PENDAHULUAN
Dewasa ini penyakit jantung di kota-kota besar sudah mulai mengalami peningkatan
dan bahkan masuk dalam peringkat teratas penyakit yang menyebabkan kematian. Hal ini
disebabkan perubahan pola hidup khususnya yang paling banyak terjadi di kota besar. Nyeri
dada merupakan keluhan medis yang sering dijumpai. Keadaan ini dapat terjadi akibat
gangguan sirkulasi darah jantung yang berakibat terjadinya kerusakan sebagian jantung atau
dikenal sebagai serangan jantung. Jantung memperoleh darah dari sistem sirkulasi yang
dikenal sebagai peredaran darah koroner. Pembuluh darah ini sering mengalami gangguan
akibat proses perlemakan yang dalam dunia medis dikenal sebagai arteriosklerosis, yaitu
penampang pembuluh darah menyempit. Keadaan ini menyebabkan pasokan darah menuju
jantung berkurang. Bila keadaan ini menjadi parah maka akan terjadi nyeri pada otot jantung
yang tidak mendapat oksigen dalam jumlah yang cukup, akhirnya otot jantung akan mati.
Beberapa keadaan lain yang dapat menyebabkan nyeri dada adalah gangguan pencernaan,
stress dan ketegangan. Penolong harus menganggap semua nyeri dada adalah kasus serangan
jantung. Penyakit jantung banyak ditemukan di perkotaan terutama karena terjadinya
perubahan gaya hidup. Ada beberapa faktor risiko penyakit jantung antara lain: faktor yang
tidak dapat diubah (riwayat penyakit dalam keluarga, jenis kelamin, ada kecenderungan pria
lebih tinggi dari wanita, latar belakang etnis, usia, insiden meningkat pada usia lebih dari 30
tahun); faktor yang dapat diubah (merokok, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi,
aktivitas fisik); dan faktor penyulit (obesitas, diabetes, stres berlebihan) (Anonim, 2009).
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
Keseluruhan sistem peredaran (sistem kardiovaskuler) terdiri dari arteri, arteriola, kapiler,
venula dan vena (Sanjoyo, 2005).
Arteri (kuat dan lentur) membawa darah dari jantung dan menanggung tekanan darah
yang paling tinggi. Kelenturannya membantu mempertahankan tekanan darah diantara denyut
jantung. Arteri yang lebih kecil dan arteriola memiliki dinding berotot yang menyesuaikan
diameternya untuk meningkatkan atau menurunkan aliran darah ke daerah tertentu (Sanjoyo,
2005).
Kapiler merupakan pembuluh darah yang halus dan berdinding sangat tipis, yang
berfungsi sebagai jembatan diantara arteri (membawa darah dari jantung) dan vena
(membawa darah kembali ke jantung). Kapiler memungkinkan oksigen dan zat makanan
berpindah dari darah ke dalam jaringan dan memungkinkan hasil metabolisme berpindah dari
jaringan ke dalam darah. Dari kapiler, darah mengalir ke dalam venula lalu ke dalam vena,
yang akan membawa darah kembali ke jantung. Vena memiliki dinding yang tipis, tetapi
biasanya diameternya lebih besar daripada arteri, sehingga vena mengangkut darah dalam
volume yang sama tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah dan tidak terlalu dibawah tekanan
(Sanjoyo, 2005).
2.2 Definisi
Aritmia didefinisikan sebagai hilangnya ritme jantung terutama ketidakteraturan pada
detak jantung (Sukandar, 2008).
2.3 Epidemilogi
Data epidemiologi yang diperoleh dari New England Medical Journal (2001)
menyebutkan bahwa kelainan struktur arteri koroner merupakan penyebab 80 % gangguan
irama jantung yang dapat berakhir dengan kematian mendadak. Pada Departemen Neurologi
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta diperoleh insiden atrial fibrilasi pada pasien stroke
sekitar 2,2 %. Sedangkan data di ruang perawatan koroner intensif RSCM (2006),
menunjukkan, terdapat 6,7 % pasien mengalami atrial fibrilasi.
2.4 Patofisiologi
1. Aritmia Supraventrikular
Takikardia supraventrikular yang umum yang memerlukan terapi obat adalah fibrilasi
atrium atau flutter atrium, takikardia supraventrikular proksimal, dan takikardia atrium
otomatis.
a. Fibrilasi Atrium atau Flutter Atrium
Fibrilasi atrium dikarakterisasi dengan kecepatan yang ekstrim (400 sampai 600
denyut/menit) dan terjadi ketidakteraturan aktivasi atrium. Selain itu, pada fibrilasi atrium
juga terjadi kehilangan kontraksi atrium, dan impuls supraventrikular masuk ke sistem
konduksi atrioventrikular (AV) pada berbagai tingkatan, yang menyebabakan aktivasi
ventricular tak teratur dan ketidakteraturan denyut (120 sampai 180 denyut/menit).
Flutter atrium dikarakterisasi oleh aktivasi atrium yang cepat (270 sampai 330
denyut/menit) namun teratur. Respon ventricular umumnya memiliki pola yang biasa dan
denyutnya 300 denyut/menit. Aritmia tersebut tidak sesering fibrilasi atrium, tetapi
memiliki factor penyebab, konsentrasi, dan terapi obat yang sama.
Mekanisme utama fibrilasi atrium atau flutter atrium adalah reentry, umumnya
berhubungan dengan penyakit jantung organik yang menyebabkan distensi atrium
(misalnya : iskemia atau infak, penyakit jantung hipertensi, gangguan katup jantung).
Gangguan lain yang berhubungan adalah embolus pulmonary akut dan penyakit paru-paru
kronik hasilnya merupakan hipertensi pulmonary dan cor pulmonale serta tingginya tonus
adrenergic, seperti tirotoksikasi, reaksi putus obat oleh alcohol, sepsis, aktivitas fisik
berlebihan.
b. Takikardia Supraventrikular Paroksismal yang disebabkan Reentry
Takikardia supraventrikular paroksismal (PSVT) muncul karena mekanisme reentrant
termasuk aritmia yang disebabkan oleh reentry nodus AV, reentry AV yang melibatkan
jalur AV anomaly, reentry nodus sinoatrium (SA) dan reentry intra atrium.
c. Takikardia Atrium Otomatik
Takikardia atrium otomatik seperti takikardia atrium multifokal tampaknya berasal
dari focus supraventrikular yang memiliki sifat otomatik meningkat. Beberapa penyakit
pulmonal menjadi penyebab gangguan pada 60 sampai 80% penderita.
2. Aritnia Ventrikular
a. Komplek ventricular premature (premature Ventricular Complexes, PVC)
PVC merupakan gangguan ritme ventricular yang umum terjadi pada penderita dengan
atau tanpa penyakit jantung dan diperoleh secara eksperimental otomatis abnormal,
aktivitas pemacu, atau mekanisme reentrant.
b. Takikardia Ventrikular (VT)
VT diklasifikasikan oleh tiga atau lebih PVC secara bersamaan yang terjadi pada
kecepatan lebih dari 100 denyut/meit. Hal ini umum terjadi pada infak miokardial (MI)
akut. Kasus lainya adalah beberapa kelainan elektrolit (misal : hipokalemia), hipoksemia,
dan toksisitas digitalis. Penyakit kronik yang berulang kali terjadi/sering biasanya
berhubungan dengan adanya penyakit jantung organik yang menyebabkannya
(kardiomiopati akibat dilatasi idiopati atau MI jauh dengan aneurisma vntikel kiri).
VT yang beranjut memerlukan terapi untuk mengembalikan kestabilan ritme yang
berlangsung relative lama (biasanya lebih dari 30 detik). VT yang tidak terus-menerus
berakhir sendiri setelah durasi pendek (biasanya kurang dari 30 detik). VT yang terus-
menerus mengacu pada VT yang terjadi lebih sering dari ritme sinus, oleh karena itu VT
menjadi ritme dominan. Olahraga dapat menginduksi VT yang terjadi selama tonus
simpatetik tinggi (misal: energi fisik yang tinggi). VT monoformik memiliki konfigurasi
QRS yang konsisten sedangkan VT poliformik memiliki kompleks QRS yang beragam.
Torsades de point (TdP) adalah VT poliformik yang kompleks QRSnya terjadi sepanjang
sumbu pusat.
c. Proaritmia Ventrikular
Proaritmia merupakan perkembangan aritmia baru yang signifikan (misal: VT, fibrilasi
ventricular, atau TdP) atau arimia yang lebih parah dari yang sebelumnya. Proaritmia ini
memiliki mekanisme yang sama dengan aritmia lain atau dari perubahan substrat yang
mendasarinya karena obat antiaritmia.
d. Takikardia Monomorfik Ventrikular Tanpa Jeda
Walaupun proaritmia yang terkait dengan obat tipe Ic pada awalnya diperkirakan
terjadi dalam beberapa hari saat dimulainya pemakaian obat, resiko akan selalu ada
selama terapi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penderita pada tipe proaritmia ini adalah
arinia ventrikular, penyakit jantung iskemia, kelemahan fungsi ventricular kiri.
3. Bradiaritmia
Bradiarimia sinus asimptomatik (denyut jantung kurang dari 60 denyut/menit) umum
terjadi pada anak muda dan individu aktif secara fisik. Beberapa penderita dengan
disfungsi nodus (sindrom sinus) disebabkan oleh penyakit jantung organik dan proses
penuaan nomal, gangguan fungsi nodus SA. Nodus sinus biasanya representasi dari
penyakit konduksi yang menyebar, yang dapat disertai blok AV dan takikardia
paroksismal, seperti fibrilasi atrium. Pergantian bradiaritmia dan takiaritmia disebut
sebagai sindrom takibradi. Blok AV atau kondusi AV yang tertunda dapat terjadi di
beberapa area sistem konduksi AV. Blok AV dapat ditemukan pada pasien tanpa penyakit
jantung yang mendasarinya atau selama tidur saat tonus vagal tinggi. Kelainan dapat
terjadi sesaat bila penyebabnya bersifat reversibel (misal: miokarditis, iskemia miokardial,
setelah operasi jantung, selama terapi obat). B bloker, digitalis, atau antagonis kalsium
dapat menyebabkan blok AV terutama pada area nodus AV. Antiaritmia tipe I dapat
memperburuk penundaan konduksi di bawah level nodus AV. Blok AV dapat ireversibel
jika penyebabnya adalah MI akut, penyakit degeneratif yang jarang, penyakit miokardial
primer, atau kondisi kongenital.
(Sukandar dkk, 2008)
2.7 Terapi
2.7.1 Tujuan Terapi
Hasil yang diharapkan tergantung dari jenis aritmianya. Sebagai contoh, tujuan akhir
penanganan fibrilasi atrium adalah mengembalikan ritme sinus, mencegah komplikasi
tromboemboli, dan menjegah kejadian berulang (Sukandar., 2008).
2. Prokainamid
- Farmakokinetik : dosis 1000-1500 mg setiap 8 jam (sebagai tablet retard);
konsentrasi plasma terapeutik 3-14 µg/ml; kuota absorpsi 80-100%; ikatan protein
plasma 20%; t ½ 3 jam; metabolisme di hati asetilasi menjadi N-
asetilprokainamid; eleminasi terutama renal (sampai 60% sebagai obat dalam
keadaan tidak berubah).
- Indikasi : mirip kinidin, profilaksis dan pengobatan awal extrasistol
supraventikuler dan ventrikuler serta takiaritmia (kecuali takiaritmia yang
disebabkan digitalis).
- Perhatian : prokainamid (suatu amida asam) dan analogi struktur dengan anastetik
lokal prokain (ester), namun berlawanan dengannya hanya memiliki sedikit efek
anastetik lokal.
- Kontraindikasi : hipersensitifitas, blockade AV tingkat 2 dan 3, blockade pada
paha, bradikardi, insufisiesi jantung dengan dekompensasi, intoksifikai digitalis.
- Sediaan beredar : procainamid HCL (generik).
(Sukandar dkk, 2008).
3. Disopiramid
- Farmakokinetik : dosis penjenuhan 4 x 0,1-0,2 g per oral dalam 24 jam, dosis
pemeliharaan 2-4 x 0,1-0,2 g per oral dalam 24 jam; konsentrasi plasma terapeutik
2-5 µg/ml; kuota absorpsi 70-90%; ikatan protein plasma 30-40 %; t½ 5-7 jam;
metabolisme di hati terutama N-desalkilasi; eliminasi terutama renal (sampai 50%
sebagai obat dalam keadaan tidak berubah).
- Indikasi : mirip kinidin, profilaksis dan pengobatan ektrasistol supraventrikuler
dan ventrikuler seta takiaritmia (kecuali takaritmia yang disebabkan oleh digitalis).
- Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekompensasi, bradikardi, blockade
AV tingkat 2 dan 3, blockade pada paha, intoksikasi digitalis, dan hipertrofi
prostat.
- Sediaan beredar : Dysopiramid, Norpace, Rytmacor, Rytmilen.
(Sukandar dkk, 2008).
B. Aritmia kelas IB
1. Lidokain
- Farmakokinetik : dosis sebagai antiaritmia mula-mula 100 mg i.v., setelah itu
dengan infuse jangka panjang 4 mg/menit selama 3 jam, setelah itu penguraian
sampai separonya (sambil dikontrol EKG terus-menerus); konsentrasi plasma
terapeutik 2-6 µg/ml; Bioavaibilitas oral hanya 3% (first pass effect yang tinggi);
ikatan protein plasma 50%; t ½ 1-2 jam, pada insufisiensi hati dan pada pemberian
dengan infuse jangka panjang lebih lama (>12 jam); metabolisme penguraian cepat
di hati secara deetilasi oksidatif dan pemecahan ikatan amida; eleminasi terutama
renal, hanya 2% sebagai obat dalam keadaan tidak berubah.
- Indikasi : takikardi ventrikuler dan ekstrasistol (terutama sebagai akibat infark
myocard, setelah tindakan bedah pada jantung serta akibat dari intoksidasi
glikosida jantung). tidak efektif pada gangguan irama atrium.
- Perhatian : lidokain hanya digunakan parenteral karena bioavaibilitasnya sangat
kecil. Dalam bentuk infuse intravena mudah dikendalikan karena t ½ yang pendek.
- Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekomposisi, bradikardi, blockade AV
total, blockade pada paha, dan insufisiensi hati.
- Sediaan beredar : lidocaine
(Sukandar dkk, 2008).
2. Meksiletin
- Farmakokinetik : dosis oral 3 x 200 mg/hari, i.v. pada awal 250 mg/ menit, 250 mg
pada jam berikut, setelah itu 0,5-1 mg/hari sebagai infuse jangka panjang;
konsentrasi plasma terapeutik 0,5-2 µg/ml; bioavaibilitas oral 80-100%; ikatan
protein plasma 55-70%; t ½ 10-20 jam; metabolisme dalam jumlah besar;
eleminasi renal, sampai < 10% sebagai obat dalam keadaan tidak berubah.
- Indikasi : mirip lidokain, takikardi ventrikuler dan ekstrasistol. Secara umum
tidak efektif pada gangguan irama atrium.
- Perhatian : ada kesamaan struktur kimiawi dengan lidokain dan dengan demikian
juga mempunyai efek lokal anastesi. Cocok untuk pengobatan oral jangka panjang.
- Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekomposisi, bradikardi, blockade AV
total, blockade pada paha, dan insufisiensi hati dan ginjal, parkinson.
- Sediaan beredar : Mexitec.
(Sukandar dkk, 2008).
C. Antiaritmia kelas IC
1. Propafenon
- Farmakokinetik : dosis oral 3 x 200 mg/hari, i.v pada awal 250 mg/10 menit, 250
mg pada jam berikut, setelah itu 0,5-1 mg/menit sebagai infuse jangka panjang;
konsentrasi plasma terapeutik 0,2-2 µg/ml; lama efek umumnya 4-8 jam;
bioavaibilitas oral 50% (karena first pass effect); ikatan protein plasma 90%; t ½
3-6 jam, pada yang metabolismenya lambat > 12 jam (polimorfisme genetik);
metabolisme hampir lengkap di hati (hidroksilasi dan konjugasi fase II) menjadi
metabolit yang tidak aktif; eliminasi renal, sampai < 1% sebagai obat dalam
keadaan tidak berubah.
- Indikasi : ektrasistol supraventrikuler dan takiaritmia, fibrilasi atrium paroksismal,
takikardia ventrikuler.
- Kontraindikasi : insufisiensi jantung yang serius, bradikardi, blockade AV tingkat 2
dan 3, blockade pada paha, hipotensi yang menonjol.
(Sukandar dkk, 2008).
2. Flekainid
- Farmakokinetik : dosis 1 mg/kgBB i.v atau 2x100-150 mg p.o/hari; konsentrasi
plasma terapeutik 245-980 ng/ml; lama efek 95%; bioavaibilitas oral 40%; ikatan
protein plasma 90%; t ½ 14-20 jam; metabolisme sebagian besar di hati; eleminasi
renal, sampai kl 25% sebagai obat yang tidak berubah.
- Indikasi : hanya pada takiaritmia ventrikuler yang istimewa berat dan pada aritmia
ventrikuler yang bertahan dan mengancam jiwa.
- Kontraindikasi : insufisiensi jantung yang serius, bradikardi, blockade AV tingkat 2
dan 3, blockade pada paha, hipotensi yang menonjol.
(Sukandar dkk, 2008).
D. Antiaritmia Kelas II
1. Propanolol
- Farmakokinetika : Resorpsinya dari usus baik, first past effect besar hingga hanya
30% mencapai sirkulasi. Sebagian besar zat ini diubah dalam hati menjadi derivat
hidroksinya yang aktif. Ikatan protein plasmanya 90%, plasma t ½ nya 3-6 jam.
Bersifat sangat lipofil sehingga terdistribusi di jaringan dan otak dengan baik (Tjay
dan Rahardja, 2007).
- Dosis : Loading dose; 0,15 mg/kg IV. Dosis setiap hari; Propranolol: 80–240
mg/hari (Burns et al, 2008)
- Efek samping : Bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi,
bronkospasme, vasokontriksi perifer, gangguan saluran cerna, fatigue, gangguan
tidur, jarang ruam kulit dan mata kering (reversible bila obat dihentikan),
eksaserbasi psoriasis (BPOM, 2008).
- Kontraindikasi : asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata,
hipotensi, sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik,
feokromositoma (BPOM, 2008).
- Interaksi obat : alkohol dapat meningkatkan efek hipotensi. Analgesik dan NSAID
dapat memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi beta-blocker. Glikosida
jantung dapat meningkatkan blokade AV dan bradikardi (BPOM, 2008).
2. Metoprolol
- Farmakokinetika : Resorpsinya pesat dan praktis lengkap, bioavailabilitas 40-50%
akibat first past effect agak tinggi. Efek hipotensifnya biasanya agak cepat, dalam
1 minggu dan dapat bertahan sampai 4 minggu. Ikatan protein-plasmanya kurang
lebih 12%, plasma t ½ 3-4 jam. Ekskresinya melalui ginjal sebagai metabolit
inaktif (Tjay dan Rahardja, 2007).
- Dosis : Loading dose; 2,5–5 mg I.V terbagi dalam 2-3 dosis. Dosis setiap hari; 50–
200 mg/hari (Burns et al, 2008)
- Efek samping : Bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi,
bronkospasme, vasokontriksi perifer, gangguan saluran cerna, fatigue, gangguan
tidur, jarang ruam kulit dan mata kering (reversible bila obat dihentikan),
eksaserbasi psoriasis (BPOM, 2008).
- Kontraindikasi : asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata,
hipotensi, sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik,
feokromositoma (BPOM, 2008).
- Interaksi obat : alkohol dapat meningkatkan efek hipotensi. Analgesik dan NSAID
dapat memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi beta-blocker. Glikosida
jantung dapat meningkatkan blokade AV dan bradikardi (BPOM, 2008).
3. Esmolol
- Farmakokinetika : Setelah dosis intravena esmolol dengan cepat dihidrolisis oleh
esterases dalam sel darah merah. Tingkat darah stabil dicapai dalam waktu 30
menit dengan dosis 50-300 mikrogram / kg per menit. Waktu untuk steady state
dapat dikurangi sampai 5 menit, pada memberikan dosis muatan yang sesuai.
Penurunan konsentrasi darah secara bifasik dengan waktu paruh distribusi sekitar 2
menit dan waktu paruh eliminasi sekitar 9 menit. Esmolol memiliki kelarutan lipid
rendah dan sekitar 55% terikat pada protein plasma. Hal ini diekskresikan dalam
urin, terutama sebagai metabolit de-esterifikasi (Sweetman, 2009)
- Dosis : Loading dose; 500 mcg/kg IV selama 1 menit. Dosis sehari; 50–200
mcg/kg/menit continuous infusion (Burns et al, 2008)
- Efek samping : Bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi,
bronkospasme, vasokontriksi perifer, gangguan saluran cerna, fatigue, gangguan
tidur, jarang ruam kulit dan mata kering (reversible bila obat dihentikan),
eksaserbasi psoriasis (BPOM, 2008).
- Kontraindikasi : asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata,
hipotensi, sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik,
feokromositoma (BPOM, 2008).
- Interaksi obat : alkohol dapat meningkatkan efek hipotensi. Analgesik dan NSAID
dapat memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi beta-blocker. Glikosida
jantung dapat meningkatkan blokade AV dan bradikardi (BPOM, 2008).
E. Antiaritmia Kelas III
1. Amiodaron
- Farmakokinetik : dosis penjenuhan 8-10 hari, 600 mg/hari, dosis pemeliharaan 200
mg/hari dengan istirahat pada akhir pekan; konsentrasi plasma terapeutik 0,9-5,3
µg/ml; absorpsi oral sangat lambat (lebih dari 5-10 jam); bioavaibilitas oral 50%
(variasi individual sangat besar); ikatan protein plasma 99-100%; t ½ 1-2 bulan,
maka sulit dikendalikan; metabolisme mis detilasi di hati, banyak penimbunan di
berbagi jaringan; eleminasi di dalam urin tidak ditemukan amiodaron yang tidak
berubah.
- Indikasi: sebagai antiaritmia cadangan, jika antiaritmia lain secara medis tidak
dapat digunakan, takiaritmia supraventrikular dan ventrikuler.
- Perhatian : sebagai antiaritmia cadangan yang berhubungn dengan efek
sampingnya yang berat.
- Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekompensasi, bradikardi, gangguan
konduksi AV, dan gangguan fungsi kelenjar tiroid.
- Interaksi : amiodaron menyebabkan peningkatan konsentrasi digoksin plasma dan
pendesakan keluar jaringan. Amiodaron memperkuat efek penghambatan
pembekuan dari derivate kumarin.
- Sediaan beredar: Carbinok, cardaron.
(Sukandar dkk, 2008).
2. Setalol
- Farmakokinetik : sebagai antiaritmia mula-mula 160 mg/hari, jika perlu dapat
dinaikkan menjadi 320-480 mg/hari (sambil frekuensi jantung diawasi);
konsentrasi plasma terapeutik 1-3 µg/ml; bioavaibilitas oral 90-100%; ikatan
protein plasma tidak ada; eleminasi praktis lengkap renal dalam keadaan obat tidak
berubah.
- Indikasi : takikardi supraventrikular dan ventricular; perlindungan terhadap
pengaruh adrenergik pada hipertiroidisme, sindrom jantung, hiperkinetis, angina
pectoris, dan tekanan darah tinggi.
- Perhatian : setalol termasuk reseptor β bloker (antiaritmia kelas II). Mengenai efek
antiaritmia pada jantung sifat-sifat kelas III lebih menonjol (mirip amiodaron),
sehingga setalol digolongkan di sini.
- Efek santai : sifat simpatolitik.
- Perhatian : pada insufisiensi jantung untuk terapi dengan bloker reseptor β
diperlukan digitalisasi yang memadai.
- Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekompensasi, bradikardi, gangguan
konduksi AV, hipotensi.
(Sukandar dkk, 2008).
F. Antiaritmia Kelas IV
1. Verapamil
- Farmakokinetik : dosis untuk awal terapi 240-280 mg p.o., pengobatan jangka
panjang 80-240 mg p.o. setiap 6-8 jam; konsentrasi plasma terapeutik 60-100;
µg/ml; bioavaibilitas oral hanya 10-22%, walaupun terabsorpsi sampai 90% (first
pass efek tinggi), pada sirosis hati bioavaibilitas dapat naik sampai 80%; ikatan
protein plasma 90%; t ½ 3-7 jam; metabolisme hampir lengkap di hati dengan N-
atau O- demetilasi dan konjugasi perurain; eliminasi sampai 70% renal, sisanya
biliar.
- Indikasi: takikardia supraventrikular, extrasistol atrium, flutter dan fibrilasi atrium
disertai takiaritmia (kecuali pada sindrom Wolff-Parkinson-White), semua bentuk
angina pectoris dan hipertensi.
- Perhatian : verapamil termasuk zat penghambat kanal kalsium, seperti juga
nifedipin dan diltiazem. Walaupun verapamil seperti juga nifedifin, berefek
vasodilatasi pada pembuluh darah resistensi dan pembuluh darah koroner, namun
efek antagonis Ca2+ terhadap jantung lebih utama.
- Kontraindikasi: insufisiensi jantung dengan dekompoensasi, infark miocard yang
baru, syok kardiogenik, bradikardi, gangguan konduksi AV, hipotensi dan blokade
reseptor β.
- Interaksi : hati-hati pada kombinasi dengan β-bloker karena saling menguatkan
efek kardiodepresif.
- Sediaan beredar : Verapamil (generic), Cardiover, isoptil dan vemil.
(Sukandar dkk, 2008).
2. Diltiazem
- Farmakoterapi : dosis 180-360 mg/hari per pral; konsentrasi plasma terapeutik
100-300 mg/ml; bioavaibilitas oral kl 44%, walaupun absorpsi hampir lengkap
(first pass effek tinggi), pada terapi jangka panjang bioavaibilitas dapat naik
sampai 90%, mungkin disebabkan suatu penjenuhan enzim; ikatan protein plasma
78%; t ½ desasetilasi, baik O- atau N- demetilasi oksidatif dan selanjutnya
konjugasi peruraian; eleminasi terutama renal setelah metabolisme lengkap.
- Indikasi : semua bentuk angina pectoris, hipertensi, takikardia supraventrikular,
ektrasistol atrium, flutter dan atrium disertai takiaritmia (kecuali pada sindrom
Wolff-Parkinson-White).
- Perhatian : diltiazem termasuk zat penghambat kanal kalsium, seperti juga
nifedipin dan verapamil. Seperti juga verapamil, digunakan sebagai antiaritmia
karena efek antagonis Ca2+ langsung terhadap jantung. Kekuatan efeknya
tergantung pada efek vasodilatasi pada pembuluh darah resistensi erterial koroner,
posisinya diantara verapamil dan nifedipin.
- Kontraindikasi: insufisiensi jantung dengan dekompoensasi, infark miocard yang
baru, syok kardiogenik, bradikardi, gangguan konduksi AV, hipotensi dan blokade
reseptor β.
- Interaksi : hati-hati pada kombinasi dengan β-bloker karena saling menguatkan
efek kardiodepresif.
(Sukandar dkk, 2008).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Aritmia didefinisikan sebagai hilangnya ritme jantung terutama ketidakteraturan pada
detak jantung
2. Penggolongan antiaritmia dilakukan menurut klasifikasi Vaughn Williams atas dasar
sifat-sifat elekrtofisiologisnya yang diukur di sel-sel myocard tertentu dalam 4 kelas
sebagai berikut yaitu Zat-zat stabilisasi membrane, Beta-blockers, K-chanels blokers
dan Antagonis kalsium.
3. Farmakologi antiaritmia berdasarkan klasifikasinya yaitu antiaritmia kelas IA terdiri
dari kinidin, prokainamid, dan disopiramid. Antiaritmia kelas IB terdiri dari lidokain
dan meksiletin. Antiaritmia kelas IC terdiri dari propafenon dan flekainid. Antiaritmia
kelas II terdiri dari propanolol, metoprolol dan esmolol. Antiaritmia kelas III terdiri
dari amiodaron dan setalol. Antiaritmia kelas IV terdiri dari verapamil dan diltiazem
4. Terapi non farmakologi yang dapat dianjurkan ke pasien adalah merubah gaya hidup
seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita yang
menderita obesitas serta penderita juga dianjurkan untuk berolahraga.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Organ Sistem Peredaran Darah dan Organ Sistem Ekskresi. UPT – Balai
Informasi Teknologi LIPI
Burns, M.A.C., B.G. Wells., T.L. Schwinghammer., P.M. Malone., J.L. Koselar., J.C.
Rotschafer dan J.T. Dipiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc.
BPOM. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta : Sagung Seto
Sanjoyo, R. 2005. Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta : UGM
Sukandar, E. Y., R. Andrajati, J. Sigit, I. K. Adnyana, A. A. P. Setiadi, dan Kusnandar. 2008.
ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI
Tjay, T. H., K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting (Khasiat Penggunaan dan Efek-efek
Sampingnya). Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Weels, B. G., J. T. Dipiro, T. L. Schwinghammer and C. W. Hamilton. 2006.
Pharmacotherapy Handbook Sixth Edition. The McGraw-Hill.