Anda di halaman 1dari 15

TUGAS ANALISA MINERAL

FENOL DAN SURFAKTAN

DiajukanUntukMemenuhi Salah SatuTugas


Mata Kuliah Analisa Mineral

Oleh:
Kelompok 2

1. Ade Novita Sari Lubis/4162210001


2. Anggi Al Ridha Lubis/4163210002
3. Rizki Dwi Irmalasari/4161210010
4. Shohihatun Bariyah/4161210011

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air limbah merupakan air buangan dari masyarakat hasil sisa dari berbagai aktifitas
manusia. Kandungan zat kimia dalam air limbah perlu diketahui sebagai langkah awal untuk
menentukan perlakuan yang tepat terhadap air limbah tersebut. Selain itu, hal ini juga dilakukan
untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi. Adanya bahan-bahan organik dalam suatu air
limbah dapat mempengaruhi kehidupan dari makhluk hidup tertentu seperti ikan, serangga dan
organisme lain yang sangat bergantung pada oksigen. Salah satu contoh air limbah adalah deterjen.
Limbah deterjen merupakan salah satu pencemar yang bisa membahayakan kehidupan organisme
di perairan karena menyebabkan suplai oksigen dari udara sangat lambat akibat busanya yang
menutupi permukaan air . Pengaruh deterjen terhadap lingkungan dapat diketahui dengan
menganalisis kadar surfaktan anion atau deterjen pada sampel beberapa limbah dengan metode
MBAS (Methylen Blue Active Surfactant) yakni menambahkan zat metilen biru yang akan
berikatan dengan surfaktan dan dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis. Konsentrasi yang
terbaca adalah kadar surfaktan anion pada sampel limbah yang berikatan dengan metilen biru.
Secara umum sumber pencemaran fenol di badan air berasal dari batubara, kilang minyak
dan air limbah yang berasal dari industri resin, plastik, fiber, lem, besi, baja, aluminium, karet serta
effluen industri bahan bakar sintetik. Sedangkan sumber alamiah dari keberadaan fenol di air
adalah dari kotoran binatang dan dekomposisi bahan organik. Selain itu, sebagai metabolit dari
benzena maka senyawa fenol juga terdeteksi di instalasi pengolahan air limbah. Senyawa fenol
dapat juga mencemari tanah ketika terjadi tumpahan ketika pengangkutan dan bongkar muat di
pabrik dan juga dapat berasal dari lokasi penyimpanan limbah B3 dan landfill.
Sebagai senyawa yang banyak dipakai oleh industri, fenol mempunyai efek yang
berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Dalam konsentrasi tertentu senyawa ini dapat
memberikan efek yang buruk terhadap manusia, antara lain berupa kerusakan hati dan ginjal,
penurunan tekanan darah, pelemahan detak jantung, hingga kematian. Senyawa ini dapat dikatakan
aman bagi lingkungan jika konsentrasinya berkisar antara 0,5 – 1,0 mg/l sesuai dengan KEP No.
51/MENLH/ 10/1995 dan ambang batas fenol dalam air baku air minum adalah 0,002 mg/l seperti
dinyatakan oleh BAPEDAL.
Di dalam perairan senyawa fenol dapat menimbulkan dampak keracunan pada ikan dan
biota yang menjadi makanannya, mengurangi kandungan oksigen didalam air akibat penguraian
senyawasenyawa fenol oleh mikroorganisme dan menimbulkan rasa tak sedap pada daging ikan.
Senyawasenyawa fenol pada kadar yang tinggi dapat bersifat toksik, tetapi masalah utama yang
dapat ditimbulkan adalah rasa dan bau. Air yang mengandung fenol sebesar 0,001 ppm tidak
mempunyai rasa dan bau, tetapi fenol pada kadar tersebut sangat sukar untuk dideteksi.
Untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran senyawa fenol terhadap
manusia dan lingkungan maka perlu dilakukan pengolahan fenol. Secara umum pengolahan fenol
dibagi menjadi dua, yaitu dengan menurunkan kadar fenol dan melakukan recovery pada senyawa
fenol.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana metode penentuan kadar surfaktan anion (deterjen) dengan MBAS ?
2. Bagaimana metode penentuan kadar fenol dengan GC ?
3. Bagaimana menentuan kadar surfaktan anion (deterjen) dengan metode spektrofotometri
?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui metode penentuan kadar surfaktan anion (deterjen) dengan MBAS
2. Mengetahui metode penentuan kadar fenol dengan GC
3. Menentukan kadar surfaktan anion dari pembacaan spektrofotometri UV-Vis
BAB II
ISI

2.1 Surfaktan dan Fenol Fenol pada Kualitas Air


Air merupakan kebutuhan dasar yang sangat diperlukan oleh manusia, tumbuhan, dan
hewan. Oleh manusia, air dimanfaatkan untuk minum, makan, mandi, memasak, mencuci, dan
lain-lain. Menurut permenkes, air dapat dikonsumsi baik air yang melalui proses pengolahan
maupun air tanpa melalui proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum.
Salah satu produk yang paling popular atau yang paling banyak dikonsumsi adalah air
kemasan atau air minum isi ulang yang melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Kecendrungan
penggunaan air minum kemasan semakin meningkat, salah satu penyebabnya adalah pencemaran
air yang semakin parah hingga saat ini. Contoh penyumbang limbah pada perairan yang paling
sering adalah limbah industri. Limbah industri berbahaya, karena mengandung beberapa racun dan
senyawa kimia yang berbahaya. Contohnya adalah senyawa fenol. Limbah fenol berbahaya karena
bila mencemari perairan dapat membuat bau tidak sedap, serta pada nilai konsentrasi tertentu dapat
mengakibatkan kematian organisme di perairan tersebut. Senyawa fenol dapat dikatakan aman
bagi lingkungan jika konsentrasinya 1,0 mg/L sesuai dengan KEP No. 51/MENLH/10/1995
(Slamet et al, 2005).

2.2 Surfaktan
2.1.1 Surfaktan SNI
SNI ini merupakan hasil kaji ulang dan revisi dari SNI 06-2476-1991, Metode pengujian
kadar detergen dalam air dengan alat spektrofotometer secara biru metilena. SNI ini menggunakan
referensi dari metode standar internasional yaitu Standard Methods for the Examination of Water
and Wastewater, 20th Edition (1998), 5540A and 5540C, editor L. S. Clesceri, A.E. Greenberg,
A.D. Eaton, APHA, AWWA and WEF, Washington DC. SNI ini telah melalui uji coba di
laboratorium pengujian dalam rangka validasi dan verifikasi metode serta dikonsensuskan oleh
Subpanitia Teknis Kualitas Air dari Panitia Teknis 207S, Panitia Teknis Sistem Manajemen
Lingkungan dengan para pihak terkait. Standar ini telah disepakati dan disetujui dalam rapat
konsensus dengan peserta rapat yang mewakili produsen, konsumen, ilmuwan, instansi teknis,
pemerintah terkait dari pusat maupun daerah pada tanggal 3 – 4 November 2004 di Depok. Dengan
ditetapkannya SNI 06-6989.51-2005 ini, maka penerapan SNI 06-2476-1991 dinyatakan tidak
berlaku lagi. Pemakai SNI agar dapat meneliti validasi SNI yang terkait dengan metode ini,
sehingga dapat selalu menggunakan SNI edisi terakhir.

Cara uji kadar surfaktan anionik dengan spektrofotometer secara biru metilen
1. Ruang lingkup
Cara uji ini digunakan untuk penentuan kadar surfaktan anionik dalam air dan air limbah
secara biru metilen dan diukur menggunakan spektrofotometer dengan kisaran kadar 0,025 mg/L
sampai 2,0 mg/L pada panjang gelombang 652 nm.
2. Istilah dan definisi
a. Larutan induk adalah larutan baku kimia yang dibuat dengan kadar tinggi dan akan digunakan
untuk membuat larutan baku dengan kadar yang lebih rendah
b. Larutan baku adalah larutan induk yang diencerkan dengan air suling sampai dengan kadar
tertentu
c. Larutan kerja adalah larutan baku yang diencerkan dan digunakan untuk membuat kurva
kalibrasi
d. Kurva kalibrasi adalah grafik yang menyatakan hubungan kadar larutan baku dengan hasil
pembacaan absorbansi, yang biasanya merupakan garis lurus
e. Larutan blanko adalah air suling yang diperlakukan sama dengan contoh uji
3. Cara uji
a. Prinsip
Surfaktan anionik bereaksi dengan biru metilen membentuk pasangan ion berwarna biru
yang larut dalam pelarut organik. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm. Serapan yang terukur setara dengan kadar
surfaktan anionik.
b. Bahan
a) Serbuk Alkil Sulfonat Linier (LAS) atau natrium lauril sulfat (C12H25OSO3Na);
b) Larutan indikator fenolftalin 0,5%;
Larutkan 0,5 g fenolftalin dengan 50 mL alkohol 95% di dalam gelas piala 250 mL. Tambahkan
50 mL air suling dan beberapa tetes larutan NaOH 0,02 N sampai warna merah muda.
c) Larutan natrium hidroksida (NaOH) 1N;
Larutkan 4,0 g NaOH dengan 50 mL air suling di dalam labu ukur 100 mL, tambahkan air suling
sampai tepat tanda tera dan dihomogenkan.
d) Larutan sulfat (H2SO4) 1N;
Ambil 2,8 mL H2SO4 pekat, kemudian masukkan ke dalam labu ukur 100 mL yang berisi 50 mL
air suling. Tambahkan air suling sampai tepat tanda tera dan dihomogenkan.
e) Larutan sulfat (H2SO4) 6N;
Ambil 20 mL H2SO4 pekat, kemudian masukkan ke dalam gelas piala 200 mL yang berisi 120 mL
air suling dan dihomogenkan.
f) Larutan biru metilen;
Larutkan 100 mg biru metilen dengan 100 mL air suling dan dihomogenkan. Ambil 30 mL larutan
tersebut dan masukkan ke dalam labu ukur 1000 mL, tambahkan 500 mL air suling, 41 mL H2SO4
6N dan 50 g natrium fosfat monohidrat (NaH2PO4.H2O), kocok hingga larut sempurna kemudian
tambahkan air suling hingga tepat tanda tera dan dihomogenkan.
g) Kloroform (CHCl3) p.a;
h) Larutan pencuci;
Ambil 41 mL H2SO4 6N dan masukkan ke dalam labu ukur 1000 mL yang berisi 500 mL air suling.
Tambahkan 50 g natrium dihidrogen fosfat monohidrat (NaH2PO4.H2O), kocok hingga larut
sempurna kemudian tambahkan air suling hingga tepat tanda tera dan dihomogenkan.
i) hidrogen peroksida (H2O2) 30%;
j) isopropil alkohol (i-C3H7OH);
k) serabut kaca (glass wool).
4. Peralatan
a) spektrofotometer;
b) timbangan analitik;
c) corong pemisah 250 mL (dianjurkan dengan cerat dan tutup terbuat dari teflon);
d) labu ukur 100 mL; 500 mL dan 1000 mL;
e) gelas piala 200 mL;
f) pipet volumetrik 1,0 mL; 2,0 mL; 3,0 mL dan 5,0 mL; dan
g) pipet ukur 5 mL dan10 mL.
5. Persiapan pengujian
a. Pembuatan larutan induk surfaktan anionik 1000 mg/L
Larutkan 1,000 g LAS 100% aktif atau natrium lauril sulfat (C12H25OSO3Na) dengan
100 mL air suling dalam labu ukur 1000 mL kemudian tambahkan air suling hingga tepat tanda
tera dan dihomogenkan.
CATATA: Simpan larutan induk surfaktan anionik di dalam lemari pendingin untuk mengurangi
b. Pembuatan larutan baku surfaktan anionik 100 mg/L
Pipet 10 mL larutan induk surfaktan anionik 1000 mg/L dan masukkan ke dalam labu ukur
100 mL, kemudian tambahkan air suling hingga tepat tanda tera dan dihomogenkan.
c. Pembuatan larutan kerja surfaktan anionik
a) pipet 1,0 mL; 2,0 mL; 3,0 mL dan 5,0 mL larutan baku surfaktan anionik 100 mg/L dan
masukkan masing-masing ke dalam labu ukur 250 mL;
b) tambahkan air suling sampai tepat pada tanda tera sehingga diperoleh kadar surfaktan
anionik 0,4; 0,8; 1,2 dan 2,0 mg/L MBAS.
CATATAN: Larutan kerja dapat di buat dari larutan baku surfaktan siap pakai yang
diperdagangkan.
d. Pembuatan kurva kalibrasi
a) optimalkan alat spektrofotometer sesuai dengan petunjuk alat untuk pengujian kadar surfaktan
anionik;
b) ambil masing-masing 100 mL larutan blanko dan larutan kerja dengan kadar surfaktan anionik
0,4 mg/L; 0,8 mg/L; 1,2 mg/L dan 2,0 mg/L kemudian masing-masing masukkan ke dalam corong
pemisah 250 mL;
c) tambahkan masing-masing larutan biru metilen sebanyak 25 mL;
d) tambahkan masing-masing 10 mL kloroform, kocok kuat-kuat selama 30 detik sekali-kali buka
tutup corong untuk mengeluarkan gas;
e) biarkan hingga terjadi pemisahan fasa, goyangkan corong pemisah perlahan-lahan, jika
terbentuk emulsi tambahkan sedikit isopropil alkohol sampai emulsinya hilang
f) pisahkan lapisan bawah (fasa kloroform) dan tampung dalam corong pemisah yang lain;
g) ekstraksi kembali fasa air dalam corong pisah dengan mengulangi langkah 3.4.4 d) sampai f)
sebanyak 2 kali dan satukan semua fasa kloroform;
h) tambahkan 50 mL larutan pencuci ke dalam fasa kloroform gabungan dan kocok kuat- kuat
selama 30 detik;
i) biarkan terjadi pemisahan fasa, goyangkan perlahan-lahan;
j) Keluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool, dan ditampung ke dalam labu ukur
pada langkah j);
k) tambahkan 10 mL kloroform ke dalam fasa air hasil pengerjaan pada langkah j); kocok kuat-
kuat selama 30 detik
l) biarkan terjadi pemisahan fasa, goyangkan perlahan-lahan;
m) keluarkan lapisan bawah (kloroform) melalui glass wool, dan ditampung ke dalam labu pada
langkah j);
n) ekstraksi kembali fasa air dalam corong pisah dengan mengulangi langkah 3.4.4 k) sampai m)
dan satukan semua fasa kloroform dalam labu ukur pada langkah j);
o) cuci glass wool dengan kloroform sebanyak 10 mL dan gabungkan dengan fasa kloroform
dalam labu ukur pada langkah j);
p) tepatkan isi labu ukur pada langkah j) hingga tanda tera dengan kloroform;
q) ukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm dan catat serapannya.
CATATAN: Pengukuran dilakukan tidak lebih dari 3 jam setelah ekstraksi;
r) buat kurva kalibrasi dari butir q) di atas atau tentukan persamaan garis lurusnya.
6. Prosedur uji
a) ukur contoh uji sebanyak 100 mL secara duplo dan masukkan ke dalam corong pemisah 250
mL
b) tambahkan 3 tetes sampai dengan 5 tetes indikator fenoltalin dan larutan NaOH 1N tetes demi
tetes ke dalam contoh uji sampai timbul warna merah muda, kemudian hilangkan dengan
menambahkan H2SO4 1N tetes demi tetes;
c) selanjutnya lakukan langkah 3.4.4 c) sampai q).
CATATAN: Bila kadar surfaktan anionik dalam contoh 0,08 mg/L - 0,4 mg/L, maka volume
contoh uji yang diambil 250 mL dan bila kadar surfaktan anionik dalam contoh 0,025 mg/L - 0,08
mg/L, maka volume contoh uji yang diambil 400 mL.
7. Perhitungan
Kadar surfaktan anionik (mg/L) = C x fp
dengan pengertian: C adalah kadar yang didapat dari hasil pengukuran (mg/L);
fp adalah faktor pengenceran.
8. Jaminan mutu dan pengendalian mutu
a. Jaminan mutu
a) Gunakan bahan kimia pro analysis (p.a).
b) Gunakan alat gelas bebas kontaminan.
c) Gunakan alat ukur yang terkalibrasi.
d) Dikerjakan oleh analis yang kompeten.
e) Lakukan analisis dalam jangka waktu yang tidak melampaui waktu penyimpanan maksimum.
b. Pengendalian mutu
a) Koefisien korelasi (r) lebih besar atau sama dengan 0,95 dengan intersepsi lebih kecil atau sama
dengan batas deteksi.
b) Lakukan analisis blanko untuk kontrol kontaminasi.
c) Lakukan analisis duplo untuk kontrol ketelitian analisis.
d) Jika perbedaan persen relatif hasil pengukuran lebih besar atau sama dengan 10% maka
dilakukan pengukuran ketiga.
e) Apabila contoh uji mengandung zat tersuspensi, saring contoh uji dengan saringan membran
berpori 0,45 µm.
f) Apabila contoh uji mengandung kationik surfaktan dan bahan kationik lainnya, masukkan
contoh uji ke kolom penukar ion.
g) Apabila contoh uji mengandung nonsurfaktan seperti sulfida, tambahkan ke dalam contoh uji
beberapa tetes larutan H2O2.
2.2.2 Surfaktan APHA (American Public Health Association)
a. Persiapan Kurva Kalibrasi
Kurva kalibrasi terdiri dari lima larutan standart sesuai dengan konsentrasi yang
diinginkan. Linearitas 0,995.
b. Ukuran sampel

Jika konsentrasi MBAS diatas 2 mg/L, sampel diencerkan dari 40 hingga 200 μg MBAS
dengan 100 mL air. Untuk analisis sampel yang dimurnikan dengan sublasi, larutkan residu sublasi
dalam 10 hingga 20 mL metanol, secara kuantitatif seluruh jumlah dalam 25 hingga 50 mL air,
metanol akan hilang, ditambahkan air untuk menghindari kekeringan, dan diencerkan hingga 100
mL.
c. Perlakuan Untuk Peroksida
Jika perlu untuk menghindari dekolorisasi metilen biru oleh sulfida, tambahkan beberapa
tetes H2O2 30%.
d. Pasangan Ion dan Ekstraksi
1) Sampel dimasukkan ke corong pemisah. Buat dalam keadaan basa dengan penambahan 1N
NaOH, menggunakan indokator PP. Warna merah muda akan menghilang dengan
penambahan 1N H2SO4 secara bertahap.
2) Tambahkan 10 mL CHCl3 dan 25 ml pereaksi metilen biru. Di kocok selama 30 menit dan
biarkan fase terpisah. Atau letakkan batang pengaduk magnet di corong pemisah, letakkan
corong pada sisi mixer magnetic dan sesuaikan kecepatan pengadukan. Agitasi berlebihan
dapat menyebabkan pembentukkan emulsi. Untuk memecahkan emulsi yang persisten
tambahkan alkohol isopropil alkohol (< 10 mL), tambahkan volume isopropil alkohol yang
sama ke semua larutan standart.
3) Ambil lapisan CHCl3 dari corong pemisah. Bilas tabung corong dengan menggunakan
CHCl3. Ekstraksi diulangin sebanyak 2 kali menggunakan 10 ml CHCl3. Jika warna biru
dalam fase air menghilang, buang dan ulangi dengan menggunakan sampel yang lebih
kecil.
4) Campurkan semua ekstrak CHCl3 dalam corong pisah kedua. Tambahkan 50 mL larutan,
cuci dan kocok dengan kuat selama 30 detik. Emulsi tidak terbentuk pada tahap ini. Biarkan
mengendap, kocok, dan ambil lapisan CHCl3 melalui corong yang berisi kaca wol ke dalam
100 mL volumentrik labu. Ekstrak larutan dicuci sebanyak dua kali menggunakan 10 mL
CHCl3 dan tambahkan labu melalui kaca wol. Bilas kaca wol dengan CHCl3. kumpulkan
pencucian di dalam labu volumetrik, encerkan dengan CHCl3, dan aduk rata.
e. Perhitungan
Tentukan absorbansi pada panjang gelombang 652 nm terhadap blank CHCl3.

𝜇𝑔 𝑎𝑝𝑝𝑎𝑟𝑒𝑛𝑡
Mg MBAS/L = 𝑚𝑙 𝑜𝑟𝑖𝑔𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
2.2.3 Iso Fenol
Untuk memastikan produksi data yang valid dan dapat dijadikan sebagai penerapan tetapan
air Di Eropa, maka perlu dikembangkan metode referensi yang divalidasi secara internasional
untuk polutan. Kelompok Ahli Komisi Eropa ‘‘ Analisis dan Pemantauan Zat Prioritas '(AMPS)
mengusulkan nilai target untuk ketidakpastian pengukuran di skala Eropa adalah untuk semua zat
yang dianalisis dalam air, ketidakpastian standar gabungan 25% (dinyatakan sebagai standar
deviasi relatif).
Organisasi Standardisasi Internasional (ISO) mengusulkan panduan ISO / WD 13530
untuk kontrol kualitas untuk analisis air, termasuk definisi rentang konsentrasi aplikasi,
akurasi, batas kuantifikasi dan deteksi, dan ketidakpastian pengukuran. Batas ketidakpastian
standar harus di bawah 30% dari nilai batas yang relevan.
Untuk saat ini, ISO bekerja pada penentuan alkilfenol yang dipilih di permukaan air dan dalam
sedimen dan lumpur. Khususnya, standar konsep ISO (ISO / DIS 18857-1) telah diusulkan untuk
penentuan alkilfenol yang dipilih di perairan yang tidak disaring . Senyawa utama yang akan
ditentukan adalah 4-tert-oktilfenol dan 4- (para) –nonylphenol, yang merupakan yang paling
umum diproduksi dan ditemui nonylphenol di lingkungan perairan (sekitar 80% nonylphenol).
Nonylphenol 2-nonylphenol dan 2,4 dinonylphenol lainnya, yaitu pengotor ditemukan dalam
proporsi yang lebih kecil dalam hal teknis campuran (masing - masing sekitar 5%) dapat
diidentifikasi menggunakan metode yang sama. Sampel air yang diasamkan pertama kali dikenai
untuk ekstraksi cair / cair dengan pelarut organik (toluena). Ekstrak dibersihkan, dipisahkan oleh
gas kromatografi dan dianalisis dengan spektrometri massa (GC – MS).
Metode ini awalnya dimaksudkan untuk penentuan alkilfenol dalam air minum, air tanah dan
permukaan air, untuk konsentrasi kisaran 5–200 ng / L. Namun, hasil dari antar laboratorium uji
coba yang diselenggarakan untuk validasinya telah menyebabkan batas yang lebih rendah menjadi
20 ng / L untuk nonylphenol. Menurut ruang lingkup metode ini, itu juga dapat diterapkan pada
air limbah untuk konsentrasi kisaran 0,1-50 lg / L.
Beberapa metode standar internasional berlaku untuk penentuan fraksi terlarut logam dalam
sampel air, sesuai dengan metode yang berbeda (misal, EN ISO 11885 digabungkan secara
spektroskopi emisi atom plasma ; EN ISO 15586 untuk penyerapan atom spektrometri dengan
tungku grafit dan ISO 17294-2 untuk spektrometri massa plasma digabungkan secara induktif ,
tetapi saran untuk sampel pada perlakuan awal perlu diselaraskan (misal, penanganan sampel,
filtrasi, pelestarian, penyimpanan, dan pencernaan).
2.2.4 SNI Fenol
2.2.1 Penanganan Fenol Berdasarkan SNI (Standar Nasioanal Indonesia)
Pada jurnal yang ditulis oleh Kindy dan kawan-kawan (2015), bahwa penentuan kadar
fenol yang boleh terdapat dalam air dilakukan berdasarkan standar nasional Indonesia dengan
nomor: SNI 06-6989.21-2004). Pada jurnal ini, cara penanganan limbah fenol adalah dengan
metode adsorpsi menggunakan adsorben karbon aktif.
Metode Penelitian:
Alat: Gelas standar, ayakan 80 mesh dan 100 mesh, GSA (Gas Sorption Analyzer), neraca analitik,
perangkat kolom adsorpsi dengan diameter 1,5 cm dan panjang kolom 19 cm, pH meter, sentrifuge,
spektrofotometer UV-Vis, statif, tanur, timbangan analitik.
Bahan: Aquades, Buffer pH 10, HNO3, indikator kanji, iodin, 4- aminoantipirin 2% (b/v), kalium
heksasiano ferrat (III) 8%, KI, KIO3, Na2S2O3, NaHCO3 (merk Unta) sebagai aktivator, sampel
TKKS
Prosedur Kerja:
Pembuatan Karbon Aktif dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKS)
a. Karbonasi Sampel
Sampel TKS kering (dengan berat yang telah diketahui) dipanaskan di dalam tanur pada
temperatur 500ᵒC selama 1 jam, kemudian ditempatkan dalam wadah yang tertutup. Hasil
karbonisasi (selanjutnya disebut HK) kemudian digerus dan diayak menggunakan ayakan 80 mesh
dan 100 mesh sehingga diperoleh keseragaman ukuran.
b. Aktivasi Sampel
Sampel HK sebanyak ± 2 kg direndam dalam larutan soda kue (NaHCO3) 4% selama 24
jam yang berperan sebagai activator. Setelah didekantasi, HK selanjutnya dipanaskan di dalam
tanur pada temperatur 600ᵒC selama 1 jam. Setelah itu, dicuci menggunakan HNO3 0,1 M yang
dilanjutkan dengan pencucian menggunakan akuades hingga pH netral. Kemudian dilakukan
pengeringan dalam oven selama 24 jam pada temperatur 105-110ᵒC.
Penentuan Kadar Fenol (SNI 06-6989.21-2004):
Pewarnaan fenol terlarut dilakukan dengan cara mencampurkan 1 mL sampel larutan
dengan pereaksi pewarna 0,1 mL 4- aminoantipirin 2% (b/v), 0,1 mL kalium heksasiano ferrat (III)
8% (b/v), 1 mL Buffer pH 10, dan 3 mL akuades. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang
510 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Penentuan Luas Permukaan:
Penentuan luas area permukaan karbon aktif dilakukan menggunakan instrumen GSA
untuk mengetahui ukuran pori dari karbon sebelum dan sesudah dilakukan aktivasi.
Hasil Pembahasan:
Kenaikan waktu kontak adsorpsi seiring dengan kenaikan efisiensi penurunan fenol yang
teradsorpsi. Persen penurunan fenol tertinggi dengan adsorben karbon aktif diperoleh pada waktu
kontak 6 jam kolom I, dimana pada karbon aktif 80 mesh persen penurunan fenol dari kolom I ke
kolom II sebesar 71,32% dan pada karbon aktif 100 mesh sebesar 70,45%. Ukuran mesh karbon
aktif merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar adsorpsi fenol. Ukuran
mesh mempengaruhi efisiensi penurunan fenol yang teradsorpsi oleh karbon aktif. Pada karbon
100 mesh terjadi peningkatan efisiensi penurunan fenol yang teradsorpsi lebih besar dibandingkan
dengan karbon 80 mesh.
Penurunan besar efisiensi fenol pada kolom pertama dibandingkan dengan kolom kedua
dapat disebabkan karena konsentrasi fenol pada kolom pertama lebih besar atau lebih pekat
sehingga adsorben karbon aktif akan lebih banyak mengadsorpsi fenol dibandingkan pada kolom
kedua yang relatif lebih encer karena telah mengalami proses adsorpsi dari kolom sebelumnya,
sehingga mempengaruhi besar efisiensi dari tiap kolom. Berdasarkan uji ANOVA pada tingkat
kepercayaan 95%, karbon aktif ukuran partikel 80 mesh diperoleh hasil yang signifikan pada
waktu kontak 12 jam dengan nilai efisiensi total fenol sebesar 97,11%, sedangkan pada ukuran
partikel 100 mesh diperoleh hasil yang signifikan pada waktu 4, 8, dan 12 jam. Hasil uji t untuk
variasi ukuran partikel 80 mesh dan 100 mesh menunjukkan hasil yang tidak signifikan atau tidak
terdapat perbedaan yang signifikan pada variasi ukuran partikel. Oleh karena itu ukuran partikel
yang lebih baik didapat pada ukuran partikel 80 mesh dengan waktu kontak 12 jam sebesar
97,11%.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Standarisasi merupakan penentuan ukuran yang harus diikuti dalam memproduksikan
sesuatu, sedangkan pembuatan banyaknya macam ukuran barang yang akan diproduksikan
merupakan usaha simplifikasi. Standarisasi juga merupakan proses pembentukan standar teknis
yang bisa menjadi standar spesifikasi, standar cara uji, standar definisi, prosedur standar ( atau
praktik), dll. Pedoman standarisasi yang digunakan perusahaan yaitu berdasarkan SNI. Terdapat
tiga pihak yang mendapatkan manfaat langsung dari penerapan standar nasional Indonesia yaitu
pihak produsen, konsumen dan pemerintah. Adapun keuntungannya dalam perusahaan dibidang
produksi barang yaitu, pengenalan barang lebih mudah dilakukan dan tidak terjadi kesalahan
spesifikasi dalam pembelian barang. Selain itu kerugian dalam perusahaan dibidang produksi yaitu
umumnya proses standarisasi lama karena membutuhkan ahli-ahli dan waktu yang tepat untuk
memenuhi kriteria suatu produk.
Badan yang bergerak dalam standar internasional adalah ISO sedangkan untuk Indonesia
adalah Badan Standardisasi Nasional. Standar yang dikeluarkan selama ini baik standar nasional
maupun internasional selalu diikuti JPA untuk kepentingan pemakai, memudahkan kerjasama dan
kesejahteraan manusia. Standarisasi untuk surfaktan dan fenol meliputi SNI 06-6989.51-2005
mengenai Air dan air limbah – Cara uji kadar surfaktan anionik dengan spektrofotometer secara
biru metilen dan American Public Health Association dengan seri 550 mengenai Standard methods
for the examination of water and wastewater. Dan ada yang menggunakan jurnal dengan judul
jurnal masing-masing yaitu Priority Subtances Of The Europeanwater Framework Directive :
Analytical Challenges In Monitoring Water Quality dan Penurunan Fenol Melalui Proses dengan
melihat prosedur kerja masing-masing standarisasi yang mana untuk surfaktan menggunakan
MBAS untuk penentuan surfaktan dalam air limbah sedangkan pada fenol memakai metode
spektrofometri Uv-Vis dan GC.
3.2 Saran
Standarisasi dalam perusahaan dibidang produksi barang membutuhkan standar-standar
tertentu. Standar perusahaan yang baik biasanya menggunakan SNI, ISO 9001-9004. Spesifikasi
baik produk, bahan maupun proses sedapat mungkin diikuti agar kegiatan atau hasilnya dapat
diterima umum oleh pengguna. Standarisasi produksi juga harus diimbangi dari standar SDM,
efisensi desain, fasilitasnya dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Coquery, M., Morin, A., Becue, A & Lepot, B. (2005), Priority Subtances Of The Europeanwater
Framework Directive : Analytical Challenges In Monitoring Water Quality, Trends In
Analytical Chemistry, 24(2).
Hudori & Yulianto, A. (2011) Penurunan Fenol Melalui Proses, Jurnal Sains dan Teknologi
Lingkungan, 3(1).
ISO 7875-1:1996: Water Quality – Determination of Surfactants. Part 1: Determination of Anionic
Surfactants by Measurement of the Methylene Blue Index (MBAS), 1996.
SNI 06-6989.51-2005: Air dan air limbah – Cara Uji Kadar Surfaktan Anionik Dengan
Spektrofotometer Secara Biru Metilen, 2005.

Anda mungkin juga menyukai