Aik 2
Aik 2
Islam adalah agama yang sempurna. Allah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhai Islam itu
menjadi agamamu.”[QS.Al-Maidah,5:3]. Setiap muslim wajib mengetahui bahwa sumber
utama keyakinan (aqidah) dan hukum agama adalah al-Quran dan As-Sunnah. Nabi
Muhammad s.a.w. bersabda, “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan
sesat selama berpegangkepada keduanya: kitab Allah dan Sunnah rasulNya.”[Hadits Shahih.
Riwayat Imam Malik dan lainnya], ini yang dijadikan sumber utama keyakinan
muhammadiyah terhadap islam.
Dari wacana yang terus bergulir, orang pun selalu mempertanyakan: “Bagaimana
Muhammadiyah memahami Islam sebagai sebuah kebenaran mutlak untuk mendapatkan
jawaban yang yang mendekati kebenaran Islam yang sejati? Apa rumusan kongkret pandangan
Muhammadiyah tentang Islam? Dan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana
melaksanakannya di dalam tindakan nyata?”. Dalam hal ini Muhammadiyah telah memiliki
tiga rumusan penting, yang diasumsikan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Pertama: rumusan tentang Masâilul Khamsah (Masalah Lima); kedua: rumusan Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (yang dikenal di kalangan warga
Muhammadiyah dengan singkatan MKCH), dan ketiga: rumusan tentang: Pedoman Kehidupan
Islami Warga Muhammadiyah.
Rumusan awal mengenai Islam dalam keyakinan Muhammadiyah tertuang dalam Himpunan
Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai “Masâilul Khamsah” (Masalah Lima) tanpa ada
rujukan nashnya (baik berupa nash al-Quran maupun as-Sunnah).
Dari rumusan “Masâilul Khamsah” terkandung rumusan fundamental (pandangan dasar)
tentang Islam dalam pandangan Muhammadiyah, yang tertuang dalam penjelasan mengenai:
agama, dunia, ibadah, sabilullah dan qiyas.
Tajdid dalam bidang ideologi akhirnya menjadi menjadi salah satu keputusan Muktamar
Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta, yang terkenal dengan istilah: “Keyakinan dan Cita-Cita
Hidup Muhammadiyah”.
Pertanyaan-pertanyaan tentang siapa konseptor MKCH, sampai saat ini tidak pernah terjawab
dengan pasti, tetapi beberapa nama tokoh Muhammmadiyah tercatat sebagai penggagas yang
memiliki saham terbesar dalam perumusan MKCH tersebut. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
1. Buya KH. Malik Ahmad
2. Buya AR Sutan Mansur
3 .Prof.Dr.H.M. Rasyidi
4. KHM. Djindar Tamimy
5. KH. Djarnawi Hadikusuma
6. KH. AR Fachruddin, di samping tokoh muda, pada waktu itu, Drs. Mohammad Djazman al-
Kindi.
Diperoleh data, bahwa pada tahun 1968-1970, Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah
merumuskan sebuah buku panduan yang bertajuk “Pribadi Muslim” dan “‘Ibâdur Rahmân”
untuk pimpinan-pimpinan Muhammadiyah. Rumusan inilah yang (diasumsikan) banyak
memberi inspirasi kepada para tokoh Muhammadiyah untuk menggagas MKCH.
Pada tahun 1970 Pimpinan Pusat Muhammadiyah membentuk “Tim Ideologi” yang dipimpin
oleh KHM. Djindar Tamimy dan Drs. Mohammad Djazman al-Kindi, yang kemudian memberi
saran, tanggapan, penyempurnaan terhadap (konsep) MKCH hasil Sidang Tanwir tahun 1969
di Ponorogo, Jawa Timur. Dan hasilnya menjadi rumusan baku MKCH yang terdiri dari 3 (tiga)
kelompok rumusan dari 5 (lima) ayat, dari (semula) 9 ayat.
Kelompok ketiga adalah kelompok fungsi dan misi Muhammadiyah (tersebut dalam ayat 5),
yang berisi:
Ayat 5 : Muhammadiyah mengajak segala lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat
karunisa Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan
bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila untuk berusaha bersama-
sama menjadikan negara Republik Indonesia tercinta ini menjadi “baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafûr” (negara yang adil makmur dan diridhai Alah SWT).
KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku
untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam beragama Islam. Konsep normatif Islam
sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah
s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî (tindakan), fi’lî (ucapan) dan taqrîrî(sikap).
KHA. Dahlan menganjurkan agar umat Islam agar memiliki keberanian untuk berijtihad
dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali
kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Ketika kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun
terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk as-Sunnah sebagai
panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil pemahaman al-Quran, hasil
interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan
interpretasi atas al-Quran yang “terjamin” kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada
paradigma “’ishmah ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan
selalu benar dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya. Teguran
atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu dilakukan oleh Allah,
dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah s.a.w.
Muhammadiyah selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang
dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath” yang
proporsional. Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan
diri secara tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi
Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam
Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab
dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” (kokoh/kuat) dan meninggalkan yang “marjûh”
(rapuh/lemah).
Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah
berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah
secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih)
operasional.
Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran maupun
as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya
kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan
‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari realitas-empirik
berdasarkan pada prinsip mashlahah (kebaikan), karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk
dan tidak adanya kemungkinan untuk melakukan qiyâs.
Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan
ke dalam pengembangan pemikiran yang mungkin saja linear atau berseberangan, berkaitan
dengan tuntutan zaman. Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir,
bersikap dan bertindak. Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab,
keislaman kita adalah “keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal (hablun
minannâs, hubungan antarmanusia) dan sekaligus vertikal (hablun minallâh, hubungan antara
manusia dengan Allah)”.