Anda di halaman 1dari 37

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. MIGREN

II.1.1. Definisi

Migren merupakan suatu gangguan neurobiologik yang berkaitan

dengan perubahan kepekaan sistem saraf dan aktivasi dari sistem trigeminal

vaskular (Sjahrir dan Rambe, 2004).

Migren berasal dari bahasa Yunani yaitu hemicrania yang diciptakan

oleh bangsa Galen (131-201 sesudah Masehi) untuk menggambarkan nyeri

kepala yang unilateral, dan kemudian istilah hemicrania ini ditransformasikan

kedalam bahasa Inggris kuno yaitu migrim dan bahasa perancis yaitu

migrene, yang digunakan hingga saat ini (Sjahrir, 2008).

II.1.2. Epidemiologi

Estimasi prevalensi migren dari berbagai penelitian ditemukan memiliki

variasi yang besar, yaitu berkisar antara 3% - 22%, dengan estimasi

prevalensi 1 tahun migren pada dewasa adalah 10%-12% (6% laki-laki dan

15%-18% wanita) (Silberstein dkk,2005).

Pada penelitian population based yang besar, ditemukan 64% pasien

dengan migren tanpa aura, 18% migren dengan aura dan 13% memiliki

kedua tipe migren (dengan dan tanpa aura). Berdasarkan penelitian

Universitas Sumatera Utara


11

multisenter berbasis rumah sakit (RS) pada 5 rumah sakit besar di

Indonesia (Medan, Bandung, Makasar,Denpasar) didapatkan prevalensi

migren tanpa aura adalah 10 % dan migren dengan aura adalah 1,8%

(Sjahrir,2008).

Pada penelitian yang dilakukan di Jakarta pada kelompok usia 16- 30

tahun, ditemukan prevalensi migren sebesar 45,3% yang terdiri dari 53,5%

wanita dan 35,8% pria (Sjahrir,2008). Perbedaan estimasi ini dipengaruhi

oleh usia, jenis kelamin, ras, geografi, status sosio-ekonomi, definisi yang

digunakan dan metode penelitian (Gupta dkk,2007).

Dari data epidemiologi diketahui bahwa nyeri kepala lebih banyak

ditemukan pada wanita dibandingkan pria. Perbedaan ini jelas terlihat pada

migren, dimana prevalensi migren meningkat hingga 2 kali lipat pada wanita.

Prevalensi migren ditemukan tidak berbeda berdasarkan jenis kelamin

sebelum remaja, tetapi peningkatan prevalensi yang signifikan pada wanita

dibandingkan pria terlihat setelah menarche, sehingga terdapat hipotesa

bahwa hormon seksual wanita memiliki peranan pada patofisiologi migren

(Karli dkk,2012).

II.1.3. Klasifikasi (Sjahrir,2008)

1.Migren tanpa aura

2.Migren dengan aura

2.1.Nyeri kepala Migren dengan aura tipikal

Universitas Sumatera Utara


12

2.2.Nyeri kepala non migren dengan aura tipikal

2.3.Aura tipikal tanpa nyeri kepala

2.4.Familial hemiplegik migren (FHM)

2.5. Sporadik hemiplegik migren

2.6. Migren tipe basiler

3.Sindroma periodik pada anak yang sering menjadi prekusor migren

3.1.Cyclical vomiting

3.2.Migren abdominal

3.3.Benigna paroksismal vertigo pada anak

4.Migren retinal

5.Komplikasi Migren

5.1.Migren kronik

5.2.Status migrenosus

5.3.Aura persisten tanpa infark

5.4.Migrenous infark

5.5.Migrene triggered seizure

6.Probable migren

6.1. Probable migren tanpa aura

6.2. Probable migren dengan aura

6.3. Probable migren kronik

Universitas Sumatera Utara


13

II.1.4. Patofisiologi

Pada penderita migren, di samping terdapat nyeri intrakranial juga

disertai peninggian sensitivitas kulit, sehingga patofisiologi migren diduga

bukan hanya adanya iritasi pain fiber perifer yang terdapat di pembuluh darah

intrakranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan sensitisasi sel saraf sentral

terutama pada sistem trigeminal yang memproses informasi yang berasal

dari struktur intrakranial dan kulit (Sjahrir,2008).

Pada serangan migren akan terjadi fenomena pain pathway daripada

sistem trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor N-methyl-D

aspartate (NMDA), yang kemudian diikuti peninggian Ca sebagai penghantar

yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti misalnya 5-HT, bradikinin,

prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzim Nitric Oxide Synthase (NOS).

Proses tersebut menyebabkan adanya penyebaran nyeri, allodinia dan

hiperalgesia pada penderita migren (Sjahrir,2008).

Telah banyak studi dilakukan dan juga banyak teori mulai diungkapkan

bagaimana mekanisme patofisiologi migren dan dihubungkan dengan hasil

penelitian fungsional imaging maupun struktural otak terhadap fase iktal

maupun interiktal migren yang kemudian akan berdampak terhadap

perkembangan farmakologi dan pengobatannya (Sjahrir,2008).

Universitas Sumatera Utara


14

Konsep dasar patogenesis migren terkini meliputi:

1. Hipereksibilitas neuronal saat fase interiktal dan fase pre

headache.

Penderita migren yang sedang tidak mendapatkan serangan migren

dalam keadaan neuronal ditemukan hipereksibilitas pada korteks serebri

terutama pada korteks oksipital (interictal neuronal irritability). Keadaan ini

berlanjut menjadi proses cortical spreading depression (CSD) dan akan

timbul aura (Sjahrir,2008).

Pada penelitian dengan menggunakan spectroscopy,menemukan

kadar magnesium yang rendah pada regio posterior otak pada migren

hemiplegik. Defisiensi magnesium ini berhubungan dengan pelepasan

neurotransmiter glutamat yang akan mengaktivasi NMDA reseptor sehingga

Calcium (Ca) 2+ influks ke dalam sel. Sehingga disimpulkan bahwa kadar

Magnesium (Mg) yang rendah adalah sebagai dasar mekanisme eksitabilitas

neuron (Sjahrir,2008).

2. Cortical spreading depression (CSD) sebagai dasar timbulnya

aura.

Basis neurokimiawi CSD adalah lepasnya kalium atau glutamat

(excitatory amino acid) dari jaringan neural yang mengakibatkan terjadinya

depolarisasi dan pelepasan lebih banyak neurotransmitter yang akan

Universitas Sumatera Utara


15

mencetuskan spreading depression, yang akan mengakibatkan

terjadinya aura pada migren. Pada penelitian dengan positron emission

tomography (PET), ditemukan bilateral hipoperfusi yang dimulai dari area

oksipital dan meluas pelan-pelan ke anterior seperti gelombang (spreading

oligemia) serta menyebrang korteks dengan kecepatan 2-3 mm/menit. Hal ini

berlangsung beberapa jam dan kemudian diikuti proses hiperemia di dalam

duramater, edema neurogenik di dalam meningens dan aktivasi neuronal di

dalam nukleus trigeminal kaudalis ipsilateral (Sjahrir,2008).

Cortical spreading depression ditemukan pada permukaan otak,


+
dimana terjadi difusi Hidrogen (H) dan Kalium (K)+ ke piamater dan

mengaktifkan nosiseptor meningeal C-fiber. Hal ini mengakibatkan pelepasan

neurokimiawi proinflamasi dan ekstravasasi plasma darah akibat perubahan

permeabilitas blood brain barrier (BBB) melalui aktivasi matrix

metalloproteinase (MMP), sehingga timbul inflamasi neurogenik steril pada

trigeminovaskular kompleks. Pengaktifan sistem trigeminal akan

mengakibatkan dilatasi pembuluh darah dan terjadinya nyeri kepala yang

berdenyut (Sjahrir,2008).

3. Aktivasi perifer nervus trigeminal

Inflamasi neurogenik steril berperan terhadap terjadinya sensitisasi

pada migren. Aktivasi nervus trigeminal yang mempersarafi pembuluh darah

intrakranial ini mengakibatkan pelepasan substansi P dan calcitonin gene

Universitas Sumatera Utara


related protein (CGRP), juga ditemukan komponen inflamasi yang dilepaskan

dari duramater seperti ion potasium, proton, histamin, serotonin, bradikinin,

prostaglandin E2 di pembuluh darah serebral dan nosiseptor meningeal

trigeminal. Awal dari proses aktivasi perifer ini meliputi CSD atau disfungsi

autonomik dengan aktivitas parasimpatik berlebihan. Pada fase ini ditemukan

dismodulasi sensorik, dimana aktivitas aferen normal diterima mispersepsi

dan berlebihan akibat disfungsi di batang otak, sehingga mengakibatkan

pelepasan sensorik yang berlebihan di talamus (Sjahrir,2008).

4. Aktivitas sentral nervus trigeminal

Sensitisasi sentral dihubungkan dengan eksitabilitas neuronal

abnormal pada nukleus trigeminal kaudalis, dimana ekspresi Fos di dalam

nukleus trigeminal ditemukan setelah terjadi inflamasi pada reseptor C-fiber

di meningeal, dan perluasan rangsangan berikutnya dari nervus trigeminalis

ditemukan sebagai kosekuensi dari sensitisasi perifer yang mengakibatkan

hipereksitabilitas neuronal ini (Sjahrir,2008).

Hipotesa dari beberapa riset yang tervalidas adalah bahwa neuron

sensorik meningeal memperlihatkan kemosensitivitas dan sensitisasi.

Kemosensitivitas merupakan proses suatu neuron yang insensitif terhadap

stimulus tertentu dalam keadaan resting state menjadi lebih sensitif terhadap

stimulus akibat gangguan kimiawi. Sensitisasi adalah proses dimana stimulus

yang diperlukan untuk menghasilkan suatu respon berkurang dari waktu ke

16

Universitas Sumatera Utara


waktu, sedangkan amplitudo dari respon bagi stimulus yang diberikan akan

meningkat (Sjahrir,2008).

Aktivitas pada neuron presinaptik C-fiber mengakibatkan pelepasan

transmitter neuromodulator yanjg beraksi pada metabotropik dan reseptor

tirosin kinase pada neuron kornu dorsalis untuk memulai berbagai isyarat

kaskade transduksi yang berpusat pada NMDA post sinaptik dan reseptor

AMPA, sehingga memulai sensitisasi sentral (Sjahrir,2008).

5. Lesi kerusakan progresif periaquaductal gray matter (PAG)

Periaquaductal gray matter (PAG) merupakan area yang penting

dalam mengendalikan nyeri dan berperan dalam produksi endogenous

analgesia yang mengontrol sistem nosiseptif trigeminovaskular. Penelitian

dengan PET, menemukan pengaktifan ventrolateral kaudal midbrain yang

mencakup ventrolateral PAG selama serangan migren, yang

mengindikasikan bahwa PAG terlibat pada proses nyeri craniovascular

trigeminally evoked. Area ini ditemukan progresif terganggu akibat migren

yang berulang, dan diduga sebagai konsekuensi dari sensitisasi sentra

(Sjahrir,2008).

Regulasi CGRP dan reseptor CGRP ditemukan meningkat pada

ganglion trigeminal akibat perubahan metabolik pada lingkungan

intraganglionik, seperti peningkatan level produksi nitric oxide (NO).

Peningkatan produksi CGRP, yang mengakibatkan aktivasi dan sekresi sel

17

Universitas Sumatera Utara


mast pada duramater kranial, diikuti dengan pro-inflamasi. Proses nosiseptif

periferal dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas aferen intrakranial dan

bersama dengan peningkatan NO pada sentral yang memediasi pelepasan

CGRP akan memfasilitasi aktifitas sinaptik pada nukleus trigeminal. Jika pada

saat bersamaan inhibisi descending lemah akibat disfungsi Ca2+ channel

pada PAG, mengakibatkan inhibisi pada input nosiseptif menjadi berkurang

sehingga terjadi migren (Messlinger, 2009).

Selain disebabkan level siklus hormonal, kepekaan terhadap nyeri

juga lebih tinggi dirasakan oleh wanita, hal ini disebabkan akibat dari efek

sirkuit fungsi otak dimana pada wanita dengan migren, sirkuit emosional pada

otak lebih banyak berperan dibandingkan dengan proses sensorik (Bolay dkk,

2015).

II.2. CHRONIC TENSION TYPE HEADACHE (CTTH)

II.2.1. Definisi

Chronic Tension Type Headache (CTTH) ialah nyeri kepala yang

berasal dari ETTH dengan serangan tiap hari atau serangan episodik nyeri

kepala yang lebih sering yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa

hari. Nyeri kepala bersifat bilateral, menekan atau mengikat dalam kualitas

dan intensitas ringan atau sedang, dan nyeri tidak bertambah memberat

dengan aktivitas fisik yang rutin. Kemungkinan terdapat mual, fotofobia atau

fonofobia ringan. Dengan kriteria diagnostik :

18

Universitas Sumatera Utara


1. Nyeri kepala timbul ≥ 15 hari/bulan, berlangsung >3 bulan (≥180

hari/tahun)

2. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus menerus

3. Nyeri kepala, memiliki paling tidak 2 karakteristik berikut:

- lokasi bilateral

- menekan/mengikat (tidak berdenyut)

- ringan atau sedang

- tidak memberat dengan aktivitas fisik yang rutin

4. tidak didapatkan :

- lebih dari satu : fotofobia , fonofobia atau mual yang ringan

- mual atau sedang atau berat, maupun muntah

5. tidak ada kaitan dengan penyakit lain (Sjahrir dkk, 2013).

II.2.2. Epidemiologi

Tension Type Headache (TTH) adalah jenis nyeri kepala primer yang

terbanyak dengan life time prevalence pada populasi bervariasi dengan

range 30-78%, sedangkan prevalensi CTTH adalah 2,2% (Sjahrir, 2008).

Penelitian secara potong lintang yang dilakukan terhadap 6.992

responden oleh Schramm dkk, 2013 menemukan bahwa 0,5% merupakan

penderita CTTH dimana 48% nya ialah wanita.

19

Universitas Sumatera Utara


Lyngberg dkk, 2005 meneliti 146 penderita TTH episodik frequent,

dan 15 penderita TTH kronik. Ternyata setelah difollow-up dijumpai 45%

berubah menjadi TTH infrequent atau tidak ada nyeri kepala, 39% tetap

menderita TTH episodik frequent, dan 16% menjadi TTH kronik.

II.2.3. Klasifikasi

Chronic Tension Type Headache dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. CTTH yang berhubungan dengan nyeri tekan perikranial.

Kriteria diagnostik :

- nyeri kepala yang memenuhi dalam kriteria CTTH

- nyeri tekan perikranial yang meningkat pada palpasi manual

2. CTTH yang tidak berhubungan dengan nyeri tekan perikranial

Kriteria diagnostik :

- nyeri kepala yang termasuk dalam kriteria CTTH

- nyeri tekan perikranial tidak meningkat

II.2.4. Patofisiologi

Penelitian-penelitian terdahulu mengenai mekanisme patofisiologi TTH

memfokuskan pada faktor muskuler. Namun, telah menjadi lebih nyata

bahwa faktor sentral, khususnya sensitisasi sentral juga memiliki peranan

yang penting (Sjahrir 2008).

Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan

neuron trigeminal sentral. Faktor-faktor miofasial dan sensitisasi perifer dari

20

Universitas Sumatera Utara


nosiseptor memegang peranan dalam kejadian TTH episodik, sedangkan

sensitisasi sentral berperan dalam TTH kronik. Ketidakseimbangan antara

faktor miofasial perifer dengan mekanisme sentral merupakan faktor dasar

patogenetik sefalgia (Sjahrir, 2008).

Peningkatan kekerasan otot perikranial dijumpai pada penderita TTH

kronik, namun hanya sedikit hubungan antara kekerasan dan intensitas nyeri

kepala. Selama istirahat atau olahraga, konsentrasi laktat di otot trapezius

tidak berbeda antara penderita TTH kronik dibandingkan dengan orang

sehat. Namun peningkatan aliran darah yang diinduksi olahraga berkurang

(blunted) pada penderita TTH kronik, diinterpretasikan sebagai peningkatan

vasokonstriksi simpatetik sehubungan dengan hipereksitabilitas neuron-

neuron SSP (Fernandez-de-las-Penas dkk, 2007).

Peningkatan nyeri tekan perikranial mungkin disebabkan adanya

peningkatan aktifitas pada myofascial trigger points (MTPs). Myofascial

trigger points adalah suatu tempat yang hyperirritable yang berhubungan

dengan berkas yang rapat pada otot skeletal. Myofascial trigger points ini

memberikan respon nyeri terhadap tekanan dan regangan, dan selalu

menyebabkan pola karakteristik nyeri rujukan (referred pain) (Fernandez-de-

las-Penas dkk, 2007).

Pada TTH terjadi peningkatan aktivasi nosiseptor perifer yang

kemudian akan meningkatkan frekuensi dan intensitas pada TTH. Pada

21

Universitas Sumatera Utara


CTTH mempunyai suatu basis fisiologis dan disebabkan sedikitnya sebagian

oleh perubahan kualitatif di pengolahan informasi sentral berhubungan

misalnya yaitu oleh suatu sensitisasi sentral (Sjahrir 2008).

Pada CTTH bukti eksperimental menunjukkan bahwa sensitisasi

sentral yaitu sifat eksitabilitas neuron yang ditingkatkan sistem saraf pusat

yang dihasilkan oleh input nociceptive yang lama masuk dari jaringan

pericranial myofascial memainkan peranan penting dalam patofisiologinya.

Penemuan neurotransmitter dan neuromodulator seperti nitric oxide (NO),

calcitonin gene related peptide (CGRP), substance P (SP), neuropeptide Y

(NPY) & vasoactive intestinal polypeptide (VIP) yang dilibatkan pada proses

nyeri menyediakan pemahaman baru biologi dari nyeri kepala kronik (Sjahrir,

2008).

Selain itu nociception dari jaringan pericranial myofascial berperan

utama di dalam patofisiologi TTH. Peningkatan eksitabilitas dari sistem saraf

pusat oleh adanya input myofascial perifer mungkin menyebabkan

transformasi dari episodik menjadi kronik (Sjahrir, 2008).

II.3. PENGARUH HORMON SEKSUAL TERHADAP MIGREN DAN

CHRONIC TENSION TYPE HEADACHE PADA WANITA

II.3.1. Hormon seksual dan migren

Migren lebih banyak diderita 3 kali lebih sering pada wanita

dibandingkan dengan pria terutama pada usia reproduktif . Sex steroid wanita

22

Universitas Sumatera Utara


seperti estrogen dan progesterone mempengaruhi transmisi perifer dan

sentral melalui serotonergik, noradrenergic, GABAergik dan opioidergik

(Bolay dkk,2015)

II.3.1.1. Pengaruh hormon seksual terhadap Calcitonin gene related

protein (CGRP)

Calcitonin gene related protein (CGRP) merupakan neurotransmiter

yang secara luas terdistribusi pada saraf pusat dan tepi, serta sistem

kardiovaskular. Oleh karena distribusi CGRP yang ditemukan luas pada

tubuh, diduga neuropeptida ini memiliki peranan penting dalam modulasi

fungsi fisiologis. Calcitonin gene related protein berperan sebagai vasodilator

yang poten pada sistem kardiovaskular. Pada susunan saraf pusat (SSP),

CGRP memodulasi pathways motorik, sensorik dan nyeri, serta berkontribusi

dalam memelihara aktivitas spontaneus pada nukleus trigeminal spinalis,

seperti yang ditemukan pada penelitian terhadap tikus. Antagonis CGRP

telah ditemukan dapat menginhibisi aktivitas trigeminoservikal yang

dicetuskan melalui stimulasi sinus sagitalis superior. Sehingga disimpulkan

bahwa mekanisme sentral CGRP merupakan bagian dari patofisiologi migren

(Gupta dkk,2007).

Calcitonin gene related protein disimpan dalam terminal nervus

perivaskular yang berada disekitar pembuluh darah pada junction tunika

adventisia dan media,hingga kedalam lapisan muskulus. Oleh karena


23

Universitas Sumatera Utara


itu,neuropeptida ini dapat memodulasi tonus pembuluh darah termasuk

pembuluh darah intrakranial. Akibat banyaknya neuron yang mengandung

CGRP pada sistem trigeminovaskular, pelepasan CGRP akan

mengakibatkan dilatasi pembuluh darah kranial yang berperan dalam

patofisiologi migren (Gupta dkk,2007).

Homeostasis CGRP pada SSP dipengaruhi oleh sex steroid. Baik 17β-

estradiol maupun progesteron dapat meningkatkan sintesa CGRP pada

radiks ganglion dorsalis yang merupakan lokasi utama sintesis CGRP.

Peranan CGRP pada transmisi nyeri dimodifikasi oleh 17β-estradiol,yang

ditunjukkan melalui peningkatan nosiseptor sensorik vasodilator yang

menginervasi arteriol. Pada penelitian terhadap tikus yang diovariektomi,

ditemukan bahwa peningkatan relaksasi maksimal dari arteri dural yang

signifikan terhadap respon stimulasi neurogenik periarterial pada tikus yang

diberikan 17β-estradiol dibandingkan kelompok plasebo, dan efek ini diduga

berhubungan dengan peningkatan pelepasan CGRP dari sensory nerve

ending. Perlu diingat bahwa arteri intrakranial eksaserbasi diinervasi oleh

nosiseptor nervus sensorik, dan sensasi nyeri ini merupakan hal yang penting

dalam terjadinya nyeri kepala migren (Gupta dkk,2007).

Tidak hanya level CGRP yang dimodulasi oleh sex steroid, tetapi level

m Messenger Ribonucleic Acid mRNA dari reseptor CGRP dan CGRP

binding site juga ditemukan meningkat selama kehamilan pada hewan

24

Universitas Sumatera Utara


percobaan. Progesteron ditemukan dapat menurunkan peningkatan respon

CGRP oleh 17β-estradiol. Progesteron dan 17β-estradiol dapat

mempengaruhi ekspresi reseptor CGRP dengan jalur yang berlawanan.

Temuan ini mengindikasikan bahwa sex steroid mempengaruhi CGRP dan

reseptornya pada SSP dan tepi, serta pembuluh darah. Kebanyakan hasil

penelitian menemukan korelasi yang positif antara level plasma CGRP

dengan 17β-estradiol, sehingga di duga prevalensi migren yang tinggi

berhubungan dengan level 17β-estradiol yang relatif tinggi (Gupta dkk,2007).

II.3.1.2. Pengaruh hormon seksual terhadap Noradrenalin dan α-

adrenoseptor

Pelepasan katekolamin, adrenalin dan noradrenalin endogen selama

aktivasi sistem saraf simpatis, berperan dalam regulasi respon fisiologis

melalui aktivasi α dan β-adrenoseptor. Adrenalin merupakan hormon primer

yang disekresikan melalui medulla adrenalin yang dilepaskan oleh saraf

simpatis. Oleh karena keduanya berperan dalam mempertahankan tonus

vaskular melalui α-adrenoseptor, diduga keduanya berperan dalam

patofisiologi migren.

Pada SSP, 17β-estradiol dan progesteon dapat meningkatkan

pelepasan noradrenalin hipotalamus sehingga meningkatkan eksitabilitas

ventromedial hipotalamus dan sebaliknya, terapi estradiol pada tikus

ovariektomi meningkatkan ekspresi mRNA α1B –adrenergik di hipotalamus.


25

Universitas Sumatera Utara


Dengan kedua temuan ini, diduga bahwa pemberian estradiol meningkatkan

noradrenalin pada otak dan meningkatkan sinyal post-sinaptik noradrenalin

(Hart dkk,2011).

Tikus betina memiliki level plasma adrenalin yang lebih tinggi

dibandingkan tikus jantan, dan level ini ditemukan menurun setelah

ovariektomi. Sebaliknya, 17β-estradiol dan progesteron ditemukan

berhubungan dengan penurunan tonus simpatetik dan hubungan ini sesuai

dengan temuan penurunan tonus simpatetik pada pasien migren dan dengan

penurunan level pada pasien migren saat menstruasi. Sehingga disimpulkan

bahwa hormon seksual wanita ditemukan dapat mempengauhhi efek

vasokontriksi yang dihasilkan oleh agonist α-adrenoseptor (Gupta dkk,2007).

II.3.1.3. Pengaruh hormon seksual terhadap Serotonin (5-

Hidroxytryptamin/5-HT)

Serotonin memiliki efek pada kompleks kardiovaskular, termasuk

hipotensi atau hipertensi, vasodilatasi atau vasokontriksi dan/atau bradikardi

atau takikardi, dimana respon primer yang timbul bergantung pada reseptor

5-HT yang terlibat. Berdasarkan kriteria struktur, transduksi dan operasional,

reseptor 5-HT diklasifikasikan menjadi 5-HT1, 5-HT2, 5-HT3, 5-HT4, 5-HT7,

rekombinan (5-HT5 dan 5HT6) dan reseptor orphan (Gupta dkk,2007).

Serotonin dapat terlibat dalam patogenesis migren pada level yang

berbeda. Pertama kali, otak pada pasien migren terlihat memiliki peningkatan

26

Universitas Sumatera Utara


sintesis 5-HT di bandingkan kontrol, yang mengakibatkan terjadinya

hipereksibilitas kortikal. Bukti yang tidak langsung mengenai keterlibatan 5-

HT dalam patogenesis migren ditemukan melalui mekanisme triptan yang

merupakan agonis reseptor 5-HT 1B/1D (dan pada beberapa kasus juga

pada 5-HT 1F) sebagai terapi yang efektif pada migren akut. Meskipun

mekanisme definitnya masih diperdebatkan, beberapa mekanisme telah

diajukan yaitu :

1. Menginhibisi SSP terutama pada nukleus trigeminal kaudalis,

2. Inhibisi prejunctional trigeminovascular pada level arteri kranial

ekstraserebral yang mirip dengan inhibisi pelepasan CGRP,

3. Sebagai vasokontriktor secara langsung pada arteri kranial

ekstraserebral. (Gupta dkk,2007)

Estrogen memodulasi beberapa komponen dari aktivitas neuron

serotonergik termasuk transkripsi gen dalam nukleus neuronal. Estrogen juga

memiliki 2 efek yang berbeda pada signal serotonergik, yaitu: estrogen

meningkatkan transporter ambilan serotonin sehingga menurunkan durasi

sinyal serotonergik dan sebaliknya, estrogen juga menginhibisi monoamine

oxidase (MAO) sehingga menurunkan degradasi amine dan meningkatkan

durasi sinyal serotonin. Estrogen ditemukan meningkatkan sensitivitas

reseptor 5-HT 1A pada neuron post sinaptik dimana hal ini dapat

mempotenisiasi sinyal neuron, serta juga meningkatkan sensitivitas subtipe

27

Universitas Sumatera Utara


reseptor yang sama pada neuron presinaptik sehingga menurunkan inhibisi

presinaptik (Hart dkk,2011).

Bukti neurofarmakologi dari binatang percobaan primata dengan

surgical menopause, menemukan hubungan positif antara estrogen dan

sintesis 5-HT, yang diduga di mediasi oleh subtipe Erβ. Pada penelitian kecil

dimana ditemukan wanita dengan status migren yang terjadi dalam 48 jam

setelah kontrasepsi oral dihentikan,diduga terdapat hubungan estrogen dan

sinyal serotonergik dengan migren. Pada penelitian tersebut, respon

neuroendokrin terhadap agonist reseptor 5-HT sentral (meta-

chlorophenylpiperazine /m-CPP) ditemukan menurun pada pasien dengan

status migren, dimana respon ini kembali normal setelah pemberian

supplement ethinylestradiol transdermal. Pada penelitian binatang, firing rate

pada neuron serotonergik dalam nukleus dorsal raphe ditemukan lebih tinggi

pada tikus jantan dibandingkan betina dan firing rate ini ditemukan menjadi

meningkat selama hamil (Gupta dkk,2007). Penurunan level estradiol yang

terjadi pada akhir fase luteal dari siklus menstruasi, berhubungan dengan

penurunan level serotonin perifer, sehingga hal ini diduga memulai kaskade

yang melibatkan aktivasi nukleus raphe dorsalis dan locus ceruleus, dilatasi

pembuluh darah ekstraserebral intrakranial, dan aktivasi nukleus trigeminal

kaudalis (Hutchinson, 2007).

28

Universitas Sumatera Utara


Respon vasokontriksi terhadap 5-HT pada arteri koroner yang diisolasi

dari binatang percobaan (babi) ditemukan menurun setelah paparan 17β-

estradiol. Antagonist pada Estrogen Receptor (ER), seperti inhibitor sintesis

protein de novo tidak menginhibisi efek cepat ini, sehingga disimpulkan

bahwa efek ini dimediasi bmelalui pathway non-genomik. Paparan kronik

terhadap 17β-estradiol pada arteri koroner dan aorta torakalis yang diisolasi

dari tikus dan kelinci, ditemukan dapat menurunkan efek vasokontriksi 5-HT.

Atenuasi 5-HT yang menginduksi vasokontriksi melalui 17β-estradiol pada

arteri karotis yang diisolasi dari tikus juga ditemukan pada pemberian

progesteron atau kombinasi progesteron dan 17β-estradiol. Sehingga

disimpulkan bahwa mekanisme hormon seksual diduga dimediasi melalui

efek langsung pada sel otot polos vaskular dan bukan dimediasi oleh

endothelium (Gupta dkk,2007).

II.3.1.4. Pengaruh hormon seksual terhadap keseimbangan ion

Level konsentrasi ion intraselular dan ekstraselular merupakan hal

yang penting pada neurotransmisi dan eksitabilitas neuronal. Eksitabilitas

neuronal berperan dalam patofisiologi migren, terutama pada fase awal dari

serangan migren. Konsentrasi ion juga memodulasi vasokontriksi dan

vasorelaksasi (Gupta dkk,2007).

Penurunan ion Mg2+ diduga berhubungan dengan CSD, dimana

ditemukan level Mg2+ yang rendah selama diantara serangan migren. Pasien

29

Universitas Sumatera Utara


dengan migren dengan atau tanpa aura, atau FHM, memiliki konsentrasi

Mg2+ pada bagian posterior otak yang rendah dan keparahan gejala

neurologis yang meningkat. Konsentrasi Mg2+ ditemukan menurun pada

darah, serum, sel darah merah, sel mononuklear selama dan interiktal dari

serangan migren, sehingga diindikasikan bahwa penurunan konsentrasi Mg2+

berperan terhadap terjadinya hipereksitabilitas neuronal pada pasien migren

(Gupta dkk,2007).

Ion Ca2+ juga diduga terlibat pada patogenesis migren, dimana

ditemukan bahwa:1) mutasi pada P/Q-type Ca2+ channel berhubungan

dengan FHM dan kemungkinan juga berhubungan dengan migren dengan

atau tanpa aura , dan 2) L type Ca2+ channel memodulasi pelepasan CGRP

pada neuron trigeminal yang menginervasi pembuluh darah dural. Mutasi

pada saluran ion Ca2+ ini berperan sebagai modulator spreading depression

(SD), dimana ditemukan ambang SD yang menurun dan frekuensi SD yang

meningkat (Gupta dkk,2007).

Level serum Mg2+ dan Ca2+ dipengaruhi oleh sex steroid dan

ditemukan bervariasi selama siklus menstruasi pada wanita. Pada penelitian

yang meneliti sel otot polos pada vaskular serebral, ditemukan bahwa level

estrogen dan progesteron memiliki korelasi negatif dengan konsentrasi

sistolik Mg2+, sedangkan testosteron tidak ditemukan korelasi yang serupa.

Level Ca2+ dilaporkan meningkat secara paralel dengan level estrogen pada

30

Universitas Sumatera Utara


wanita, dimana 17β-estradiol memodulasi konsentrasi Ca2+ intraselular dan

ekstraselular baik secara genomik maupun non-genomik. Secara klinis,

estrogen ditemukan meningkatkan eksitabilitas kortikal pada binatang

percobaan dengan mutasi aluran ion Ca2+ dan pemberian terapi sulih hormon

dengan dosis yang tinggi ditemukan meningkatkan insidensi aura (Gupta

dkk,2007).

Saluran Ca2+ dan K+ secara langsung berikatan dengan estrogen

receptor (ER) melalui protein G. Protein G ini diaktivasioleh steroid yang

bersifat sebagai first messenger. Paparan transient terhadap estrogen

mengakibatkan penurunan potensi agonist reseptor μ-opioid untuk

hiperpolarisasi neuron propiomelanocortin (POMC). Aksi ini dimediasi oleh

aktivasi subfamily GIRK 1-4. Estrogen telah ditemukan mempengaruhi aksi

cepat pada α1-adrenoseptor yang memediasi inhibisi konduktansi Ca2+ yang

kecil yang mengaktivasi saluran K+ pada neuron GABAergik. Oleh karena itu,

steroid seksual wanita mempengaruhi beberapa aksi fisiologis yang

mempengaruhi outcome migren termasuk : 1) peningkatan eksitabilitas

neuron dengan penurunan konsentrasi Mg2+ dan modulasi konsentrasi Ca2+,

2) pelepasan neuropeptida (terutama CGRP) dan/atau 3) aksi postjunction

vaskular. Sehingga disimpulkan bahwa modulasi berbagai konsentrasi ion

dan/atau saluran ion oleh steroid seksual wanita adalah relevan untuk

patofisiologi migren (Gupta dkk,2007).

31

Universitas Sumatera Utara


II.3.1.5. Pengaruh hormon seksual terhadap Nitric Oxide

Nitric oxide memiliki efek vasodilator dan berperan dalam regulasi

fisiologi aliran darah lokal dan tekanan darah. Nitric oxide disintesa dari L-

arginine dan dikatalisasi oleh nitric oxide synthase (NOS) pada endothelium

vaskular, paru-paru dan neuron. Meskipun NO dapat mengakibatkan

hiperpolarisasi sel otot polos vaskular, aktivasi endothelium juga dapat

menginduksi hiperpolarisasi dan vasodilatasi (Gupta dkk,2007).

Nitric oxide mempengaruhi serabut aferen pada lamina superfisialis

dari nukleus kaudalis trigeminalis tikus, dan 17β- estradiol memodulasi

ekspresi dari transmitter ini dan memblok efek nitrogliserin. Juga telah

diketahui bahwa 17β- estradiol secara langsung mempengaruhi sistem

vaskular dengan menstimulasi pelepasan NO, dimana ERα meningkatkan

aktivitas NOS pada sel endothelial melalui aktivasi secara langsung protein

phosphatidylinositol 3-OH kinase pada lokasi kompartemen non-nuklear dan

kemungkinan juga pada membran. Aktivasi pathway NO dan platelet L-

arginine ditemukan meningkat pada wanita dengan riwayat menstrual

migrene (MM) , terutama selama fase luteal, dibandingkan dengan wanita

non MM dan dengan wanita dengan migren tanpa aura. Pada binatang

percobaan (tikus), estrogen ditemukan menurunkan tonus miogenik melalui

NO-dependent mechanism pada arteri serebral tikus, dimana ditemukan

sedikit penurunan diameter vaskular sebagai respon terhadap peningkatan

32

Universitas Sumatera Utara


tekanan intramural pada wanita dengan ovariektomi yang tidak diberikan

terapi sulih hormon (Gupta dkk,2007).

Interaksi hormon seksual dengan reseptor sistolik/ nuklear memicu

efek genomik jangka panjang yang akan menstimulasi pertumbuhan sel

endothelial ketika menginhibisi proliferasi sel otot polos. Aktivasi reseptor

hormon seksual plasmalemma dapat memicu respon non genomik akut yang

dapat menstimulasi endothelium dependent mechanism sehingga

mengakibatkan relaksasi vaskular seperti pathways NO – Cyclic Guanosin

Monophosphate (cGMP), prostasiklin – Cyclic Adenosin Monophosphate

(cAMP) dan hiperpolarisasi (Gupta dkk,2007).

Oleh karena itu, efek NO memodulasi efek vasokonstriktor dari

pembuluh darah adalah efek alami non –genomik. Fungsi vaskular pada

wanita postmenopause dapat membaik melalui peningkatan level serum NO

setelah 3 bulan penggunaan oral estradiol valerate, dimana estradiol valerate

dengan medoxyprogerteron acetate dapat mengakibatkan atenuasi efek yang

bermanfaat, sehingga disimpulkan terdapat peranan yang berbeda dari

estrogen dan progesteron pada tonus vaskular. Kesimpulannya, temuan ini

mengakibatkan dugaan bahwa interaksi yang positif antara sex steroid dan

NO, sehingga mengakibatkan seseorang rentan tehadap migren (Gupta

dkk,2007).

33

Universitas Sumatera Utara


II.3.1.6. Pengaruh hormon seksual terhadap γ-aminobutyric acid

(GABA)

Meskipun sistem GABAergik tidak memiliki implikasi primer dalam

etiologi migren, hipereksitabilitas otak diduga merupakan faktor yang penting

dalam patogenesis migren. Meskipun begitu,potensial peranan GABA yang

merupakan neurotransmitter inhibitor yang utama, dipertimbangkan oleh

karena GABA predomin ditemukan pada otak a diperkirakan lebih kurang

30% dari neurotransmisi dari seluruh sinaps. Gamma aminobutyric acid

bekerja melalui 2 reseptor utama yaitu: 1) reseptor GABAA yang merupakan

reseptor ligand-gated postjunction, dan 2) reseptor GABAB dimana ekspresi

ikatan reseptor ini dengan protein G ditemukan pada pre dan post-sinaptik

(Gupta dkk,2007).

Aktivasi reseptor GABAA dan GABAB menginduksi neuroinhibisi,

dimana secara signifikan dipengaruhi oleh steroid seksual wanita. Meskipun

begitu, opening time reseptor GABAA meningkat melalui allopregnanolone

yang merupakan metabolit progesteron yang tidak bekerja pada progesteron

receptor (PR), sehingga mengakibatkan terjadinya hiperpolarisasi melalui

peningkatan influks ion Cl-. Sebaliknya, estrogen membebaskan ikatan

Reseptor GABAB dari saluran K+ GIRK (G protein coupled inwardly rectifying

potassium channel) pada hipotalamus tikus, sehingga menurunkan efek

neuroinhibisi dari reseptor GABAB (Gupta dkk,2007).

34

Universitas Sumatera Utara


Estrogen juga telah dilaporkan dapat meningkatkan ekspresi glutamic

acid decarboxylase yang berperan dalam sintesa serta pelepasan GABA.

Juga baru-baru ini dilaporkan bahwa estrogen dan/atau oksitosin dapat

meningkatkan formasi fungsional sinaps GABA pada nukleus supraoptikus

tikus dewasa. Paralel dengan aksi sentralnya, sex steroid dapat

mempengaruhi reseptor GABA vaskular yang ditemukan pada pembuluh

darah tertentu seperti arteri serebral. Meskipun begitu, perlu diketahui bahwa

GABA telah diketahui sebagai salah satu serebrovasodilator endogen yang

lemah, sehingga di pahami bahwa sex steroid memiliki efek yang berlawanan

dengan sistem homeostasis GABAergik (Gupta dkk,2007).

II.3.1.7. Pengaruh hormon seksual terhadap Glutamat

Glutamat dan resepor glutamat diketahui memiliki peranan mayor

dalam eksitatorik otak. Efek glutamat pada eksitabilitas otak dimediasi melalui

reseptor inotropik N-methyl-D-Aspartic acid (NMDA), α- amino -3-hydroxy 5-

methyl-4-isoxazole propionic (AMPA) dan kainate. Dengan pertimbangan

bahwa glutamat terlibat dalam hipereksitabilitas kortikal yang terjadi pada

migren, reseptor glutamat diatas telah menjadi target penelitian. Menariknya,

17β- estradiol dan progesteron memiliki efek yang berbeda pada reseptor

inotropik glutamate, yang bergantung pada lokasi di otak. Sebagai contoh,

17β- estradiol meningkatkan reseptor NMDA yang memediasi respon

eksitatorik pada hipokampus, tetapi tidak pada area otak yang lain.

35

Universitas Sumatera Utara


Sebaliknya, progesteron menurunkan reseptor NMDA pada korteks frontal.

Aksi dari reseptor kainate pada neuron hipokampus adalah dipotensiasi oleh

17β- estradiol. Glutamate melalui reseptor AMPA dan kainate, berkontribusi

terhadap pelepasan neuropeptida vasoaktif seperti CGRP yang dimodulasi

oleh hormon seksual wanita (Gupta dkk,2007).

II.3.1.8. Pengaruh hormon seksual terhadap Opioid

Analgetik opioid telah digunakan sebagai terapi antimigren dan sistem

opioid juga diketahui dipengaruhi oleh sex steroid. Berdasarkan kriteria

struktur, transduksi dan operasional, telah diidentifikasi 3 tipe klasik reseptor

opioid yaitu: μ, δ, dan κ. Baru-baru ini, telah ditemukan reseptor

Nociceptin/Orphanin FQ( N/OFQ ) yang disebut reseptor opioid receptor like

1 (ORL-1) atau reseptor opioid “ orphan” telah dimasukkan ke dalam dimensi

yang baru pada penelitian opioid. Keempat reseptor opioid tersebut adalah:

1) memiliki sekuensi homolog yang sama, 2) termasuk kedalam family g-

protein coupled receptor, 3) memiliki agonist dan antagonist yang selektif

(kecuali reseptor N/OFQ) dan 4) menunjukkan heterogenitas sebagai subtipe

yang multipel dari masing-masing reseptor yang telah ditemukan oleh

penelitian farmakologis, dan 5) memproduksi analgesia sebagai salah satu

efek mayor. Perbedaan gender dalam antinosiseptif yang diinduksi oleh

morfin telah dilaporkan pada berbagai spesies penelitian, termasuk tikus,

36

Universitas Sumatera Utara


monyet dan manusia, dimana ditemukan bahwa pria pada umumnya memiliki

efek antinosiseptif yang lebih besar dibandingkan wanita (Gupta dkk,2007).

Pada kehamilan, enkephalins dan dynorphins pada level medula

spinalis ditemukan meningkat, dan level 17β- estradiol dan progesteron yang

tinggi diperlukan dalam memproduksi analgesia. Ekspresi mRNA dari gen

prekusor opioid (pro-opiomelanocortin) ditemukan meningkat setelah

pemberian terapi dengan 17β- estradiol dan progesterokn dibandingkan pada

binatang percobaan yang di ovariektomi. Morfin ditemukan meningkatkan

ekspresi c-fos yang merupakan satu marker molekular migren, dimana

derajat yang tinggi ditemukan pada pria dibandingkan wanita, tetapi efek

sexual dimorphic dari morpin independen terhadap sex steroid. Sehingga

disimpulkan bahwa efek sex steroid wanita pada sistem opioid adalah: 1)

tidak selalu memiliki arah yang sama, 2) bergantung pada tipe reseptor

opioid, regio otak yang spesifik dan tipe, dan/atau durasi terapi hormon.

37

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Skematik mekanisme estrogen dalam meningkatkan insiden
migren. 1.Estrogen menyebabkan peningkatan eksitabilitas
neuronal dengan cara menurunkan kadar Mg2+ dan meningkatkan
konsentrasi Ca2+.2. Estrogen mengatur ulang regulasi sintesis
CGRP dan pelepasan serabut Aδ. 3. Didalam vaskular, estrogen
menyebbabkan peningkatan pelepasan CGRP dengan cara
mengalibatkan terjadinya vasodilatasi dimana hal tersebut
menyebabkan peningkatan ekspresi dari reseptor CGRP dan
menginhibisi sistem simpatik.4. Estrogen meningkatkan produksi
dari NO melalui eNOS(endothelial NO sintase) dari L-arg (L-
argine) oleh endotelium. 5. GABAergik dan Noradrenergik akan
muncul akibat respon adanya estrogen.6. Sebagai tambahan,
estrogen akan memodulasi penanda molecular c-fos dan NF-xB,
sementara itu akan menyebabkan mutasi dari reseptor estrogen
dan progesterone yang akan meningkatkan resiko terjadinya
migren. (Dikutip dari : Gupta S, Mehrotra S, Villalon CM,
Perusquia M, Saxena PR, VanDenBrik AM.2007. Potential role of
female sex hormones in the pathology of migraine. Pharmacology
and Therapeutics. 113: 321- 340)
38

Universitas Sumatera Utara


II.3.2. Hormon seksual dan chronic tension type headache

Hormon ovarium mempengaruhi berbagai sistem neurotransmitter ,

yaitu serotonergik , noradrenergik , glutamatergik , sistem GABAergik dan

opiatergik . Hormon ini dianggap memainkan peran penting dalam

patogenesa berbagai nyeri kepala. Mengenai sistem serotonergik , ovarium

steroid memiliki peran penting dalam sintesis serotonin , reuptake dan

degradasi dan selanjutnya dapat mempengaruhi nyeri kepala . Serotonin

tampaknya menjadi sangat penting dalam patogenesis setidaknya migren

dan CTTH , dengan kadar serotonin perifer yang menurun secara

bersamaan selama serangan nyeri kepala ( Lieba dan Weber,2011).

Teori-teori tentang patofisiologi CTTH tidak menunjukkan fluktuasi

hormonal sebagai trigger. Selama menstruasi , fluktuasi estrogen

menyebabkan kadar prostaglandin meningkat , yang dapat menurunkan

ambang nyeri dengan mempengaruhi sistem kontrol nyeri norepinefrin

menurun di otak. Selain itu , kadar estrogen yang rendah menghasilkan

hipersensitivitas reseptor dopamin, yang menyebabkan kadar prolaktin tinggi

yang pada gilirannya menyebabkan terjadi disregulasi opioid. Fluktuasi

hormon menyebabkan perubahan pada central pain pathways yang memicu

migren , karena patofisiologinya dianggap sebagai suatu proses sentral.

Namun, jika CTTH merupakan fenomena perifer , mengapa fluktuasi

estrogen menyebabkan nyeri kepala ? Apakah fluktuasi hormon yang

39

Universitas Sumatera Utara


memicu CTTH memberikan bukti bahwa CTTH dan migren memiliki

gambaran patofisiologi yang sama? Ada kemungkinan bahwa patofisiologi

episodik TTH mungkin melibatkan hubungan antara sistem saraf pusat dan

perifer , dengan pemicu mengaktifkan inti trigeminal , yang kemudian

menyebabkan sensitisasi perifer nociceptors myofascial . Ini mungkin bahwa

proses sentral pada TTH hanya diaktifkan setelah batas tertentu tercapai ,

TTH mungkin mulai terlihat lebih mirip migren bila melampaui batas ini. Ini

mungkin menunjukkan ada hubungan antara episodik TTH dan migren.

(Ailani,2010)

II.4. HUBUNGAN ETNIS DENGAN MIGREN

Peran faktor genetik pada persepsi dan respon seseorang terhadap

nyeri telah menjadi subjek pada banyak penelitian.Polymorphisms pada gen

yang spesifik merupakan penyebab perbedaan perasaan nyeri yang

dirasakan seseorang. Penelitian laboratorium yang telah dilakukan

menemukan bahwa perbedaan sensitifitas terhadap nyeri berhubungan

dengan perbedaan etnis. Faktor genetik telah ditemukan berperan dalam

proses penyerapan, metabolisme dan eliminasi obat (Anderson dkk, 2009).

Beberapa studi telah melakukan penelitian terhadap peranan sex

hormon terhadap patogenesis migren.Estrogen Receptor 1 Gene (ESR-1)

594G>A, ESR-1 325C>G, ESR 1 Pvu IIC>T, ESR-1 30T>C dan Progesterone

Receptor Gene (PGR) Progesterone Receptor Gene Polymorphism


40

Universitas Sumatera Utara


(PROGINS) merupakan polymorphisms yang telah diteliti. Pada penelitian

meta analisis yang telah dilakukan, menemukan hubungan antara

polymorphisms ESR-1 594C>A dan 325 C>G dengan migren (Schurks dkk,

2010).

Estrogen Receptor 1 Gene (ESR-1) berlokasi pada kromosom 6q25.1

dan memiliki 8 exon.Reseptor ini dapat ditemukan pada hipotalamus, sistim

limbik, hipokampus dan brainstem dimana region tersebut telah diketahui

berhubungan dengan banyak sindrom nyeri termasuk didalamnya migren

(Schurks dkk, 2010).

Estrogen Receptor 1 Gene (ESR-1) 594 G>A terletak pada exon 8 dan

325C>G terletak pada exon 4 merupakan polymorphisms yang hampir sama.

Etnis dianggap merupakan sumber dari penyebab terjadinya heterogenisitas

pada hubungan antara polymorphisms pengkodean gen untuk protein pada

jalur reseptor sex hormon. ESR-1 594 G>A terletak pada exon 8 dan 325C>G

terletak pada exon 4 merupakan polymorphisms yang hampir sama.Selain itu

ESR-1 Pvu II C>T dan PGR PROGINS juga terdapat di dalam polymorphisms

tersebut. Pada penelitian yang telah dilakukan ditemukan perbedaan Alu

tersebut antara etnis Caucasia dan Indian dimana Alu tersebut meningkatkan

resiko terjadinya migren pada etnis Caucasia (Schurks dkk, 2010).

41

Universitas Sumatera Utara


II.5. HUBUNGAN ETNIS DAN CTTH

Peranan faktor genetik pada persepsi dan respon terhadap nyeri telah

menjadi subyek penelitian pada saat in. Polymorphism pada gen yang

spesifik diduga berperan dalam hal ini (Anderson dkk, 2009).

Studi epidemiologi pada frekuensi CTTH dan genetik polymorphism

kemungkinan berperan dalam meringankan faktor resiko pada gen

polymorphism 5- hydroxytryptamine tranporter (5-HTT). Kehadiran dari alel S

diketahui menyebabkan penurunan aktivitas dan penyerapan serotonin. Pada

penelitian di Cina dan Korea menunjukkan alel S ditemukan 2 hingga 3 kali

lebih sering dibandingkan dengan alel L. Pada penelitian di Turki ditemukan

juga bahwa alel S didapatkan lebih sering pada pasien dengan CTTH

dibandingkan dengan kontrol (masing-masing 56% dan 55%) namun hal ini

lebih jarang dibandingkan dengan alel S yang yang didapatkan pada

penelitian dengan populasi masyarakat Korea (86%) (Aylin dkk, 2008).

II.6. MIGRAINE DISABILITY ASSESSMENT SCALE (MIDAS)

92% dari penderita dengan migren menunjukkan disabilitas akibat

sakit kepala; 53% dengan disabilitas hebat atau membutuhkan istirahat.

Pengaruh dari migren pada produktivitas (diukur dari waktu aktivitas yang

hilang) menggunakan pertanyaan dari MIDAS (Sjahrir dkk, 2004).

42

Universitas Sumatera Utara


Kuesioner MIDAS telah banyak digunakan secara luas dan memiliki

reliabilitas dan validitas serta telah banyak diterjemahkan kedalam banyak

bahasa. Kuesioner ini terdiri dari 5 hal yang menilai mengenai aktivitas yang

tertunda atau hilang akibat sakit kepala yang mencakup 3 bidang yaitu

sekolah/kerja, pekerjaan rumah tangga dan kegiatan keluarga,social atau

rekreasi. Respon terhadap hal-hal tersebut dikategorikan menjadi 1 hingga 4

kelas dimana kelompok 1 (skor 0-5) dengan minimal atau tanpa disabilitas,

kelompok 2 (skor 6-10) dengan disabilitas ringan, kelompok 3 (skor11-20)

dengan disabilitas sedang dan kelompok 4 (skor ≥ 21) dengan disabilitas

berat ( Blumenfeld dkk, 2010).

II.7. HEADACHE IMPACT TEST-6 (HIT-6)

Headache Impact Test-6 (HIT-6) adalah kuesioner yang terdiri atas 6

pertanyaan yang menilai mengenai tingkat keparahan nyeri kepala dan

perubahana terhadap status klinis pasien dalam jangka waktu yang pendek

(Smelt dkk, 2014).

Kuesioner ini dikembangkan pada tahun 2003 di Amerika Serikat dan

telah diterjemahkan ke dalam 27 bahasa. Pertanyaan pada kuesioner ini

cukup memiliki tingkat realibilitas dan validitas yang adekuat. HIT-6 telah

digunakan secara luas sebagai alat untuk menskrening tingkat keparahan

nyeri kepala dan akibatnya kepada kehidupan pasien dan sebagai alat untuk

mengukur outcome nyeri kepala (Smelt dkk, 2014).

43

Universitas Sumatera Utara


Skor dibagi menjadi 4 kelompok dimana kelompok 1 ( skor < 49)

sedikit atau tidak ada dampak, kelompok 2 ( skor 50-55) sedikit dampak,

kelompok 3 ( skor 56-59) dampak yang mulai berpengaruh, kelompok 4 ( skor

60-78) : berdampak berat (Yang et al., 2010).

II.8. VISUAL ANALOG SCALE (VAS)

Perasaan nyeri merupakan suatu pengalaman pribadi dan bersifat

subjektif.Para ahli telah memikirkan suatu pengukuran nyeri yang memiliki

validitas dan realiabilitas dan dapat digunakan pada maslah klinis untuk

mendiagnosa dan penatalaksanaan nyeri. Salah satu yang dapat menilai

intensitas nyeri kepala yaitu dengan menggunakan Visual Analog Scale

(VAS).

Skala berupa suatu garis lurus yang biasanya memiliki panjang 10 cm

(100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya

seperti angka 0 (tanpa nyeri) sanpai angka 10 (nyeri terberat). Dimana nilai

VAS 0 - <4 nyeri ringan. 4 - <7 nyeri sedang dan 7-10 nyeri berat (Hawker

dkk, 2011).

44

Universitas Sumatera Utara


II.9. KERANGKA TEORI

MIGREN CTTH

Migren lebih banyak diderita Ovarium steroid memiliki peran


3 kali lebih sering pada penting dalam sintesis
wanita dibandingkan dengan serotonin , reuptake dan
GENDER ETNIS
pria terutama pada usia degradasi dan selanjutnya
reproduktif (Boley dkk, 2015) dapat mempengaruhi nyeri
kepala (Lieba, 2011).
Migren diduga bukan hanya Homeostasis CGRP Etnis merupakan sumber

adanya iritasi pain fiber pada SSP dipengaruhi heterogenisitas yang


Fluktuasi estrogen
perifer yang terdapat di oleh sex steroid (Gupta berhubungan antara
menyebabkan kadar
pembuluh darah intrakranial, dkk, 2007) polymorphisms pada
prostaglandin meningkat , yang
akan tetapi juga terjadi pengkodean gen untuk jalur
dapat menurunkan ambang
kenaikan sensitisasi sel saraf reseptor protein pada
nyeri dengan mempengaruhi
sentral (Sjahrir, 2008) hormon sex (Schuks dkk,
sistem kontrol nyeri
2010)
norepinefrin menurun di otak
Sex steroid wanita seperti
(Ailani, 2010).
estrogen dan progesterone Sisa heterogenisitas pada

mempengaruhi transmisi Caucasians untuk ESR-1

perifer dan sentral melalui 594G>A, ESR-1 Pvu IIC>T


j
serotonergik, noradrenergic, dan PGR PROGINS

GABAergik dan opioidergik didalam polymorphisms


sedang hingga tinggi yang
(Bolay dkk,2015)
Sis
meningkatkan resiko
terjadinya migren (Schurks
dkk, 2010)

45

Universitas Sumatera Utara


II.10. KERANGKA KONSEP

Penderita Nyeri Kepala

MIGREN CTTH

GENDER ETNIS

MIDAS, HIT 6 dan VAS PADA


HARI PERTAMA

MIDAS, HIT 6 dan VAS PADA


HARI KE 30

46

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai