Anda di halaman 1dari 3

NAMA : RISNASARI ROSMAN

NPM : 180110090021
SASTRA INDONESIA
TUGAS APRESIASI NOVEL VII

“Belenggu” adalah salah satu karya sastra yang terkenal buatan Armijn Pane. Ia
merupakan seorang penulis yang terlibat dalam majalah pujangga baru pada tahun 1933
bersama Sutan Takdir Alishjahbana dan Hamir Hamzah. Mereka berhasil memulai sebuah
pergerakkan modernisme sastra dengan mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung
lainnya dari penjuru Hindia Belanda. Tidak hanya puisi dan novel, Armijn Pane pun menulis
kritik sastra. Wawasannya sangat luas, terbukti dari karyanya yang terbit dalam majalah
pujangga baru dinilai adil, tidak terpengaruh dengan pergerakan nasionalisme.

“Belenggu” diterbitkan pada tahun 1940 oleh penerbit Dian Rakyat. Karya ini tidak
masuk Balai Pustaka, karena tidak sesuai dengan kriteria Balai Pustaka pada tahun terbitnya.
Peran sosial perempuan, peran intelektual dalam masyarakat dan tentang hubungan
perempuan menjadi janggal bagi masanya. Sehingga novel ini oleh Balai Pustaka mau
diterbitkan dengan dipotong dibanyak bagian yang dianggap tidak sesuai Balai Pustaka.

Novel ini menceritakan tentang seorang dokter bernama Sukartono yang tidak bahagia
menikah dengan Sumartini. Ketidakbahagiaan ini terjadi karena Sukartono yang sangat
mencintai pekerjaannya yaitu sebagai seorang dokter hingga tidak memedulikan perasaan
istrinya. Ia tidak menyadari bahwa kebiasaannya tidak peduli siang atau malam mengobati
pasiennya membuat istrinya yaitu Sumartini semakin menjauh.

Kecintaannya terhadap pekerjaan semakin memperumit keharmonisan rumah tangga


mereka. Terlebih lagi pernikahan keduanya tidak didasari perasaan cinta. Mereka menikah
dengan alasan berbeda. Sukartono menikah dengan Sumartini karena kecantikan dan
kecerdasaannya. Sedangkan Sumartini menikah dengan Sukartono karena ingin melupakan
masa lalunya yang kelam.

Alasan-alasan itulah mereka menikah, bukan didasari perasaan cinta. Mereka tidak
pernah bertukar pikiran. Masalah yang dihadapi pun tidak pernah diselesaikan berdua,
sebagaimana suami-istri sewajarnya. Masing-masing memiliki alasan untuk menyelesaikan
masalahnya. Hingga mereka tidak harmonis dan pertengkaran tidak berujung damai.
Sampai suatu ketika Sumartono memeriksa pasiennya yang bernama Ny. Eni di hotel
pada malam hari, ternyata Ny. Eni adalah teman semasa kecil Sumartono saat di sekolah
rakyat. Nama sebenarnya adalah Rohayah, biasa dipanggil Yah. Rohayah sudah lama
mencintai Sumartono. Saat mengetahui Sumartono berada di Jakarta, Yah mencari tau
keberadaan Sumartono dan menghubunginya dengan menyamar sebagai orang yang sakit
keras.

Mengetahui kedekatan suaminya dengan Yah, Tini datang ke hotel tempat Yah
menginap. Setelah bertatap muka, hati Tini luluh. Yah yang dianggap Tini kupu-kupu malam
ternyata perempuan yang ramah dan lembut. Tini malu dengan hal itu, ia menginstropeksi diri
sikapnya terhadap suaminya. Ia malu tidak dapat bersikap seperti Yah terhadap suaminya.
Akhirnya Tini memutuskan berpisah karena tidak dapat menjadi istri yang baik.

Yah pun melakukan hal yang sama. Ia meninggalkan sepucuk surat yang menyatakan
kecintaannya terhadap Sumartono. Betapa sedihnya Sumartono bercerai dengan Sumartini.
Kesedihannya semakin bertambah dengan kepergian Sumartini.

Setelah membaca novel “Belenggu” pembaca dapat menemukan berbagai masalah


yang ingin disampaikan penulis. Misalnya tentang masalah rumah tangga dan emansipasi
wanita. Masalah rumah tangga sangat terasa dalam novel ini. Penggambaran kehidupan
rumah tangga yang tidak didasari perasaan cinta berakhir dengan perpisahan.

“Belenggu” pun berbicara tentang sikap mengambil keputusan seseorang yang


membelenggu. Setiap orang pasti memiliki masalah yang harus diselesaikan. Menurut saya,
Armijn Pane ingin memberi tahu pembaca tentang keputusan pribadi atas masalah bersama.
Pada novel ini, ketika konflik berlangsung, tokoh membayangkan masa lampaunya dan masa
kejayaan dan masa kebahagiaannya.

Keputusan yang diambil tokoh Sumartini terlihat karena emosi. Ia menyatakan bahwa
perempuan dan laki-laki tidak ada perbedaan. Hal yang dilakukan laki-laki pun wajar
dilakukan perempuan. Ini berkesan, emansipasi wanita diperjuangkan oleh Sumartini. Seperti
pada novel “Belenggu” terbitan Dian Rakyat cetakan ke-22 halaman 56:

Tini melompat berdiri sebagai digigit kalajengking:


“Bukankah lakiku juga pergi sendirian? Mengapa aku tiada
boleh? Apakah bedanya?” Ketika nyonya Rusdio hendak
menyela, katanya: “Dengarlah dahulu. Ibu membedakan
kaum perempuan dan laki-laki. Itulah pokok perbedaan
paham kaum Ibu dan kami perempuan sekarang.”

Novel “Belenggu” tidak dapat ditebak akhir kisahnya. Ketika Yah berjanji akan
merawat Sumartono, di akhir kisah ia malah meninggalkan Sumartono, bahkan tanpa pamit,
hanya surat yang ditinggalkannya. Sebagaimana pada novel “Belenggu” terbitan Dian Rakyat
cetakan ke-22 halaman 123:

Rohayah berjanji akan merawat Tono baik-baik. Tini


tersenyum mendengar katanya itu. Mereka berjabat tangan,
pandang memandang. Tini senang, Yah pura-pura senang
juga, tapi siapa dapat mendengarkannya suara dalam hati
orang? Di dalam hatinya, Yah sudah menetapkan
keputusan; zaman dulu, banyak yang berlumpur-lumpur,
banyak yang sebagai kubangan, aduh, mestikah Tono kena
luluknya? Tidak, tidak, tidak boleh.

Novel “Belenggu” dapat memberi dampak kejiwaan bagi pembacanya dan dapat
menjadi pembelajaran. Salah satunya adalah pendapat mengenai sebuah perkawinan yang
tidak dilandasi cinta. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menghindari kawin paksa atau
dijodohkan. Besar pengaruh novel ini pada masyarakat, karena ingin menghindari
kesengsaraan perkawinan yang tidak didasari rasa cinta, kini perjodohan semakin berkurang.
Tidak seperti jaman-jaman dulu, kental terhadap perjodohan. Jaman sekarang adalah jaman
kebebasan. Bebas memilih jodoh dan bebas mengambil keputusan. Permasalahan-
permasalahan atas perjodohan yang membelenggu, tidak sebanyak dulu.

Anda mungkin juga menyukai