Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatu


Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur
senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Pendidikan
Agama Islam yang berjudul “Hukum Menuntut Ilmu Dalam Islam” tepat pada waktunya.
Penulis sangat berterima kasih kepada Bapak La Ode Wahidin, S.Pd., M.Pd.I selaku Dosen
pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulis juga mengucapkan terima kasih
untuk semua pihak yang telah mendukung dan memberikan idenya untuk makalah ini.
Penulis menyadari bahwa tidak semua yang dituangkan dalam makalah ini benar
adanya. Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Tetapi
penulis selalu berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan yang dimiliki untuk
membuat makalah ini menjadi sempurna dan layak baca. Oleh karena itu, masukan dan saran
dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dan memotivasi sangat di harapkan untuk
lebih menyempurnakan makalah ini. Penulis sangat berterima kasih atas saran dan kritik
tersebut.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan manusia ilmu adalah salah satu hal yang sangat penting dan hal
tersebut bukan lagi merupakan suatu rahasia. Sedemikian pentingnya ilmu bagi manusia
khususnya umat muslim, seseorang akan tidak senang jika ia disebut tidak memiliki ilmu atau
bodoh. Ilmu dapat membuat seseorang menjadi mulia dan dihormati. Sebagaimana yang
dikatakan Ali bin Abi Thalib bahwa seseorang yang memiliki cukup ilmu akan merasa
dimuliakan dan sementara mereka yang tidak memiliki ilmu dan tidak mengetahui adapun
akan merasa tercela dan hal tersebut akan membuat seseorang merasa bodoh. Dengan kata
lain, ilmu akan membuat seseorang mulia ditengah pergaulan dalam Islam pada khususnya.
Manusia diciptakan Allah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, tentu dengan alasan
yang sangat tepat potensi itu harus ada pada diri manusia, sebagaimana sudah diketahui
manusia diciptakan untuk menjadi khalifatullah fil ardh. Potensi yang dimiliki manusia tidak
ada artinya kalau bukan karena bimbingan dan hidayah Allah yang terhidang di alam ini.
Namun manusia tidak pula begitu saja mampu menelan mentah-mentah apa yang dia lihat,
kecuali belajar dengan megerahkan segala tenaga yang dia miliki untuk dapat memahami
tanda-tanda yang ada dalam kehidupannya. Menuntut ilmu merupakan kewajiban dan
kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu
manusia tidak akan mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinyapun tidak bisa menjadi
lebih baik.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian ilmu?
2. Apa pengertian menuntut ilmu?
3. Bagaimana hukum menuntut ilmu dalam Islam?
4. Apa keutamaan orang yang menuntut ilmu?
5. Bagaimana adab dalam menuntut ilmu?
6. Bagaimana cara memperoleh ilmu?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian ilmu
2. Untuk mengetahui pengertian menuntut ilmu
3. Untuk mengetahui hukum menuntut ilmu
4. Untuk mengetahui keutamaan orang yang berilmu
5. Untuk mengetahui adab dalam berilmu
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ILMU
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab ‫علم‬, masdar dari ‫َعـ ِل َم – يَـ ْعـلَم‬
yang berarti tahu atau mengetahui. Secara bahasa ilmu adalah lawan kata bodoh/jahl.
Secara istilah ilmu berarti sesuatu yang dengannya akan tersingkap secara sempurna
segala hakikat yang dibutuhkan. Sedangkan menurut para ulama definisi ilmu di
antaranya adalah:
 Menurut Imam Raghib Al-Ashfahani dalam kitabnya Al-Mufradat Fi Gharibil
Qur’an.
“ ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Hal tersebut
terbagi menjadi dua: pertama, mengetahui inti sesuatu itu (oleh ahli logika
dinamakan ahli tashawwur). Kedua, menghukum adanya sesuatu pada sesuatu yang
ada (oleh ahli logika dinamakan tashdiq, maksudnya mengetahui hubungan sesuatu
dengan sesuatu).”
 Menurut Imam Muhammad bin Abdur Rauf Al-Munawi.
Ilmu adalah keyakinan yang kuat yang tetap dan sesuai dengan realita.
Atau ilmu adalah tercapainya bentuk sesuatu dalam akal.
 Ibnu Munir berkata : “Ilmu adalah syarat benarnya perkataan dan perbuatan,
keduanya tidak akan bernilai kecuali dengan ilmu, maka ilmu harus ada sebelum
perkataan dan perbuatan, karena ilmu merupakan pembenar niat, sedangkan amal
tidak akan di terima kecuali dengan niat yang benar.”
Dalam pengertian lain “Ilmu itu modal, tak punya ilmu keuntungan apa yang
bisa didapat, ilmu adalah kunci untuk membuka pintu kebaikan kesuksesan, kunci
untuk menjawab pertanyaan dan masalah di dunia . . .”
Berdasarkan beberapa definisi tentang pengertian ilmu di atas dapat
disimpulkan bahwa, ilmu merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia
karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara
lebih cepat dan lebih mudah baik secara lisan (perkataan), maupun berupa perbuatan
(anggota badan), tanpa ilmu kesuksesan tak pernah ketemu karena ilmu merupakan
bagian terpenting dalam kehidupan seperti kebutuhan manusia akan oksigen untuk
bernapas.

B. PENGERTIAN MENUNTUT ILMU


“Menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk
mengubah tingkah laku dan perilaku ke arah yang lebih baik, karena pada dasarnya
ilmu menunjukkan jalan menuju kebenaran dan meninggalkan kebodohan.”
Seseorang harus memulai dengan ilmu sebelum beramal. Maksud dari beramal
adalah melakukan kegiatan atau melakukan suatu pekerjaan. Dalam melakukan
pekerjaan, manusia dituntut mengetahui ilmunya dari pekerjaan tersebut. Karena
dengan mengetahui ilmunya pekerjaan akan lebih terarah dan tidak berantakan. Ilmu
merupakan ibadah sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.
Mu’adz bin Jabbal berkata : “Tuntutlah ilmu, karena mempelajari ilmu karena
mengharapkan wajah Allah itu mencerminkan rasa Khasyyah, mencarinya adalah
ibadah, mengkajinya adalah tasbih, menuntutnya adalah Jihad, mengajarnya untuk
keluarga adalah Taqarrub.”
Dengan demikian perintah menuntut ilmu tidak di bedakan antara laki-laki
dan perempuan. Hal yang paling di harapkan dari menuntut ilmu ialah terjadinya
perubahan pada diri individu ke arah yang lebih baik yaitu perubahan tingkah laku,
sikap dan perubahan aspek lain yang ada pada setiap individu.

C. HUKUM MENUNTUT ILMU


Ilmu yang tersedia dalam hidup ini begitu luas, sesuai firman Allah:

ٌ ‫ٱَّللَ َع ِز‬
‫يز َح ِكي ٌم‬ َّ ‫ت َك ِل َٰ َمت‬
َّ ‫ٱَّللِ ِإ َّن‬ َ ‫ش َج َرةٍ أ َ ْق َٰلَ ٌم َو ْٱل َبحْ ر َيمدُّهۥ ِم ۢن َب ْع ِدِۦه‬
ْ َ‫س ْب َعة أَبْح ٍر َّما نَ ِفد‬ ِ ‫َولَ ْو أَنَّ َما فِى ْٱْل َ ْر‬
َ ‫ض ِمن‬
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-
habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah.” (Q.S Luqman :27)
Sedangkan usia kita sangatlah terbatas. Oleh karena itu, memilih ilmu yang lebih
penting dan bermanfaat bagi kita adalah suatu keharusan. “Seseorang tidak akan
mendapatkan ilmu walau ia mencoba mencarinya selama seribu tahun. Lautan ilmu
sangat dalam, maka ambillah yang terbaik dari semua itu. “Begitu kata Imam Syafi’i,
ulama besar peletak dasar ilmu fiqih.Di dalam Islam, menuntut ilmu merupakan
perintah sekaligus kewajiban. Manusia diperintahkan untuk menuntut ilmu, karena
dengan ilmu pengetahuan kita bisa mencapai apa yang dicita-citakan baik di dunia
maupun di akhirat. Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam hadis Nabi
Muhammad saw :

‫ضةٌ َع َٰلى ك ِل م ْس ِل ٍم َوم ْس ِل َم ٍة‬


َ ‫طلَب ْال ِع ْل ِم فَ ِر ْي‬
َ

“Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim,baik laki-laki maupun perempuan”
(HR. Ibn Abdul Barr)

Dari hadis di atas dapat kita ambil pengertian, bahwa Islam mewajibkan
pemeluknya untuk menuntut ilmu, baik bagi laki-laki ataupun perempuan. Dengan
ilmu yang dimilikinya, seseorang dapat mengetahui segala bentuk kemaslahatan dan
jalan kemanfaatan. Dengan ilmu pula, ia dapat menyelami hakikat alam, mengambil
pelajaran dari pengalaman yang didapati oleh umat terdahulu, baik yang berhubungan
dengan masalah-masalah akidah, ibadah, ataupun yang berhubungan dengan
persoalan keduniaan. Nabi Muhammad saw. bersabda:
َٰ ْ َ‫ َو َم ْن ا َ َراد‬،‫َم ْن ا َ َرادَ الدُّ ْن َيا فَ َعلَ ْي ِه ِب ْال ِع ْل ِم‬
‫ َو َم ْن ا َ َرادَ ه َما فَ َعلَ ْي ِه ِب ْال ِع ْل ِم‬،‫ال ِخ َرة َ فَ َعلَ ْي ِه ِب ْال ِع ْل ِم‬
"Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia
memiliki ilmunya; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat,
wajiblah ia memiliki ilmunya pula; dan barang siapa yang menginginkan kedua-
duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-keduanya pula." (HR.Bukhari dan Muslim)
Hukum menuntut ilmu terbagi atas dua, yaitu :
1. fardhu ‘ain
Menuntut ilmu hukumnya menjadi fardlu ‘ain atau wajib dilakukan oleh
setiap muslim, terutama jika hal tersebut diperlukan agar umat muslim dapat
menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Misalnya ilmu tentang ibadah yang
menyangkut cara menunanaikan shalat , puasa ramadhan , zakat, haji dan
lainnya.Ilmu tersebut menjadi wajib diketahui karena tanpa adanya pengetahuan dan
ilmu tentang ibadah-ibadah tersebut, tidaklah sah ibadah seseorang . Dengan
demikian menuntut ilmu wajib dilakukan, adapun para orang tua sebaiknya
menanamkan ilmu agama pada anaknya sejak usia dini dan mengerti
pentingnya pendidikan anak dalam islam.
2. fardhu kifayah.
Pada mulanya hukum menuntut ilmu adalah fardlu kifayah. Namun jika sudah
ada sebagian orang yang mengerjakan atau menuntut ilmu tersebut maka bagi yang
lain hukumnya sunnah. Hal-hal lain dalam agama islam dan kewajiban menuntut
ilmu yang tidak termasuk dalam hukum menuntut ilmu yang bersifat fardlu ‘ain di
atas hukumnya adalah fardlu kifayah.Misalnya dalam menuntut ilmu-ilmu lain diluar
ilmu yang menjadi dasar ibadah wajib. Meskipun demikian, jika seseorang
menyadari bahwa ia menuntut ilmu yang merupakan fardhu kiyayah, ia tetap
mendapatkan pahala dan tentunya mendapatkan ilmu tentang hal yang dipelajarinya
misalnya saat mempelajari ilmu Alqur’an.
Dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita di dunia, agar tiap-tiap
muslim jangan picik, dan agar setiap muslim dapat mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan yang dapat membawa kemajuan bagi penghuni dunia ini dalam batas-
batas yang di ridhai Allah subhanahu wata’ala.Dalam kitab Ta’lim Muta’alim yang
artinya:
"Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negri China"
"Tuntutlah Ilmu dari semenjak lahir sampai keliang lahad (mati)"

D. KEUTAMAAN ORANG BERILMU


Terdapat banyak dalil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya terkait
keutamaan ilmu dan pemilik ilmu. Di antaranya adalah:

1. Ilmu adalah cahaya

Allah Ta’ala berfirman:

ِ ‫يرا لَك ْم يبَيِن َرسولنَا َجا َءك ْم قَدْ ْال ِكت َا‬
‫ب أَ ْه َل يَا‬ ِ ‫ير َع ْن َو َي ْعفو ْال ِكتَا‬
ً ‫ب ِمنَ ت ْخفونَ ك ْنت ْم ِم َّما َك ِث‬ ٍ ِ‫ّللاِ ِمنَ َجا َءك ْم قَدْ َكث‬ َّ ‫ور‬ ٌ ‫ن‬
ٌ‫ين َو ِكتَاب‬ َّ ‫ت ِمنَ َوي ْخ ِرجه ْم الس َََّل ِم سب َل ِرض َْوانَه اتَّبَ َع َم ِن‬
ٌ ‫) م ِب‬١٥ ‫ّللا بِ ِه يَ ْهدِي‬ ُّ
ِ ‫ور ِإلَى الظل َما‬ ْ
ِ ُّ‫َويَ ْهدِي ِه ْم بِإِذنِ ِه الن‬
‫ص َراطٍ إِلَى‬ ِ ‫)م ْستَ ِق ٍيم‬١٦
"Hai Ahli Kitab! Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan
kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak dari (isi) Kitab yang kamu sembunyikan,
dan banyak (pula) yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya
dari Allah, dan kitab yang menerangkan.(15) Dengan kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu
pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus."(16)
(QS.Al-Maidah: 15-16)

Kedua ayat ini menunjukkan tentang keutamaan ilmu, yang disifatkan sebagai
cahaya yang membimbing siapa saja yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan-jalan
keselamatan, berupa jalan yang menyelamatkan seorang hamba dari penyimpangan dan
kesesatan, dan mengantarkan seorang hamba menuju keselamatan dunia dan akhirat,
mengeluarkan mereka dari kegelapan, kegelapan syirik, bid’ah, kemaksiatan dan
kejahilan, menuju kepada cahaya tauhid, ilmu, hidayah, ketaatan dan seluruh kebaikan.
Oleh karenanya, jika seseorang lebih condong mengikuti hawa nafsunya, gemar
melakukan kemaksiatan, yang menyebabkan hatinya menjadi gelap, maka ilmu akan
sulit menempati hati yang gelap tersebut, sulit menghafal ayat- ayat Allah dan men-
tadabburi-nya, sulit menghafal hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
memahami dan mengaplikasikan dalam kehidupannya, sebab tidak akan mungkin
berkumpul dalam satu hati antara kegelapan maksiat dengan cahaya ilmu. Diantara
bait-bait syair yang masyhur dari Imam Syafi’i tatkala Beliau mengadukan tentang
buruknya hafalan Beliau kepada Imam Waki’ bin Jarrah, Beliau mengatakan:

َ ‫شدَنِي ِح ْف ِظ ْي س ْو َء َو ِكيْعٍ إِلَى‬


‫شك َْوت‬ ِ َ‫اصي يؤْ تَى َل للاِ َون ْور ن ْو ٌر ال ِع ْل َم بِأ َ َّن َوأ َ ْخبَ َرنِي ال َمع‬
َ ‫اصي ت َْر ِك إِلَى فَأ َ ْر‬ ِ َ‫ِلع‬

Aku mengadukan kepada Waki’ keburukan hafalanku,lalu Beliau membimbing aku


untuk meninggalkan maksiat. Beliau mengabarkan kepadaku bahwa ilmu itu adalah
cahaya,dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.
2. Ilmu Menyebabkan dimudahkannya Jalan Menuju Surga
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ط ِر ْيقًا إِلَى ْال َجنَّ ِة‬ َ ،‫س فِ ْي ِه ِع ْل ًما‬


َ ‫س َّه َل هللاُ لَهُ بِ ِه‬ ُ ‫ط ِر ْيقًا يَ ْلت َِم‬
َ ‫سلَ َك‬
َ ‫َم ْن‬
‘Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu,Allah akan mempermudah
baginya jalan menuju surga.” (H.R Muslim)
Adapun maksud perkataan Nabi “ Allah akan mempermudah baginya jalan
menuju surga”, ada beberapa makna :
a. Yang dimaksud adalah Allah akan mempermudah baginya untuk menuntut ilmu
dan mendapatkannya serta mempermudah jalan baginya. Karena sesungguhnya
ilmu adalah jalan menuju surga. Hal ini seperti disebutkan dalam firman Allah:

ْ‫لذ ْك ِر ْالق ْرآنَ يَس َّْرنَا َولَقَد‬


ِ ‫ُّمد َّ ِك ٍر ِمن فَ َه ْل ِل‬

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka


adakah orang yang mengambil pelajaran? “ (Al Qamar:17). Sebagian ulama salaf
berkata, “Betapa banyak penuntut ilmu yang mendapatkan pertolongan baginya”
b. Bisa juga bermakna Allah mempermudah bagi penuntut ilmu – jika dia menuntut
ilmu karena mengharap wajah Allah dan mengambil manfaat dari ilmu tersebut,
serta mengamalkan konsekuensinya- menjadi sebab mendapat hidayah dari Allah
dan masuknya dia ke dalam surga.
c. Bisa juga bermakna Allah memudahkan bagi penuntut ilmu untuk mendapatkan
ilmu-ilmu yang lain yang memberikan manfaat baginya dan menjadi sebab
mengantarkannya ke surga. Seperti dikatakan, “ Barangsiapa beramal dengan ilmu
yang sudah diketahui, Allah akan mengkaruniakan kepadanya ilmu yang belum
diketahui sebelumnya”. Seperti juga dikatakan, “Sesungguhnya pahala bagi
kebaikan adalah kebaikan sesudahnya”. Hal ini seperti yang Allah jelaskan dalam
Al Qur’an,

َّ َ‫هدًى ا ْهتَد َ ْوا الَّذِين‬


‫ّللا َويَ ِزيد‬

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat
petunjuk “ (Maryam:76)

َ‫ت َ ْقواه ْم َوآت َاه ْم هد ًى زَ ادَه ْم ا ْهتَد َ ْوا َوالَّذِين‬

“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk


kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (Muhammad:17).

d. Termasuk dalam hal ini, dipermudah jalan yang akan dilalui untuk menuju surga
pada hari kiamat, yaitu ketika meniti shirat dan rintangan sebelum maupun
sesudahnya. Allah akan memudahkan bagi penuntut ilmu untuk mengambil
manfaat dengan ilmu yang dimilikinya, karena ilmu menunjukkan kepada Allah
jalan yang paling dekat. Barang siapa yang menempuhnya dan tidak menyimpang
darinya niscaya dia akan sampai kepada Allah dan surga-Nya dari jalan yang
paling dekat dan paling mudah. Sehingga akan menjadi mudah baginya semua
jalan yang dia lalui untuk bisa menghantarkan kepada surga, baik jalan yang ada
didunia maupun di akhirat.

Tidak ada jalan untuk mengenal Allah, sampai kepada keridhaan-Nya,


menggapai kedekatan dengan-Nya dan tinggal di dekat-Nya, kecuali dengan ilmu
nafi’ (ilmu yang bermanfaat) yang dengannya Allah mengutus para Rosul,
menurunkan kitab-kitab-Nya. Maka ilmu ini adalah dalil yang menunjukkan
kepada-Nya, dijadikan petunjuk dalam kegelapan kebodohan, kerancuan dan
keragu-raguan. Oleh karena itu, Allah menamai kitab-Nya dengan nur (cahaya),
karena dijadikan petunjuk dalam kegelapan. Allah ta’ala berfirman,

3. Ilmu Adalah Warisan Para Nabi

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh hadits,

‫َارا ي َو ِر ث ْوا لَ ْم ْاْل َنْبِيَا َء َو إِ َّن ْاْل َ ْنبِيَاءِ َو َرثَة ا َ ْلعلَ َماء‬
ً ‫د ِْرهَا ًم ا َو َل ِديْن‬، ‫الْعِلْ َم َو َّرث ْو ا َو لَك ِْن‬، ‫َواف ٍِر بِ َح ظٍ أ َ َخ ذَ أ َ َخذَه فَ َم ْن‬

“Para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak
mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. Maka dari itu,
barang siapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang cukup.” (HR. Abu
Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-
Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6297).

Dalam Shahihul Jam Al Albani dikatakan : “Ilmu adalah warisan para Nabi, dan
para Nabi tidaklah mewariskan dirham ataupun emas, akan tetapi mereka
mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil
bagian yang banyak.”

Maksudnya adalah, ilmu merupakan warisan Nabi dan barangsiapa yang mencari
ilmu dan menjadi orang yang berilmu maka kita telah mewarisi apa yang para Nabi
berikan.

4. Ilmu Akan Kekal Dan Akan Bermanfaat Bagi Pemiliknya Walaupun Dia Telah
Meninggal
Disebutkan di dalam hadits shahih dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫سانَ َماتََ إِذَا‬


َ ‫اإل ْن‬ َ َ‫لا َع َملهَ َع ْنهَ ا ْنق‬
ِ ‫ط ََع‬ َْ ‫لا ثَالَثَةَ ِم‬
َ ِ‫ن إ‬ َْ ‫ص َدقَةَ ِم‬
َ ِ‫ن إ‬ ِ ‫صا ِلحَ َولَدَ أ َ َْو بِ َِه ي ْنتَفَعَ ِع ْلمَ أ َ َْو َج‬
َ َ‫اريَة‬ َ ‫لَهَ يَدْعو‬

“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga
perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang
mendo’akannya” . [HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i]

Dan pada riwayat Ibnu Majah dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫صدَقَةٌ لَه َيدْعو‬


ٌ َ‫ ثََل‬: ٌ ‫صا ِل ٌح َولَد‬
َّ ‫ث َب ْع ِد ِه ِم ْن‬
‫الرجل يخ َِلف َما َخيْر‬ َ ‫َب ْع ِد ِه ِم ْن ِب ِه ي ْع َمل َو ِع ْل ٌم أَجْ رهَا َيبْلغه تَجْ ِري َو‬

“Sebaik-baik apa yang ditinggalkan oleh seseorang setelah kematiannya adalah tiga
perkara: anak shalih yang mendo’akannya, shadaqah mengalir yang pahalanya
sampai kepadanya, dan ilmu yang diamalkan orang setelah (kematian) nya”.
Dan disebutkan pada hadits yang lain riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abi
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.

‫سنَاتِ ِه َع َم ِل ِه ِم ْن ْالمؤْ ِمنَ يَ ْل َحق ِم َّما إِ َّن‬َ ‫صا ِل ًحا َو َولَدًا َونَش ََره َعلَّ َمه ِع ْل ًما َم ْوتِ ِه بَ ْعدَ َو َح‬
َ ‫ص َحفًا ت ََركَه‬ ْ ‫أ َ ْو بَنَاه َمس ِْجدًا أ َ ْو َو َّرثَه َوم‬
َّ ‫صدَقَةً أ َ ْو أَجْ َراه نَ ْه ًرا أَ ْو َبنَاه ال‬
‫س ِبي ِل ِلب ِْن َب ْيتًا‬ ِ ‫َم ْو ِت ِه َب ْع ِد ِم ْن َي ْل َحقه َو َح َياتِ ِه‬
َ ‫ص َّحتِ ِه فِي َما ِل ِه ِم ْن أ َ ْخ َر َج َها‬

“Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan


menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak
shalih yang ditinggalkannya, mush-haf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya,
rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum,
atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya diwaktu sehat dan semasa hidupnya,
semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia”.

Sesungguhnya di antara yang bisa memberikan manfaat bagi mayi setelah kematiannya
adalah ilmu yang ia tinggalkan, untuk diamalkan atau dimanfaatkan. Sama saja, apakah
dia mengajarkan ilmu tersebut kepada seseorang atau dia tinggalkan berupa buku yang
orang-orang mempelajarinya setelah kematiannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah:

َ‫ن ْالمؤْ ِمنََ يَ ْل َحقَ ِم اما إِ ان‬ َ ‫َونَش ََرهَ َعلا َمهَ ِع ْل ًما َم ْوتِ َِه بَ ْع ََد َو َح‬
َْ ‫سنَاتِ َِه َع َم ِل َِه ِم‬

“Sesungguhnyaَdiَantaraَamalanَdanَkebaikanَseorangَmukminَyangَakanَ
menyusulnya setelah kematiannya adalah ilmu yang dia ajarkan dan
sebarkan”.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Muadz bin Anas dari ayahnya, bahwa Nabi
Shallallahuَ‘alaihiَwaَsallamَbersabda:

َ‫ن أَجْ رَ فَلَهَ ِع ْل ًما َعلا ََم َم ْن‬


َْ ‫ل َم‬ َْ ‫ل أَجْ َِر ِم‬
َ َ‫ن َي ْنقص‬
ََ ‫لَ ِب َِه َع ِم‬ ِ ‫ْال َع‬
َِ ‫ام‬

“Barangsiapaَmengajarkanَsuatuَilmu,َmakaَdiaَmendapatkanَpahalaَorangَ
yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang
mengamalkannyaَsedikitpun”.

Al-Bazzarَmeriwayatkanَdariَ‘AisyahَRadhiyallahuَ‘anhaَdiaَberkataَ:َNabiَ
Shallallahuَ‘alaihiَwaَsallamَbersabda:

َِ ‫َيءَ كلَ لَهَ يَ ْست َ ْغ ِفرَ ْال َخي‬


َ‫ْر م َع ِلم‬ ْ ‫ْالبَحْ َِر فِي ْال ِح ْيت َانَ َحتاى ش‬
“Orangَyangَmengajarkanَkebajikanَdimintakanَampunanَolehَsegalaَ
sesuatu, sampai ikan-ikanَyangَadaَdiَdalamَlautan”.

Imam Muslim meriwayatkanَdariَAbuَHurairahَRadhiyallahuَ‘anhuَbahwaَ


NabiَShallallahuَ‘alaihiَwaَsallamَbersabda:

َ‫ور ِمثْلَ اْألَجْ َِر ِمنََ لَهَ كَانََ هدًى إِلَى َد َعا َم ْن‬
َِ ‫ن أج‬ َْ ‫لَ تَبِعَهَ َم‬ َ َ‫ن َذ ِلكََ يَ ْنقص‬ َْ ‫ور ِه َْم ِم‬ِ ‫ن َش ْيئًا أج‬َْ ‫ضالَلَةَ إِلَى َد َعا َو َم‬ َ
ََ‫ام ِمثْلَ اْ ِإلثْ َِم ِمنََ َعلَ ْي َِه كَان‬
َِ َ ‫ن آث‬ َ َ‫ن َذ ِلكََ َي ْنقص‬
َْ ‫لَ ت َ ِب َعهَ َم‬ َِ ‫َش ْيئًا آث‬
َْ ‫ام ِه َْم ِم‬

“Barangsiapaَyangَmenyeruَkepadaَpetunjukَ(kebajikan),َmakaَdiaَ
mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya,
hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa
menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa
orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun”.

5. Yang Paling Takut Pada Allah Adalah Orang Yang Berilmu

Dalam (QS. Fathir : 28), Allah berfirman :

َّ ‫الْعلَ َم اء ِعبَا ِد ِه ِم ْن‬


‫ّللا َ يَ ْخشَى إِنَّ َما‬

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”


(QS. Fathir: 28).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan
takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang
mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati
dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna,
maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 308).

6. Orang Yang Berilmu Akan Allah Angkat Derajatnya

Allah memberikan keutamaan dan kemuliaan bagi orang-orang yang berilmu.


Allah SWT berfirman:
ِ‫ٱَّلل لَك ۡۖۡم َو ِإذَا قِي َل ٱنشزواْ فَٱنشزواْ يَ ۡرفَع‬
َّ ِ‫سح‬َ ‫سحواْ يَ ۡف‬ َ ‫سحواْ فِي ۡٱل َم َٰ َج ِل ِس فَ ۡٱف‬ َّ َ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن َٰٓواْ ِإذَا قِي َل لَك ۡم تَف‬
َّ ‫ٱَّلل ٱلَّذِينَ َءا َمنواْ ِمنك ۡم َوٱلَّذِينَ أوتواْ ۡٱل ِع ۡل َم دَ َر َٰ َج ٖۚت َو‬
ٌ ِ‫ٱَّلل ِب َما ت َعۡ َملونَ َخب‬
‫ير‬ َّ

“ Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam


majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(Q.S Al-Mujadilah : 11)

Pada penutup al-Mujadilah ayat 11 dijelaskan, ”Niscaya Allah akan mengangkat (derajat)
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.
Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” Dari sini dapat dipahami bahwa seseorang
yang memiliki iman dan ilmu akan diangkat beberapa derajat oleh Allah. Keimanan dan
kepahaman merupakan modal utama untuk dapat meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. .

E. SYARAT MEENUNTUT ILMU


Dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Al-Zarnuji, beliau
menulis bahwa syarat-syarat mencari ilmu itu ada 6 yaitu:
1. Cerdas (Dzakaun)

Kecerdasan merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi oleh thalibul ilmi. Imam
Ghazali pernah mengatakan bahwa orang yang pintar adalah orang yang mengetahui
bahwa ia tidak tahu akan sesuatu dan karenanya dia mau belajar. Maksud cerdas disini
bukanlah tingkatan kepintaran, melainkan tidak gila. Orang tersebut haruslah waras,
dapat membedakan mana angka satu dan dua, mana hitam dan putih, mana baju dan
celana.
2. Rakus (hirsun)
Rakus adalah (punya kemauan dan semangat untuk berusaha mencari ilmu)
menurut Imam as-Syafi’i, dalam menuntut ilmu janganlah langsung merasa puas
terhadap apa yang telah didapat dan jangan hanya menuntut ilmu di satu daerah saja.

“Tidak cukup teman belajar di dalam negeri atau dalam satu negeri saja, tapi pergilah
belajar di luar negeri, di sana banyak teman-teman baru pengganti teman sejawat
lama, jangan takut sengsara, jangan takut menderita, kenikmatan hidup dapat
dirasakan sesudah menderita.” (diambil dari kitab Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh
Kiyai Muhammad Nawawi Tanara Banten yang ditulis oleh H. Rofiuddin. Hal. 4).
3. Sabar
Seorang yang menuntut ilmu sudah barang tentu akan menghadapi macam-macam
gangguan dan rintangan. Selain berusaha maka bersabarlah untuk menghadapi semua
itu, dan perlu diketahui bahwa sabar adalah sebagian dari Iman, “As-Shobru mina al-
iman”. Dan Sabar disini mengandung arti tabah, tahan menghadapi cobaan atau
menerima pada perkara yang tidak disenangi atau tidak mengenakan dengan Ridha
dan menyerahkan diri kepada Allah Swt, akan tetapi kesabaran disini harus diartikan
dalam pengertian yang aktif bukan dalam pengertian yang pasif. Artinya nrimo
(menerima) apa adanya tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan.
4. Modal/bekal

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan wajib hukumnya bagi setiap


muslim, dan dijelaskan lagi dalam hadis “Tuntutlah ilmu mulai dari rahim ibu sampai
liang lahat”. Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui bahwa, seumur hidup kita wajib
menuntut ilmu. Pendidikan bukan hanya pendidikan formal tetapi non formal pun ada.
Rasul menjanjikan kepada para penuntut ilmu,

َّ ‫ب ا َهللات َ َكفَّ َل‬


‫إن‬ َ ‫ِب ِر ْز ِق ِه اْل ِع ْل ِم ِل‬
ِ ‫طا ِل‬

“Sesungguhnya Allah pasti mencukupkan rezekinya bagi orang yang menuntut ilmu”.
Dan yakinkanlah bagi para penuntut ilmu walaupun dengan segala kekurangan
(biaya) pasti mampu atau bisa menyelesaikan pendidikan. Karena pasti akan ada jalan
lain selama manusia berusaha dan yakin terhadap kekuasaan dan pertolongan Allah.

‫اليقين ل يزول بالشك‬

”keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keragu-raguan”. Dan akhirnya maka tidak ada
alasan orang tidak bisa menuntut ilmu karena biaya, seperti keterangan sebelumnya
carilah jalan lain, solusi lain untuk bisa menuntut ilmu.
5. Petunjuk guru
Banyak orang yang tersesat karena belajar tanpa guru, seoarng tholibul ilmi hendaklah
mempunyai seorang guru sebagai petunjuk, walaupun ada yang mengatakan bahwa
buku adalah guru yang besar, tapi buku tidak bisa mituturi (memberi nasihat)
6. Karena ilmu sangat luas dan tidak memiliki akhir maka sudah barang tentu
membutuhkan waktu yang sangat lama. Pepatah Arab mengatakan :”Tuntutlah ilmu
dari buaian sampai ke liang lahat” seorang pelajar harus mengulang-ulang pelajaran
yang telah didapat, jadi dalam mencari ilmu tidaklah cukup dalam waktu yang
singkat.

F. Adab menuntut ilmu


adab-adab penuntut ilmu, diantaranya adalah :
1. Ikhlas
Seorang penuntut ilmu dalam mencari ilmu hedaknya punya perhatian besar terhadap
keikhlasan niat dan tujuanya dalam mencari ilmu, yaitu hanya untuk Allah ta’ala. Karena
menuntut ilmu adalah ibadah, dan yang namanya ibadah tidak akan diterima kecuali jika
ditujukan hanya untuk Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman :

‫ّللاَ ِليَ ْعبدوا إِ َّل أ ِمروا َو َما‬ ِ ‫الدِينَ لَه م ْخ ِل‬


َّ َ‫صين‬
“Dan mereka tidaklah diperintahkan melainkan hanya untuk beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan amalan mereka.” [Al Baiyinah : 5]

Didalam shahihain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


‫ت اْل َ ْع َمال ِإنَّ َما‬
ِ ‫ ِبالنِيَّا‬، ‫ئ ِلك ِل َو ِإنَّ َما‬
ٍ ‫ن ََوى َما ْام ِر‬
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan memperolah
pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan.”
Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam juga bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim :

‫وأ َ ْم َوا ِلك ْم ص َو ِرك ْم ِإلَى َي ْنظر َل للاَ ِإ َّن‬،


َ ‫َوأ َ ْع َما ِلك ْم قلو ِبك ْم ِإلَى َي ْنظر َولَ ِك ْن‬
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk wajah dan harta kalian, namun yang Dia lihat adalah
hati dan amalan kalian.”
Oleh karena itu seseorang yang punya cita-cita yang tinggi dalam mencari dan
memperoleh ilmu hendaknya punya perhatian yang besar terhadap keihklasan niat.
Karena niat yang ikhlas merupakan sebab akan barakahnya ilmu dan amal.
Sebagaimana perkataan sebagian salaf :

َّ‫ النية تكثِره صغير عم ٍل رب‬، َّ‫النية تصغره كثير عم ٍل ورب‬


“Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya dan betapa banyak amalan besar
menjadi kecil karena niatnya pula.”
Maka setiap orang yang telah diberi Taufiq oleh Allah untuk bisa berjalan diatas jalan
ilmu hendaknya waspada terhadap niat yang rusak dan selalu berusaha untuk
menjadikan niatnya dalam menuntut ilmu hanya mengharapkan keridhaan dan wajah
Allah ta’ala.

2. Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu


Sesungguhnya seorang hamba butuh kepada kesungguhan dan semangat untuk
memperoleh ilmu. Dia paksa jiwanya untuk jauh dari sifat lemah dan malas.
Oleh karena itu Nabi kita yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
berlindung kepada Allah dari sifat lemah dan malas. Karena malas akan
menyebabkan terhalanginya seseorang dari mendapatkan kebaikan yang
banyak. Dan sebaliknya dengan kesungguhan akan diperoleh banyak
keutamaan. Oleh karena itu seorang penuntut ilmu handaknya mengerahkan
segala upaya untuk memaksa jiwanya dalam meraih ilmu. Sebagaimana firman
Allah ta’ala :

‫و‬
‫و‬
‫ا‬
"Dan orang-orang yang bejihad untuk (mencari keridaaan) Kami, Kami akan ‫و‬
‫و‬
menunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sungguh Allah bersama orang-orang
yang berbuat baik." (Q.S Al Ankabut : 69) ‫و‬
‫و‬
3. Meminta pertolongan kepada Allah SWT ‫و‬
‫ي‬
Ini adalah diantara perkara penting yang harus diperhatiakan oleh seorang penuntut ‫و‬
ilmu, bahkan perkara ini adalah dasar yang harus ada pada seorang penuntut ilmu , ‫و‬
yaitu beristi’anah atau meminta pertolongan kepada Allah ta’ala untuk bisa meraih ilmu.
‫و‬
Telah berlalu sebelumnya firman Allah ta’ala :
‫و‬
‫ا‬
‫و‬
‫و‬
‫و‬
‫و‬
‫و‬
‫َز ْدنِيَ ِع ْل ًما‬
ِ ‫ب‬ َ ‫َوق ْل‬
ِ ‫َر‬

Dan katakanlah (wahai Nabi Muhammad), ya Rabb tambahkanlah ilmu kepadaku.”(Q.S


Thaha : 114)
Telah kita ketahui juga bahwa Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap
hari setelah selesai shalat subuh berdo’a kepada Allah :

ََّ ُ‫سأَل‬
َّ‫ك إِنِي اللَّ ُه َّم‬ ْ َ ‫طيِبًا َو ِر ْزقًا نَا ِفعًا ِع ْل ًما أ‬
َ ‫ل‬
ًَّ ‫ع َم‬ ًَّ َّ‫ُمتَقَب‬
َ ‫ل َو‬
“Ya Allah sesungguhnya saya minta kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rizqi yang baik dan
amalan yang diterima.”

Do’a yang senantiasa beliau ucapkan setiap harinya setelah Shalat subuh ini
menunjukkan bahwa menuntut ilmu yang bermanfaat termasuk tujuan terbesar
seorang muslim disetiap perjalanan waktu hariannya. Dan sesungguhnya
menuntut ilmu lebih didahulukan daripada mencari rizqi dan beramal. Karena
ilmu itu sebagai dasar dan pondasi yang dapat membedakan antara rizqi yang
baik dan buruk, antara amal shalih dan amal tidak shalih. Oleh karena itu, seorang
muslim hendaknya benar-benar memiliki perhatian terhadap waktunya, dia
gunakan untuk menuntut ilmu supaya setiap hari dia mendapatkan bagian dari
ilmu.

4. Berhias dengan akhlaq mulia


Seorang berilmu sebaiknya menghiasi diriknya dengan akhlaq mulia seperti lemah lembut,
tenang, santun dan sabar.

5. Mengamalkan ilmu.
Jika seorang penuntut ilmu mendapatkan taufiq untuk bisa mengambil manfaat dari
ilmunya, hendaknya dia juga bersemangat untuk menyampaikan ilmu dan mengajarkan
ilmunya kepada orang lain. Dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala :
١ ‫ص ِر‬ َ َٰ ‫) ِإ َّّل لَفِي ٱ إ ِۡلن‬٢ ‫عمِ لُواْ َءا َمنُواْ ٱلَّذِينَ خُسإ ر‬
ْ َ‫سنَ ِإ َّن ) َو ْالع‬ َ ‫ت َو‬ َّ َٰ ‫ص إواْ ٱل‬
ِ ‫ص ِل َٰ َح‬ ِ ‫ص إواْ بِٱ إل َح‬
َ ‫ق َوت ََوا‬ َ ‫ص إب ِر َوت ََوا‬
َّ ‫) بِٱل‬٣

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” [Al Ashr :1-3]
Didalam ayat yang mulia ini, Allah ta’ala bersumpah bahwa manusia semunya
mengalami kerugian, tidak ada seorang pun yang selamat dari kerugian kecuali orang
yang beriman, berilmu, mengamalkan ilmunya, mendakwahkannya kepada orang lain
serta bersabar atas gangguan yang menimpanya.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kedudukan ilmu dan beramal dengannya
itu bertingkat-tingkat. Sebagaimana dinukil oleh Adz Dzahabi rahimahullah di Siyaru
A’laamin Nubalaa dari Muhammad bin An Nadhr, dia berkata :

‫ واإلنصات االستماع العلم أول‬، ‫حفظه ثم‬، ‫ به العمل ثم‬، ‫بثه ثم‬
“Ilmu yang pertama kali adalah mendengar dan diam, kemudian menghafal, mengamalkan lalu
menyebarkannya.”

Orang yang menyebarkan ilmu akan memperoleh pahala yang besar, karena setiap kali
ada orang yang mengambil faedah dari ilmu yang dia sebarkan dan dakwahkan akan
dicatat baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mengamalkan dakwahnya
tersebut. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

َّ‫َان ُهدًى إِلَى َدعَا َم ْن‬ ََّ ‫ور ِمثْ َُّل ْاْلَجْ َِّر ِم‬
ََّ ‫ن َل َّهُ ك‬ َِّ ‫ن أ ُ ُج‬ ََّ ‫ن ذَ ِل‬
َُّ ُ‫ك يَ ْنق‬
َّْ ‫ص ََّال ت َ ِبعَ َّهُ َم‬ ِ ‫ش ْيئ ًا أ ُ ُج‬
َّْ ‫ور ِه َّْم ِم‬ َ
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk maka baginya pahala sebagaimana pahala orang
yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun juga.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

َ َّ‫فَا ِع ِل َِّه أَجْ َِّر ِمثْ َُّل فَلَ َّهُ َخ ْير‬


َّ‫علَى َد ََّّل َم ْن‬
“Barangsiapa yang menunjukkan kebaikan maka baginya ada pahala sebagaimana orang yang
melakukannya.”
Maka setiap kali ada orang yang mengambil manfaat dari ilmunya maka akan dicatat
pahala baginya. Tidak diragukan bahwa ini menunjukkan akan keutamaan mengajarkan
ilmu dan memberi manfaat kepada manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َّ‫ِي ْل َ ْن‬
ََّ ‫ّللاُ َي ْهد‬
ََّّ ‫ك‬ ََّ َ‫ن ل‬
ِ ‫ك َخ ْيرَّ َو‬
ََّ ‫احدًا َر ُجل ِب‬ َّْ ‫النَّ َع َِّم ُح ْم َِّر ِم‬
“Allah memberikan petunjuk kepada satu orang disebabkan karena kamu, maka hal itu lebih baik
dari pada onta merah (harta yang paling mahal).”
G. Hal Yang Menghalangi Tercapainya Ilmu
Ada beberapa hal yang menghalangi tercapainya ilmu dan beberapa
kesalahan yang harus kita jahui, diantaranya :
1. Hasad (dengki/iri) artinya membenci datangnya nikmat Allah kepada
orang lain dengki akan mengurangi pahala seseorang dalam mencari
ilmu, memperlemah hafalannya, dan mengurangi konsentrasinya dalam
menghadiri dan memahami ilmu.
Allah SWT berfirman :

‫ض َل َما تَتَ َمنَّ ْوا َو َّل‬


َّ َ‫ّللاُ ف‬ َ ‫َصيب ِل ِلر َجا ِل بَ ْعض َعلَى بَ ْع‬
َّ ‫ض ُك ْم بِ ِه‬ َ َ ‫اء ا ْكت‬
ِ ‫سبُوا ِم َّما ن‬ ِ ‫س‬ َ ِ‫َصيب َو ِللن‬ َ َ‫ّللا َوا ْسأَلُوا ا ْكت‬
ِ ‫سبْنَ ِم َّما ن‬ َ َّ
ْ‫ض ِل ِه ِمن‬ َ َّ
ْ ‫ّللا إِن ف‬ َ ُ
َ َّ َ‫ش ْيء بِك ِل كان‬ َ ‫َع ِلي ًما‬
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu
lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada
apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” ((Q.S An-Nisa’:32)

2. Berfatwa tanpa ilmu


Fatwa adalah kedudukan yang agung, pelakunya mencurahkan pikiran untuk
menjelaskan apa yang samar bagi ummat tentang urusan agama dan membimbing
mereka ke jalan yang lurus. Oleh karena itu, kedudukan ini tidak bisa
disandang,kecuali oleh ahlinya.
Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-
sebut oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini karam', untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung," (An-Nahl: 116).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa diberi
fatwa tanpa ilmu maka dosanya adalah atas orang yang memberi fatwa tersebut.
Barangsiapa menganjurkan satu perkara kepada saudaranya seagama sementara ia
tahu bahwa ada perkara lain yang lebih baik berarti ia telah
mengkhianatinya." (Hasan, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad [59], Abu Dawud
[3657], Ibnu Majah [53], Ahmad [321 dan 365], ad-Darimi [1/57], al-Hakim [1/102-
103], al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiib wal Mutafaqqih [11/155]).

Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabbah berkata, "Aku mendengar Ibnu 'Abbas r.a.
menceritakan tentang seorang laki-laki di zaman Nabi saw. yang terluka pada bagian
kepalanya, kemudian malamnya ia mimpi basah. Lalu ia disuruh mandi. Maka ia pun
mandi. Selesai mandi tubuhnya kejang-kejang lalu mati. Sampailah beritanya kepada
Rasulullah saw., maka beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya, semoga Allah
membinasakan mereka. Bukankah bertanya merupakan obat kebodohan’?” (Shahih,
HR Ibnu Majah [572], ad-Daraquthni [1/190/4], al-Hakim [1/178], ath-Thabrani
[11472], Abu Nu'aim dalam al-Hilyab [111/317-318]).

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata, "Bagi yang tahu hendaklah
mengatakan apa yang ia ketahui. Dan bagi yang tidak tahu hendaklah
mengatakan, Allaahu a’lam. Sebab termasuk ilmu adalah mengatakan, 'Aku tidak
tahu' dalam perkara yang tidak ia ketahui ilmunya." Sebab Allah SWT berfirman
kepada Nabi-Nya, "Katakanlah (hai Muhammad), (Aku tidak meminta upab
sedikitpun ke-padamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
mengada-adakan," (Shaad: 86).
3. Kibr (sombong) seorang thalibul ilmu ( pencari ilmu) harus tunduk kepada
kebenaran, harus taslim ( menerima), tidak boleh sekali-kali menolak
kebenaran dengan rayu’nya, hawa nafsunya, atau lainya. Apabila
disampaikan Al’qur’an dan Sunnah, orang yang sombong tidak akan
masuk surga.
Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak masuk surga orang yang didalam hatinya ada kibr (sombong) seberat
dzarrah"
4. Fanatik terhadap madzhab dan pendapat, penuntut ilmu harus
menghindari sikap berkelompok dan bergolongan-golongan dimana ia
mengikuti loyalitas (kecintaan) kepada kelompok tertentu atau golongan
tertentu.
5. Merasa mampu sebelum layak
Diantara hal yang wajib dijahui oleh penuntut ilmu adalah merasa dirinya
mampu sebelum layak, merasa dirinya sudah menguasai ilmu syar'i lalu
berani ceramah, mengajar, berdakwah, tabligh, dan lainnya. Oleh karena
itu, apabila ia melakukan hal tersebut berarti ia menunjukkan beberapa
hal,diantaranya :
 Merasa takjub dengan dirinya sendiri karena ia merasa mampu. Maka ia akan
memandang bahwa dirinya termasuk salah satu diantara ulama.
 Sesungguhnya hal itu menunjukkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan
dirinya. Karena apabila ia merasa mampu, sering kali ia terjerumus ke dalam
satu perkara yang ia tidak dapat lepas darinya. Karena apabila manusia melihat
melihatnya merasa alim, mereka akan menyodorkan kepadanya masalah-
masalah yang akan menyebabkan aibnya terbuka.
 Sesungguhnya apabila ia merasa sok alim (sok tahu) sebelum layak, pasti ia
akan berbicara atas nama Allah tanpa ilmu
 Sesungguhnya seseorang yang merasa dirinya alim (sudah merasa punya ilmu)
pada umumnya tidak mau menerima kebenaran karena dengan kebodohannya ia
menyangka bahwa jika ia tunduk kepada orang lain, sekalipun orang itu benar
maka hal ini menunjukkan bahwa ia tidak berilmu.
6. Buruk sangka
Diantara hal yang wajib dihindari oleh penuntut ilmu adalah buruk
sangka kepada orang lain. Seperti mengatakan, "Dia tidak
bershadaqah,melainkan karena riya." Orang-orang munafik dahulu
apabila orang mukmin memberikan shadaqah dengan jumlah yang
banyak mereka mengatakan, “Dia riya." Jika shadaqahnya sedikit mereka
mengatakan, "Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada shadaqah yang
seperti itu."
Allah SWT berfirman :

‫ِيرا اجْ تَنِبُوا آ َمنُوا الَّذِينَ أَيُّ َها يَا‬ً ‫الظ ِن مِ نَ َكث‬ َّ ‫ض إِ َّن‬ َ ‫الظ ِن بَ ْع‬َّ ‫سوا َو َّل ۖ إِثْم‬ ُ ‫س‬َّ ‫ض ُك ْم يَ ْغتَبْ َو َّل ت َ َج‬
ُ ‫ۚ بَ ْعضًا بَ ْع‬
ْ
ُّ‫ّللا َواتَّقُوا ۚ فَك َِر ْهت ُ ُموهُ َم ْيتًا أَخِ ي ِه لَحْ َم يَأ ُك َل أ َ ْن أ َ َح ُد ُك ْم أَيُحِ ب‬
ََّ ۚ ‫ّللا ِإ َّن‬
ََّ ‫َرحِ يم ت ََّواب‬

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka,


sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu
menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.
Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh Allah maha penerima Taubat
lagi maha penyayang." (Q.S. Al-Hujuraat:12)
7. Bertengkar dan debat kusir
Jahuilah bertengkar dan debat kusir dalam berbagai masalah syari'at
karena itu adalah cara-cara ahlul bid'ah, pelakunya tidak pernah memiliki
pendapat yang tetap, setiap hatinya ia memiliki pendapat yang baru.
Seorang penuntut ilmu yang berniat belajar harusikhlas karena Allah,
bukan dengan niat membantah orang, atau berdebat dan lainnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda:
"Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk berbangga-bangga dihadapan
ulama dan untuk berdebat dengan orang-orang bodoh serta mencari
perhatian orang banyak, maka Allah akan memasukkannya ke dalam
neraka jahannam."(Hadist Hasan : Diriwayatkan oleh Ibnu Majah
(no.260)dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)
"Tidaklah sesat suatu kaum setelah Allah memberikan petunjuk kepada
mereka, melainkan karena mereka suka berbantah-bantahan." Kemudian
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda

‫ض َرب ُوهُ َما ۚ ه َُو أ َ ْم َخيْر َء َٰأ َ ِل َهتُنَا َوقَالُ ٓوا‬


َ َ‫َص ُمونَ قَ ْوم ُه ْم بَ ْل ۚ َج َد ۢ ًّل إِ َّّل لَك‬
ِ ‫خ‬
"Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu,melaikan dengan
maksud membantah saja,sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar." (Q.S Az-Zukhruf:58)
"Sesungguhnya orang yang paling di benci Allah adalah orang yang paling keras
berdebat dan suka bertengkar."[(Hadist Hasan: Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(no.2457 dan no. 4523), Muslim (no.2668)]
Para ulama menjelaskan bahwa bertengkar dalam masalah agama adalah tercela,
akan tetapi mujadalah (berbantahan) dengan cara yang baik adalah disyari'atkan.
Sebagaimana firman Allah SWT :
"Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik..." (Q.S An-Nahl: 125)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah, Islam tidak tegak dan
tidak akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah
dan sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Menuntut ilmu adalah suatu usaha
yang dilakukan oleh seseorang untuk mengubah tingkah laku dan perilaku ke arah
yang lebih baik, karena pada dasarnya ilmu menunjukkan jalan menuju kebenaran
dan meninggalkan kebodohan. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib. Para
ulama fiqih mengelompokkan dua bagian, yaitu fardhu'ain dan fardhu'kifayah.

B. SARAN
Sebagai seorang muslim kita sudah semestinya bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu,
karena dalam Islam orang yang berilmu itu sangat di muliakan dan akan diangkat derajatnya
oleh Allah SWT. Selain dari itu, ilmu juga memiliki banyak keutamaan. Maka dari itu, setelah
membaca makalah ini, kita dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dan
menjahui hal yang menghalangi tercapainya ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/amp/s/dalamislam.com/hukum-islam/hukum-menuntut-ilmu/amp

https://muslimah.or.id/10472-keutamaan-menuntut-ilmu-agama.html

https://annisawally0208.blogspot.com/2016/04/ilmu-dalam-pandangan-islam.html?m=1

http://bagasrahmats.blogspot.com/2017/02/hukum-menuntut-ilmu-bagi-ummat-islam.html?m=1

https://muslimah.or.id/10472-keutamaan-menuntut-ilmu-agama.html

https://m.facebook.com/notes/nadwah-dirosatil-uluum-al-islamiyyah/beberapa-kesalahan-yang-
wajib-dijauhi-oleh-penuntut-ilmu-syari/223499954404100/

http://mynewkarakterdaiyyah.blogspot.com/2015/10/adab-menuntut-ilmu.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai