Anda di halaman 1dari 5

Islam dalam keyakinan Muhammadiyah

Islam adalah agama yang sempurna. Allah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhai Islam itu
menjadi agamamu.”[QS.Al-Maidah,5:3]. Setiap muslim wajib mengetahui bahwa sumber
utama keyakinan (aqidah) dan hukum agama adalah al-Quran dan As-Sunnah. Nabi
Muhammad s.a.w. bersabda, “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan
sesat selama berpegangkepada keduanya: kitab Allah dan Sunnah rasulNya.”[Hadits Shahih.
Riwayat Imam Malik dan lainnya], ini yang dijadikan sumber utama keyakinan
muhammadiyah terhadap islam.

Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio-kultural, dalam dinamika


kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai macam perkembangan kehidupan dengan
senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruj’û ilâ al-Qurân wa al-sunnah, menjadikan al-Quran
dan as-Sunnah sebagi sumber rujukan). Di satu sisi kehidupan selalu melahirkan berbagai
persoalan, dan pada sisi yang lain Islam menyediakan referensi normatif atas berbagai
persoalan tersebut. Orientasi inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosio-
kultural lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya, maupun dalam menyusun
kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah
memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi pemikiran keislamannnya.
Pemikiran keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan
keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan wacana keislaman dalam merespon
dan mengantisipasi perkembangan kehidupan. Masalah yang selalu hadir mengharuskan
adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses penafsiran
dinamik antara normativitas ad-dîn (agama), berupa al-ruj’û ila al-Qurân wa as-Sunnah
(keharusan merujuk kepada al-Qurân dan as-Sunnah), historisitas (kenyataan sejarah tentang
adanya) penafsiran atas ad-dîn, realitas kekinian dan prediksi masa depan, di samping
pendekatan dan teknik pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut, Muhammadiyah perlu
merumuskannya secara spesifik. Dengan demikian diharapkan rûhul ijtihâd (semangat untuk
menggali ajaran agama dari sumber-sumbernya) dan tajdîd (upaya pemurnian dan
pembaharuan pemikiran keislaman) terus tumbuh dan berkembang.

Dari wacana yang terus bergulir, orang pun selalu mempertanyakan: “Bagaimana
Muhammadiyah memahami Islam sebagai sebuah kebenaran mutlak untuk mendapatkan
jawaban yang yang mendekati kebenaran Islam yang sejati? Apa rumusan kongkret pandangan
Muhammadiyah tentang Islam? Dan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana
melaksanakannya di dalam tindakan nyata?”. Dalam hal ini Muhammadiyah telah memiliki
tiga rumusan penting, yang diasumsikan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Pertama: rumusan tentang Masâilul Khamsah (Masalah Lima); kedua: rumusan Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (yang dikenal di kalangan warga
Muhammadiyah dengan singkatan MKCH), dan ketiga: rumusan tentang: Pedoman Kehidupan
Islami Warga Muhammadiyah.
Rumusan awal mengenai Islam dalam keyakinan Muhammadiyah tertuang dalam Himpunan
Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai “Masâilul Khamsah” (Masalah Lima) tanpa ada
rujukan nashnya (baik berupa nash al-Quran maupun as-Sunnah).
Dari rumusan “Masâilul Khamsah” terkandung rumusan fundamental (pandangan dasar)
tentang Islam dalam pandangan Muhammadiyah, yang tertuang dalam penjelasan mengenai:
agama, dunia, ibadah, sabilullah dan qiyas.

Pertama, mengenai masalah agama, Muhammadiyah merumuskan:


1. Agama yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. ialah apa yang
diturunkan Allah di dalam al-Quran dan yang terdapat dalam as-Sunnah yang shahih,
berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia
di dunia dan akhirat.
2. Agama adalah apa yang disyari’atkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan
manusia di dunia dan akhirat.
Kedua, mengenai masalah dunia, Muhammadiyah merumuskan:
Yang dimaksud “urusan dunia” dalam sabda Rasulullah s.a.w.: “kamu lebih mengerti
urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi
(yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).
Ketiga, mengenai masalah ibadah, Muhammadiyah merumuskan:
Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala
perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala
yang diizinkan Allah.
Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus:
a. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah
b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya,
tingkah dan cara-caranya yang tertentu.
Keempat, dalam masalah sabilullah, Muhammadiyah merumuskan:
Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, berupa segala
amalan yang diizinkan oleh Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan
melaksanakan hukum-hukum-Nya.
Kelima, dalam masalah qiyas , Muhammadiyah merumuskan:
1. Setelah persoalan qiyas dibicarakan dalam waktu tiga kali sidang, dengan
mengadakan tiga kali pemandangan umum dan satu kali Tanya-jawab antara kedua
belah pihak
2. Setelah mengikuti dengan teliti akan jalannya pembicaraan dan alasan-alasan yang
dikemukakan oleh kedua belah pihak dan dengan menginsyafi bahwa tiap-tiap
keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekadar mentarjihkan di antara pendapat
yang ada, tidak berati menyalahkan pendapat yang lain.
Memutuskan :
a. Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Quran dan
al-Hadits
b. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat
dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan
ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dan tegas)
di dalam al-Quran atau as-Sunnah shahihah maka dipergunakanlah alasan dengan
jalan ijtihad dan istinbath dari pada nash-nash yang ada melalui persamaan ‘illat ;
sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.
Matan Keyakinan Dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM), pada mulanya
merupakan putusan dari Sidang Tanwir Muhammadiyah, tahun 1969, di Ponorogo, Jawa Timur
dalam rangka melaksanakan amanat Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di
Yogyakarta. Kemudian dirumuskan kembali dan disempurnakan pada tahun 1970 dalam
Sidang Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta.
MKCH hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah, tahun 1969, di Ponorogo, Jawa Timur terdiri dari
9 (sembilan) ayat, yang kemudian di dirumuskan kembali dan disempurnakan pada tahun 1970
dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta menjadi 5 (lima) ayat.
Pada tahun 1968, Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta dengan tema “Tajdid”
menggagas pembaharuan dalam 5 (lima) bidang, yaitu:
1. Ideologi
2. Khittah Perjuangan
3. Gerak dan Amal Usaha
4. Organisasi
5. Sasaran

Tajdid dalam bidang ideologi akhirnya menjadi menjadi salah satu keputusan Muktamar
Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta, yang terkenal dengan istilah: “Keyakinan dan Cita-Cita
Hidup Muhammadiyah”.
Pertanyaan-pertanyaan tentang siapa konseptor MKCH, sampai saat ini tidak pernah terjawab
dengan pasti, tetapi beberapa nama tokoh Muhammmadiyah tercatat sebagai penggagas yang
memiliki saham terbesar dalam perumusan MKCH tersebut. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
1. Buya KH. Malik Ahmad
2. Buya AR Sutan Mansur
3 .Prof.Dr.H.M. Rasyidi
4. KHM. Djindar Tamimy
5. KH. Djarnawi Hadikusuma
6. KH. AR Fachruddin, di samping tokoh muda, pada waktu itu, Drs. Mohammad Djazman al-
Kindi.

Diperoleh data, bahwa pada tahun 1968-1970, Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah
merumuskan sebuah buku panduan yang bertajuk “Pribadi Muslim” dan “‘Ibâdur Rahmân”
untuk pimpinan-pimpinan Muhammadiyah. Rumusan inilah yang (diasumsikan) banyak
memberi inspirasi kepada para tokoh Muhammadiyah untuk menggagas MKCH.
Pada tahun 1970 Pimpinan Pusat Muhammadiyah membentuk “Tim Ideologi” yang dipimpin
oleh KHM. Djindar Tamimy dan Drs. Mohammad Djazman al-Kindi, yang kemudian memberi
saran, tanggapan, penyempurnaan terhadap (konsep) MKCH hasil Sidang Tanwir tahun 1969
di Ponorogo, Jawa Timur. Dan hasilnya menjadi rumusan baku MKCH yang terdiri dari 3 (tiga)
kelompok rumusan dari 5 (lima) ayat, dari (semula) 9 ayat.

Kelompok Pertama adalah kelompok Ideologi, yang mengandung pokok-pokok persoalan


yang bersifat ideologis (terdiri atas ayat 1 dan 2), yang berisi:
Ayat 1 : Muhammadiyah adalah adalah gerakan berasas Islam, bercita-cita dan bekerja untuk
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi
manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Ayat 2 : Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan
kepada para rasul-Nya, sejak Nabi Adam a.s. sampai dengan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai
hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan
hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
Kelompok kedua adalah kelompok faham agama dalam Muhammadiyah (terdiri atas ayat 3
dan 4), yang berisi:
Ayat 3 : Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a) al-Quran; b) al-Hadits,
dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Ayat 4 : Muhaammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi
bidang-bidang:
a. aqidah, yaitu ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan;
b. akhlaq, yaitu ajaran yang berhubungan dengan pembentukan sikap mental ;
c. ibadah, yaitu ajaran yang berhubungan dengan peraturan dan tatacara hubungan manusia
dengan Tuhan;
d. mu’amalah duniawiyah, yaitu ajaran ayng berhubungan dengan pengolahan dunia dan
pembinaan masyarakat.

Kelompok ketiga adalah kelompok fungsi dan misi Muhammadiyah (tersebut dalam ayat 5),
yang berisi:
Ayat 5 : Muhammadiyah mengajak segala lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat
karunisa Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan
bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila untuk berusaha bersama-
sama menjadikan negara Republik Indonesia tercinta ini menjadi “baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafûr” (negara yang adil makmur dan diridhai Alah SWT).

KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku
untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam beragama Islam. Konsep normatif Islam
sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah
s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî (tindakan), fi’lî (ucapan) dan taqrîrî(sikap).
KHA. Dahlan menganjurkan agar umat Islam agar memiliki keberanian untuk berijtihad
dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali
kepada al-Quran dan as-Sunnah.

Prinsip-prinsip Utama Pemahaman Agama Islam Muhammadiyah memperkenalkan dua


prinsip utama pemahaman (agama) Islam:
1. Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di dalam
al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena itu, semua orang Islam harus
memahaminya.
2. Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan
dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif.
Dari kedua prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang agama yang
dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah selaras dengan kebutuhan
dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah tidak bersikap istiqamah
dalam beragama, tetapi justru memahami arti pentingnya ijtihad dalam menyusun dan
merumuskan kembali pemahaman agama (Islam) sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-
Quran dan as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat
tetap, sedang interpretasinya bisa berubah-ubah. Menurut Muhammadiyah untuk memahami
al-Quran diperlukan kesiapan untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan
nyata. Kandungan al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan
dan kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat
terhadap al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat utama bagi
setiap orang yang ingin secara tepat memahami al-Quran, tetapi sebenar apa pun hasil
pemahaman orang terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai
“kebenaran” al-Quran itu sendiri.
Karena al-Quran adalah “kebenaran ilahiah”, sedang “tafsir atas al-Quran” adalah “kebenaran
insaniah”. Oleh karena itu, yang dituntut oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha
sekuat kemampuannya untuk menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan “harus
menghasilkan kebenaran absolut”, karena kenisbian akal manusia tidak akan pernah
menggapai kemutlakan kebenaran sejati dari Allah.

Ketika kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun
terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk as-Sunnah sebagai
panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil pemahaman al-Quran, hasil
interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan
interpretasi atas al-Quran yang “terjamin” kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada
paradigma “’ishmah ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan
selalu benar dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya. Teguran
atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu dilakukan oleh Allah,
dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah s.a.w.
Muhammadiyah selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang
dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath” yang
proporsional. Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan
diri secara tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi
Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam
Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab
dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” (kokoh/kuat) dan meninggalkan yang “marjûh”
(rapuh/lemah).
Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah
berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah
secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih)
operasional.
Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran maupun
as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya
kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan
‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari realitas-empirik
berdasarkan pada prinsip mashlahah (kebaikan), karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk
dan tidak adanya kemungkinan untuk melakukan qiyâs.
Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan
ke dalam pengembangan pemikiran yang mungkin saja linear atau berseberangan, berkaitan
dengan tuntutan zaman. Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir,
bersikap dan bertindak. Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab,
keislaman kita adalah “keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal (hablun
minannâs, hubungan antarmanusia) dan sekaligus vertikal (hablun minallâh, hubungan antara
manusia dengan Allah)”.

Anda mungkin juga menyukai