I. PENDAHULUAN
Definisi sehat menurut kesehatan dunia (WHO) adalah suatu keadaan sejahtera
yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari
gangguan tetapi lebih kepada perasan sehat, sejahtera dan bahagia (well being), ada
keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat merasakan kebahagiaan dalam
sebagian besar kehidupannya serta mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari.
Penanganan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang
unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat secara langsung,
seperti pada masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan berbagai macam gejala dan
disebabkan berbagai hal kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi
mungkin muncul gejala yang berbeda banyak klien dengan masalah kesehatan jiwa
tidak dapat menceritakan masalahnya bahkan mungkin menceritakan hal yang berbeda
dan kontradiksi. Kemampuan mereka untuk berperan dan menyelesaikan masalah juga
bervariasi (Keliat, 2005).
Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah
kesehatan utama di Negara – negara maju, tetapi masih kurang populer di kalangan
masyarakat awam. Dimasa lalu banyak orang menganggap gangguan jiwa merupakan
penyakit yang tidak dapat diobati (Hawari, 2001). Gangguan jiwa adalah gangguan
pada fungsi mental, yang meliputi emosi, pikiran, prilaku, motivasi daya tilik diri dan
persepsi yang menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan
motivasi sehingga mengganggu seseorang dalam proses hidup dimasyarakat. (Nasir
dan Muhith 2011).
Jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa diperkirakan terus
meningkat. Ini disebabkan karena seseorang tidak bisa menyesuaikan diri atau
beradaptasi dengan suatu perubahan atau gejolak hidup. Apalagi di era serba modern
ini, perubahan – perubahan terjadi sedemikian cepat, seperti sosial ekonomi dan sosial
politik yang tidak menentu serta kondisi lingkungan sosial yang semakin keras
sehingga mengganggu dalam proses hidup dimasyarakat. Gangguan jiwa terjadi tidak
hanya pada kalangan menengah kebawah sebagai dampak dari perubahan sosial
ekonomi, tetapi juga kalangan menengah keatas yang disebabkan karena tidak mampu
mengelola stress (Yosep, 2009).
Terapi yang komperehensif dan holistik, dewasa ini sudah mulai
dikembangkan meliputi terapi obat – obatan anti skizofrenia (psikofarmaka),
psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius. Terapi psikofarmaka harus
1
diberikan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil
mungkin kekambuhan (relapse). Keberhasilan terapi gangguan jiwa tidak hanya
terletak pada terapi obat psikofarmaka dan jenis terapi lainnya, tetapi juga peran serta
keluarga dan masyarakat turut menentukan (Hawari, 2001)
Pengobatan yang efektif pada pasien skizofrenia membutuhkan waktu jangka
panjang yang berkesinambungan untuk mengobati gejala di bawah kontrol dan
mencegah kekambuhan sehingga diperlukan kepatuhan dan ketekunan pasien dalam
pengobatan. Ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat berdampak negatif pada
pengobatan yang mengakibatkan penyakit pasien kambuh, rawat inap kembali,
pengobatan yang lebih lama, dan percobaan bunuh diri, terkait ketidakpatuhan
terhadap pengobatan antipsikotik setelah diberhentikan maka harus dirawat inap
kembali. Banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan salah satunya adalah faktor
penyakit yaitu parahnya gejala dan kurangnya pengetahuan pada penyakit. Dengan
demikian, ketidakpatuhan dapat memiliki dampak negatif besar pada kesehatan pasien
serta dampak keuangan terhadap masyarakat (Higashi, dkk, 2013).
Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain
penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan
sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan
masyarakat (Widodo, 2003).
Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku
pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya
(Nursalam, 2007). Kepatuhan terhadap minum obat merupakan masalah utama dalam
kekambuhan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam minum obat
yaitu kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya tentang
pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang di tetapkan sehubungan dengan
prognosisnya, sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit, mahalnya harga obat,
dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab
atas pembelian atau pemberian obat itu kepada pasien (Tambayong, 2002).
Menurut World Health Organization (2017) pada umumnya gangguan mental
yang terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Diperkirakan 4,4%
dari populasi global menderita gangguan depresi, dan 3,6% dari gangguan kecemasan.
Jumlah penderita depresi meningkat lebih dari 18% antara tahun 2005 dan 2015.
Depresi merupakan penyebab terbesar kecacatan di seluruh dunia. Lebih dari 80%
penyakit ini dialami orang-orang yang tinggal di negara yang berpenghasilan rendah
dan menengah (WHO, 2017).
Di Indonesia, berdasarkan Data Riskesdas tahun 2018, menunjukkan
prevalensi depresi pada penduduk umur ≥ 15 tahun adalah 6.1%, sedangkan prevalensi
gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥ 15 tahun adalah 9.8%. Untuk
2
cakupan pengobatan penderita gangguan jiwa skizofrenia / psikosis yang tidak rutin
minum obat adalah 51,1%, sedangkan untuk alasan tidak rutin minum obat 1 bulan
terakhir yaitu, 36,1% merasa sudah sehat, 33,7% tidak rutin berobat, 6,1% sering lupa.
3
menjadi sehat; dan kelompok sakit diupayakan mendapatkan pelayanan kesehatan
yang paripurna.
Dengan tujuan mewujudkan desa/kelurahan sehat jiwa, maka perlu adanya
pembinaan dan pengenalan sebagai upaya pencegahan dan pengendalian kesehatan
jiwa yang paripurna menuju kecamatan Batealit sehat.
III. TUJUAN
A. Tujuan Umum
Meningkatkan pembinaan terhadap Desa/Kelurahan Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) di
Kecamatan Batealit.
B. Tujuan Khusus
1. Sasaran mengetahui gambaran umum program DSSJ
2. Sasaran memahami pentingnya pembentukan DSSJ
3. Sasaran mampu melakukan deteksi dini kesehatan jiwa di masyarakat
4. Sasaran melaksanakan tindak lanjut hasil deteksi dini kesehatan jiwa
masyarakat
VI. SASARAN
4
Sasaran kegiatan orientasi desa sehat siaga jiwa adalah kader DSSJ sejumlah 42 orang
yang mewakili setiap RT, dipilih juga dari pemerintah desa, atau kader kesehatan yang
ditunjuk sebagai pendelegasian.
5
VII. RINCIAN KEGIATAN, SASARAN, DAN CARA MELAKSANAKAN KEGIATAN
CARA MELAKSANAKAN
NO KEGIATAN SASARAN RINCIAN KEGIATAN LOKASI WAKTU PELAKSANAAN
KEGIATAN
1 Orientasi Desa Sehat Kader DSSJ sejumlah 42 Kegiatan pembinaan 1. Membuat jadwal pelaksanaan Puskesmas Juli 2019 Programmer Jiwa
Siaga Jiwa (DSSJ) orang yang mewakili terhadap desa sehat siaga orientasi desa sehat siaga jiwa Batealit
2. Membuat surat pemberitahuan
setiap RT, dipilih juga dari jiwa di Kecamatan
untuk kader kesehatan jiwa
pemerintah desa, atau Batealit. Memberikan
tiap desa dan surat undangan
kader kesehatan yang materi mengenai gambaran
3. Membuka kegiatan oleh
ditunjuk sebagai kesehatan jiwa di
pembawa acara
pendelegasian. kecamatan Batealit, 4. Pemaparan tentang kesehatan
konsep DSSJ. Membuka jiwa di Puskesmas Batealit
5. Pemberian materi oleh
diskusi tanya jawab.
narasumber
6. Membuka diskusi Tanya
jawab
7. Petugas menutup acara
6
Sept
Ags
Nov
Des
Feb
Jun
Mar
Jan
Apr
Mei
Okt
Jul
1 Orientasi Desa Sehat X
Siaga Jiwa (DSSJ)
7
IX. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan dan Pelaporan
Evaluasi pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan cara membandingkan jadwal
pelaksanaan kegiatan, sasaran kegiatan, lokasi kegiatan, waktu pelaksanaan kegiatan,
pelaksana kegiatan serta cara melaksanakan kegiatan. Hasil pelaksanaan dilaporkan
kepada kepala UPTD Puskesmas Batealit dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara
berupa laporan cakupan kinerja dan SPJ Kegiatan.