Anda di halaman 1dari 20

INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN

PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

halaman
DAFTAR ISI............................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6
BAB III HASIL....................................................................................................... 23
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................... 25
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 30
A. Simpulan................................................................................................. 30
B. Saran....................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi
obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama.
Interaksi obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi di
Amerika menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus masuk rumah sakit
atau harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada seharusnya, bahkan hingga terjadi
kasus kematian karena interaksi dan/atau efek samping obat. Pasien yang dirawat di rumah
sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek
untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang
dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia.
Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau
pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan
batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa
digunakan bersama-sama.
Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
a. dokumentasinya masih sangat kurang
b. seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan mekanisme dan
kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan interaksi obat berupa peningkatan
toksisitas dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi
berupa penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan bertambah parahnya penyakit pasien
c. kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual, di mana populasi
tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau berpenyakit parah, dan bisa juga karena
perbedaan kapasitas metabolisme antar individu. Selain itu faktor penyakit tertentu terutama
gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan
bersama-sama, pemberian kronik).

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolic kronik yang mengenai segala
lapis masyarakat dunia. Penyakit ini sering disebut the great imitator karena penyakit ini
dapat mengenai semua ogan dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit ini tidak
dapat sembuh meskipun dapat diatasi. Berdasarkan klasifikasi yang baru diabetes dibagi
menjadi beberapa kelas dan yang termasuk dalam kelas utama ialah diabetes tipe I dan
diabetes tipe II. Sebanyak lebig dari 85 % kasus DM adalah DM tipe 2. DM dapat
menimbulkan berbagai komplikasi baik akut maupun komplikasi kronik. Oleh karena itu
perlu penanganan serius terhadap diabetes yang dilakukan melalui Panca Usaha Pengolahan
Diabetes yaitu edukasi, pengaturan makan, latihan jasmani, penggunaan obat serta mengatasi
gangguan dan komplikasi juga perubahan pola hidup penderita diabetes mellitus.
Dalam makalah ini penulis tertarik untuk menulis mengenai interaksi obat dan
makanan terhadap penderita diabetes mellitus tipe II.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DIABETES MELLITUS
A. Definisi
Diabetes Mellitus adalah kelainan yang bersifat kronik yang ditandai oleh gangguan
metabolism karbohidrat, protein, dan lemak yang diikuti oleh komplikasi mikrovaskuler
maupun makrovaskuler, dan telah diketahui berkaitan dengan faaktor genetik dengan gejala
klinik yang paling utama adalah intoleransi glukosa (Wilson,2000).
Diabetes Mellitus tipe 2 terdiri dari berbagai macam kelainan dengan karakteristik
yang sama yaitu insufisiensi kerja insulin untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam
batas normal. Insufisiensi kerja insulin merupakan kombinasi dari resistensi insulin dan
sekresi insulin yang abnormal (Darmono,2000).
B. Epidemiologi
Jumlah penderita diabetes diseluruh dunia, menurut data tahun 1993 adalah 100 juta,
yang berarti suatu kenaikan 3 kali lipat dibandingkan tahun 1987. Di Indonesia, angka
kejadian diabetes berkisar 1-2 % berarti satu di antara 50 – 100 penduduk Indonesia
menderita diabetes. Salah satu factor yang diduga meningkatkan kejadiannya di Asia dan
Afrika adalah adanya perubahan yang nyata dalam pola makan, yaitu yang banyak nerlemak
dengan kurang sayur, kegemukan, dan hidup yang sangat santai (Hartati,2002).
C. Etiologi dan Patogenesis
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes mellitus bermacam – macam.
Akan tetapi, penyakit ini sering dihubungkan dengan faktor genetik yang autosomal dominan
di mana factor lingkungan memiliki kontribusi pada manifestasinya terutama pada orang –
orang dengan predisposisi genetik. Dari penelitian diketahui bahwa pada kembar monozigot
kejadian DM tipe 2 meningkat hingga 91 % dan tidak berubah meskipun perbedaan berat
badan telah dihitung. Besarnya resiko terkena DM tipe 2 adalah sebesar 14 % jika tak satu
pun orang tua menderita DM, 25 % jika salah satu orang tua menderita DM dan 45 % jika
kedua orang tua menderita DM (Darmono,2000).
a. Sekresi Insulin
Selain faktor genetik, patogenesis DM tipe 2 juga dihubungkan dengan gangguan sekresi
insulin. Semua penelitian menunjukkan bahwa pada fase awal penderita dengan DM tipe 2
memiliki kadar insulin yang normal atau meningkat, yang kemudian dihubungkan dengan
terjadinya obesitas meski obesitas tidak selalu terjadi. Peningkatkan kadar insuli ini
menunjukkan bahwa pada saat itu lebih banyak insulin harus disekresikan untuk
mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Selanjutnya kadar insulin menjadi
normal, baik dalam proporsi proinsulin maupun bioaktivitasnya. Meski kadar insulin normal,
abnormalitas sekresi insulin dapat diidentifikasi setelah stimulasi sel β pankreas dengan cara
memberikan glukosa intra vena. Di mana kadar insulin meningkat akan tetapi glukosa darah
tetap normal, menunjukkan adanya resistensi insulin. Pada fase kedua, resistensi insulin
cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak bentuk
intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Bagi beberapa penderita
intoleransi glukosa ini dapat bertahan bertahun – tahun berkembang menjadi DM, tapi bagi
sebagian penderita, ini adalah fase intermediate sebelum menjadi diabetes. Umumnya pasien
tidak memiliki keluhan, akan tetapi perubahan makroangiopati dan lesi – lesi vaskuler telah
dapat ditemukan dalam fase ini. Akhirnya pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah
tetapi sekresi insulin menurun dengan akibat kadar glukosa darah yang sangat tinggi
menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata (Sylvia,1995).

b. Resistensi Insulin
Kadar insulin plasma yang normal atau meningkat pada penderita DM tipe 2 menunjukkan
resistensi insulin yang muncul sebagai akibat adanya defek pada beberapa tehapan kerja
insulin. Dalam keadaan normal, insulin terikat pada resepto di membrane sel yang
selanjutnya mentransmisikan second messenger untuk memulai perubahan metabolism
glukosa didalam sel. Pada DM tipe 2 ddefek pertama adalah adanya penurunan jumlah
respetor insulin, sedangkan defek kedua adalah adanya defek pada pengiriman sinyal/ pesan
intraseluler yang diduga terkait dengan abnormalitas metabolism karbohidrat (Sylvia,1995).
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolic
defisiensi insulin. Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa sesudah
makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang ginjal, maka timbul
glukosuria. Dlukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang meningkatkan diuresis
osmotic yang meningkatkan pengeluaran kemih (poliuri) dan timbul rasa haus (polidipsia).
Karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan kalori
negative dan berat badan berkurang. Polifagi akan timbul sebagai akibat kehilangan kaloi.
Pasien mengeluh lelah dan mengantuk. Pada pasien NIDDM(non insulin dependent diabetes
mellitus) mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya
dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa.
Pertolongan medis paling sering dicari karena gejala yang berkaitan dengan hiperglikemia,
tetapi kejadian pertama mungkin berupa dekompensasi metabolic akut yang menyebabkan
koma diabetik. Kadang – kadang penampakan awal berupa penyulit degenerative seperti
neuropati tanpa hiperglikemia bergejala (Kapita Selekta,2001).

Gambaran klinis yang khas dari NIDDM:


 Umur awitan >40
 Bentuk tubuh gemuk atau tidak gemuk
 Insulin plasma nomal hingga tinggi
 Penyulit akut koma hiperosmolar
 Responsive hingga resisten terhadap terapi insulin
 Responsive terhadap terapi sulfonilurea
E. Diagnosis
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuri,
polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kelemahan, kesemuten, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan
khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari ini,
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTOG) didapatkan kadar glukosa darah pasca
pembebanan ≥ 200 mg/dl (Perkeni,2006).
F. Komplikasi Diabetes Mellitus
Komplikasi – komplikasi diabetes mellitus dapat dibagi menjadi dua kategori: (1)
komplikasi metabolic akut, dan (2) komplikasi – komplikasi vascular jangka panjang.
Komplikasi metabolic diabetes merupakan akibat perubahan yang relative akut dari
kadar glukosa plasma. Komplikasi metabolic yang paling serius, adalah ketoasidosis diabetik.
Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat,
penurunan lipogenesis, peningkatkan lipolisis, dan peningkatkan oksidasi asam lemak bebas
disertai pembentukan badan keton (asetoasetat, hidroksi butirat, dan aseton). Peningkatkan
dalam plasma mengakibatkam ketosis, peningkatan beban ion hydrogen dan asidosis
metabolic. Glukosuria dan ketosuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotic
dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan
mengalami syok. Akhirnya akibat penuunan penggunaan oksigen otak, pasien akan
mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat ketoasidosis saat ini jarang
terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi
ini dan pengobatan ketoasidosis dapat dilakukan sedini mungkin.
Ketoasidosis diabetic ditangain dengan (1) perbaikan kekacauan metabolic akibat
kekurangan insulin, (2) pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan (3) pengobatan
keadaan yang mungkin mempercepat ketoasidosis. Pengobatan dengan insulin regular masa
kerja singkat diberikan melalui infuse intravena kontinu atau suntikan intramuscular yang
sering dan infuse glukosa dalam air atau salin akan meningkatkan penggunaan glukosa,
mengurangi lipolisis dan pembentukan badan keton, serta pemulihan keseimbangan asam –
basa. Selain itu pasien juga memerlukan penggantian kalium. Karena infeksi berulang dapat
meningktkan kebutuhan insulin pada penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau
infeksi dapat mempercepat terjadinya dekompensasi diabetic akut dan ketoasidosis. Dengan
demikian, pasien dalam keadaan ini mungkin perlu diberikan pengobatan antibiotika.
Komplikasi metabolic lain dari diabetes yang sering terjadi adalah hipoglikemia.
Gejala – gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin ( berkeringat, gemetar,
sakit kepala, dan palpitasi); juga akibat kekurangan glukosa dalam otak( tingkah laku yang
aneh, sensorium yang tumpul dan koma).
Komplikasi vascular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh – pembuluh
kecil mikroangiopati dan pembuluh – pembuluh sedang dan besar makroangiopati.
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina(
retinopati diabetic), glomerulus ginjal ( nefropati diabetic) dan saraf – saraf perifer (neuropati
diabetic), otot – otot dan kulit. Dipandang dari sudut histokimia, penebalan ini disertai oleh
peningkatkan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membrane
dasar berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan
pembentukkan sel – sel membrane dasar. Penggunaan glukosa dari sel – sel ini tidak
membutuhkan insulin (Perkeni,2006).

FARMAKOLOGI
A. Farmakokinetik
1. Absorpsi
Absorpsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung
dari cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna ( mulut sampai dengan
rectum), kulit, paru, otot, dan lain – lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per
oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan
absorpsi yang sangat luas.
Pemberia obat dibawah lidah hanya untuk obat yang larut dalam lemak, karena luas
absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya
nitroglisin.
Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagian barier absorpsi adalah
membrane sel epitel saluran cerna, yang seperti halnya semua membrane sel tubuh kita,
merupakan lipid bilayer. Dengan demikian, agar dapat melintasi membrane sel tersebut,
molekul obat harus memiliki kelarutan lemak(setelah terlebih dahulu larut dalam air).
Kecepatan difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat ( selain
dengan perbedaan kadar obat lintas membrane, yang merupakan driving force proses difusi,
dan dengan luasnya area permukaan membrane difusi).
Kebanyakan obat merupakan elektolit lemah, yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam air,
elektolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya. Derajat ionisasi obat tergantung
pada konstanta ionisasi obat dan pH larutan di mana obat berada.
2. Distribusi
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah. Ada
bebrapa macam protein plasma:
 Albumin : mengikat obat – obat asam dan obat – obat netral serta bilirubin dan asam – asam
lemak.
 α-glikoprotein: mengikat obat – obat basa
 CBG ( corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid
 SSBG ( sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormone kelamin.

Obat – obat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Komplek obat
– protein terdisosiasi dengan sangat cepat. Obat bebas akan keluar ke jaringan: ke tempat
kerja obat, ke jaringan tempat depotnya, ke hati ( dimana obat mengalami metabolism
menjadi metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke
ginjal ( dimana obat/ metabolitnya diekskesi ke dalam urin).
Interaksi pergeseran protein. Obat – obat asam akan bersaing untuk berikatan dengan
albumin di tempat ikatan yang sama, dan obat - obat akan bersaing untuk berikatan dengan α-
glikoprotein. Karena tempat ikatan pada protein plasma tersebut terbatas, maka obat yang
pada dosis terapi telah menyebabkan jenuhnya ikatan akan menggeser obat lain yang terikat
pada tempat ikatan yang sama sehingga obat yang bergeser ini akan lebih banyak yang bebas.
Selanjutnya obat yang bebas ini akan keluar dari pembuluh darah dan menimbulkan
efekfarmakologik atau dieliminasi dari tubuh. Interaksi pergeseran protein akan bermakna
secara klinik jika obat yang digeser memenuhi 3 syarat berikut:
 Ikatan protein tinggi: ≥ 85%, sehingga kadar obat bebas rendah, akibatnya pergeseran sedikit
saja sudah meningkatkan jumlah obat bebas secara bermakna.
 Volume distribusi kecil (≤ 0,15 L/kg), sehingga peningkatan jumlah obat bebas tidak habis
terdistribusi tapi memberikan peningkatan kadar plasma yang cukup bermakna
 Margin of safety ( batas keamanan) sempit, sehingga peningkatan kadar plasma yang relative
kecil sudah bermakna secara klinis.
3. Metabolisme
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membrane endoplasmic
reticulum(mikrosom) dan di cytosol . tempat metabolism yang lain ( ekstrahepatik) adalah:
dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar ( larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat
aktif umumnya iubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya
prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik.
Eaksi metabolism terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari
oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih polar, dengan akibat
menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif. Sedangkan reaksi II merupakan reaksi
konjungasi dengan substrat endogen: asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam
amino, dan hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat
dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi I yang diikuti reaksi
fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar seperti gugus hidroksil, gugus amino,
karboksil, sulfihidril, dsb, untuk dapat bereaksi dengan substrat endogen pada reaksi fase II.
Karena itu obat yang sudah mempunyai gugus – gugus tersebut langsung bereaksi dengan
substrat endogen (reaksi fase II). Hasil eaksi fase I dapat juga sudah cukup polar untuk
langsung diekskresikan lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II lebih dulu.
Reaksi metabolism yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (
CYP), yang disebut juga enzim mono – oksigenase, atau MFO( mixed- function oxidase),
dalalm endoplasmic reticulum ( mikrosom) hati.
Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolism,
terutama enzim CYP. Induksi berarti peningkatan sintesis enzim metabolisme pada tingkat
transkrispsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat
enzim yang bersangkutan, akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat tersebut, berarti
terjadi toleransi farmokinetik. Karena melibatkan sintesis enzim maka diperlukan waktu
pajanan beberapa hari sebelum dicapai efek yang maksimal. Induksi dialami oleh semua
enzim mikrosomal. Jadi enzim CYP dan UGT.
Inhibisi enzim metabolisme : hambatan terjadi secara langsung, dengan akibat
peningkatkan kadar obat yang menjadi substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara
langsung. Untuk mencegah terjadinya toksisitas, diperlukan penurunan dosis obat yang
bersangkutan atau bahkan tidak boleh ddiberikan bersama penghambatnya.
Metabolisme obat akan terganggu pada pasien penyakit hati seperti sirosis, hati
berlemak, dan kanker hati. Pada sirosis yang parah, metabolisme obat berkurang antara 30 –
50 %, ini dapat meningkatkan bioavailabilitas 2-4 kali pada obat – obat yang mengalami
metabolisme lintas pertama. Enzim – enzim CYP lebih terpengaruh dibanding reaksi – reaksi
fase II seperti glukuronidasi. Metabolisme obat juga terganggu oleh adanya penyakit yang
mengurangi perfusi hati seperti gagal jantung dan syok.
Enzim – enzim metabolisme fase I dan fase II mencapai kematangan setelah tahun
pertama kehidupan, kecuali enzim UGT untuk bilirubin mencapai nilai dewasa pada decade
kedua kehidupan.
4. Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal
dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk
aktif merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3
proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif tubulus proksimal dan reabsorbsi pasif di
sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah
dewasa menurun 1% per tahun.
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal.
Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar
bersama feses. Obat dan metabolit yang larut lemak dapat direabsorbsi kembali ke dalam
tubuh dari lumen usus. Metabolit dalam bentuk glukuronat dapat dipecah dulu oleh enzim
glukuronidase yang dihasilkan oleh flora usus menjadi bentuk obat awalnya yang mudah
diabsosrpsi kembali. Akan tetapi, bentuk konjugat juga dapat langsung diabsorpsi melalui
transporter membrane OATP di dinding usus, dan baru dipecah dalam darah oleh enzim
esterase. Siklus enterohepatik ini dapat memperpangjang efek obat, misalnya estrogen dalam
kontrasepsi oral.
Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anestetik umum.

B. Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi
dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat
adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui
urutan peristiwa serta spectrum efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik
mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

Mekanisme Kerja obat


Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya
pada sel organism. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimia
dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan
komponen makromolekul fungsional; hal ini mencakup 2 konsep penting. Pertama, obat
dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru,
tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen,
secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul
fungsional dapat berperan sebagai reseptor fisiologis untuk ligand endigen. Obat yang
menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya. Obat yang tidak mempunyai
aktivitas instinsik sehingga menimbulkan efek yang menghambat kerja suatu agonis disebut
antagonis. Disamping itu, ada obat yang jika berikatan dengan reseptor fisiologis
menimbulkan efek instrinsik yang berlawanan dengan efek agonis, disebut agonis negative.

INSULIN DAN OBAT DIABETIK ORAL

INSULIN
Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe I dan beberapa jenis DM tipe II,
tetapi memang masih banyak pasien DM yang enggan disuntik, kecuali dalam keadaan
terpaksa. Karenanya terapi edukasi pasien DM sangatlah penting, agar pasien sadar akan
perlunya terapi insulin meski diberikan secara suntikan. Suntikan insulin dapat dilakukan
dengan berbagai cara, antara lain: intravena, intramuskuler, dan umumnya pada penggunaan
jangka panjanglebih disukai pemberian secara subkutan.

Indikasi dan Tujuan Terapi


Insulin subkutan terutama diberikan pada DM tipe I. DM tipe II yang tidak dapat
diatasi hanya dengan diet atau antidiabetik oral, pasien DM pascapankeatomi atau DM
dengan kehamilan, DM dengan ketoasidosis, koma nonketosis, atau komplikasi lain, sebelum
tindakan operasi. Tujuan insulin pada keadaan tersebut bukan saja untuk menormalkan
glukosa darah tetapi juga memperbaiki semua aspek metabolism, dan yang terakhir inilah
umumnya sukar dicapai. Hasil terapi yang optimal membutuhkan pendekatan dokter pada
pasien dan keluarganya, agar ada koordinasi antara diet, latihan fisik, dan pemberian insulin.

Efek Samping
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan efek samping paling sering terjadi dan terjadi akibat dosis insulin
yang terlalu besar, tidak tepatnya waktu makan dengan waktu tercapainya kadar puncak
insulin, atau karena adanya factor yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin,
misalnya insufisiensi adrenal atau pituari, ataupun akibat kerja fisik yang berlebihan.
2. Reaksi alergi dan resistensi
Penggunaan insulin rekombinan dan insulin yang lebig murni, telah dapat menurunkan
insiden reaksi alergi dan resistensi. Meski demikian, kadang – kadangreaksi tersebut masih
dapat terjadiakibat adanya bekuan atau terjadinya denaturasi preparat insulin, atau
kontaminan, atau akibat pasien sensitive terhadap senyawa yang ditambahkan pada proses
formulasi preparat insulin. Reaksi alergi local pada kulit yang sering terjadi akibat IgE atau
resistensi akibat timbulnya antibody IgG.

Interaksi
Beberapa hormone bersifat antagonis terhadap efek hipoglikemia insulin antara lain,
hormone pertumbuhan, kortikotropin, glukokortikoid, tiroid, esterogen, progestin, dan
glucagon. Adrenalin menghambat sekresi insulin dan merangsang glikogenolisis.
Peningkatan kadar hormone ini perlu diperhitungkan dalam terapi insulin. Salisilat
meningkatkan sekresi insulin, mungkin menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia cenderung
terjadi pada pasien dengan penghambat adrenoseptor β akibat penghambatan efek
katekolamin pada glukoneogenesis dan glikogenolisis, obat ini juga mengkaburkan takikardi
akibat hipoglikemia. Potensi efek hipoglikemia insulin terjadi dengan penghambat MAO,
steroid anabolic dan fenfluramin (FK UI,2007).

OBAT ANTIDIABETIK ORAL


Ada 5 golongan antidiabetik oral ( ADO) yang dapat digunakan untuk DM dan telah
dipasarkan di Indonesia yakni golongan: sulfonylurea, meglitinid, biguanid, penghambat α-
glikosidase, dan tiazolidineson. Kelima golingan ini dapat diberikan pada DM tipe II yang
tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja.

Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonylurea, generasi 1 terdiri dari tolbutamid, asetoheksimid dan
klopropamid. Generasi II yang potensi hipoglikemik lebih besar antara lain gliburid (
glibenklamid), glipizid, glikazid dan glimepirid.

Mekanisme kerja
Golongan obat ini disebut sebagai insulin secretagogeus, kerjanya merangsang sekresi insulin
dari granul sel – sel β Langerhans pankreas. Rangsangan melalui interaksinya dengan ATP-
sensitive K channel pada membrane sel – sel β yang menimbulkan depolarisasi membrane
dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan
masuk sel β, merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan
jumlah yang ekuivalen dengan peptide C. kecuali itu, sulforilurea dapat mengurangi kliren
insulin di hepar.
Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan hipoglikemia.
Efek samping
Insiden efek samping generasi I sekitar 4 %, insidensnya lebih rendah lagi untuk generasi II.
Hipoglikemia, bahkan sampai koma tentu dapat timbul. Reaksi ini sering terjadi pada pasien
usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal, terutama yang menggunakan sediaan
dengan masa kerja panjang.
Efek samping lain, reaksi alergi jarang sekali terjadi , mual,muntah, diare, gejala
hematologic, susunan saraf pusat, mata, dan sebagainya.

Interaksi
Obat yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu penggunaan sulfonylurea adalah
insulin, alcohol, feniformin, sulfonamide, salisilat dosis besar, fenibutazon, oksifenbutazon,
probenezid, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin, anabolic steroid,
fenfluramin dan klofibrat.
Propranolol dan penghambat adrenoreseptor β lainnya menghambat reaksi takikardia,
berkeringat dan tremor pada hipoglikemia oleh berbagai sebab termasuk oleh ADO, sehingga
keadaan hipoglikemia menjadi hebat tanpa diketahui. Sulfonylurea terutama klorpropamid
dapat menurunkan toleransi terhadap alcohol, hal ini ditunjukkan dengan kemerahan terutama
dimuka dan leher.

Meglitinid
Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme kerjanya sama
dengan sulfonylurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda. Golongan AOD ini merangsang
insulin dengan menutup kanal K yang ATP- independent di sel β pankreas.
Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam kurun waktu 1
jam. Masa paruhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa kali sehari, sebelum makan.
Metabolism utamaya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10 % dimetabolisme di
ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal harus diberikan secara hati – hati.
Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi alergi juga pernah
dilaporkan.
Biguanid
Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dai golongan biguanid: fenformin, buformin, dan
metformin, tetapi yang pertama telah ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan
asidosis laktat. Sekaang yang banyak digunakan adalah metformin.

Mekanisme kerja
Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemia, tetapi antihiperglikemia, tidak menyebabkan
rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin
menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensivitas jaringan otot dan
adipose terhadap insulin.
Efek samping
Hampir 20% pasien dengan metformin mengalami mual, muntah, diare serta kecap logam,
tetapi dengan menurunkan dosis keluhan – keluhan tersebut dapat hilang. Pada beberapa
pasien yang mutlak bergantung pada insulin eksogen, kadang – kadang biguanid
menimbulkan ketosis yang tidak disertai hiperglikemia. Hal ini harus dibedakan dengan
ketosis karena defisiensi insulin.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau system kardiovaskuler, pemberian biguanid
dapat menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam darah, sehingga hal ini sapat
mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan tubuh.

Golongan Tiazolidinedion
Makanisme kerja dan efek metabolic
Telah diterangkan diatas, insulin merangsang pembentukan dan translokasi GLUT ke
membrane sel organ perifer. Ini terjadi karena insulin merangsang Peroxisome proliferators-
activated reseptor-γ (PPARγ) di inti sel dan mengaktivasi insulin-responsive genes, gen yang
berperan dalam metabolism karbohidrat dan lemak. PPARγ terdapat di target insulin, yakni di
jaringan adipose, pankreas, hepar, keberadaannya di otot skelet masih meragukan.
Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPARγ membentuk kompleks
PPARγ-RXR dan terbentuklah GLUT baru. Di jaringan adipose PPARγ mengurangi
keluarnya asam lemak ke otot, dan karenanya dapat mengurangi resistensi insulin.
Efek samping antara lain, peningkatkan berat badan , edema, menambah volume plasma dan
memperburuk gagal jantung kongesif. Edema sering terjadi pada penggunaannya bersama
insulin. Kecuali heap, tidak dianjurkan pada gagal ginjal kelas 3 dan 4 menurut New York
Heart Association. Hipoglikemia pada penggunaan monoterapi jarang terjadi.

Penghambat Enzim α-Glikosidase


Obat golongan penghambat enzim α-glikosidase ini dapat memperlambat absorpsi
polisakarida, dekstrin, dan disakarida di intestine. Dengan menghambat kerja enzim α-
glikosidase di brush border intestine, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada
orang normal dan pasien DM.
Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek
samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia tipe
lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat tinggi. Di klinik sering digunakan
bersama antidiabetik oral lain dan atau insulin.
Obat golongan ini diberikan pada waktu mulai makan; dan absorspsi buruk.
Akarbose merupakan oligosakaida yang berasal dari mikroba, dan migitol suatu derivate
desoksinojirimisin, secara kompetitif juga menghambat glukoamilase dan sukrase, tetapi
efeknya pada α-amilase pankreas lemah.
Efek samping yang bersifat dose- dependent antara lain malabsorbsi, flatulen, diare, dan
abdominal bloating. Untuk mengurangi efek samping ini sebaiknya dosis dititrasi (FK
UI,2007).

OBAT HERBAL ANTIDIABETIK


1. batang brotowali / Tinosporae caulis (mengandung alkaloid , zat pahit, tinosporidine, berefek
menurunkan kadar gula darah)
2. buah pare/ Momordicae fructus (mengandung alkaloid momordin berefek menurunkan kdar
gula darah dan tekanan darah)
3. Daun sambiloto / Andrographii folium (mengandung andrographolide berefek menurunkan
gula darah, tekanan darah, meningkatkan stamina)

BAB III
HASIL

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny Toasah
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Suradadi - Tegal
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan :
Pekerjaan :

RESUME PENYAKIT DAN PENATALAKSANAAN YANG SUDAH


DILAKUKAN
Anamnesis
Pasien datang untuk kontrol gula darah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan gula darah sewaktu 240 mg/dl
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
 Riwayat kencing manis sejak 7 tahun yang lalu, kontrol teratur
 Riwayat sakit kuning disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat asma disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga sakit disangkal
 Riwayat keluarga sakit darah tinggi, asma, sakit kuning, dan jantung disangkal
Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umun : baik
 Kesadaran : baik
 Tanda vital:
 Tensi: 120/70 mmHg
 Nadi: 70 x/menit
 Frekuensi nafas: 32 x/menit
 Suhu: 36,1 derajat celcius aksila (ketiak)
 Status gizi:
 BB: 54 kg
 TB: 160 cm
 BMI: 21,1
 Kesan : normal
Diagnosis Kerja
Diabetes Melitus tipe 2
Penatalaksaan
 Farmakologi
 Glibenklamid
Cara kerja meningkatkan sekresi insulin
 Metformin
Cara kerja menekan produksi glukosa hati
 Nonfarmakologi
 Diet diatur: kurangi manis – manis dan batasi makanan yang banyak karbohidrat.
 Olahraga teratur 3 – 4 kali seminggu kurang lebih 30 menit ( jalan santai, sepeda santai,
jogging, berenang)
 Pemahaman tentang penyakit DM, hipoglikemia, makna dan perlunya pengendalian dan
pemantauan DM.

BAB IV
PEMBAHASAN
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses farmakokinetik
maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma
obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik
diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk
mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya. Interaksi
farmakodinamik meliputi aditif (efek obat A =1, efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya =
2), potensiasi (efek A = 0, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1, efek
B = 1, efek kombinasi A+B = 3) dan antagonisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi
A+B = 0). Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek
pada jaringan atau reseptor.
Interaksi farmakokinetik
1. Absorpsi
Obat-obat yang digunakan secara oral bisaanya diserap dari saluran cerna ke dalam
sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati saluran
cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian
besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar
tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi
perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut
air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari
pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi
melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat
berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat
absorpsinya biasanya sempurna.
Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah
terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak
plasma yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi
antara lain :
a. Interaksi langsung
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat
mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau sangat dikuangi bila obat
yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam.
b. perubahan pH saluran cerna
Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan meningkatkan
kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin.
Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya.
Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang
bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, sehingga mengurangi
absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasida akan mengurangi pengrusakan
obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya.
Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah
yang dibutuhkan sehingga tidak memungkinkan diberikan bersama antasida, obat
antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol). Jika
memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian
ketokonazol.
c. pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan adsorsi
Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin, levofloksasin,
lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent
(misalnya ion Ca2+ , Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan
penurunan yang signifikan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek terapetik,
karena terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga sangat menurunkan aktivitas
antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi dengan
memberikan antasida beberapa jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika
antasida benar-benar dibutuhkan, penyesuaian terapi, misalnya penggantian dengan obat-pbat
antagonis reseptor H2 atau inhibitor pompa proton dapat dilakukan.
Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menjerap obat-obat lain, sehingga
menurunkan absorpsi. Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat
ini dengan obat lain selama mungkin.
d. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid sequestrant)
Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah
reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat
asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan
obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).
e. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnya pengosongan lambung, perubahan
vaksularitas atau permeabilitas mukosa saluran cerna, atau kerusakan mukosa dinding usus).
Analisis kasus
Penderita bernama Ny Toasah, berumur 46 tahun menderita diabetes tipe 2 sejak 7 tahun
yang lalu. Penderita selalu rutin kontrol pengobatan diabetes mellitus dan rutin melakukan
cek kadar gula darah.
Penderita makan teratur dengan mengurangi makanan yang manis – manis sesuai petunjuk
dokter untuk menjaga kadar gula darahnya. Untuk gula, penderita biasa menggunakan gula
rendah kalori.
Penalaksaan farmakologi yang diberikan kepada penderita adalah glibenklamid dan
metformin.

Interaksi obat glibenklamid dan metformin


Metformin
Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga
menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorbs glukosa di usus sesudah
asupan makan. Setelah dibeikan oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah
setelah 2 jam dan diekskresikan lewat urin dalam keadaan utuh dangan waktu paruh 2,5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan
hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemia. Pada pemakaian kombinasi
dengan sulfonylurea, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengauh sulfonillureanya. Pada
pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20 % dan konsentrasi
insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat
badan seperti pada pemakaian sulfonylurea.

Gliblenklamid
Mekanisme kerja glibenklamid adalah dengan merangsang kanal K yang tergantung
pada ATP dari sel beta pankreas. Bila silfonilurea terikat reseptor kanal tersebut maka akan
terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K
pada membrane sel beta, terjadi depolarisasi membrane dan membuka kanal Ca tergantung
voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan
menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang
tersimpan.
Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonylurea, umumnya selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu
di mana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat digunakan dalam dosis besar.
Kombinasi glibenklamid dan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional
karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa
darah lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing – masing, baik pada dosis maksimal
keduanya maupun pada dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat menurunkan
glukosa darah yang lebih banyak.
Kombinasi metformin dengan insulin juga dapat dipertimbangkan pada psien gemuk
dengan glikemi yang sukar dikendalikan. Kombinasi gliblenklamid dengan metformin lebih
baik daripada kombinasi metformin dengan insulin.
Kombinasi gliblenklamid dengan insulin didasarkan bahwa rerata kadar glukosa darah
sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan
kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama, tidak tergantung dari kadar glukosa
darah pada keadaan puasa. Dengan memberikan insulin keja sedang pada malam hari,
produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat
turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari diatur dengan pemberian sulfonylurea
seperti biasanya.
Kombinasi sufonilurea dan insulin ternyata lebih baik daripada insulin sendiri dan
dosis insulin yang diperlukan ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat
diterima pasien daripada penggunaan insulin multiple.

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Diabetes Mellitus adalah kelainan yang bersifat kronik yang ditandai oleh gangguan
metabolism karbohidrat, protein, dan lemak yang diikuti oleh komplikasi mikrovaskuler
maupun makrovaskuler, dan telah diketahui berkaitan dengan faaktor genetik dengan gejala
klinik yang paling utama adalah intoleransi glukosa (Wilson,2000).
Diabetes Mellitus tipe 2 terdiri dari berbagai macam kelainan dengan karakteristik
yang sama yaitu insufisiensi kerja insulin untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam
batas normal. Insufisiensi kerja insulin merupakan kombinasi dari resistensi insulin dan
sekresi insulin yang abnormal (Darmono,2000).
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses farmakokinetik
maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma
obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik
diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk
mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya
Kombinasi glibenklamid dan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional
karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa
darah lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing – masing, baik pada dosis maksimal
keduanya maupun pada dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat menurunkan
glukosa darah yang lebih banyak.
Terjadi interaksi sinergis antara obat diabetes oral yaitu glibleklamid dan metformin.

B. Saran
1. Penderita selalu rutin untuk kontrol gula darah.
2. Penderita mengkonsumsi obat anti diabetik oral sesuai anjuran dokter sehingga dapat terjadi
interaksi yang sinergis antar obat anti diabetik oral sehingga tidak terjadi hipoglikemia.
3. Penderita menjaga pola makan sehingga didapatkan efek interaksi obat dan makanan yang
saling sinergis sehingga tidak terjadi terjadi hipoglikemia.

DAFTAR PUSTAKA

Darmono.1991.Seri Kuliah endokrinologi-metabolik.FK UNDIP.

Hartati,Sri.2002.Mengapa diabetes banyak mengakibatkan kerusakan organ tubuh dan bagaimana


kejadiannya.Semarang:Balai Penerbit FK UNDIP.
Sylvia.1995.Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.Jakarta:ECC.

FK UI.2007.Farmakologi Dan Terapi.Jakarta:FKUI.

Anda mungkin juga menyukai