Anda di halaman 1dari 5

3 Narasi Sejarah yang Bisa Menggugah Kesadaran Baru

Dalam beberapa waktu belakangan, muncul beberapa kabar yang menggugah kesadaran baru publik di
baik di level lokal, nasional, regional, dan dunia internasional. Kabar tersebut adalah kabar tentang
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia. Tiga di antaranya adalah Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelesaikan rangkaian penyelidikan kasus dugaan
pelanggaran HAM di 'Rumah Geudong'; lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) Amerika merilis ke
publik 34 dokumen rahasia yang mengungkap rentetan laporan pada masa prareformasi yang mana
Prabowo Subianto disebut memerintahkan Kopassus untuk menghilangkan paksa sejumlah aktivis pada
1998; dan dan 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang dibuka ke publik oleh NSA dan National
Declassification Center (NDC) yang menunjukkan dukungan baik dana maupun hal-hal lain, yang
diberikan Amerika kepada militer Indonesia dalam pembunuhan ratusan ribu warga yang dituduh
simpatisan komunis.

sinarpidie.co merangkum tiga fakta tersebut sebagai berikut.

1. Ihtiar Komnas HAM dan kasus Rumoh Geudong

"Per tanggal 28 Agustus 2018 sudah kami serahkan ke Kejaksaan. Semoga bisa naik ke penyidikan," kata
salah seorang Komisioner HAM Mohammad Choirul Anam di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta, Minggu, 9
September 2018, sebagaimana dilansir dari cnnindonesia.com.

Yang dimaksud Anam ialah dokumen hasil penyelidikan peristiwa yang terjadi di Kamp stattis Pidie,
Aceh, itu, dalam rentang waktu 1989-1998, yang penyelidikannya kembali dilakukan Tim Adhoc Komnas
HAM sejak 2013 silam

Kompas.com, yang mengutip Harian Kompas, 9 September 2018, menayangkan artikel yang
menyebutkan, “laporan penyelidikan kasus tersebut selesai pada Agustus 2018 dan diserahkan ke
Kejaksaan Agung pada 28 Agustus 2018”.

Kasus Rumah Geudong disebutnya telah memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM.

Unsur sistematisnya, kata Anam, bermula dari kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM). Pada operasi ini,
banyak aparat yang ditaruh di pos banyak level mulai dari kecamatan dan desa banyak tempat.

"Salah satu yang paling populer adalah Rumah Geudong. Sekitar tahun 1998 (mantan Jaksa Agung)
Baharuddin Lopa datang dan Rumah Geudongnya dibakar," ujar dia, seperti dilansir dari
cnnindonesia.com.

Kata dia lagi, HAM sudah memeriksa sedikitnya 65 saksi.


"Ada 5 element of crime mulai dari kekerasan seksual, perampasan kemerdekaan, pembunuhan dan
penyiksaan," ujar Anam, yang dikutip dari cnnindonesia.com.

Di lain pihak, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Lembaga HAM
Imparsial meminta pertanggungjawaban dari pimpinan militer pada masa tersebut.

"Kopassus sangat perlu dimintai keterangan karena terlibat langsung 1989-1998. Pimpinan operasi perlu
dimintai keterangan yakni Prabowo Subianto komandan jenderal 1995-1998," kata Direktur Imparsial Al
Araf.

"Kebanyakan yang ambil tindakan adalah prajutitnya dari baret merah. Panglima ABRI waktu itu adalah
Wiranto yang bertanggung jawab penuh," ujar Ferry dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS).

Sementara itu, dilansir dari kbr.id, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyebutkan, timnya tengah
meneliti dua berkas baru dari Komnas HAM.

Keduanya terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. Salah satunya, hasil penyelidikan
peristiwa Rumah Geudong.

"Nanti akan kami teliti, sejauh mana bukti awal yang sudah terkumpul oleh Komnas HAM dan apakah
sudah memenuhi syarat atau terpenuhinya syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan," kata Prasetyo di
kantornya, Jakarta, Jumat 31 Agustus 2018 seperti dilansir dari kbr.id.

Masih dikutip dari sumber yang sama, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI), “enggan
menanggapi. Termasuk soal dorongan agar Kejaksaan Agung segera menyidik perkara ini. Juru bicara
Mabes TNI Santos Matondang beralasan, perlu terlebih dulu mempelajari peristiwa Rumah Geudong ini
secara menyeluruh sebelum menentukan sikap”.

2. Penculikan aktivis 98 versi dokumen rahasia AS

Dilansir dari bbc.com, 25 Juli 2018, lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) merilis dokumen-dokumen
yang mengungkapkan berbagai jenis laporan pada periode Agustus 1997 sampai Mei 1999.

“Sebagian merupakan percakapan staf Kedutaan AS di Jakarta dengan pejabat-pejabat Indonesia,


lainnya adalah laporan para diplomat mengenai situasi di Indonesia ketika itu,” demikian bbc.com.

Disebutkan bbc.com, salah satu dokumen merupakan telegram berisi percakapan antara Asisten
Menteri Luar Negeri AS, Stanley Roth, dengan Komandan Kopassus, Mayor Jenderal Prabowo Subianto.

"Akan lebih baik jika Suharto mundur pada Maret 1998 dan negara ini bisa melalui proses transisi
kekuasaan secara damai," sebut Prabowo dalam dokumen itu.
Catatan itu juga memuat, para aktivis yang menghilang boleh jadi ditahan di fasilitas Kopassus
di jalan lama yang menghubungkan Jakarta dan Bogor.
"Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto,"
sebut dokumen tersebut.

Dilansir dari rappler.com, 13 aktivis yang hilang dan belum ditemukan adalah sebagai berikut:

Dedy Umar Hamdun, hilang pada 29 Mei 1997. Ia terakhir terlihat di Tebet, Jakarta Selatan.

Herman Hendrawan, hilang pada 12 Maret 1998. Ia terakhir terlihat di gedung Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Hendra Hambali, hilang pada 14 Mei 1998. Ia terakhir terlihat di Glodok Plaza, Jakarta Pusat.

Ismail, hilang pada 29 Mei 1997. Ia terakhir terlihat di Tebet, Jakarta Selatan.

M. Yusuf, hilang pada 7 Mei 1997. Ia terakhir terlihat di Tebet, Jakarta Selatan.

Nova Al Katiri, hilang pada 7 Mei 1997. Ia terakhir terlihat di Jakarta.

Petrus Bima Anugrah, hilang pada 1 April 1998. Ia terakhir terlihat di Grogol, Jakarta Barat.

Sony, hilang pada 26 April 1997. Ia terakhir terlihat di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Suyat, hilang pada 13 Februari 1998. Ia terakhir terlihat di Solo, Jawa Tengah.

Ucok Munandar Siahaan, hilang pada 14 Mei 1998. Ia terakhir terlihat di Ciputat, Tangerang Selatan.

Yani Afri, ia hilang pada 26 April 1997. Ia terakhir terlihat di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Yadin Muhidin, ia hilang pada 14 Mei 1998. Ia terakhir terlihat di Sunter Agung, Jakarta Utara.

Wiji Thukul, hilang pada akhir 1998. Ia terakhir terlihat di Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur.

3. AS dan 65

National Security Archive menyebut bahwa materi-materi dan fakta baru ini membuktikan
bahwa "diplomat di Kedutaan Besar di Jakarta menyimpan catatan akan pemimpin PKI mana
yang dieksekusi, dan bahwa pejabat AS secara aktif mendukung upaya Tentara Indonesia
untuk menghancurkan gerakan kiri buruh di Indonesia".

Dikutip dari bbc.com, “Nama Suharto disebut beberapa kali dalam 39 dokumen yang
dibuka ke publik. Dalam Dokumen 29 dari 27 April 1966, kabel diplomatik tersebut
mengutip seluruhnya berita yang diturunkan oleh harian Angkatan Bersenjata, media
yang didukung oleh militer.”
Selain itu, disebutkan pula, "Setelah Oktober 1965, pejabat AS mengamati (dan
menyetujui) pejabat militer Indonesia yang merupakan sekutu Jenderal Suharto untuk
mendekati perusahaan asing dan meminta mereka menyimpan royalti dan sewa ke
rekening bank yang dikendalikan oleh militer sebagai cara menggembosi rezim Sukarno
dari valuta asing dan mempercepat runtuhnya Indonesia, supaya melegitimasi mereka
mengambilalih kekuasaan."

Di lain pihak, Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Wuryanto, menyebut dokumen
rahasia yang dibuka itu dapat menggantikan seluruh fakta dalam Mahkamah Militer
Luar Biasa selama rentang 1966 hingga 1978.

Sementara Menko Polhukam Wiranto saat ini masih mewacanakan pembentukan Dewan
Kerukunan Nasional sebagai wadah penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Sejumlah dokumen rahasia dalam arsip milik Pemerintah Amerika Serikat dideklasifikasi setelah 50
tahun disimpan rapat-rapat. Data-data tersebut kini dapat diakses dan terbuka untuk umum.

Dilansir dari liputan6.com, “Pengungkapan dokumen-dokumen rahasia tersebut diminta oleh aktivis
hak asasi manusia baik dari AS dan Indonesia, pembuat film, serta sekelompok Senator AS yang
dipimpin oleh Tom Udall dari Partai Demokrat AS. Dalam sebuah kolaborasi yang belum pernah
terjadi sebelumnya, Arsip Keamanan Nasional atau National Security Archive bekerja sama dengan
National Declassification Center (NDC), untuk membuat keseluruhan koleksi tersebut bisa diakses
publik, dengan memindai dan memajangnya dalam bentuk digital.”

Anda mungkin juga menyukai