
keperawatan, tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa
faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping
dan kemampuan koping yang dimiliki klien. Menurut Keliat (2010,
hlm.93) untuk melakukan pengkajian pada pasien dengan isolasi sosial
dapat menggunakan teknik wawancara dan observasi.

I. Asuhan Keperawatan
Data yang perlu dikaji
1. Resiko perubahan persepsi - sensori : halusinasi
Data Subjektif :
a. Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan
dengan stimulus nyata.
b. Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata.
c. Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus
d. Klien merasa makan sesuatu.
e. Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
f. Klien takut pada suara / bunyi / gambar yang dilihat dan didengar
g. Klien ingin memukul/ melempar barang-barang.

Data Objektif
a. Klien berbicara dan tertawa sendiri
b. Klien bersikap seperti mendengar/ melihat sesuatu
c. Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu.
d. Disorientasi.
2. Isolasi Sosial : menarik diri
Data Subyektif
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap
diri sendiri.
Data Obyektif
Kslien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri/ ingin mengakhiri hidup.
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Data Subyektif
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap
diri sendiri.
Data obyektif
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri/ ingin mengakhiri hidup.

J. Diagnosa keperawatan yang mungkin munculss


Menurut Nanda (2012-2014) masalah keperawatan yang sering terjadi
pada klien halusinasi adalah:
1. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah ketidakefektifan koping
individu : koping defensife
3. Resiko bunuh diri dengan factor resiko riwayat upaya bunuh diri sebelum
INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa NOC NIC

1 Hambatan Setelah dilakukan tindakan  Social Interaction Skill


 Socialization Enhancement
interaksi social keperawatan selama ….x 24
1. Dorong pasien agar terlibat dalam minat yang
jam Klien dapat berinteraksi
dmiliki
dengan orang lain baik secara 2. Dorong pasien lebih sensitive terhadap orang
individu maupun secara lain
3. Kaji kemampuan klien membina hubungan
berkelompok dengan kriteria
dengan orang lain.
hasil :
4. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan
 Communication : Exspressive dengan orang /bersosialisasi dan melakukan
1. Klien dapat membina hubungan aktivitas dalam masyarakat
saling percaya. 5. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan
2. Dapat menyebutkan penyebab yang telah dicapai.
isolasi sosial.
3. Dapat menyebutkan keuntungan
berhubungan dengan orang lain.
4. Dapat menyebutkan kerugian
tidak berhubungan dengan
orang lain.
5. Dapat berkenalan dan bercakap-
cakap dengan orang lain secara
bertahap.
6. Terlibat dalam aktivitas sehari-
hari
2 Harga Diri Setelah dilakukan tindakan  Self-esteem Enhancement
1. Bina hubungan saling percaya dengan
Rendah. keperawatan selama ….x 24
menggunakan prinsip komunikasi terapetutik :
jam Klien dapat berinteraksi
- Sapa klien dengan ramah baik verbal
dengan orang lain baik secara
maupun non verbal.
individu maupun secara - Perkenalkan diri dengan sopan.
- Tanyakan nama lengkap klien dan nama
berkelompok dengan kriteria
panggilan yang disukai klien.
hasil :
- Jelaskan tujuan pertemuan
- Jujur dan menepati janji
 Self-Esteem - Tunjukan sikap empati dan menerima klien
- Pasien mengatakan menerima
apa adanya
dirinya - Beri perhatian kepada klien dan perhatikan
- Mampu berkomunikasi
kebutuhan dasar klien.
dengan baik 2. Monitor tanggapan pasien terhadap dirinya
- Klien mampu menjaga kontak
sendiri
mata saat berinteraksi 3. Pertahankan kontah mata pasien saat
- Klien mampu mengurus
berkomunikasi
penampilan dan kebersihan 4. Dorong pasien untuk menerima kekurangan
dirinya dirinya
- Klien mampu berhadapan 5. Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan dalam
langsung dengan orang lain dirinya
6. Berikan fasilitas, lingkungan, dan aktivitas
untuk meningkatkan harga diri
7. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan
aspek positif yang dimiliki
8. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan
yang telah dicapai
3. Resiko bunuh Setelah dilakukan tindakan  Suicide Prevention
1. Fasilitasi dukungan dari keluarga dan teman
diri keperawatan selama ….x 24
untuk pasien
jam Klien dapat berinteraksi
2. Monitor pasien selama masih menggunakan
dengan orang lain baik secara
benda tajam
individu maupun secara 3. Dekati pasien secara langsung, tidak
berkelompok dengan kriteria menghakimi saat membicarakan tentang bunuh
hasil : diri
4. Konsultasikan dengan tim medis sebelum
 Abuse recovey : Emotional melakukan pencegahan bunuh diri
 Depression Level 5. Anjurkan pasien menggunakan strategi koping
- Klien mampu mengontrol
untuk mengatasi masalah
tekanan 6. Diskusikan dengan pasiententang perasaannya
- Klien tidak depresi
- Klien tidak mencoba melakukan
bunuh diri
- Klien mampu melakukan
interaksi social yang positif
- Klien tidak kehilangan aktivitas
yang diminati
- Kien tidak merasa kesedihan
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, A.B. (2000). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri.
Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia
Perry, Potter. 2005 .Buku Ajar Fundamental Keperawatan.Jakarta : EGC
Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
www.erfanhiyandi.blogspot.com/askep_isolasi sosial.html. Di akses 17
Desember 2014.

Anda mungkin juga menyukai