Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh HIV (Human Immuno Deficiency Virus).“Acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi ditularkan dari orang satu ke orang lainya; “Immune” artinya sistem daya tangkal atau kekebalan tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit.AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV.AIDS bukan merupakan sebuah penyakit, karena AIDS merupakan gejala yang tampil bilamana kekebalan tubuh kita melemah atau rusak diakibatkan HIV.HIV merusak kekebalan tubuh, sehingga kekebalan tubuh melemah sebagai akibatnya berbagai penyakit mudah menular (Departemen Kesehatan, 2016). HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV.HIV menyerang sistem immun manusia yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya.Limfosit T helper antara lain berfungsi menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi sehingga yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit T tetapi juga limfosit B, monosit, makrofag dan sebagainya. HIV membajak sel CD4 dan memakainya sebagai pabrik untuk membuat virus baru dalam jumlah besar.Virus yang baru ini kemudian menularkan sel CD4 lagi, dan semakin lama jumlah CD4 yang sehat semakin merosot.Sistem kekebalan tubuh semakin merusak sehingga tubuh tidak mampu lagi melawan infeksi (Departemen kesehatan, 2016). Menurut CIA World Factbook pada tahun 2015, diperkirakan terdapat 36,7 juta pengidap HIV di seluruh dunia. Pandemik yang paling parah terjadi di Afrika Sub-Sahara dengan tingkat prevalensi yang melebihi 6%. Prevalensi HIV pada orang dewasa bahkan melebihi 20% di Swaziland, Botswana, dan Lesotho. Di luar Afrika, Bahamamerupakan negara dengan prevalensi terbesar (3,3%). Permasalahan HIV/AIDS menjadi tantangan kesehatan hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Juni 2018, HIV/AIDS telah dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099), diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757). Jumlah kasus HIV yang dilaporkan terus meningkat setiap tahun, sementara jumlah AIDS relatif stabil. Hal ini menunjukkan keberhasilan bahwa semakin ODHA yang diketahui statusnya saat masih dalam fase terinfeksi (HIV positif) dan belum masuk dalam stadium AIDS. Data Kementerian Kesehatan tahun 2017 mencatat dari 48.300 kasus HIV positif yang ditemukan, tercatat sebanyak 9.280 kasus AIDS. Sementara data triwulan II tahun 2018 mencatat dari 21.336 kasus HIV positif, dan 6.162 kasus AIDS. Adapun jumlah kumulatif kasus AIDS sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 sampai dengan Juni 2018 tercatat sebanyak 108.829 kasus. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat menyatakan hingga Desember 2018 sudah ada 40.276 kasus HIV dan 10.370 kasus AIDS di wilayah Jawa Barat. Dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, Kota/Kabupaten Bandung menjadi kota/kabupaten dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Jawa Barat. Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Bandung Barat meningkat selama setahun terakhir. Data Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Bandung Barat hingga Juli 2019, ada 379 kasus HIV/AIDS dengan 56 di antaranya kasus baru. Dari 379 kasus tersebut terdiri atas 218 kasus HIV dan 161 kasus AIDS. Sebanyak 53 persen di antaranya akibat hubungan seksual, 14 persen pada ibu rumah tangga, dan 9 persen akibat penggunaan jarum suntik. Sementara dari kelompok usia, 52 persen terjadi pada usia 21-29 tahun.Masalah HIV/AIDS di KBB kian kompleks lantaran terus meningkat dari tahun ke tahun. Yang lebih mencengangkan, pada tahun ini ditemukan peningkatan komunitas homoseksual atau laki seks laki yang juga memicu penularan HIV/AIDS. Tubuh manusia memiliki sel darah putih (limfosit) yang berguna sebagai pertahanan tubuh dari serangan virus maupun bakteri. Virus HIV yang masuk tubuh manusia dapat melemahkan bahkan mematikan sel darah putih dan memperbanyak diri, sehingga lemah melemahkan sistem kekebalan tubuhnya (CD4). Dalam kurun waktu 5-10 tahun setelah terinfeksi HIV, seseorang dengan HIV positif jika tidak minum obat anti retroviral (ARV), akan mengalami kumpulan gejala infeksi opportunistik yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh akibat tertular virus HIV, yang disebut AIDS. Country Director UNAIDS Indonesia Krittayawan Boonto mengatakan, posisi Indonesia dalam penyebaran distribusi HIV menyusul Tiongkok dan India. Penyebaran HIV di Tiongkok meningkat 22% setiap tahun, sementara India sebesar 31% atau 88 ribu per tahun. "Indonesia berada di posisi ketiga di Asia Pasifik,". Krittyawan juga mengatakan, 23% dari pertumbuhan penyebaran HIV di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, berasal dari anak muda. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup baik soal HIV. Keterbatasan informasi juga membuat Orang dengan HIV AIDS (ODHA) tak mengetahui status penyakit yang mereka derita. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga Juni 2018, ODHA yang mengetahui status penyakitnya hanya sebesar 301.959 orang atau 48% dari 630 ribu orang. Sementara itu, ODHA yang pernah melakukan terapi antiretroviral (ART) sebanyak 195.729 orang. ODHA yang saat ini sedang menjalankan terapi ART baru mencapai 96.298 atau 15%. ODHA yang sudah melakukan tes viral load baru sebanyak 4.462 orang. ODHA yang telah mensupresi virus HIV sebanyak 4.108 atau 0,64%. Tanda dan gelaja dari HIV / AIDS yang sering muncul berkaitan dengan penurunan imunitas seperti diare kronis, penurunan BB yang drastis, penurunan proses regenerasi kulit dan tanda lainnya sehingga orang terinfeksi HIV akan menimbulkan berbagai persoalan diantaranya pengungkapan penyakit, penggunaan obat, berbagai macam test untuk pengobatan, persoalan sosial seperti stigma dan diskriminasi, hal ini mengarah ke benyak masalah pada kesehatan jiwa dari orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) memiliki peluang 2-5 kali lebih tinggi untuk mengalami depresi dan ansietas atau kecemasan dari seluruh ODHA pada umumnya (Saadat & Behboodi, 2015). Hal ini berhubungan atau dapat disebabkan oleh tidak adekuatnya pengobatan antiretroviral yang harus dijalani oleh ODHA (Gonzales, Batchleder, Psaros & Safren, 2011; Tao et al., 2016), kualitas hidup yang buruk (Ezeamama et al., 2016), dan rendahnya pengungkapan status HIV (Evangeline & Wroe, 2017). Ansietas sendiri merupakan suatu perasaan takut yang berasal dari eksternal atau internal sehingga tubuh memiliki respons secara perilaku, emosional, kognitif, dan fisik (Videbeck, 2011). Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon otonom (sumber tidak diketahui oleh individu) sehingga individu akan meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi (NANDA, 2015). Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan perasaan tidak berdaya dan respons emosional terhadap penilaian sesuatu. Gangguan ansietas adalah masalah psikiatri yang paling sering terjadi di Amerika Serikat (Stuart, 2013). Ansietas pada pasien HIV/ AIDS lebih mengarah pada kecamasan akan jenis penyakitnya, kecemasan karena mendapatkan penolakan dari masyarakat, dan kekhawatiran proses pengobatannya. Gangguan ansietas dapat membuat individu mengalami gangguan pikiran atau konsentrasi. Mereka menjauhi situasi yang dapat membuat individu tersebut khawatir (American Psychological Assosiation, 2017). Menurut Videbeck (2011) individu yang mempunyai gangguan kecemasan menunjukkan perilaku yang tidak biasanya seperti panik tanpa alasan, takut pada objek tanpa alasan, tindakan tanpa bisa dikontrol serin terulang, atau kekhawatiran luar biasa yang tidak bisa dijelaskan.Ansietas juga berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka, kehidupan sosial, dan pekerjaan mereka. Berdasarkan jurnal yang diteliti oleh Molassiotis A, Callaghan P, Twinn S, Et al. (2002). Dengan judul penelitian “A pilot study of the effect of cognitiive behavioural group therapy and Peer support / counseling in decreasing psycologic distress and improving quality of life in chinnese patients with sympthomatic HIV disease AIDS patient care STDS”, yang menyatakan bahwa dari beberapa intervensi yang dilakukan dengan dukungan kelompok / konsultasi dengan kelompok intervensi CBT lebih efektif dengan terapi CBT. Cara mengatasi ansietas bisa dilakuakn dengan berbagai cara yaitu terapi psikofarmaka, latihan fisik, aktivitas, tarik nafas dalam serta Cognitive Behaviour Therapy (CBT). Cognitive Behaviour Therapy (CBT) merupakan CBT merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi secara langsung, yaitu dengan mengubah pikiran maladaptif dan kemudian secara tidak langsung juga akan mengubah tingkah laku yang nampak (overt action). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2013) menekankan CBT pada pandangan individu tentang keyakinan (hipotesa) sementaranya dan kemudian menguji validitasnya dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk menolak atau mendukung hipotesanya. Pucci (2015) menambahkan bahwa CBT berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yaitu dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan akurat. CBT bertujuan untuk memfasilitasi individu dalam menciptakan “situasi emosional positif”, sehingga dapat mengimplementasi strategi-strategi spesifik, seperti restrukturisasi kognitif, mengatur jadwal aktivitas dan strategi lainnya (McGinss, 2010). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2013) menyatakan bahwa salah satu tujuan utama CBT adalah untuk membantu individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi yang irasional menjadi pemikiran yang lebih rasional. CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor untuk membantu individu kearah yang lebih positif. Berbagai variasi teknik perubahan kognisi, emosi, dan tingkah laku menjadi bagaian terpenting dalam Cognitive Behavior Therapy. Metode ini berkembang sesuai dengan kebutuhan konseling, dimana konelor bersifat aktif, direktif, terbatas waktu, berstruktur, dan berpusat pada konseli. Konselor atau terapis Cognitive Behavior biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseling.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh Cognitive Behavour Therapy (CBT) terhadap ansietas pada orang dengan HIV / AIDS (ODHA) ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum Setelah dilakukan tinjauan dari Evidence Based Practice (EBP) dengan metode literature review mahasiswa mampu menganalisis dan menerapkan jurnal yang ditemukan sebagai bentuk terapi dalam manajemen kecemasan dengan menggunakan Cognitive Behavour Therapy (CBT) 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mahasiswa mampu memahami konsep dari HIV / AIDS 2. Mahasiswa mampu memahami konsep dari Ansietas 3. Mahasiswa mampu memahami konsep dari Cognitive Behavour Therapy (CBT) 4. Mahasiswa mampu menganalisis jurnal yang didapatkan mengenai pengaruh Cognitive Behavour Therapy (CBT) terhadap ansietas pada orang dengan HIV / AIDS (ODHA)
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat Bagi Mahasiswa Seteah dilakukan analisis jurnal menganai mengenai pengaruh Cognitive Behavour Therapy (CBT) terhadap ansietas pada orang dengan HIV / AIDS (ODHA) mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep tersebut dan dapat menerapkan nya sebagai evidence based practice (EBP) 1.4.2 Manfaat Bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Seteah dilakukan analisis jurnal menganai mengenai pengaruh Cognitive Behavour Therapy (CBT) terhadap ansietas pada orang dengan HIV / AIDS (ODHA) pihak RSj Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat menerapkan nya sebagai evidence based practice (EBP) pada pasien dengan kategori memeliki kecemasan dan atau jika terdapat orang dengan HIV / AIDS (ODHA) sehingga pproses terapi bisa lebih maksimal.