Kasus
Kasus
pesawat dan tidak diperbolehkan ikut dalam penerbangan dari Bandara Internasional
Soekarno-Hatta pada Minggu (3/4/2016) lalu.
Padahal, wanita 36 tahun itu berniat terbang ke Jenewa, Swiss, untuk menghadiri Konvensi
Hak-Hak Penyandang Disabilitas di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Informasi awal diturunkanya Dwi Ariyani oleh Etihad Airlines datang dari suami Dwi yakni
Yonnasfi.
“Terjadi diskriminasi terhadap istri saya sebagai penyandang difabel dengan bantuan kursi
roda oleh maskapai penerbangan International Etihad,” tulis Yonnasfi.
Setelah berada di pesawat sekitar 20 menit, pimpinan kru pesawat menghampiri Dwi dan
menanyakan apakah Dwi bisa melakukan evakuasi bila pesawat mengambil insiden atau
tidak.
“Saya bilang, saya butuh bantuan untuk evakuasi,” kata Dwi dalam petisinya di change.org.
Tak berselang lama, tutur dia, seorang petugas Airport Operation Officer, Abrar,
menghampirinya dan bertanya apakah Dwi bisa berjalan atau tidak.
“Lalu katanya, menurut kru kabin, saya harus turun dari pesawat karena tidak ada
pendamping,” ucap Dwi.
Menurut Dwi, pihak Etihad Airlines berdalih bahwa hal itu sudah sesuai dengan peraturan
penerbangan maskapai tersebut.
Namun kata Dwi, setelah ia membaca aturan penerbangan maskapai Etihad Airlines, ia tak
menemukan bahwa penyandang disabilitas dilarang ikut dalam penerbangan.
Dwi Ariyani kemudian membawa kasusnya itu ke pengadilan, dan pada Senin (4/11/2017)
lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis bahwa Etihad
Airways bersalah dan diwajibkan membayar ganti rugi Rp 537 juta kepada Dwi Ariyani.
“Menimbang, bahwa tergugat I (Etihad Airways) tidak melakukan kewajibannya, maka dapat
dikualifikasikan perbuatan melawan hukum,” kata Hakim Ketua, Ferry Agustina Budi Utami
saat membacakan putusan, dikutip AVIATREN dari KOMPAS.com, Selasa (5/12/2017).
Seperti diketahui, Etihad Airways menurunkan Dwi Aryani dari pesawat karena
menggunakan roda dua tanpa pendampingan dan dianggap dapat membahayakan
penerbangan. Etihad Airways selaku maskapai penerbangan wajib memberikan akses,
fasilitas, dan pendampingan khusus terhadap penyandang disabilitas.
Apalagi syarat Dwi sebagai penumpang telah terpenuhi, yakni memiliki tiket, melakukan
check in, memiliki boarding pass, bahkan sudah masuk pesawat dibantu staff service
bandara.
Ferry mengatakan, Dwi sebagai penumpang dengan kebutuhan khusus berhak mendapatkan
fasilitas tambahan seperti tempat duduk, fasilitas untuk naik dan turun pesawat, fasilitas
selama pesawat mengudara, dan sarana lain yang menunjang untuk penyandang
disabilitas.Ditambah lagi, fasilitas khusus tersebut tidak dikenakan biaya ekstra.
Karena dinyatakan melanggar hukum, maka Etihad Airways wajib membayar ganti rugi
sebagaimana digugat Dwi dalam permohonannya.
Dalam gugatannya, Dwi meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 178 juta dan imateriil sebesar
Rp 500 juta. Namun, hakim menimbang ganti rugi materiil yang harus dibayarkan hanya Rp
37 juta. Sehingga denda yang dijatuhkan pengadilan kepada Etihad Airways adalah Rp 537
juta.
Menurut pertimbangan hakim, sejumlah biaya seperti asuransi dan akomodasi ditanggung
oleh Disability Right Fund (DRF) sebagai pihak yang mengundang Dwi.