Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH ALGORITMA “CEDERA KEPALA”

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana

Dosen Pembimbing Ns. Arista Maisyaroh, S.Kep., M.Kep

Oleh

Siti Rohania Adi Suryaningsih 172303101001

Nora safira 172303101022

M. Zakky Ismail 172303101024

Fara Oktavia 172303101026


Auliya faylina rahman 172303101036

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul Makalah Algoritma “Cedera Kepala” dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.

Saya sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Pada kesempatan ini saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak, yang akan banyak membantu demi perbaikan dan kesempurnaan makalah.

Saya ucapkan terima kasih dan berharap semoga makalah ini bermanfaat dan dapat
digunakan sebagai suatu acuan untuk pembuatan makalah berikutnya yang lebih baik.

Lumajang, 09 Oktober 2019

Penulis
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, A.
2011). Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang
merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh perubahan peningkatan dan percepatan faktor
dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak
sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012)
WHO (Word Health Organization) menyatakan bahwa kematian pada cidera kepala
diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas. WHO mencatat pada tahun 2013 terjadi kematian
yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas dengan jumlah 2500 kasus. Di Amerika Serikat,
kejadian cidera kepala setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus dengan prevalensi
kejadian 80% meninggal dunia sebelum sampai rumah sakit, 80% cidera kepala ringan, 10%
cidera kepala sedang dan 10% cidera kepala berat, dengan rentang kejadian 15-44 tahun.
Persentase dari kecelakaan lalu lintas tercatat sebesar 48-58%
Berdasarkan data dari Polrestabes Semarang (2015), bahwa angka kecelakaan lalu lintas
masih tinggi. Pada tahun 2012-2013, tercatat 2.807 kasus yang menimbulkan 460 orang
meninggal dunia, 231 orang mengalami luka berat, dan 3443 orang mengalami luka ringan.
Angka kecelakaan tersebut adalah angka kecelakaan yang tercatat saja (reported accidents),
kenyataanya bisa melebihi dari angka kecelakaan tersebut, karena pada kenyataannya
masyarakat kadang enggan melaporkan kejadian kecelakaan tersebut pada pihak yang
berwenang. Dari data tersebut maka diperlukan adanya upaya untuk mengurangi jumlah
kecelakaan.
Kabupaten/kota yang melaporkan kejadian kecelakaan lalulintas pada tahun 2012 sebanyak
14 kabupaten/kota menurun dibandingkan dengan tahun 2011 sebanyak 25 kabupaten/kota.
Angka kecelakaan lalulintas per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar
26,28 per 100.000 penduduk sedangkan tahun 2011sebesar 94,80 per 100.000 penduduk
sementara Angka kematian kecelakaan lalu lintas tahun 2012 adalah sebesar 0,91 per 100.000
penduduk di Provinsi Jawa Tengah (Dinkes, 2012).
Di Kabupaten Purbalinga menurut Sugianto & Santi (2015) bahwa karakteristik kecelakaan
lalu lintas di Kabupaten Purbalingga selama periode 2010 s.d 2013, ditinjau berdasarkan tingkat
fatalitas korban yaitu terdapat 191 korban meninggal dunia, 26 korban luka berat dan 2404
korban luka ringan.

Jumlah korban meninggal dunia terbanyak terjadi pada tahun 2013 dengan 91 korban,
jumlah korban luka berat tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 18 korban luka berat dan luka
ringan tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu 913 korban luka ringan. Dengan semakin
meningkatnya jumlah korban yang meninggal dunia maka hal ini mengindikasikan bahwa
tingkat fatalitas dan keparahan korban kecelakaan semakin tinggi. Jumlah korban yang
meninggal dunia dari tahun 2011 s.d 2013 selalu mengalami kenaikan yang sangat signifikan
dari tahun ketahun berikutnya.
Hasil data catatan medis di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga dr. R Goeteng
Taroenadibrata pada tahun 2016 dari bulan Januari - April telahdidapatkan 5 sistem teratas yang
ditemukan dalam semua kasus secara berurutan dengan jumlah kasus yang ditemukan yaitu:
Sistem imun menduduki peringkat pertama, peringkat kedua kardiovaskuler, ketiga
Gastrointestinal, keempat neuromuscular dan kelima perkemihan. Pada sistem Neuromuscular
terdapat 5 kasus terbanyak yang dijumpai dari bulan januari- April 2016 yaitu cerebral infark
turbun soesific dengan jumlah 132 kasus, stroke hemoragic 96 Kasus, unspesified injury of head
37 kasus, Meningoenchepalitis 21 kasus dan CKB 15 kasus.
Pada kasus CKR didapatkan data diruang Menur sebanyak 6 , Dahlia 18, Gardena lama
4, Gardena Baru 9. Sedangkan pada saat penulis melakukan praktek di Ruang Dahlia selama 2
hari terdapat 1 pasien yang menderita CKR.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana Konsep Penyakit cidera kepala?
1.2.2 Bagaimana konsep asuhan keperawatan Penyakit cidera kepala?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis masalah tentang asuhan keperawatan Cidera Kepala
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui definisi dari Cidera Kepala
1.3.2.2 Mengetahui etiologi Cidera Kepala
1.3.2.3 Mengetahui manifestasi klinis Cidera Kepala
1.3.2.4 Mengetahui klasifikasi Cidera Kepala
1.3.2.5 Mengetahui patofisiologi Cidera Kepala
1.3.2.6 Mengetahui pemeriksaan diagnostik/ penunjang Cidera Kepala
1.3.2.7 Mengetahui konsep asuhan keperawatan Cidera Kepala
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, A.
2011). Cidera kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Trauma tenaga dari luar yang mengakibatkan
berkurang atau terganggunya status kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik
dan emosional (Judha & Rahil, 2011).

Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis
pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan
perubahan bentuk di pengaruhi oleh perubahan peningkatan dan percepatan faktor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012)

Jadi, cidera kepala ringan adalah cidera karena tekanan atau kejatuhan yang di tandai
denngan GCS 13-15 dan mengeluhkan pusing.

2.2 Etiologi

Penyebab cedera kepala terdiri dari kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, kecelakaan
industri, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga, trauma akibat persalinan. Menurut
Mansjoer (2011), cidera kepala penyebab sebagian besar kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

2.3 Manifestasi Klinis

Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cidera kepala antara lain:

1) Skull Fracture

Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung (othorrea,
rhinorhea), darah dibelakang membran timphani, periobital ecimos (brill haematoma), memar
didaerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra
penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata, dan vertigo.

2) Concussion

Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5 menit, amnesia
retrograde, pusing, sakit kepala, mual dan muntah. Contusins dibagi menjadi 2 yaitu cerebral
contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat:

a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan atau cepat.

b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak bagian atas
(saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalan pupil.

2.4 Klasifikasi Cedera Kepala antara lain:


Tabel 2.1 Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai
Glasgow Coma Scale (GCS)
Penentuan Deskripsi
Keparahan
Minor/ Ringan GCS 13 – 15
Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat terjadi
kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit
dan disorientasi. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia
cerebral, hematoma.
Sedang GCS 9 – 12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah yang
sederhana atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat GCS 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma
intracranial. Dengan perhitungan GCS sebagai berikut:
 Eye : nilai 2 atau 1
 Motorik: nilai 5 atau <5

 Verbal : nilai 2 atau 1

Tabel 2.2 Skala Koma Glasgow

1. Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2.Respon Verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara Tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Total 3 – 15

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat cedera
kepala. Menurut Judha (2011), berdasarkan derajat penurunan tingkat kesadaran serta ada
tidaknya defisit neurologik fokal cidera kepala dikelompokan

2.5 Patofisiologi

Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang belakang.
Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik. Kepala dapat dipukul,
ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat yang langsung terkena pukulan atau
penyebab tersebut dinamakan dampak atau impact. Pada impact dapat terjadi (1) indentasi, (2)
fraktur linear, (3) fraktur stelatum, (4) fraktur impresi, atau bahkan (5) hanya edema atau
perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya
lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau fraktur impresi (Mardjono & Sidharta, 2010).

Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis karena (1)
trauma langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf otak, (3) traksi terhadap saraf otak
ketika otak tergeser karena akselerasi, atau (4) kompresi serebral traumatik akut yang secara
sekunder menekan pada batang otak. Pada trauma kapitis dapat terjadi komosio, yaitu pingsan
sejenak dengan atau tanpa amnesia retrograd. Tanda-tanda kelainan neurologik apapun tidak
terdapat pada penderita tersebut. Sedangkan kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan
kesadaran untuk waktu yang lama. Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse
ascending reticular system. Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami
kerusakan yang irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula
spinalis mudah terbentang dan teregang waktu kepala bergerak secara cepat dan mendadak.
Gerakan cepat dan mendadak itu disebut akselerasi. Peregangan menurut poros batak otak ini
dapat menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus, sehingga selama
itu otak tidak mendapat input aferen, yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang
terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).

Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh (1) kontusio
serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4) perdarahan epidural, atau (5)
perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya destruktif trauma. Pada
mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah disebutkan sebelumnya, terjadi gerakan cepat
yang mendadak (akselerasi). Selain itu, terdapat penghentian akselerasi secara mendadak
(deakselerasi). Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact
dan penggeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah impact. Adanya akselerasi tersebut
menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif, yang
akhirnya akan menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan duramater. Lesi
kontusio di bawah impact disebut lesi kontusio coup, sedangkan lesi di seberang impact disebut
lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta, 2010).
2.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos tengkorak (skull X-ray).
b. Angiografi serebral.
c. Pemeriksaan MRI
d. CT scan: Indikasi muntah-muntah, penurunan GCS lebih dari 1 point, adanya laterasi dan

bradikardi (nadi<60x/menit), fraktur impresi dengan lateralisasi tidak sesuai, tidak ada

perubahan selama 3 hari perawatan dan luka tembus benda tajam/peluru.


e. Pemeriksaan diagnostic
a. Laboratorium
1. GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau oksigenasi dan

peningkatan tekanan intrakranial (TIK).


2. Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang

memperberat peningkatan TIK, sedangkan peningkatan laju dari

metabolisme dan diaforesis dapat menyebabkan hipernatremia.


a. Pencitraan
1. CT scan diperlukan untuk mengidentifikasi adanya hematoma, hemoragi,

kontusia, fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran jaringan

otak.
2. MRI untuk memeriksa defisit neurologis yang tidak terdeteksi oleh CT

scan.
b. Prosedur Diagnostik
1. EEG diperlukan untuk mengidentifikasi adanya gelombang patologis.
2.7 Asuhan Keperawatan Kritis Stroke Non Hemoragik
1. Pengkajian

Pengkajian asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala menurut Yasmara dkk

(2016) “Pengkajian Pola Kesehatan Fungsional” adalah sebagai berikut :

a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama

Keluhan utama pada pasien gangguan sistem saraf biasanya akan terlihat bila

sudah terjadi disfungsi neurologis, keluhan yang didapatkan meliputi kelemahan

anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, konvulsi,
sakit kepala hebat, tingkat kesadaran menurun (GCS <15), akral dingin dan

ekspresi rasa takut.

2) Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada gangguan neurologis riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan

meliputi adanya riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada saat pasien sedang

melakukan aktivitas, keluhan pada gastrointestinal seperti mual muntah bahkan

kejang sampai tidak sadar di samping gejala kelumpuhan separuh badan.

3) Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian riwayat penyakit dahulu diarahkan pada penyakit penyakit yang

dialami sebelumnya yang kemungkinan mempunyai hubungan dengan masalah

yang dialami klien sekarang seperti adakah riwayat penggunaan obat obat,

tekanan darah tinggi.

4) Riwayat Penyakit Keluarga

Pengkajian riwayat penyakit keluarga diarahkan pada penyakit penyakit yang

terjadi pada keluarga pasien secara garis keturunan maupun yang tinggal serumah

yang dapat mempengaruhi kesehatan pada pasien. Buat genogram untuk

mengetahui alur keturunan jika terdapat faktor penyakit keturunan.

5) Pola Metabolik

Kaji kesulitan menelan dan adanya mual muntah (yang berkaitan dengan

perdarahan).

6) Pola Eliminasi

Kaji adanya inkontinensia urin atau feses.

7) Pola Aktivitas
Kaji adanya kelemahan pada satu sisi tubuh (hemiplegi).

8) Pola Persepsi
a) Kaji pasien apabila tidak memahami penjelasan dari apa yang telah terjadi

atau menanggapi pertanyaan.


b) Kaji pasien saat mengeluh pusing, mengantuk, sakit kepala, leher kaku, dan

merasakan nyeri atau sakit di kaki.


c) Kaji pola pikir pasien, emosi labil dan perubahan perilaku.
9) Pola Istirahat

Kaji gejala-gejala dari trombosis saat tiduratau saat bangun tidur.

10) Kardiovaskular

Kaji adanya hipertensi atau hipotensi.

11) Paru-paru

Kaji respirasi pasien apakah terjadi takipnea atau bradhipnea.

12) Neurologis

Kaji adanya kejang, perubahan tingkat kesadaran, kaku kuduk, gangguan memori,

kebingungan, perdarahan retina, hemiparalise, hemianopia (defisit bidang visual

pada satu atau kedua mata), apraxia (keridakmampuan untuk melakukan tindakan

terarah), afasia reseptif (ketidakmampuan untuk memahami kata-kata) atau

ekspresif (ketidakmampuan untuk mengucapkan kata-kata), agnosia

(ketidakmampuan untuk mengenali obyek secara detail), disorientasi, ukuran

pupil yang abnormal, disfagia, dan defisit sensorik.

13) Integumen

Kaji Cappilary Refill Time (CRT), turgor kulit dan adanya tanda sianosis.

2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosa dan fokus intervensi menurut Holloway (2004) adalah :


a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret.

Tujuan : Mempertahankan jalan napas paten dan mencegah komplikasi paru,

dengan kriteria hasil pasien tidak sesak nafas, tidak terdapat ronchi, wheezing maupun

terdapat suara nafas tambahan, tidak terdapat retraksi otot bantu pernafasan,

pernafasan teratur (16-20 x/menit).

Intervensi:

1) Posisikan pasien lebih tinggi dari jantung atau miring jika memungkinkan.

Posisikan pasien dengan tepat agar tidak menghambat ekspansi dada.


2) Berikan terapi oksigen sesuai advice.
3) Posisikan pasien yang mengalami hemiplegi dengan tepat agar tidak

menghambat atau memperberat ekspansi dada.


4) Dorong pasien untukmelakukan batuk efektif (kecuali pada pasien dengan CVA

hemoragik) dan nafas dalam setiap 2 jam saat terjaga. Lakukan suction jika

diperlukan karena terjadi penumpukan secret.


5) Nilai suara paru setidaknya setiap 4 jam. Perhatikan juga kecukupan upaya

pernapasan, tingkat dan karakteristik pernapasan, dan warna kulit. Selidiki

kegelisahan segera, terutama pada pasien afasia.


6) Evaluasi kemampuan menelan pasien. Jika pasien mengalami kesulitan

menelan bantu atau mengamati makan pasien.


b. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

iskemia jaringan otak.

Tujuan : Meningkatkan perfusi jaringan otak dengan kriteria hasil pasien tidak

gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang, GCS E4, M6, V5, pupil

isokor, refleks cahaya baik, tanda-tanda vital normal (tekanan darah : 100-140/80-

90 mmHg, nadi : 60-100 x/menit, suhu : 36-36,7ºC, RR : 16-20x/menit).

Intervensi:
1) Nilai status neurologis, memeriksa tingkat kesadaran, orientasi, kekuatan kaki,

respon di bawah naungan, dan tanda-tanda vital setiap jam. Laporkan setiap

ada kelainan atau perubahan, terutama penurunan kesadaran dan mengalami

kelemahan, kegelisahan, ukuran pupil yang tidak sama, pelebaran tekanan nadi,

kejang, sakit kepala parah, vertigo, pingsan, atau mimisan.


2) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30º dengan letak jantung dan berikan

oksigen tambahan sesuai advice.


3) Monitor tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi

pernapasan.
4) Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular.

Tujuan : Meminimalkan efek imobilitas dan mencegah komplikasi yang terkaait

dengan kriteria hasil adalah mempertahankan posisi yang optimal dibuktikan

dengan tidak adanya kontraktur, mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dari

fungsi bagian tubuh yang terkena, mendemonstrasikan perilaku yang

memungkinkan melakukan aktivitas, serta mempertahankan integritas kulit.

Intervensi:

a) Menjaga aligment fungsional dalam posisi pasien saat istirahat, bantu pasien saat

melakukan mobilisasi.
b) Latih gerakan aktif pasif dan berbagai latihan gerak untuk semua ekstremitas

setidaknya empat kali sehari. Meningkatkan tingkat aktivitas yang diizinkan,

tergantung pada penyebab CVA. Kolaborasi dengan fisioterapi untuk

merencanakan jadwal rehabilitasi dengan pasien dan keluarga.


c) Dorong pasien untuk melakukan perawatan diri semaksimal mungkin jika tidak

ada kontraindikasi.
d) Pantau pasien jika terdapat tanda komplikasi tromboemboli. Laporsegera setiap

nyeri dada, sesak napas, nyeri, kemerahan atau bengkak di ekstremitas.

Kolaborasi pemberian obat anti trombolitik.


e) Ubah pasien dari sisi ke sisi setidaknya setiap 2 jam, tempat tidur tetap bersih

dan kering.
f) Pertahankan eliminasi yang memadai. jika pasien terpasang kateter latih kembali

sesegera mungkin, menurut sebuah protokol yang ditetapkan atau perintah

medis. Jika pasien tidak tidak terpasang tawarkan pispot setiap 2 jam. Amati urin

pantau jumlah dan warna. memberikan pelunak tinja dan pencahar, seperti yang

diperintahkan dan memantau frekuensi dan karakteristik buang air besar.

Memberikan jaminan bahwa usus dan kandung kemih dapat mengkontrol dengan

baik seperti biasa kembali selama rehabilitasi.


d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan cedera otak.

Tujuan : Meminimalkan efek dari defisit persepsi dan meningkatkan fungsi

neurologis dengan kriteria hasil adalah memperthankan tingkat kesadaran dan

fungsi perceptual, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya kemampuan

residual.

Intervensi:

1) Bangun kedekatan dengan menggunakan secara meyakinkan dan tenang,

kontak mata, dan sentuhan. Memanggil pasien dengan nama panggilannya.


2) Lindungi pasien dari cedera pada sisi yang terjadi hemiparalise. Berikan

pengingat reguler untuk melihat dan menyentuh sisi yang terkena hemiparalise.
3) Pastikan bahwa makanan dan benda-benda di samping tempat tidur di

tempatkan baik dalam bidang visual pasien.


e. Resiko tinggi gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak.

Tujuan : Membangun sarana komunikasi yang efektif, dengan kriteria hasil adalah
terciptanya komunikasi dimana kebutuhan pasiendapat terpenuhi, pasienmampu

merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi :

1) Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana.


2) Hargai kemampuan pasiendalam berkomunikasi.
3) Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien.
4) Kolaborasi ke ahli terapi wicara.

3. Implementasi Keperawatan

Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan tindak keperawatan yang

telah di tentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.

Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah di

susun pada tahap perencanaan. Implementasi dilakukan sesuai prioritas masalah dan

kondisi pasien yang memungkinkan.

4. Evaluasi

Menurut Doenges (2014), evaluasi adalah tahapan yang menentukan apakah

tujuan dari intervensi tersebut tercapai atau tidak. Evaluasi dilakukan menggunakan

metode SOAP. Dan hasil yang diharapkan sebagai indikator evaluasi asuhan

keperawatan pada penderita stroke yang tertuang dalam tujuan pemulangan adalah :

a. Bersihan jalan nafas baik dan paten.


b. Perfusi jaringan otak efektif.
c. Pasien dapat melakukan mobilitas mandiri.
d. Fungsi neurologis pasien dapat meningkat secara bertahap, pasien dapat menelan.
e. Proses komunikasi pasien dapat berfungsi secara optimal.
f. Keluarga dan pasien dapat memahami proses dan prognosis penyakit dan

pengobatanya.
BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera kepala adalah dimana kepala yang mengalami benturan karena jatuh atau juga
karena terkena benda tertentu yang menyebabkan sakit kepala atau bahkan sampai tidak
sadarkan diri.
Cedera kepala primer merupakan cedera awal yang dapat menyebabkan gangguan
integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang menyebabkan kematian sel.
Cedera kepala sekunder merupakan cedera yang terjadi setelah trauma sehingga dapat
menyebabkan kerusakan otak dan TIK yang tidak terkendali, seperti respon fisiologis cedera
otak, edema serebral, perubahan biokimia, perubahan hemodinamik serebral, iskemia
serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.
B. Saran

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan sekali kritik dan saran yang membangun bagi makalah ini, agar
penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Awaloei, A. C., Mallo, N. T. S., & Tomuka, D. (2016). Gambaran cedera kepala yang
menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof Dr . R . D .
Kandou, 4, 2–6.

Martono, Sudiro, & Satino. (2016). Deteksi Dini Derajat Kesadaran Menggunakan
Pengukuran Nilai Kritis Mean Artery Pressure ( Detection of the Degree of Awareness
Using the Measurement of Critical Value Mean Artery Pressure on Nursing Care )
,Keperawatan Polit, 11(73–78).

Ristanto, R. (2015). Deskripsi klien cedera kepala yang mengalami trauma mayor, 31, 48–54.

Ristanto, R., Indra, M. R., Poeranto, S., & Setyorini, I. (2016). Akurasi Revised Trauma Score
Sebagai Prediktor Mortality Pasien Cedera Kepala, 76–90.

Anda mungkin juga menyukai