Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan
sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh HIV (Human Immuno
Deficiency Virus).“Acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi ditularkan dari
orang satu ke orang lainya; “Immune” artinya sistem daya tangkal atau
kekebalan tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau
kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit.AIDS
adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV.AIDS bukan merupakan sebuah penyakit,
karena AIDS merupakan gejala yang tampil bilamana kekebalan tubuh kita
melemah atau rusak diakibatkan HIV.HIV merusak kekebalan tubuh, sehingga
kekebalan tubuh melemah sebagai akibatnya berbagai penyakit mudah menular
(Departemen Kesehatan, 2016).
HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi
dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV.HIV menyerang sistem
immun manusia yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki reseptor
CD4 di permukaannya.Limfosit T helper antara lain berfungsi menghasilkan
zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan
sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi sehingga yang
terganggu bukan hanya fungsi limfosit T tetapi juga limfosit B, monosit,
makrofag dan sebagainya. HIV membajak sel CD4 dan memakainya sebagai
pabrik untuk membuat virus baru dalam jumlah besar.Virus yang baru ini
kemudian menularkan sel CD4 lagi, dan semakin lama jumlah CD4 yang sehat
semakin merosot.Sistem kekebalan tubuh semakin merusak sehingga tubuh
tidak mampu lagi melawan infeksi (Departemen kesehatan, 2016).
Menurut CIA World Factbook pada tahun 2015, diperkirakan terdapat
36,7 juta pengidap HIV di seluruh dunia. Pandemik yang paling parah terjadi
di Afrika Sub-Sahara dengan tingkat prevalensi yang melebihi 6%. Prevalensi
HIV pada orang dewasa bahkan melebihi 20% di Swaziland, Botswana,
dan Lesotho. Di luar Afrika, Bahamamerupakan negara dengan prevalensi
terbesar (3,3%).
Permasalahan HIV/AIDS menjadi tantangan kesehatan hampir di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan
Juni 2018, HIV/AIDS telah dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2%) dari
514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia.
Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018
sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di
kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah
infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099), diikuti Jawa Timur
(43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757).
Jumlah kasus HIV yang dilaporkan terus meningkat setiap tahun,
sementara jumlah AIDS relatif stabil. Hal ini menunjukkan keberhasilan bahwa
semakin ODHA yang diketahui statusnya saat masih dalam fase terinfeksi
(HIV positif) dan belum masuk dalam stadium AIDS. Data Kementerian
Kesehatan tahun 2017 mencatat dari 48.300 kasus HIV positif yang ditemukan,
tercatat sebanyak 9.280 kasus AIDS. Sementara data triwulan II tahun 2018
mencatat dari 21.336 kasus HIV positif, dan 6.162 kasus AIDS. Adapun jumlah
kumulatif kasus AIDS sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 sampai
dengan Juni 2018 tercatat sebanyak 108.829 kasus.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat menyatakan hingga Desember
2018 sudah ada 40.276 kasus HIV dan 10.370 kasus AIDS di wilayah Jawa
Barat. Dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, Kota/Kabupaten Bandung
menjadi kota/kabupaten dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Jawa Barat.
Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Bandung Barat meningkat selama
setahun terakhir. Data Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Bandung
Barat hingga Juli 2019, ada 379 kasus HIV/AIDS dengan 56 di antaranya kasus
baru. Dari 379 kasus tersebut terdiri atas 218 kasus HIV dan 161 kasus AIDS.
Sebanyak 53 persen di antaranya akibat hubungan seksual, 14 persen pada ibu
rumah tangga, dan 9 persen akibat penggunaan jarum suntik. Sementara dari
kelompok usia, 52 persen terjadi pada usia 21-29 tahun.Masalah HIV/AIDS
di KBB kian kompleks lantaran terus meningkat dari tahun ke tahun. Yang
lebih mencengangkan, pada tahun ini ditemukan peningkatan komunitas
homoseksual atau laki seks laki yang juga memicu penularan HIV/AIDS.
Tubuh manusia memiliki sel darah putih (limfosit) yang berguna sebagai
pertahanan tubuh dari serangan virus maupun bakteri. Virus HIV yang masuk
tubuh manusia dapat melemahkan bahkan mematikan sel darah putih dan
memperbanyak diri, sehingga lemah melemahkan sistem kekebalan tubuhnya
(CD4). Dalam kurun waktu 5-10 tahun setelah terinfeksi HIV, seseorang
dengan HIV positif jika tidak minum obat anti retroviral (ARV), akan
mengalami kumpulan gejala infeksi opportunistik yang disebabkan oleh
penurunan kekebalan tubuh akibat tertular virus HIV, yang disebut AIDS.
Country Director UNAIDS Indonesia Krittayawan Boonto mengatakan,
posisi Indonesia dalam penyebaran distribusi HIV menyusul Tiongkok dan
India. Penyebaran HIV di Tiongkok meningkat 22% setiap tahun, sementara
India sebesar 31% atau 88 ribu per tahun. "Indonesia berada di posisi ketiga di
Asia Pasifik,". Krittyawan juga mengatakan, 23% dari pertumbuhan
penyebaran HIV di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, berasal dari anak muda.
Hal tersebut terjadi karena mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup
baik soal HIV. Keterbatasan informasi juga membuat Orang dengan HIV AIDS
(ODHA) tak mengetahui status penyakit yang mereka derita. Berdasarkan data
Kementerian Kesehatan hingga Juni 2018, ODHA yang mengetahui status
penyakitnya hanya sebesar 301.959 orang atau 48% dari 630 ribu orang.
Sementara itu, ODHA yang pernah melakukan terapi antiretroviral (ART)
sebanyak 195.729 orang. ODHA yang saat ini sedang menjalankan terapi ART
baru mencapai 96.298 atau 15%. ODHA yang sudah melakukan tes viral load
baru sebanyak 4.462 orang. ODHA yang telah mensupresi virus HIV sebanyak
4.108 atau 0,64%.
Tanda dan gelaja dari HIV / AIDS yang sering muncul berkaitan dengan
penurunan imunitas seperti diare kronis, penurunan BB yang drastis, penurunan proses
regenerasi kulit dan tanda lainnya sehingga orang terinfeksi HIV akan
menimbulkan berbagai persoalan diantaranya pengungkapan penyakit,
penggunaan obat, berbagai macam test untuk pengobatan, persoalan sosial
seperti stigma dan diskriminasi, hal ini mengarah ke benyak masalah pada
kesehatan jiwa dari orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) memiliki peluang 2-5 kali lebih tinggi untuk mengalami
depresi dan ansietas atau kecemasan dari seluruh ODHA pada umumnya
(Saadat & Behboodi, 2015). Hal ini berhubungan atau dapat disebabkan oleh
tidak adekuatnya pengobatan antiretroviral yang harus dijalani oleh ODHA
(Gonzales, Batchleder, Psaros & Safren, 2011; Tao et al., 2016), kualitas hidup
yang buruk (Ezeamama et al., 2016), dan rendahnya pengungkapan status HIV
(Evangeline & Wroe, 2017).
Ansietas sendiri merupakan suatu perasaan takut yang berasal dari
eksternal atau internal sehingga tubuh memiliki respons secara perilaku,
emosional, kognitif, dan fisik (Videbeck, 2011). Ansietas adalah perasaan tidak
nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon otonom (sumber tidak
diketahui oleh individu) sehingga individu akan meningkatkan kewaspadaan
untuk mengantisipasi (NANDA, 2015). Ansietas adalah kekhawatiran yang
tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan perasaan tidak berdaya dan respons
emosional terhadap penilaian sesuatu. Gangguan ansietas adalah masalah
psikiatri yang paling sering terjadi di Amerika Serikat (Stuart, 2013). Ansietas
pada pasien HIV/ AIDS lebih mengarah pada kecamasan akan jenis
penyakitnya, kecemasan karena mendapatkan penolakan dari masyarakat, dan
kekhawatiran proses pengobatannya.
Gangguan ansietas dapat membuat individu mengalami gangguan
pikiran atau konsentrasi. Mereka menjauhi situasi yang dapat membuat
individu tersebut khawatir (American Psychological Assosiation, 2017).
Menurut Videbeck (2011) individu yang mempunyai gangguan kecemasan
menunjukkan perilaku yang tidak biasanya seperti panik tanpa alasan, takut
pada objek tanpa alasan, tindakan tanpa bisa dikontrol serin terulang, atau
kekhawatiran luar biasa yang tidak bisa dijelaskan.Ansietas juga berdampak
pada kehidupan sehari-hari mereka, kehidupan sosial, dan pekerjaan mereka.
Berdasarkan jurnal yang diteliti oleh Molassiotis A, Callaghan P, Twinn
S, Et al. (2002). Dengan judul penelitian “A pilot study of the effect of
cognitiive behavioural group therapy and Peer support / counseling in
decreasing psycologic distress and improving quality of life in chinnese
patients with sympthomatic HIV disease AIDS patient care STDS”, yang
menyatakan bahwa dari beberapa intervensi yang dilakukan dengan dukungan
kelompok / konsultasi dengan kelompok intervensi CBT lebih efektif dengan
terapi CBT.
Cara mengatasi ansietas bisa dilakuakn dengan berbagai cara yaitu terapi
psikofarmaka, latihan fisik, aktivitas, tarik nafas dalam serta Cognitive
Behaviour Therapy (CBT). Cognitive Behaviour Therapy (CBT) merupakan
CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi
secara langsung, yaitu dengan mengubah pikiran maladaptif dan kemudian
secara tidak langsung juga akan mengubah tingkah laku yang nampak (overt
action). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2013) menekankan CBT pada
pandangan individu tentang keyakinan (hipotesa) sementaranya dan kemudian
menguji validitasnya dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk menolak atau
mendukung hipotesanya. Pucci (2015) menambahkan bahwa CBT berfokus
pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yaitu
dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan akurat.
CBT bertujuan untuk memfasilitasi individu dalam menciptakan “situasi
emosional positif”, sehingga dapat mengimplementasi strategi-strategi
spesifik, seperti restrukturisasi kognitif, mengatur jadwal aktivitas dan strategi
lainnya (McGinss, 2010). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2013)
menyatakan bahwa salah satu tujuan utama CBT adalah untuk membantu
individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi yang irasional menjadi
pemikiran yang lebih rasional.
CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor
untuk membantu individu kearah yang lebih positif. Berbagai variasi teknik
perubahan kognisi, emosi, dan tingkah laku menjadi bagaian terpenting dalam
Cognitive Behavior Therapy. Metode ini berkembang sesuai dengan
kebutuhan konseling, dimana konelor bersifat aktif, direktif, terbatas waktu,
berstruktur, dan berpusat pada konseli. Konselor atau terapis Cognitive
Behavior biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk
mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseling.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh Cognitive Behavour Therapy (CBT) terhadap
ansietas pada orang dengan HIV / AIDS (ODHA) ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Setelah dilakukan tinjauan dari Evidence Based Practice (EBP)
dengan metode literature review mahasiswa mampu menganalisis dan
menerapkan jurnal yang ditemukan sebagai bentuk terapi dalam
manajemen kecemasan dengan menggunakan Cognitive Behavour
Therapy (CBT)
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dari HIV / AIDS
2. Mahasiswa mampu memahami konsep dari Ansietas
3. Mahasiswa mampu memahami konsep dari Cognitive Behavour
Therapy (CBT)
4. Mahasiswa mampu menganalisis jurnal yang didapatkan mengenai
pengaruh Cognitive Behavour Therapy (CBT) terhadap ansietas
pada orang dengan HIV / AIDS (ODHA)

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat Bagi Mahasiswa
Seteah dilakukan analisis jurnal menganai mengenai pengaruh
Cognitive Behavour Therapy (CBT) terhadap ansietas pada orang
dengan HIV / AIDS (ODHA) mahasiswa diharapkan dapat memahami
konsep tersebut dan dapat menerapkan nya sebagai evidence based
practice (EBP)
1.4.2 Manfaat Bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat
Seteah dilakukan analisis jurnal menganai mengenai pengaruh
Cognitive Behavour Therapy (CBT) terhadap ansietas pada orang
dengan HIV / AIDS (ODHA) pihak RSj Provinsi Jawa Barat
diharapkan dapat menerapkan nya sebagai evidence based practice
(EBP) pada pasien dengan kategori memeliki kecemasan dan atau jika
terdapat orang dengan HIV / AIDS (ODHA) sehingga pproses terapi
bisa lebih maksimal.

Anda mungkin juga menyukai