PENDAHULUAN
1
2
3
4
bahan tersebut akan hancur dan dibusukkan oleh bakteri pengurai di alam
sehingga terbentuk kompos. Pembuatan kompos secara tradisional dilakukan
dengan cara menimbun dedaunan dan pupuk kandang atau menguburnya di dalam
sebuah lubang. Proses pembuatan kompos ini dapat memakan waktu hingga tiga
bulan. Namun saat ini telah ditemukan cara baru pembuatan kompos yang lebih
iencepat dan efisien. Kompos yang merupakan pupuk organik memiliki
kandungan unsur hara yang ramah lingkungan. Unsur hara yang terdapat pada
kompos tidak akan merusak tanah seperti pupuk buatan pabrik (pupuk organik).
Kompos bersifat slow release sehingga tidak berbahaya bagi tanaman walaupun
jumlah yang digunakan cukup banyak. Pupuk kompos yang dibuat dengan
bantuan EM4 memiliki kandungan nitrogen sekitar 1,5% P2O3, sekitar 1% dan
K2O sekitar 1,5% (Redaksi Agromedia, 2007).
Pengomposan merupakan proses menurunkan perbandingan (rasio) antara
karbohidrat dan nitrogen. Nilai ratio yang diperlukan adalah mendekati atau sama
dengan nilai rasio karbon dan nitrogen tanah. Semua tanaman hanya bisa
menyerap makanan dari zat yang mempunyai rasio C/N yang nyaris sama dengan
tanah. Tanah mempunyai perbandingan rasio C/N berkisar 10-12%. Sementara itu
rasio C/N bahan kompos melebihi 50%. Agar bahan tersebut dapat diserap oleh
tanaman maka bahan kompos harus dihancurkan atau diuraikan menjadi tanah.
1. Kotoran Ternak
Kotoran ternah dari sapi, kambing, burung puyuh dan ayam pedaging
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku utama kompos. Kotoran ternak
banyak mengandung nitrogen yang digunakan tanaman untuk
pertumbuhan. Tanaman yang mendapat nitrogen yang cukup akan tampak
hijau.
2. Eceng Gondok
Dalam beberapa penelitan disebutkan bahwa eceng gondok berfungsi
menahan logam berat sehingga tanah di sekitar eceng gondok menjadi lahan yang
bersih dari bahan kimia berbahaya.
3. Batang Pisang
Batang pisang mengandung fosfor dan kalium. Keduanya berperan dalam
proses pembungaan dan pembuahan. Tanaman yang kekurangan fosfor dan
kalium akan mudah rontok buahnya.
4. Jerami
Jerami merupakan bahan kompos yang tidak bisa ditinggalkan. Bahan ini
dapat kita ambil dari pakan ternak yang tersisa. Jerami mengandung kimia pupuk
yang lengkap.
2. Ukuran bahan
Semakin kecil ukuran potongan bahan asalnya, semakin cepat proses
penguraian bahan. Ukuran ideal pemotongan bahan mentah sekitar 4 cm. Jika
potongannya terlalu kecil, timbunan menjadi padat sehingga tidak ada sirkulasi
udara.
3. Suhu optimal
Proses pengomposan berlangsung optimum pada suhu 30-42.
4. Derajat keasaman atau pH tumpukan kompos
Derajat keasaman bahan baku kompos diharapkan berkisar pada pH 6,5-8.
Agar proses penguraian berlangsung cepat pH dalam tumpukan kompos tidak
boleh terlalu rendah (asam). Karena itu bahan ditaburi dengan kapur atau abu.
pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,5 hingga 7,4. Proses
pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH
bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam secara temporer atau
lokal akan menyebabkan penurunan pH sedangkan produksi ammonia dari
senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-
fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang mendekati netral.
5. Kandungan air dan oksigen
Idealnya kadar air bahan mentah 50-70%. Jika tumpukan kompos kurang
mengandung air, bahan akan bercendawan. Hal ini merugikan karena proses
penguraian bahan berlangsung lambat dan tidak sempurna. Aktivitas perombakan
bahan organik secara aerob memerlukan oksigen. Karena itu untuk
memaksimalkan proses pengomposan buat lubang atau celah di dasar komposer
agar sirkulasi udara terjaga.
6. Kandungan Nitrogen (N)
Semakin banyak kandungan senyawa nitrogen maka akan semakin cepat
bahan terurai karena jasad-jasad renik memerlukan senyawa N untuk
perkembangannya.
7. C/N rasio
C/N rasio adalah perbandingan jumlah karbon ( C ) dengan nitrogen (N)
dalam suatu bahan. Idealnya perbandingan C dan N dalam proses pengomposan
9
adalah 25:1 hingga 30:1. Jika salah satunya berlebih, proses pengomposan akan
berlangsung lebih lama dan kompos yang dihasilkan kurang baik.
Mikroba memecah senyawa karbon sebagai sumber energu dan
menggunakan N sebagai sintesa protein. Pada rasio C/N di antara 30 sampai 40
mikroba mendapatkan cukup karbon untuk energi dan nitrogen untuk sintesa
protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi mikroba akan kekurangan N untuk
sintesa protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
Tabel 2.1 Kondisi yang optimal untuk mempercepat pengomposan
Kondisi Kondisi yang bisa Ideal
diterima
Rasio C/N 20:1 s/d 40:1 25-35:1
Kelembapan 40-65% 45-62% berat
Konsentrasi oksigen tersedia > 5% > 10%
Ukuran partikel 1 inchi Bervariasi
Bulk density 1000 lbs/cp yd 1000 lbs/cp yd
pH 5,5-9,0 6,3-8,0
Suhu 43-660C 54-600C
Sumber : (Nugroho, 2012)
Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum
strategi untuk mempercepat proses pengomposan dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu :
1. Memanipulasi kondisi atau faktor-faktor yang berpengaruh pada proses
pengomposan. Kondisi atau faktor-faktor pengomposan dibuat seoptimum
mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang optimum adalah 25-35:1. Untuk
membuat kondisi ini bahan-bahan yang mengandung rasio C/N tinggi
dicampur dengan bahan yang mengandung C/N rendah seperti kotoran
ternak. Untuk bahan yang besar dicacah sehingga ukurannya cukup kecil
dan ideal untuk pengomposan. Bahan yang terlalu kering diberi tambahan
air atau bahan yang terlalu basah dikeringkan terlebih dahulu sebelum
proses pengomposan.
10
3.1.2 Bahan-Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah :
1. Batang pohon pisang
2. Pupuk kandang
3. Serbuk kayu
4. Gula merah cair
5. EM4
12
4. Tutup wadah dengan menggunakan plastik, karung atau terpal. Usahakan
dengan rapat penutupnya, agar tidak terkontaminasi oleh apapun.
5. Aduk setiap minggu dengan membalik bahan sedemikian rupa sehingga
bagian bawah menjadi berada di bagian atas dan sebaliknya. Hal ini
dilakukan agar suhu bahan tidak terlalu panas. Pada saat fermentasi, suhu
akan meningkat menjadi 500C. Proses fermentasi siap jika ciri bahan
gembur, dingin dan tidak mengeluarkan bau.
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Kami melakukan beberapa kali pengecekan dan pengadukan di dalam
beberapa minggu, untuk itu kami akan menyimpulkannya dalam perminggu yang
dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Hasil Pengamatan
Minggu Perubahan
Pertama Suhu tong menjadi panas, warna
masih cokelat dengan tekstur seperti
serbuk kayu dan bau masih seperti
biasa dengan kadar air 10%
Kedua Terdapat ulat kecil, warna cenderung
cokelat kehitam-hitaman dan bau
cenderung seperti kotoran ayam
dengan kadar air 10%
Ketiga Ulat menghilang, warna menjadi
hitam, batang pisang tidak terlihat
bentuknya dan bau yang dihasilkan
tidak menyengat dengan kadar air
10%
4.2 Pembahasan
Pada minggu pertama setelah dimasukkan EM4 ke dalam campuran tadi,
dilakukan pendiaman selama beberapa hari. Pada hari pertama pengecekan setelah
dimasukkan EM4, batang pisang masih berupa dan masih bisa dikenalin dengan
dengan warna masih hijau. Setelah didiamkan selama 3 hari juga masih sama
dengan intensitas bentuk yang masih dikenali dengan warna yang cenderung
hijau. Suhu tong menjadi panas, ini menandakan bahwa mikroba hidup dan
14
mengurai batang pisang tersebut. EM4 ini sebagian besar mengandung
mikroorganisme Lactobacillus sp, bakteri penghasil asam laktat, serta dalam
jumlah sedikit bakteri fotosintetis yaitu Streptomycetes sp dan ragi. EM4 mampu
meningkatkan dekomposisi limbah dan sampah organik sehingga sangat bagus
digunakan untuk mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan,
meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan aktivitas serangga
hama dan mikroorganisme patogen.
Pada minggu kedua, didapatkan ulat-ulat kecil (bukan belatung) pada
capuran dan menimbulkan bau seperti kotoran ayam. Ini menandakan bahwa
proses fermentasi telah terjadi dan bau yang dihasilkan akibat dari mikroba yang
mengurai zat-zat karbon sebagai sumber energinya dan nitrogen di dalam batang
pisang untuk proses sintesanya dan pH kotoran ternak (pupuk kandung) umumnya
berkisar antara 6,5 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan
perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses
pelepasan asam secara temporer atau lokal akan menyebabkan penurunan pH
sedangkan produksi ammonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen
akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan sehingga menjadi
berbau menyengat.
Pada minggu ketiga didapatkan ulat sudah menghilang dan warna
menghitam dan tidak ditimbulkan bau. Sebenarnya proses ini telah siap dan bisa
digunakan, namun karena kurangnya waktu yang tersedia maka kami hanya dapat
memaparkan informasi berikut.
15
16
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Proses fermentasi berhasil dan terhenti di minggu ketiga dengan kompos
yang dihasilkan berwarna hitam.
2. Karena serbuk kayu sangat kecil sehingga mudah terurai oleh mikrobia
sehingga proses fermentasi lebih cepat.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama pengomposan adalah jenis bahan
yang digunakan, rasio C/N, ukuran bahan, suhu, pH dan kelembapan.
4. Penggunan EM4 hanya mempercepat proses penguraian sampah menjadi
kompos. EM4 digunakan karena merupakan kultur campuran yang berisi
banyak mikroba pengurai untuk sampah organik.
5.2 Saran
Sebaiknya proses pengomposan ini menggunakan alat bantu pH meter agar
mengetahui tingkat pH optimumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Suryati, Teti. 2009. Bijak dan Cerdas Mengolah Sampah : Membuat Kompos dar
Sampah Rumah Tangga. Jakarta : Agromedia Pustaka
17
LAMPIRAN
18
Hasil kompos pada minggu ketiga
19