Anda di halaman 1dari 43

Clinical Science Session

Acute Lung Oedema

Oleh :

Muhammad Zhikron O Orsal 1510311037


Nadhirah Binti Sa’an 1410314012
Nurul Khairantih 1510311054
Roji Dhia Nurman 1510311086
Siti Umi Kustiah 1840312208

Preseptor :
dr. M. Fadil, Sp.JP (K)

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................6
2.1 Definisi...........................................................................................................6
2.2 Epidemiologi..................................................................................................6
2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi....................................................................7
2.4 Patofisiologi dan Patogenesis.......................................................................11
2.5 Diagnosis......................................................................................................15
2.6 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................22
2.7 Tatalaksana...................................................................................................26
2.7 Prognosis......................................................................................................39
BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................42

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Edema paru akut merupakan suatu keadaan patologi, yang disebabkan
perpindahan cairan intravaskuler ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan
alveoli paru secara akut. Edema paru akut dapat terjadi karena penyakit jantung
maupun penyakit di luar jantung (edema paru kardiogenik dan non kardiogenik ).1
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
paru yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan baik dari infus darah maupun
produk darah dan cairan lainnya, sedangkan edema paru non-kardiogenik
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler paru antara lain pada pasca
transplantasi paru dan reekspansi edema paru, termasuk cedera iskemia-reperfusi-
dimediasi.2 Walaupun penyebab edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik
berbeda, namun keduanya memiliki penampilan klinis yang serupa sehingga
menyulitkan dalam menegakkan diagnosisnya.
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler
lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi
cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas.Faktor-faktor penentu
yang berperan disini yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen
kapiler dan interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan, dan
molekul besar seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari satu atau lebih
dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan terjadinya edema paru. 3 Beberapa faktor
disposisi yang terkait dengan perkembangan edema paru antara lain adalah
iskemia 51% (MI akut pada 15%), aritmia (terutama atrial fibrilasi) 31%, tekanan
darah sistolik tinggi (> 180 mmHg) 29 %, infeksi 18%, anemia 12%, kadar garam
tinggi 8%, kemungkinan penghentian obat kardiovaskular 8%, faktor lain dan
tidak diketahui 10%. Pada beberapa kasus dapat memiliki lebih dari satu faktor.4
Sampai saat ini belum ada data pasti tentang kejadian edema paru
akut.Penderita edema paru di seluruh dunia diperkirakan 74,4 juta. Di Inggris
terdapat sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang memerlukan pengobatan dan
pengawasan secara komprehensif, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 5,5

3
juta penduduk menderita edema paru dan di Jerman menunjukkan penderita
edema paru sebanyak 6 juta penduduk. Data Australia melaporkan, dari tahun
2011-2012 diperkirakan 96.700 orang dewasa mengalami gagal jantung, dan dua
pertiga di antaranya paling tidak berusia 65 tahun. Kebanyakan pasien dengan
gagal jantung kronis akan memiliki setidaknya satu episode edema paru akut yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit.5,6
Edema paru pertama kali terdeteksi di Indonesia pada tahun 1971. Sejak
pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat
baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia, insiden tersebar sejak
tahun 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR =
2%, tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun pada tahun-tahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 % (tahun 2000), 19,24 % (tahun
2002), dan 23,87 % (tahun 2003).7
Edema paru kardiogenik akut (Acute cardiogenic pulmonary
edema/ACPE) sering terjadi, dan berdampak merugikan dan mematikan dengan
tingkat kematian 10-20%.8 Angka kematian edema paru akut karena infark
miokard akut mencapai 38 – 57% sedangkan karena gagal jantung mencapai
30%.1 Tingkat kematian satu tahun untuk pasien yang dirawat di rumah sakit
dengan edema paru akut hingga 40%. Penyebab paling umum dari edema paru
akut termasuk iskemia miokard, aritmia (mis. Fibrilasi atrium), disfungsi katup
akut dan kelebihan cairan. Penyebab lain termasuk pulmonary embolus, anemia
dan stenosis arteri renal. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan efek samping
obat juga dapat memicu edema paru.9
Edema paru akut memiliki angka kematian yang tinggi, sehingga
membutuhkan manajemen darurat dan biasanya masuk ke rumah sakit.Tujuan
terapi adalah untuk meningkatkan oksigenasi, mempertahankan tekanan darah
yang memadai untuk perfusi organ vital, dan mengurangi kelebihan cairan
ekstraseluler. Penyebab yang mendasarinya harus diatasi.9

1.2. Rumusan Masalah

4
Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari Acute Lung Oedema.

1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan penuisan referat ini adalah mengembangkan wawasan dan
pemahaman mengenai Acute Lung Oedema.

1.4.Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Edema paru akut merupakan suatu keadaan patologi, yang disebabkan
perpindahan cairan intravaskuler ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan
alveoli secara akut. Edema paru akut dapat terjadi karena penyakit jantung
maupun penyakit di luar jantung (edema paru kardiogenik dan non kardiogenik).
Edema paru akut disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru
yang terjadi akibat perfusi berlebihan baik yang disebabkan oleh kegagalan berat
ventrikel kiri maupun sebab lainnya seperti inhalasi gas yang memberi
rangsangan, seperti karbon monoksida,overdosis obat barbiturat atau
opiat,pemberian cairan infus, plasma,atau transfusi darah yang terlalu cepat dari
infus darah maupun produk darah dan cairan lainnya. Edema paru akut adalah
suatu keadaan darurat medis yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu
singkat.1

2.2 Epidemiologi
Penderita edema paru di seluruh dunia adalah 74,4 juta. Di Inggris terdapat
sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang memerlukan pengobatan dan
pengawasan secara komprehensif, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 5,5
juta penduduk menderita edema paru dan data di Jerman menunjukkan penderita
edema paru sebanyak 6 juta penduduk.7
Edema paru pertama kali terdeteksi di Indonesia pada tahun 1971. Sejak
pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat
baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia, insiden tersebar sejak
tahun 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR =
2%, tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun pada tahun-tahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 % (tahun 2000), 19,24 % (tahun
2002), dan 23,87 % (tahun 2003).7,10 Edema paru kardiogenik akut (Acute
cardiogenic pulmonary edema/ACPE) sering terjadi, dan berdampak merugikan
dan mematikan dengan tingkat kematian 10-20%.8 Angka kematian edema paru

6
akut karena infark miokard akut mencapai 38 – 57% sedangkan karena gagal
jantung mencapai 30% .1

2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Berdasarkan mekanisme pencetusnya dibedakan menjadi:11
1. Edema paru non kardiogenik12
terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh kapiler paru-paru ke
dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan oleh kelainan
selain pada jantung.
Beberapa penyebab edema paru non kardiogenik:
a. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli
Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh kapiler
paru dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru sering juga disebut Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). Kedaan ini merupakan akibat langsung dari
kerusakan membran antara kapiler dan alveolar. Kondisi medis maupun surgikal
yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan membran antara kapiler
dan alveolar adalah:13
 Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
 Terisap toksin (NO, asap)
 Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
 Aspirasi asam lambung
 Pneumonitis akut akibat radiasi
 Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
 Dissemiated Intravascular Coagulation
 Immunologi: pneumonitis hipersensitif
 Pankreatitis hemoragik akut
b. Peningkatan tekanan kapiler paru
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada
penderita dengan
kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung normal. Ekspansi volume
intravaskular tidak perlu terlalu besar untuk terjadinya kongesti vena, karena
vasokontriksi sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume darah ke dalam
sirkulasi sentral. Sindrom kongesti vena (fluid overload) ini sering terjadi pada
penderita dengan trauma yang luas yang mendapat cairan kristaloid atau darah
intravena dalam jumlah besar, terutama pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu sendiri (terjadi retensi air). Pemberian
kortikosteroid menyebabkan gangguan kongesti vena lebih lanjut.7

7
c. Penurunan tekanan onkotik plasma
 Edem Paru Karena Sindrom Nefrotik
Mekanisme terbentuknya edema sangat kompleks, diantaranya:14
(1) Penurunan tekanan koloid osmotik plasma akibat penurunan konsentrasi
albumin serum; bertanggungjawab terhadap pergeseran cairan ekstraselular dari
kompartemen intra-vaskular ke dalam interstisial dengan timbulnya edema dan
penurunan volume intravaskular.
(2) Penurunan nyata eksresi natrium kemih akibat peningkatan reabsorpsi tubular.
Mekanisme meningkatnya reabsorpsi natrium tidak dimengerti secara lengkap,
tetapi pada prinsipnya terjadi akibat penurunan volume intravaskular dan tekanan
koloid osmotik. Terdapat peningkatan ekskresi renin dan sekresi aldosteron.
(3) Retensi air
Penurunan tekanan koloid osmotik plasma dan retensi seluruh
natrium yang dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk berkembangnya edema pada
sindrom nefrotik. Untuk timbulnya edema harus ada retensi air.
 Edem Paru Karena Malnutrisi
Prinsip mekanisme terjadinya edema paru pada malnutrisi hampir
sama dengan sindrom nefrotik. Hipoproteinemia merupakan dasar terjadinya
edema.
d. Edem Paru Neurogenik
Keadaan ini terjadi pada penderita yang mengalami trauma kepala, kejang-
kejang, atau peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak. Diduga dasar
mekanisme edema paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus akibat
penyebab di atas yang menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik, yang
kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke
sirkulasi pulmonal dan penurunan “compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi
penurunan pengisian ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri meningkat maka
terjadilah edema paru. Mekanisme neurogenik mungkin dapat menjelaskan
terjadinya edema paru pada penderita pemakai heroin.12,14
e. Edem Paru Karena Ketinggian Tempat
Penyakit ini secara khas menyerang orang-orang muda yang berada pada
ketinggian di atas 2700 meter (9000 kaki). Penyebab keadaan ini tidak diketahui,
diduga mekanismenya adalah hipoksia karena ketinggian menyebabkan
vasokontriksi arteriole paru dan kegiatan yang berlebih (exercise) merangsang
peningkatan kardiak output dan peningkatan tekanan arteri pulmonal, akibatnya
terjadilah edema paru.7,12,15

8
Gejala-gejala yang paling sering ditemukan adalah batuk, napas pendek,
muntah-muntah dan perasaan nyeri dada. Gejala-gejala tersebut terjadi dalam 6 –
36 jam setelah tiba di tempat yang tinggi. Tidak semua orang menderita penyakit
ini, bahkan orang-orang yang terkena penyakit ini pun tidak mendapatkan gejala-
gejala setiap kali terkena pengaruh tempat tinggi itu. Kesembuhan dapat terjadi
dalam waktu 48 jam serta selanjutnya penderita dapat tetap bertempat tinggal di
tempat tinggi tanpa gejala-gejala.12,15
f. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural.
Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah:7
(1) perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan
tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut ‘edema paru re-ekspansi’. Edema
biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis
dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan
‘edema paru re-ekspansi’ ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan
ekstensif,
(2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan
peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial).

2. Edema paru kardiogenik


Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Edema paru akut kardiogenik ini
merupakan bagian dari spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS).
Penyebab edema paru kardiogenik ialah:16
1. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard,
penyakit katup aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi krisis,
kelainan jantung bawaan (paten duktus arteriosus, ventrikel septal defek),
infeksi jantung (perikarditis, endokarditis).
2. Volume overload
3. Obstruksi mekanik aliran kiri
4. Insufisiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut transplantasi
paru, karsinomatosis limfangiektasis, atau limfangitis fibrosis.

Penyebab Edem Paru (Berdasarkan Mekanisme yang Mendasari)25

9
Permeabilitas Kapiler yang berubah
a. Edem paru infeksius (viral or bacterial)
b. Inhalasi toksin
c. Sirkulasi toksin
d. Zat Vasoaktif (histamine, kinins)
e. Disseminated intravascular coagulation
f. Reaksi imunologik
g. Pneumonia radiasi
h. Uremia
i. Hampir lemas
j. Pneumonia aspirasi
k. Inhalasi asap
l. Adult respiratory distress syndrome
II. Peningkatan tekanan kapiler paru
A. Penyebab kardiak
 Gagal ventrikel kiri
 Mitral stenosis
 Endocarditis bakteri subakut
B. Penyebab Non Kardiak
 Fibrosis vena paru
 Congenital stenosis
 Penyakit oklusi vena paru
C. Infus cairan IV berlebihan
III. Penurunan tekanan onkotik
A. Hypoalbuminemia dari berbagai penyebab (renal, hepatic, nutritional, or
protein-losing enteropathy)
IV. Insufisiensi Limfatik
V. Mekanisme campuran atau tidak diketahui
a. High-altitude pulmonary edema (HAPE)
b. Edem paru neurogenik (central nervous system trauma, subarachnoid
bleeding)
c. Heroin overdos (also other narcotics)

10
d. Emboli paru (very rare)
e. Penyakit parenkim paru
f. Eclampsia
g. Cardioversion
h. Cardiopulmonary bypass
i. Postanesthetic

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis


Pada paru normal (gambar 2.1), cairan dan protein keluar dari
mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruang
interstitial sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein,
serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi
ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang
alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat.
Selain itu, ketika cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan
ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik
ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan.
Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari
mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan
sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein.17

Gambar 2.1 Paru Normal11


Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:7
1. Membran kapiler alveoli
Edem paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan `dari pembuluh darah
ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke

11
dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam
keadaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh
darah ke ruangan interstisial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum
Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi
sistemik.18,19,20
Q(iv-int)=Kf[(Piv-Pint) – df(Iiv-Iint)]
Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstisial
Piv = tekanan hidrostatik intravaskular
Pint = tekanan hidrostatik interstisial
Iiv = tekanan osmotik koloid intravaskular
Iint = tekanan osmotik koloid interstisial
Df = koefisien refleksi protein
Kf = kondukstan hidraulik

2. Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan
cairan balik dari pembuluh darah, akibat tekanan yang lebih negatif di daerah
interstisial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari
interstisium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini
ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila
kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi
edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat
kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas
sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-
rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan
mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat
kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edem.
Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang
kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.7
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler
lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi
cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas.18,20 Faktor-faktor
penentu yang berperan disini yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik
dalam lumen kapiler dan interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air,
larutan, dan molekul besar seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari

12
satu atau lebih dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan terjadinya edema
paru.20
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan
filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih besar daripada
tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju pleura viseral yang
menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka
cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein rendah.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru biasanya disebabkan oleh
meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg).
Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan edema di
perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium
kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edem akan menembus epitel paru,
membanjiri alveolus. Dalam keadaan normal tekanan kapiler paru berkisar 8-12
mmHg dan tekanan osmotik koloid plasma 28 mmHg. 18,19,20 Kejadian tersebut
akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses-proses
sebagai berikut:
1. Meningkatnya kongesti paru menyebabkan desaturasi dan menurunnya
pasokan oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan
vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan yang
melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk
fungsi jantung.
Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif
ion Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel
epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif
ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak pada
membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui
aquaporins yang merupakan saluran air pada sel tipe I.21
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada
gagal jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard

13
dimana terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat
melemahnya pompa jantung.22 Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru
menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial paru, dimana tekanan
hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid plasma. Pada
tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka
peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang
alveoli.
Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru
kardiogenik:20
Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial
paru tetapi terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik.
Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui sehingga
cairan dan koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar bronkioli,
arteriol, dan venula.
Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema
alveoli. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas.

Gambar 2.2 Patofisiologi Edema Paru11

14
2.5 Diagnosis
Terdapat dua tipe edema paru yang berbeda pada manusia:23
1) Edema paru kardiogenik (juga disebut hidrostatik atau hemodinamik edema)
2) Edema paru nonkardiogenik (juga dikenal sebagai edema paru permeabilitas
yang meningkat, cedera paru akut, atau sindrom gangguan pernapasan akut).
Meskipun memiliki penyebab yang berbeda, edema paru kardiogenik dan
nonkardiogenik mungkin sulit dibedakan karena manifestasi klinisnya yang
serupa. Edema interstitial menyebabkan dispnea dan takipnea. Kebanjiran alveolar
menyebabkan hipoksemia arteri dan mungkin berhubungan dengan batuk dan
dahak cairan edema berbusa. Anamnesis riwayat penyakit harus fokus
menentukan gangguan klinis yang mendasarinya yang menyebabkan edema
paru.23
Edem Paru Kardiogenik Edem Paru Non Kardiogenik
 Penyebab umum edema paru Anamnesis  Edema paru non
kardiogenik meliputi iskemia kardiogenik dikaitkan
dengan atau tanpa infark terutama dengan gangguan
miokard, eksaserbasi jantung klinis lainnya, termasuk
sistolik atau gagal jantung pneumonia, sepsis,
diastolik, dan disfungsi katup aspirasi isi lambung, dan
mitral atau aorta. Volume trauma besar yang terkait
berlebih juga harus dengan pemberian
dipertimbangkan. berbagai transfusi produk
 Riwayat khas dispnea nokturnal darah.
paroksismal atau ortopnea  Anamnesis riwayat harus
menunjukkan edema paru berfokus pada tanda dan
kardiogenik. gejala infeksi, penurunan
 Namun, silent infark miokard tingkat kesadaran yang
atau disfungsi diastolik occult berhubungan dengan
juga dapat bermanifestasi muntah, trauma, dan
sebagai akut edema paru. perincian obat-obatan dan
konsumsi.

15
Namun, riwayat tersebut tidak selalu dapat diandalkan dalam membedakan edema
paru kardiogenik dan nonkardiogenik. Misalnya, infark miokard akut (menunjukkan
edema kardiogenik) mungkin disulitkan oleh adanya sinkop atau henti jantung dengan
aspirasi isi lambung dan edema nonkardiogenik. Sebaliknya, pada pasien dengan
trauma parah atau infeksi (menunjukkan edema nonkardiogenik), resusitasi cairan
dapat menyebabkan volume berlebih dan edema paru akibat peningkatan tekanan
hidrostatik vaskular paru.

 Pasien dengan edema paru Pemeriksaan  Pemeriksaan perut,


kardiogenik sering ditemukan Fisik panggul, dan dubur
pemeriksaan jantung yang penting. Krisis
abnormal. Auskultasi S3 intraabdominal seperti
gallop relatif spesifik untuk perforasi viskus dapat
peningkatan tekanan diastolik menyebabkan cedera paru
akhir ventrikel kiri dan akut dengan
disfungsi ventrikel kiri dan nonkardiogenik edema, dan
menunjukkan edema paru pasien yang memiliki
kardiogenik. ventilasi mekanis mungkin
 Data kurang pada sensitivitas tidak dapat memberikan
dan spesifisitas temuan lain riwayat gejala abdominal.
pada pemeriksaan edema  Pasien dengan edema
kardiogenik. nonkardiogenik sering
 Murmur yang konsisten memiliki ekstremitas
dengan stenosis katup atau hangat, bahkan tanpa
regurgitasi harus adanya sepsis.
menimbulkan kecurigaan
untuk diagnosis edema
kardiogenik.
 Peningkatan vena leher, hati
yang membesar dan lunak,
dan edema perifer
menunjukkan peningkatan
tekanan vena sentral.

16
 Edema perifer juga tidak
spesifik untuk gagal jantung
kiri dan mungkin
berhubungan dengan
insufisiensi hati atau ginjal,
gagal jantung kanan, atau
infeksi sistemik.
 Pemeriksaan paru-paru tidak
membantu, karena kebanjiran
alveolar dari sebab apa pun
akan bermanifestasi sebagai
radang pernapasan dan sering
rhonki.
 Pasien dengan edema
kardiogenik dan curah jantung
buruk biasanya memiliki
ekstremitas dingin.
Tabel 2.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik23
Anamnesis
Pasien dengan edema paru kardiogenik/cardiogenic pulmonary oedema (CPE)
hadir dengan gambaran klinis berupa:24
1. Gagal jantung kiri. Pasien tiba-tiba mengalami sesak napas yang ekstrim,
kecemasan, dan perasaan lemas.
2. Manifestasi klinis dari CPE akut mencerminkan bukti hipoksia dan
peningkatan tonus simpatis (peningkatan aliran katekolamin).
3. Pasien paling sering mengeluh sesak napas dan diaforesis yang banyak.
4. Pasien dengan gejala onset bertahap (misalnya, lebih dari 24 jam) sering
melaporkan dispnea saat aktivitas, ortopnea, dan dispnea nokturnal
paroksismal.
5. Batuk adalah keluhan yang sering dan dapat memberikan petunjuk awal
untuk memperburuk edema paru pada pasien dengan disfungsi LV kronis.
6. Dahak berbusa dan pink dapat terjadi pada pasien dengan penyakit parah.

17
7. Kadang-kadang, suara serak dapat terjadi akibat dari kompresi kelumpuhan
saraf laring berulang dari atrium kiri yang membesar, seperti pada stenosis
mitral (tanda Ortner).
8. Nyeri dada memberi kemungkinan iskemia / infark miokard akut atau diseksi
aorta dengan regurgitasi aorta akut, sebagai pemicu edema paru.

Pemeriksaan Fisik24
 Temuan fisik pada pasien dengan CPE sering dengan adanya takipnea dan
takikardia. Pasien mungkin duduk tegak, mereka menunjukkan tanda
kebutuhan udara yang banyak, gelisah dan bingung. Pasien biasanya terlihat
cemas dan diaforesis.
 Hipertensi sering ada, karena keadaan yang hiperadrenergik. Hipotensi
menunjukkan disfungsi sistolik left ventricle (LV) parah dan kemungkinan
syok kardiogenik. Ekstremitas dingin dapat menunjukkan curah jantung yang
rendah dan perfusi yang buruk.
 Auskultasi paru-paru biasanya menunjukkan fine, crepitant rales, tetapi ronki
atau wheezing juga ada. Rales biasanya didengar di basis terlebih dahulu; dan
ketika kondisinya memburuk, akan berkembang ke apeks.
 Temuan kardiovaskular biasanya terutama pada S3, aksentuasi komponen
pulmonal S2, dan distensi vena jugularis. Auskultasi murmur dapat membantu
dalam diagnosis gangguan katup akut yang bermanifestasi dengan edema
paru.
 Stenosis aorta dikaitkan dengan murmur sistolik crescendo-decrescendo yang
keras, yang terdengar paling baik di batas sternum atas dan menjalar ke arteri
karotis. Sebaliknya, regurgitasi aorta akut dikaitkan dengan murmur diastolik
pendek dan lembut.
 Regurgitasi mitral akut menghasilkan murmur sistolik keras yang terdengar
paling baik di apeks atau batas sternum bawah. Pada penyakit jantung
iskemik, ia mungkin merupakan tanda MI akut dengan ruptur chordae katup
mitral. (Lihat gambar di bawah.)

18
Gambar 2.3 Radiografi edema paru24
Radiografi menunjukkan edema paru akut pada pasient yang dirawat dengan
infark miokard anterior akut. Temuannya adalah redistribusi vaskular, hilus tidak
jelas, dan infiltrasi alveolar.

 Stenosis mitral biasanya menghasilkan S1 yang keras, opening snap, dan


diastolik rumble di apeks jantung.
 Temuan fisik penting lainnya adalah pucat atau bintik-bintik pada kulit yang
disebabkan oleh vasokonstriksi perifer, curah jantung yang rendah, dan pirau
darah ke sirkulasi sentral pada pasien dengan fungsi LV yang buruk dan
peningkatan tonus simpatis secara substansial. Presentasi bintik-bintik adalah
prediktor independen dari peningkatan risiko kematian di rumah sakit.
 Pasien dengan kegagalan ventrikel kanan bersamaan (RV) dapat datang
dengan hepatomegali, refluks hepatojugular, dan edema perifer.
 CPE parah dapat disertai perubahan status mental, yang dapat disebabkan
oleh hipoksia atau hiperkapnia. Meskipun CPE biasanya dikaitkan dengan
hipokapnia, hiperkapnia dengan asidosis respiratorik dapat terlihat pada
pasien dengan CPE berat atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang
mendasarinya.

19
Gambar 2.4 Algoritma Perbedaan Edema Paru Kardiogenik dan Nonkardiogenik24

Gambar 2.5 Riwayat penting pada pasien edem paru25

20
Gambar 2.6 Temuan fisik yang mungkin terdapat pada pasien edem paru25

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjnag yang dilakukan pada pasien dengan dugaan AHF
meliputi:
1) Elektrokardiogram (EKG)
Elektrokardiogram (EKG) akan mengeluarkan gambaran infark miokard
dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan risiko tinggi lainnya. Pasien dengan
edem paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukan gambaran
gelombang T negative yang melebar dengan QT memanjang yang khas, dimana
akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1
minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan
yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial
yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut

21
dari tonus simpatis kardiak yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada
dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal
akibat perubahan metabolic atau katekolamin.11
2) Modalitas pencitraan
Ultrasonografi toraks: Dengan keahlian, ultrasonografi thoraks dapat
menjadi alat diagnostik yang berguna untuk memvisualisasikan dan mengarahkan
tanda-tanda edema interstitial. Kongesti paru dapat dinilai dengan menganalisis
Kerley B-line, yaitu garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak
dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edem septum
interlobular. Kuantitas dan difusi B-lines memberikan estimasi semi-kuantitatif
dari kadar air di ekstravaskular paru (≤5, tidak ada; 6-15, derajat ringan; 16-30,
derajat sedang;> 30, edema paru berat). B-lines berguna dalam diagnosis banding
antara AHF dan penyebab dispnea non-cardiac. 26
Rontgen dada: Ini adalah salah satu modalitas yang paling sering
digunakan dalam pemeriksaan AHF. Sebagian besar tanda spesifik AHF adalah
kongesti vena paru, efusi pleura, edema interstitial atau alveolar, dan kardiomegali
. Namun, sensitivitas radiografi dada terbatas, karena mungkin dapat normal pada
hampir 20% kasus. Jika tersedia, USG paru mungkin lebih sensitif dan modalitas
hemat waktu dalam mendeteksi edema interstitial. Radiografi thoraks juga dapat
mengidentifikasi etiologi alternatif dispnea , seperti pneumonia atau infeksi paru
lainnya.26
Gambaran rontgen pada pasien acute cardiogenic pulmonary edema sebagai
berikut:

Gambar 2.7 Rontgenogram pada Acute Cardiogenic Pulmonary Edema26


Berdasarkan hasil foto rontgen juga dapat dibedakan antara Acute pulmonary
edema karena masalah cardiogenic atau non-cardiogenic berdasarkan temuan
seperti dibawah ini.

22
Gambar 2.8 Perbedaan Acute Cardiogenic Pulmonary Edema dengan
Nonkardiogenik26
Ekokardiografi: USG jantung segera adalah wajib pada semua pasien
dengan ACS dan ketikat kelainan struktural akut atau gangguan fungsional
jantung yang mengancam jiwa (komplikasi mekanik, diseksi aorta, dll.) Dalam
kasus lain yang dicurigai, mungkin dilakukan nanti selama rawat inap, ketika
tersedia (lebih baik, selama 48 jam pertama masuk). Ekhokardiografi dapat
mengevaluasi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam
mendiagnosis penyebab edem paru.26
3) Katerisasi Pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (pulmonary artery occlusion
pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk menentukan
penyebab edem paru akut.27
4) Tes laboratorium

BNP: tingkat NP Plasma (B-type natriuretic peptide, N-terminal pro-B-
type natriuretic peptide, atau atrial pro mid-regional peptida natriuretik )
harus diukur pada semua pasien dengan dispnea akut dan dicurigai AHF.
Karena sensitivitasnya yang tinggi, BNP sangat penting dalam
menentukan AHF sebagai etiologi dispnea akut , karena tidak mungkin
jika hasil normal untuk membuat diagnosis AHF. Namun, ada banyak

23
penyebab jantung dan non-jantung, yang mungkin terkait dengan
peningkatan kadar BNP plasma. Oleh karena itu, nilai BNP yang lebih
tinggi tidak secara otomatis mengkonfirmasi diagnosis AHF dan
interpretasi levelnya harus dikombinasikan dengan penilaian klinis dan
pencitraan jantung. BNP memiliki nilai prognostik dalam AHF:
konsentrasi yang lebih tinggi berarti kondisi yang lebih parah dan
peningkatan risiko untuk masuk kembali dan kematian. BNP dan
prekursornya pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai
edem paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma
berhubungan dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular
end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya
pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat
sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan
sensitifitas 91% dan spesifitas 93% (Lorraine et al) . Richard dkk
melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling
pressure (pasquate 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu tes
diagnosis untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman
diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti
penelitian menunjukan bahwa pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi
negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit penyakit
lainnya.26

Troponin jantung: berguna untuk mendeteksi ACS sebagai pemicu AHF.
Peningkatan kadar troponin juga terkait dengan hasil yang lebih buruk di
AHF.

Penilaian laboratorium berikut harus dilakukan pada saat masuk di semua
pasien dengan AHF: nitrogen urea darah (BUN) / urea, kreatinin ,
elektrolit (natrium, kalium), tes fungsi hati, glukosa , dan hitung darah
lengkap. Tes fungsi hati abnormal mencerminkan profil klinis yang
berbeda dalam AHF. Spidol kolestasis Peningkatan berhubungan dengan
tanda-tanda kemacetan sistemik, HF kanan dan konsentrasi yang lebih
tinggi dari kreatinin dan B NP, sedangkan peningkatan tingkat alanine
aminotransferas , aspartate aminotransferase - dengan tanda-tanda
hipoperfusi dan kerusakan sel hati berikutnya. Fungsi ginjal yang

24
memburuk adalah komorbiditas AHF yang sering , yang memperburuk
prognosis. Pedoman ESC juga merekomendasikan untuk melakukan
tiroid-stimulating hormone (TSH), karena baik hipotiroidisme dan isme
hipertiroid dapat memicu AHF.26

Meskipun tidak diperlukan dalam banyak kasus, gas darah arteri mungkin
berguna pada kasus ketidakstabilan hemodinamik dan gangguan
pernapasan yang berat. Keseimbangan asam-basa harus diperoleh saat
masuk, terutama pada pasien dengan APE atau riwayat penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) sebelumnya. Jika gangguan pernapasan berlanjut
meskipun terapi awal dengan oksigen dan / atau ventilasi non-invasif
(NIV), analisis gas darah vena cukup untuk mendeteksi asidosis
respiratorik atau metabolik.26

Ada beberapa biomarker baru (sST2, Galectin-3, GDF-15, dll.) Sedang
diselidiki dalam AHF, tetapi mereka belum diperkenalkan ke praktik klinis
rutin.

2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan edem paru non kardiogenik:
 Supportif
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan adalah :
- support kardiovaskular
- terapi cairan
- renal support
- pengelolaan sepsis
 Ventilasi
Menggunakan ventilasi protective lung atau protocol ventilasi ARDS net.
Pengobatan yang dilakukan di arahkan terhadap penyakit primer yang
menyebabkan terjadinya edema paru tersebut disertai pengobatan suportif
terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi
hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme kompensasi tubuh akan bekerja
dengan baik bila terjadi gagal multiorgan.11
Pemberian oksigen sering berguna untuk meringankan dan menghilangkan
rasa nyeri dada dan bila memungkinkan dapat dicapai paling baik dengan

25
memberikan tekanan positif terputus-putus. Kebutuhan untuk intubasi dan
ventilasi mekanik mungkin akan semakin besar sehingga pasien harus dirawat di
unit perawatan intensif (ICU).11
Untuk mengoptimalkan oksigenasi dapat dilakukan teknik-teknik
ventilator, yaitu Positiveendexpiratorypressure (PEEP) 25-15 mmH2O dapat
digunakan untuk mencegah alveoli menjadi kolaps. Tekanan jalan napas yang
tinggi yang terjadi pada ARDS dapat menyebabkan penurunan cairan jantung dan
peningkatan risiko barotrauma (misalnya pneumotoraks). Tekanan tinggi yang
dikombinasi dengan konsentrasi O2 yang tinggi sendiri dapat menyebabkan
kerusakan mikrovaskular dan mencetuskan terjadinya permeabilitas yang
meningkat hingga timbul edema paru, sehingga penerapannya harus hati-hati.28
Salah satu bentuk teknik ventilator yang lain yaitu inverseratioventilation
dapat memperpanjang fase inspirasi sehingga transport oksigen dapat berlangsung
lebih lama dengan tekanan yang lebih rendah. extra corporeal membrane
oxygenation (ECMO) menggunakan membran eksternal artifisial untuk membantu
transport oksigen dan membuang CO2. Strategi terapi ventilasi ini tidak begitu
banyak memberikan hasil yang memuaskan untuk memperbaiki prognosis secara
umum tapi mungkin bermanfaat pada beberapa kasus.28
Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara.
Dengan menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi
kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan retriksi cairan, penggunaan diuretik
dan obat vasodilator pulmonal (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya
penatalaksanaan hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan
keseimbangan yang optimal antara tekanan pulmoner yang rendah untuk
mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk
mempertahankan perfusi jaringan dan transport oksigen yang optimal.28
Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat dan antagonis
kalsium juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus
menyebabkan hipotensi dan perfusi organ yang terganggu, untuk itu
penggunaanya harus hati-hati. Obat-obat inotropik dan vasopresor seperti
dobutamin dan noradrenalin mungin diperlukan untuk mempertahankan tekanan
darah sistemik dan curah jantung yang cukup terutama pada pasien dengan sepsis

26
(vasodilatasi sistemik). Inhalasi NO telah digunakan sebagai vasodilator arteri
pulmonal yang selektif. Karena diberikan secara inhalasi sehingga terdistribusi
pada daerah di paru-paru yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi yang
terjadi pada alveoli yang terventilasi akan memperbaiki disfungsi ventilasi/perfusi
sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas membaik. NO secara cepat
diinaktivasi oleh hemoglobin sehingga mencegah reaksi sistemik.11
Penatalaksanaan edem paru kardiogenik :
Edema paru akut adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan
penanganan segera. Tujuan perawatan adalah untuk mengurangi gejala,
meningkatkan oksigenasi, mempertahankan curah jantung dan perfusi organ vital,
dan mengurangi kelebihan cairan ekstraseluler. Setiap penyebab yang mendasari
harus diidentifikasi ketika memulai perawatan. Obat-obatan yang digunakan
dalam pengobatan termasuk nitrat, diuretik, morfin dan inotrop . Beberapa pasien
akan memerlukan dukungan ventilasi.29,30 Algoritma yang bekerja untuk
pengelolaan edema paru akut diuraikan pada gambar dibawah ini:

27
Gambar 2.9 Algoritma Tatalaksana Acute Pulmonary Edema27

Keterangan:
1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretic, dosis yang
direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan. Dapat
diulang jika diperlukan.
2. O2 saturasi dengan pulse oximeter<90 atau PaO2<60 dapat diberikan,
yang terkait dengan peningkatan resiko mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak
boleh digunakan secara rutin pada pasien non-hipoksemia karena menyebabkan
vasokonstriksi dan penurunan curah jantung.

28
3. Biasanya dimulai dengan O2 40-60% dititrasi sampai SaO2 > 90%,
hati-hati pada pasien yang mempunyai resiko retensi CO2.
4. Contoh, pemberian morfin 4-8 mg ditambah metoclopramide 10 mg,
observasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit,
bingung/kesadaran menurun, iskemik miokardial.
6. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2,5 mikrogr/kg/menit, dosis
dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika
terdapat takikardia, aritmia atau iskemik). Dosis>20 mikrogr/kg/menit jarang
sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator
ringan sebagai akibat dati stimulasi beta-2 adrenoseptor.
7. Pasien harus diobservasi ketat secara regular (gejala, denyut dan ritme
jantung SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.
8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 mikrogram/menit dan dosis
dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit tergantung respon, biasanya titrasi naiknya dosis
dibatasi oleh hipotensi. Dosis>100 mikrogram/min jarang sekali diperlukan.
9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dyspnea, diuresis
yang adekuat (produksi urine >100 ml/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan
saturasi O2 dan biasanya terjadi peurunan denyut jantung dan frekuensi
pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer
juga dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi
kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya
penurunan ronkhi.
10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti
terapi IV dengan pengobatan diuretic oral
11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dypnea, ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard),
dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi). Menilai tanda-
tanda kongesti/edem perier dan paru, denyut dan irama jantug, tekanan darah,
perfusi perifer, frekuensi pernafasan serta usaha pernafasan. EKG (ritme/iskemia
dan infark) dan kimia darah/ hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal

29
ginjal) juga harus diperiksa. Pulse oxymetry (atau pengukuran gas darah arteri)
harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
12. Produksi urine < 100 ml/jam dalam 1-2 jam pertama adalah respon
awal pemberian diuretic IV yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter
urine).
13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah/ shock,
dipertimbangkan diagnosis alternative (emboli paru misalnya), masalah mekanis
akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta). Kateterisasi artei
paru dapat mengnditifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang
tidak adekuat (lebih tepat dalam menyesuaikan terapi vasoaktif)
14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya
harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi
15. CPAP dan NIPPV harus dipertimbagkan pada pasien yang tidak
terdapat kontraindikasi. Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure
dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi
dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen)
pada pasien dengan edema paru akut. Namun, penelitian RCT besar yang terbaru
menunjukan bahwa ventilasi non-invasif tidak ada perbedaan yang signifikan
terhadap penurunan angka kematian bila dibandingkan dengan terapi standar,
termasuk nitrat (dalam 90% dari pasien) dan opiate (di 51% dari pasien). Hasil ini
berbeda dengan penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih
kecil. Ventilasi non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk
meringanan gejala pada pasien dengan edem paru dan gangguan pernafasan parah
atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik dengan terapi farmakologis.
Kontraindikasi untuk penggunaan ventilasi non invasive meliputi hipotensi,
muntah, kemungkinan pneumothorax dan depressed consciousness.
16. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal
dan ventilasi invasive jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernafasan,
meningkatnya kebingungan/penurunan tingkat kesadaran, dll.
17. Meningkatkan dosis loop diuretic hingga setara dengan furosemide
500 mg

30
18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretic meskipun
tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara
langsung) maka mulai infus dopamine 2,5 mikrogram/kg/menit. Dosis yang lebih
tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis
19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan
pasien tetap terjadi edem paru maka ultrafiltasi terisolasi venovenous harus
dipertimbangkan.

Gambar 2.10 Tatalaksana pada pasien AHF dengan pulmonary oedema27


Dalam praktek klinis, manajemen akut PO didasarkan pada opiat IV,
diuretik, vasodilator, inotrop, dan MV. Dalam sekitar 70-80% kasus, pasien PO
diobati dengan kombinasi terapi IV, yang dapat menjelaskan perjalanan pasien di
rumah sakit dan hasil yang merugikan. 30

a. Vasodilator
Vasodilator intravena adalah jenis obat yang kedua paling sering
digunakan dalam AHF untuk menghilangkan gejala; Namun, tidak ada bukti kuat
yang mengkonfirmasi efek penggunaanya. Vasodilator memiliki manfaat ganda
dengan mengurangi denyut vena (untuk mengoptimalkan preload) dan denyut
arteri (kurangi afterload ). Karena itu, mereka juga dapat meningkatkan volume
sekuncup. Vasodilator khususnya berguna pada pasien dengan AHF hipertensi,
sedangkan pada mereka dengan SBP, 90 mmHg (atau dengan hipotensi

31
simptomatik) seharusnya dihindari. Dosis harus dikontrol dengan hati-hati agar
tidak berlebihan menurunkan tekanan darah, yang terkait dengan hasil yang
buruk. Vasodilator harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
signifikan stenosis mitral atau aorta. 31
Berdasarkan dengan pedoman baru-baru ini, vasodilator dapat dianggap
sebagai adjuvant untuk terapi diuretik untuk bantuan dyspnea saat SBP tetap> 110
mmHg. Menariknya, SBP digunakan sebagai sinyal keamanan dan bukan sebagai
penanda keberhasilan. Nitrogliserin IV (NTG) terutama merupakan venodilator
yang menurunkan preload dan mengurangi kongesti paru. Manfaat hemodinamik
dari NTG dihasilkan oleh aktivasi siklik guanosin monophosphate (cGMP )
-terdapat protein kinase . NTG menghasilkan redistribusi darah dari sirkulasi
sentral ke dalam vena kapasitansi yang lebih besar, mengurangi kongesti vena
paru dan mengurangi impedansi LV, yang menghasilkan penurunan tekanan
atrium kiri . Terapi nitrat dosis tinggi secara bersamaan dan furosemide IV dosis
rendah dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan untuk intubasi dan risiko lebih
rendah dari kejadian kardiovaskular lainnya dibandingkan dengan furosemide IV
dosis tinggi pada pasien PO. Pemanfaatan nitrat IV dalam AHF dibatasi oleh
aktivasi dan toleransi neurohormonal reaktif . Toleransi nitrat , didefinisikan
sebagai hilangnya efek hemodinamik meskipun terjadi peningkatan dosis, dapat
berkembang dalam beberapa jam, dan dapat berkontribusi pada pola pemanfaatan
nitrat IV yang diamati dalam pendaftar. Nesiritide , rekombinan natriuretic peptide
(BNP) tipe B dengan sifat vasodilatasi , dikaitkan dengan penurunan tekanan baji
kapiler paru (PCWP) yang signifikan. Dibandingkan dengan NTG, nesiritide
menghasilkan penurunan tekanan pengisian yang signifikan tetapi tidak ada
perbedaan antara nesiritide dan NTG dalam hal perbaikan dispnea. 30

Gambar 2.11 Vasodilator pada AHF30

b. Diuretik

32
Diuretik adalah dasar dalam pengobatan pasien dengan AHF dan tanda-
tanda kelebihan cairan dan kongesti. Diuretik meningkatkan ekskresi garam dan
air ginjal dan memiliki beberapa efek vasodilatasi. Pada pasien dengan AHF dan
tanda-tanda hipoperfusi , diuretik harus dihindari sebelum perfusi yang memadai
tercapai. Pendekatan awal untuk manajemen kemacetan melibatkan iv. diuretik
dengan penambahan vasodilator untuk menghilangkan dispnea jika tekanan darah
memungkinkan. 31
Diuretik loop intravena adalah komponen penting dari pengobatan PO, dan
pedoman terbaru menganggap diuretik IV sebagai terapi lini pertama. Analisis
baru-baru ini menunjukkan bahwa diuretik IV diberikan kepada sekitar 90%
pasien yang dirawat di rumah sakit untuk PO. Furosemide adalah diuretik yang
paling umum digunakan. Diuretik loop menghambat reabsorpsi NaCl dan
menghasilkan natriuresis dan diuresis. Efek diuretik terjadi 35-45 menit setelah
pemberian IV. Mereka bertindak dengan menghambat co-transporter Na / 2Cl / K
ginjal di membran luminal dari tungkai tebal loop Henle , yang bertanggung
jawab untuk reabsorpsi 35% natrium yang disaring. Dari catatan, furosemide
menghambat co-transporter Na / 2Cl / K yang sama dalam sel epitel alveolar
mengubah sekresi transepitel klorida dan meningkatkan pembersihan cairan
alveolar dan resolusi edema. Selanjutnya, furosemide IV menghasilkan venodilasi
langsung , efek yang dapat dilihat secepat 2-5 menit setelah pemberian. Venodilasi
langsung dihambat oleh pemberian indometasin lokal tetapi tidak dengan blokade
sintesis oksida nitrat (NO), menunjukkan bahwa venodilatasi vaskular langsung
tergantung pada prostaglandin lokal tetapi tidak pada produksi NO . Pengurangan
cepat dalam pengembalian vena yang dihasilkan oleh furosemide biasanya terjadi
sebelum diuresis dan mungkin relevan secara terapi untuk mendapatkan perbaikan
gejala pada PO. Namun, efek bersih venodilatory dari furosemide sulit untuk
dinilai, karena penurunan volume sirkulasi yang dihasilkan oleh furosemide
adalah pada biaya aktivasi neurohormonal. Pedoman saat ini merekomendasikan
sebagai dosis furosemide IV pertama menjadi 2,5 kali dosis oral yang ada pada
pasien PO yang sudah menggunakan diuretik.30

c. Vasopresor

33
Obat-obatan dengan tindakan vasokonstriktor arteri perifer yang menonjol
seperti norepinefrin atau dopamin dalam dosis yang lebih tinggi (0,5 mg / kg /
mnt) diberikan kepada pasien dengan hipotensi yang nyata. Agen ini diberikan
untuk meningkatkan tekanan darah dan mendistribusikan kembali darah ke organ
vital. Namun, ini dengan mengorbankan peningkatan afterload LV . Dopamin
dibandingkan dengan norepinefrin dalam pengobatan berbagai pasien syok.
Analisis subkelompok menunjukkan bahwa norepinefrin akan memiliki efek
samping yang lebih sedikit dan mortalitas yang lebih rendah. Epinefrin (adrenalin)
harus dibatasi untuk pasien dengan hipotensi persisten meskipun tekanan
pengisian jantung yang memadai dan penggunaan agen vasoaktif lainnya, serta
untuk protokol resusitasi.30
Obat dengan tindakan vasokonstriktor arteri perifer terkemuka seperti
norepinefrin. kadang-kadang diberikan kepada pasien dengan hipotensi berat.
Agen ini diberikan untuk meningkatkan tekanan darah dan mendistribusikan
kembali curah jantung dari ekstremitas ke organ vital. Namun, ini dengan
mengorbankan peningkatan afterload LV, dan agen ini memiliki efek samping
yang mirip dengan inotrop (dan agen yang paling umum digunakan, norepinefrin
dan epinefrin, memiliki aktivitas inotropik). Penggunaannya harus dibatasi untuk
pasien dengan hipoperfusi persisten meskipun tekanan pengisian jantung
memadai. 27

d. Opiat
Opiat meredakan dyspnoea dan kecemasan. Dalam AHF, penggunaan
opiat secara rutin tidak dianjurkan dan mereka hanya dipertimbangkan secara hati-
hati pada pasien dengan dispnea berat, sebagian besar dengan edema paru. Efek
samping yang tergantung pada dosis termasuk mual, hipotensi, bradikardia dan
depresi pernapasan (berpotensi meningkatkan kebutuhan ventilasi invasif). Ada
kontroversi mengenai risiko kematian yang berpotensi meningkat pada pasien
yang menerima morfin.30
Morfin telah menjadi bagian dari pengobatan tradisional untuk edema paru
akut karena dapat mengurangi dyspnoea . Efek ini dianggap sekunder akibat
venodilatasi , menghasilkan pooling vena dan pengurangan preload. Namun,
mekanisme tindakan ini sekarang sedang dipertanyakan. Morfin juga mengurangi

34
aktivitas saraf simpatik dan dapat mengurangi kecemasan dan kesulitan yang
berhubungan dengan dyspnoea. Efek buruk morfin termasuk depresi sistem
pernapasan dan sistem saraf pusat, mengurangi curah jantung dan hipotensi.
Morfin yang digunakan untuk edema paru akut telah dikaitkan dengan efek
samping seperti peningkatan secara signifikan ventilasi mekanik, perawatan
intensif dan kematian. Dengan tidak adanya data uji coba acak berkualitas tinggi ,
bukti terbaik saat ini menunjukkan bahwa morfin dapat menyebabkan kerusakan.
Karenanya morfin tidak lagi direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada
edema paru akut . Mungkin bermanfaat jika ada nyeri dada yang resisten terhadap
nitrat. Dosis morfin yang rendah (1-2,5 mg) dapat berguna untuk memfasilitasi
toleransi ventilasi noninvasif tetapi pasien perlu dimonitor untuk sedasi.1 Morfin
umumnya digunakan dalam pengobatan PO, meskipun kurangnya bukti yang
mendukung kemanjurannya. Morfin diberikan untuk menyebabkan vasodilatasi
sistemik dan mengurangi kecemasan terkait dispnea. Penggunaan diuretik dan
vasodilator IV dapat mengurangi kongesti paru dan menghindari efek buruk
morfin pada dorongan pernapasan. Morfin mungkin berguna pada beberapa pasien
dengan PO dalam pengaturan iskemia miokard ketika diperlukan analgesia,
karena morfin mengurangi kecemasan dan mengurangi rasa sakit.30

e. Inotropik
Obat inotropik intravena diindikasikan pada edema paru akut ketika ada
hipotensi dan bukti penurunan perfusi organ. Penggunaannya terbatas pada situasi
klinis ini pada pasien yang sakit kritis karena mereka dikaitkan dengan lama
tinggal di rumah sakit yang lebih lama dan peningkatan mortalitas. Dalam kasus
gangguan fungsi ventrikel kiri dan hipotensi, terapi lini pertama adalah infus
dobutamin intravena. Serta tindakan inotropik positifnya , dobutamin memiliki
efek vasodilatasi perifer yang dapat mengakibatkan memburuknya hipotensi, yang
mungkin memerlukan penatalaksanaan dengan vasopressor. Dobutamine dapat
menyebabkan aritmia dan dikontraindikasikan jika pasien mengalami aritmia
ventrikel atau fibrilasi atrium yang cepat . Inotrop lain yang dapat meningkatkan
curah jantung dan meningkatkan perfusi perifer adalah milrinone . Ini seharusnya
hanya digunakan untuk manajemen jangka pendek gagal jantung berat yang
belum menanggapi perawatan lain. Milrinone dapat meningkatkan mortalitas pada

35
eksaserbasi akut gagal jantung kronis. Ini dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan blokade beta kronis. 29
Sebagian besar pasien yang dirawat dengan PO memiliki kongesti paru
terkait dengan tekanan pengisian LV yang tinggi. Meskipun sebagian besar
hipertensi atau normotensif saat masuk, sekitar 10-15% pasien PO datang dengan
SBP rendah sebagai hasil dari CO2 rendah ,dan agen inotropik diperlukan. Pasien
PO lainnya mungkin mengalami penurunan SBP yang tidak terduga dan tiba-tiba
selama rawat inap sebagai akibat dari pengobatan agresif dari kemacetan paru atau
resolusi dari respons stres reaktif. Subset ini selanjutnya membutuhkan inotrop IV
untuk mempertahankan CO dan tekanan perfusi. SBP rendah pada presentasi atau
tanda-tanda hipoperfusi jaringan, serta kebutuhan terapi inotropik, semua variabel
yang terkait dengan mortalitas jangka pendek di pendaftar mendaftarkan pasien
PO. Inotropik yang paling umum digunakan adalah agen sympatomimethic (yaitu
dobutamin dan dopamin). Agen-agen ini telah dikaitkan dengan efek samping
seperti iskemia, tachyarrhythmias , dan hipotensi, dan dapat meningkatkan
mortalitas di rumah sakit dan postdischarge. Namun, karena hipoperfusi sistemik
dalam pengaturan CO rendah terjadi, agen simpatomimetik tetap menjadi terapi
utama. , meskipun terkait dengan efek samping jangka panjang, mungkin
dimediasi melalui cedera miokard yang memburuk. Untuk agen simpatomimetik,
pengobatan sebelumnya dengan beta-blocker dapat sangat memengaruhi respons
klinis yang diantisipasi. Levosimendan diberikannya efek inotropik positif dengan
meningkatkan sensitivitas kalsium dari elemen kontraktil jantung dan
diberikannya efek vasodilator perifer langsung dengan memblokir saluran kalium
ATP-dependent di otot polos pembuluh darah efek ini tidak dilemahkan oleh
pengobatan bersamaan dengan beta-blocker dan berkelanjutan di luar lamanya
infus obat karena levosimendan memiliki metabolit aktif dengan waktu paruh
yang panjang. Levosimendan menunjukkan profil hemodinamik yang
menguntungkan dalam studi praklinis dan klinis karena mengurangi PCWP dan
meningkatkan CO, menunjukkan potensi manfaat bagi pasien dengan PO dengan
SBP rendah atau normal.30

36
Gambar 2.12 Inotropik dan Vasopresor pada AHF30
f. Ventilasi
Tujuan MV, baik invasif atau non-invasif, adalah untuk meningkatkan
oksigenasi, mengurangi kerja pernapasan, untuk memindahkan cairan alveolar dan
interstitial ke kapiler, untuk membalikkan asidosis pernapasan dan hiperkapnia ,
dan akhirnya untuk meningkatkan perfusi jaringan. Keputusan untuk memulai
MV harus diantisipasi dan harus didasarkan pada penilaian klinis, dengan
mempertimbangkan gambaran klinis keseluruhan, tetapi tidak boleh ditunda
sampai pasien dalam keadaan ekstrem atau memiliki tingkat kesadaran yang
berubah. Sekalipun MV invasif adalah terapi penyelamat jiwa dalam perawatan
pasien yang sakit kritis, penggunaannya harus diseimbangkan dengan potensi efek
jantung yang merusak. Pada pasien PO dengan hipertensi, penurunan preload
mungkin bermanfaat. Namun, pada pasien hipotensi, penurunan preload dapat
menyebabkan penurunan CO dan SBP. Komplikasi potensial lainnya perlu
dipertimbangkan, seperti barotrauma, dan infeksi sistemik. Meskipun penggunaan
MV invasif adalah prediksi ACM, prognosis pasien PO yang diobati dengan MV
mungkin lebih tergantung pada tingkat keparahan hemodinamik perturbasi
daripada tingkat kegagalan pernapasan. NIMV dapat dianggap sebagai terapi

37
tambahan pada pasien dengan PO yang memiliki gangguan pernapasan berat atau
yang kondisinya tidak membaik dengan terapi farmakologis.30

Gambar 2.13 Penatalaksanaan acute heart failure berdasarkan ESC 201631

2.7 Prognosis
Prognosis acute pulmonary edema tergantung dari penyakit yang
mendasari terjadinya acute pulmonary edema tersebut. Lebih dari 50% kasus
acute pulmonary edema menunjukkan angka motalitas yang masih cukup tinggi.
Beberapa kasus yang dapat bertahan dari acute pulmonary edema menunjukkan
kelainan di parunya akibat dari acute pulmonary edema seperti, fibrosis pada
paru, disfungsi dari proses difusi gas.21
Pada pasien dengan acute pulmonary edema dengan riwayat kejadian
kardiovaskular sebelumnya, kardiomiopati, LVEF, sistolik tekanan darah,
kreatinin serum saat presentasi, dan penggunaan diuretik merupakan faktor
prognostik terhadap hasil pengobatan pasien APE. Prognosis acute lung oedem
sangat berkaitan dengan kejadian LVEF dan tekanan darah sistolik pada saat

38
pasien masuk. Selain dari LVEF dan tekanan darah sistol, gangguan fungsi ginjal
juga termasuk ke dalam parameter penentu prognosis dari kejadian acute lung
oedem pada pasien, dimana hasil kreatinin serum ≥ 1,4 mg/dL termasuk
meningkatkan angka mortalitas pada pasien. riwayat kejadian kardiovaskuler pada
pasien dapat meningkatkan lima kali resiko kematian pada pasien, kejadian
kardiomiopati meningkatkan dua kali risiko kematian, dan acute lung oedem pada
diagnosis sekunder akan meningkatkan empat kali risiko kematian pada pasien.32

39
BAB 3
KESIMPULAN

1. Acute pulmonary edema dapat dibagi menjadi 2 yaitu kardiogenik dan non
kardiogenik. Non kardiogenik disebabkan adanya transudasi cairan dari
pembuluh darah kapiler paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru
karena kelainan tekanan onkotik. Kardiogenik disebabkan oleh edema paru
hidrostatik, hipertensi, penyakit katup jantung, eksaserbasi gagal jantung.
2. Diagnosis dari acute pulmonary edema dapat diketahui melalui anamnesis
dari gejala pasien, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Pengobatan acute pulmonary edema ditujukan kepada penyakit primer
penyebab terjadinya edema paru disertai pengobatan suportif terutama
pempertahankan oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi hemodinamik.

40
DAFTAR PUSTAKA
1. Nendrastuti H, Soetomo M. Edema Paru Akut Kardiogenik dan Non
Kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi.2010;1(3):10-15.
2. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med.
2005;353:2788-96.
3. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc
Lung Dis. 2011;15(2):155-160.
4. Roguin A, Behar D, Ben Ami H, Reisner SA, Edelstein S, Linn S, Edoute Y.
Long-term prognosis of acute pulmonary oedema--an ominous outcome. Eur
J Heart Fail. 2000 Jun;2(2):137-44.
5. Rampengan,S.H. Edema Paru Akut. Jurnal Biomedik (JBM);2014;6(3): 149-
156
6. Australian Institute of Health and Welfare. Cardiovascular disease, diabetes
and chronic kidney disease: Australian facts: prevalence and incidence.
Canberra: AIHW; 2014. http://www.aihw.gov.au/publication-detail/?
id=60129549616 [cited 2017 Mar 1].
7. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-
5). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2009; p. 1651-3.
8. Salman A, Milbrandt EB, Pinsky MR. The role of noninvasive ventilation in
acute cardiogenic pulmonary edema. Critical Care. 2010;14(303):1-3.
9. Purvey M, trainee A and Allen G. Managing acute pulmonary oedema.Aust
Prescr. 2017 Apr; 40(2): 59–63.
10. Huldani H. Edema paru akut. Refarat. Universitas Lambung Mangkurat
Fakultas Kedokteran, Banjarmasin. 2014. Available from:
eprints.unlam.ac.id/207/
11. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005; 353:2788-96
12. Givertz MM. Noncardiogenic Pulmonary Edema. Februari 2017 [Cited 2017
8 March]; Available from: http://www.uptodate.com/contents/noncardiogenic-
pulmonary-edema

41
13. Amin Z, Ranitya R. Penatalaksanaan Terkini ARDS. Update: Maret 2006.
Availablefrom:URL:http://www.interna.fk.ui.ac.id/artikel/darurat2006/dar2_0
1.html
14. Moss M, Ingram RH. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Harrison,
Fauci, Logo’s, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine 15th Edition on
CD-ROM. McGraw-Hill Companies. Copyright 2001.
15. Gomersall C. Noncardiogenic Pulmonary Oedema. Update: June 2009.
Available from: URL:
http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/noncardiogenic_pulmonary_oedema. Htm.
16. Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, Drexler H, Filippatos GS, Jondeau G, et
al. Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of
acute heart failure. Eur Heart J. 2005;26:384-416.
17. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis
VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52
18. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non
kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.
19. Majoli F, Monti L, Zanierato M, Campana C, Mediani S, Tavazzi L, et al.
Respiratory fatigue in patients with acute cardiogenic pulmonary edema. Eur
Heart J. 2004;6: F74-80.
20. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc
Lung Dis. 2011;15(2):155-160.
21. Soemantri. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu
Penyakit Dalam 2011. FK UNAIRRSUD Dr. Soetomo, 2011. p.113-9.
22. Bestern AD. Noninvasive ventilation for cardiogenic pulmonary edema: froth
and bubbles? Am J Respir Crit Care Med, 2003.

23. Ware LB, Matthay MA. Acute Pulmonary Edema.The New England Journal
of Medicine. n engl j med 353;26 www.nejm.org december 29, 2005.

24. Ali A Sovari. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical Presentation.


TheHeart.orgMedscape. 2017. Diakses 30 Maret 2019.
https://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical#showall

25. Alpert JS, Ewy GA. Manual of Cardiovascular Diagnosis and Therapy, 5th
Edition. Chapter 5 Pulmonary Edema. Diakses 30 Maret 2019.
tele.med.ru/book/cardiac_anesthesia/text/al/al005.htm

42
26. Assaad S, Kratzert WB, Shelley B, Friedman MB, Jr AP. Assessment of
Pulmonary Edema : Principles and Practice. 2018;32:901–14.

27. Task A, Members F, Mcmurray JJ V, Uk C, Germany SDA, Auricchio A, et al.


ESC GUIDELINES ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure 2012 The Task Force for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society
of Cardiology . Developed in collaboration with the Heart Failure Association
( HFA ) of the ESC. 2012;1787–847.

28. Ware LB, Matthay MA. Acute Pulmonary Edema. 2005;2788–96.

29. Allen G. Managing acute pulmonary oedema. 2017;40(2):59–63.

30. Chioncel O, Collins SP, Ambrosy AP, Gheorghiade M. Pulmonary Oedema —


Therapeutic Targets Lymphatic drainage. 2015;4:38–45.

31. Task A, Members F, Ponikowski P, Poland C, Voors AA, Germany SDA, et al.
2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure The Task Force for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure of the European Society of Cardiology ( ESC )
Developed with the special contribution of the Heart Failure. 2016;891–975.

32. Parissis JT, Nikolaou M, Mebazaa A, Ikonomidis I, Delgado J, Boas FV, et al.
acute pulmonary oedema: clinical, characteristics, prognostic factors, and in-
hospital management. European Journal of Heart Failure. 2010;12:1193-1202

43

Anda mungkin juga menyukai