Anda di halaman 1dari 13

KALIMAT IMPERATIF

DALAM WACANA PERKAWINAN ADAT BALI

IMPERATIVE SENTENCES IN BALINES MARRIAGE DISCOURSE

I Gde Wayan Soken Bandana


Balai Bahasa Bali
Jalan Trengguli I No. 34, Denpasar, Bali, Indonesia
Telepon (0361) 461714, Faksimile (0361) 463656
Pos-el: bandana_soken@yahoo.co.id

Naskah diterima: 9 September 2016; direvisi: 21 Oktober 2016; disetujui: 30 November 2016

Abstrak
Penelitian ini membahas masalah kalimat dalam wacana perkawinan adat Bali. Salah satu
kalimat yang digunakan dalam komunikasi pada proses ngidih ‘meminang’ dan majauman
‘pamitan pihak pengantin perempuan kepada leluhurnya’ adalah kalimat imperatif. Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis kalimat dan makna, bentuk, dan penanda kalimat
imperatif dalam wacana perkawinan adat Bali. Pada tahap penyediaan data digunakan metode
studi pustaka dan metode observasi dengan teknik catat. Analisis data dilakukan dengan
metode deskriptif analitik dan teknik interpretatif dengan mengacu pada teori linguistik
antropologi. Penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kalimat imperatif dalam wacana perkawinan
adat Bali berupa kalimat imperatif biasa, halus, permohonan atau permintaan, ajakan atau
harapan, pelarangan, dan pembiaran. Makna yang terkandung dalam kalimat tersebut adalah
makna perintah, permohonan, ajakan, harapan, pelarangan, dan pembiaran. Bentuk dan
penanda kalimat imperatif berupa afiks dan kata dengan kelas kata adverbia, adjektiva, dan
verba. Dalam wacana perkawinan adat Bali, keenam kalimat imperatif digunakan secara
berimbang.

Kata kunci: kalimat imperatif, makna, bentuk, penanda, wacana perkawinan

Abstract
This research examines the sentences in the Balinese traditional marriage discourse. One of
the phrases used in the communication of ngidih ‘propose’ and majauman ‘bride’s farewell to
her ancestors’ are imperative sentence. This research aimed to describe the type of sentences
and meanings, forms, and markers of imperative sentence in the Balinese traditional marriage
discourse. At the phase of the provision of data, literary review and observation methods
with writing techniques were used. Data were analyzed by descriptive analytic methods and
interpretive techniques with reference to the theory of linguistic anthropology. The results
of data analysis presented using formal and informal methods. The results showed that the
discourse of Balinese traditional marriage is in the form of the usual imperative sentence,
refined, the request or demand, solicitation or expectations, prohibition, and omission. The
meaning of the phrases are command, request, invitation, expectations, restrictions, and
omission. The form of imperative sentence marker are affixes and word by adverb, adjective,
and verb. In the discourse of Balinese traditional marriage, the six imperative sentences
are used equally.

Keywords: the imperative sentence, meaning, form, markers, marriage discourse

ISSN 0854-3283 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 227


Kalimat Imperatif dalam Wacana Perkawinan Adat Bali (I Gde Wayan Soken Bandana) Halaman 227 — 240

PENDAHULUAN cinta kasih mereka tidak mendapat restu orang


Bahasa daerah adalah salah satu bahasa tua.
yang dipakai sebagai bahasa perhubungan Perkawinan dalam hubungannya dengan
intradaerah atau intramasyarakat di samping tulisan ini adalah perkawinan dengan cara
bahasa Indonesia. Bahasa daerah juga dipakai mamadik ‘meminang’. Dalam perkawinan
sebagai sarana pendukung sastra serta budaya dengan cara meminang tersebut ada beberapa
daerah atau masyarakat etnik di wilayah tahap yang biasa dilakukan oleh kedua belah
Republik Indonesia. Bahasa-bahasa daerah pihak, yaitu tahap persiapan, tahap nyuwaka
merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia atau mamadik ‘meminang’, dan majauman
yang hidup (Alwi dan Sugono, 2011, hlm. 4). ‘pamitan pihak pengantin perempuan kepada
Lebih lanjut diuraikan bahwa dalam upaya leluhurnya’. Pada tahap nyuwaka dan majauman
pengembangan bahasa daerah perlu dilakukan terjadi proses komunikasi formal antara pihak
penelitian berbagai aspek bahasa daerah untuk pengantin laki-laki dan pihak pengantin
kepentingan perekaman dan peningkatan perempuan. Komunikasi antara kedua belah
mutu bahasa daerah yang dipelihara oleh pihak itu menggunakan bahasa Bali yang
penuturnya. cenderung halus yang dapat dikaji berdasarkan
Bahasa Bali sebagai bahasa daerah sampai struktur kalimat dan maknanya.
saat ini masih dipelihara oleh masyarakat Berdasarkan latar belakang tersebut,
penuturnya, yaitu masyarakat Bali, baik yang ruang lingkup tulisan ini adalah penggunaan
ada di Bali maupun di daerah-daerah lain di bahasa Bali dalam wacana perkawinan adat
Indonesia. Bahasa Bali tidak hanya digunakan Bali, khususnya dalam proses peminangan
oleh masyarakat Bali sebagai sarana komunikasi dan majauman. Tulisan ini termasuk dalam
antarmasyarakat Bali dalam kehidupan sehari- lingkup linguistik antroplogi karena mengkaji
hari, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan bentuk linguistik dan makna—bagian dari ilmu
termasuk dalam kegiatan adat dan keagamaan. bahasa—dalam hubungan ritual keagamaan
Penelitian ini akan mengungkap wacana bahasa yang merupakan bagian dari kebudayaan
Bali dalam kegiatan adat dan keagamaan, Bali. Linguistik antropologi adalah cabang
terutama wacana perkawinan adat Bali. ilmu bahasa yang memusatkan kajiannya
Menurut Windia dkk. (2011, hlm. pada bidang antropologi atau kebudayaan.
26—27), ada delapan cara melangsungkan Dalam kaitannya dengan tulisan ini, yaitu
perkawinan, yaitu Brahmana, Daiwa, Rsi linguistik antropologi, hal yang dikaji adalah
(Arsa), Prajapati, Asura, Gandharwa, Raksasa bentuk linguistik dan makna linguistik yang
dan Paisaca menurut kitab hukum Hindu, terkandung dalam wacana perkawinan adat
Manawadharmasastra. Pada masa lampau, Bali. Hal unik yang menarik perhatian penulis
ada dua cara melangsungkan perkawinan, yaitu dalam Wacana Perkawinan Adat Bali adalah
adung-adungan/kejangkepang ‘dijodohkan’ adanya kalimat-kalimat yang bermakna
dan melegandang ‘menculik’. Pada zaman wejangan, petuah, harapan, dan perintah yang
sekarang, cara yang umum dilaksanakan oleh disampaikan oleh wakil keluarga kedua belah
masyarakat adat Bali dalam perkawinan adalah pihak pengantin. Kalimat-kalimat tersebut
dengan cara mamadik ’meminang’ dan ngrorod dalam bahasa Indonesia umumnya diungkapkan
‘kawin lari’. Cara pertama dipilih apabila dengan kalimat imperatif.
antara si gadis dan si pria saling mencintai Ruang lingkup tersebut mengindikasikan
dan mendapat restu dari kedua orang tuanya, adanya dua masalah yang perlu dikaji, yaitu
sedangkan cara kedua dipilih apabila hubungan jenis kalimat imperatif dan makna yang ada

228 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 ISSN 0854-3283


Halaman 227 — 240 (I Gde Wayan Soken Bandana) Imperative Sentences in Balines Marriage DiscourseBorneo

dalam wacana perkawinan adat Bali dan hlm. 20). Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan
bentuk dan penanda kalimat imperatif wacana dengan suara naik turun dan keras lembut,
perkawinan adat Bali. Tujuan penelitian disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir
ini adalah untuk mendeskripsikan jenis- yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah
jenis kalimat imperatif dan maknanya serta terjadinya perpaduan asimilasi bunyi atau
mendeskripsikan bentuk dan penanda kalimat pun proses fonologis lainnya. Dalam wujud
imperatif wacana perkawinan adat Bali. tulisan, kalimat dimulai dengan huruf kapital
Ada empat konsep dasar yang ber­ dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya,
hubungan dengan masalah dalam tulisan ini, atau tanda seru (Alwi dkk., 2000, hlm. 311).
yaitu (1) wacana perkawinan, (2) kalimat Tanda baca lainnya, seperti tanda koma, tanda
imperatif, (3) bentuk, dan (4) makna. Wacana titik koma, tanda hubung, dan/atau tanda
adalah satuan bahasa yang lengkap sehingga kurung bisa ada di dalam kalimat. Kalimat
dalam hierarki gramatikal merupakan satuan juga diartikan sebagai satuan bahasa terkecil
gramatikal tertinggi. Sebagai satuan bahasa yang dapat mengungkapkan pikiran yang utuh
yang lengkap, dalam wacana terdapat konsep, (Sasangka, 2013, hlm.153; Sasangka, 2016,
gagasan, pikiran atau ide yang utuh yang bisa hlm.15).
dipahami oleh pembaca atau pendengar tanpa Kalimat imperatif adalah kalimat yang
keraguan apapun (Chaer, 2007, hlm. 267). dipakai oleh penutur untuk mengajukan
Wacana sebagai suatu bentuk praktik sosial permintaan, memberi perintah, atau
pada kenyataannya dapat berupa ujaran, respons mensyaratkan sesuatu kepada lawan bicara.
atau aksi dari masyarakat terhadap lingkungan Kalimat tersebut memiliki ciri formal, seperti
sosialnya (Fairclaugh, 1997, hlm. 63). Wacana (a) intonasi yang ditandai nada rendah di
perkawinan adat Bali adalah wacana berbahasa akhir tuturan; (b) pemakaian partikel penegas,
Bali yang digunakan oleh masyarakat Bali penghalus, dan kata tugas ajakan, harapan,
dalam proses perkawinan adat, terutama pada permohonan, dan larangan; (c) susunan inversi;
proses peminangan dan majauman. Masyarakat (d) pelaku tindakan tidak selalu terungkap
Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal (Alwi dkk., 2000, hlm. 353—354).
yang lebih dikenal dengan istilah kapurusa. Bentuk adalah penampakan atau rupa
Artinya, dalam suatu perkawinan, si istri akan satuan bahasa; satuan gramatikal atau leksikal
masuk dan menetap dalam lingkungan keluarga yang dipandang secara fonis yang bersangkutan
suaminya. dengan bunyi bahasa atau grafemis yang
Perkawinan dalam masyarakat Bali berhubungan dengan tulisan atau huruf
dikenal dengan beberapa istilah, yaitu (Kridalaksana, 2001, hlm. 26). Adapun bentuk
pawiwahan, ngantén, makerab kambé, dan yang dimaksud dalam hal ini adalah bentuk
pawarangan. Menurut Undang-Undang kalimat imperatif wacana perkawinan adat
Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan diartikan Bali.
sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang Makna menurut Palmer (1976, hlm. 22)
pria dengan seorang wanita sebagai suami tidak semata-mata merefleksikan realitas dunia
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang nyata, tetapi lebih menampakkan minat atau
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang perhatian dari pemakainya. Di sisi lain, Halliday
Maha Esa. (1978, hlm.112, 123—124) mengatakan bahwa
Kalimat adalah satuan gramatikal yang bahasa sebagai proses sosial tidak terlepas dari
dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai seperangkat makna atau teks. Makna diproduksi
nada akhir naik atau turun (Putrayasa, 2010, dan direproduksi berdasarkan kondisi sosial

ISSN 0854-3283 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 229


Kalimat Imperatif dalam Wacana Perkawinan Adat Bali (I Gde Wayan Soken Bandana) Halaman 227 — 240

tertentu dan melalui pelaku dan objek-objek adat Bali.


materi tertentu. Makna dalam hubungannya Teori yang digunakan sebagai acuan
dengan subjek dan objek secara konkret tidak penelitian ini adalah teori linguistik antropologi/
bisa diuraikan, kecuali berdasarkan seperangkat antropolinguistik yang mengacu pada pendapat
hubungannya dengan struktur sosial masyarakat, Foley (1997) dan Sibarani (2004). Linguistik
hubungan peran, dan perilaku. Makna wacana antropologi adalah cabang ilmu yang
perkawinan adat Bali juga mengacu pada mempelajari variasi dan penggunaan bahasa
pendapat Djajasudarma (1999, hlm. 58) yang dalam hubungannya dengan perkembangan
mengklasifikasikan makna imperatif menjadi waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem
enam, yaitu (1) perintah/suruhan, (2) ajakan, kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik,
(3) anjuran, (4) harapan, (5) pembiaran, dan kepercayaan, etika bahasa, adat istiadat, dan
(6) permohonan atau permintaan. pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku
Ada beberapa karya tulis terdahulu yang bangsa. Linguistik antropologi menitikberatkan
relevan untuk dicermati dalam hubungannya pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan
dengan penelitian ini, yaitu Purnami (2013) di dalam suatu masyarakat (Sibarani, 2004,
dalam artikel yang berjudul “Penanda Imperatif hlm. 50).
Wacana Khotbah Jumat dalam Bahasa Jawa”
membahas penanda imperatif berupa afiks dan METODE
kata yang terdapat dalam wacana khotbah Jumat; Metode penelitian ini mengacu pada pendapat
Saddhono dan Wijana (2011) dalam artikelnya Sudaryanto (2015, hlm. 6), yaitu (1) metode
“Wacana Khotbah Jumat di Surakarta: Suatu penyediaan data, (2) metode analisis data,
Kajian Linguistik Kultural” mengkaji wacana dan (3) metode penyajian hasil analisis data.
khotbah Jumat di Surakarta berdasarkan Pada tahap penyediaan data digunakan dua
mikrostruktural yang terkait dengan aspek metode, yaitu metode studi pustaka dan metode
gramatikal, leksikal, kohesi, dan koherensi dan observasi. Metode studi pustaka dilakukan
aspek makrostruktural yang berkaitan dengan untuk memperdalam dan memperluas wawasan
unsur kebudayaan terkait dengan konteksnya; terhadap masalah yang akan dikaji serta
dan Kulsum dkk. (2004) dalam buku Struktur mendalami teori yang telah digunakan oleh
dan Pemarkah Kalimat Imperatif Sajak-Sajak para peneliti terdahulu. Untuk memperoleh data
Keagamaan Tahun 1930-an meninjau kalimat yang lengkap terkait dengan wacana perkawinan
imperatif dan pemarkahnya dalam sajak adat Bali, penelitian ini menggunakan metode
keagamaan. Kajian-kajian tersebut memberikan observasi (Danandjaja, 1989, hlm. 13). Kedua
kontribusi terhadap tulisan ini terutama yang metode pemerolehan data itu dibantu dengan
terkait dengan bentuk, penanda, dan makna teknik catat. Analisis data dalam penelitian ini
imperatif. Kajian wacana perkawinan adat dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif
Bali, terutama yang berkaitan dengan jenis melalui beberapa tahapan, yaitu menelaah,
kalimat imperatif dan makna serta bentuk dan mereduksi dengan membuat rangkuman,
penandanya dengan linguistik antropologi, memeriksa keabsahan, dan menerjemahkan
belum pernah dilakukan penulis atau pun data. Penyajian hasil analisis data penelitian
peneliti terdahulu. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode formal dan informal,
ini perlu dilakukan untuk mengetahui jenis seperti yang dikemukakan oleh Sudaryanto
kalimat dan makna, bentuk, dan penanda (1982, hlm.16).
kalimat imperatif dalam wacana perkawinan

230 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 ISSN 0854-3283


Halaman 227 — 240 (I Gde Wayan Soken Bandana) Imperative Sentences in Balines Marriage DiscourseBorneo

HASIL DAN PEMBAHASAN ‘Tambahkan kasih sayangmu dengan


Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui patibrata ‘setia dan jujur kepada suami’.’
bahwa wacana perkawinan adat Bali terbangun 5. Kelidin gegodané sané mawit saking
atas beberapa jenis kalimat imperatif. Kalimat- padéwékan apan ngranayang pakurenané
tan rahayu.
kalimat imperatif itu memiliki makna secara
‘Hindari godaan yang berasal dari dalam
linguistik. Di samping itu, kalimat imperatif diri sendiri karena menyebabkan retaknya
itu memiliki bentuk dan penanda. hubungan rumah tangga.’
6. Sulubin langité, langkahin tanahé dija ja
Jenis Kalimat Imperatif dan Makna dalam cening magenah.
Wacana Perkawinan Adat Bali ‘Junjunglah langit, pijaklah tanah di mana
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa jenis pun ananda berada.’
kalimat imperatif dalam wacana perkawinan
adat Bali. Jenis-jenis kalimat imperatif itu Kalimat (1)—(6) adalah kalimat imperatif
adalah kalimat imperatif (1) biasa, (2) halus, biasa. Kalimat imperatif biasa dalam wacana
(3) permintaan, (4) ajakan/harapan, (5) perkawinan adat Bali ditandai dengan kata-
larangan, dan (6) pembiaran. Berdasarkan kata yang bercetak tebal yang merupakan
maknanya, Djajasudarma (1999, hlm. 58) perintah biasa, yaitu édéngang ‘katakan’,
mengklasifikasikan makna imperatif menjadi orahang ‘sampaikan’, limbakang ‘teruskan’,
enam, yaitu (1) perintah/suruhan, (2) ajakan, dulurin ‘tambahkan’, kelidin ‘hindari’, sulubin
(3) anjuran, (4) harapan, (5) pembiaran, dan (6) ‘junjunglah’, langkahin ‘pijaklah’. Semua
permohonan atau permintaan. Berikut adalah kalimat tersebut merupakan perintah dari
deskripsi keenam kalimat imperatif wacana wakil kedua belah pihak mempelai kepada
perkawinan adat Bali yang dimaksud. pasangan pengantin. Kalimat (1) digunakan
untuk menyampaikan isi hati mempelai yang
Kalimat Imperatif/Perintah Biasa sebenarnya. Kalimat (2) digunakan untuk
Kalimat imperatif/perintah biasa adalah menyampaikan bahwa mereka saling mencintai.
kalimat imperatif jika pembicara menyuruh Kalimat (3) digunakan untuk meneruskan cinta
lawan bicaranya berbuat sesuatu (Alwi dkk., kasih kepada keluarga barunya. Kalimat (4)
2000, hlm. 353). Kalimat imperatif jenis ini digunakan untuk mengingatkan istri agar selalu
ditemukan dalam wacana perkawinan adat Bali. setia kepada suami. Kalimat (5) digunakan
Berikut adalah contoh datanya. untuk menghindari segala godaan yang datang.
Kalimat (6) digunakan untuk mengingatkan
1. Nah, jani édéngang isin keneh ceningé ané mempelai agar mengikuti adat dan kebiasaan
sujati. setempat.
‘Nah, sekarang katakan isi hatimu yang
Dilihat dari maknanya, kalimat-kalimat
sebenarnya.’
imperatif tersebut memiliki makna perintah
2. Dini orahang yéning mula cening tresna tur
ada keneh ngantén.
dan harapan, yaitu perintah yang dilakukan
‘Di sini sampaikan kalau memang ananda oleh wakil kedua belah pihak kepada kedua
cinta dan ingin menikah.’ mempelai untuk berbuat sesuatu demi kebaikan
3. Limbakang tresnan ceningé mantuk ring mereka. Harapan yang disampaikan adalah
matua, ipah, saha sané tiosan. agar mempelai tidak hanya menyayangi istri
‘Teruskan/kembangkan kasih sayangmu atau suaminya ketika sudah menikah, tetapi
kepada mertua, ipar, dan yang lainnya.’
juga seluruh anggota keluarga kedua belah
4. Dulurin tresnan ceningé antuk patibarata pihak. Selain itu, wakil kedua belah pihak
‘satia lan jujur ring suami’.

ISSN 0854-3283 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 231


Kalimat Imperatif dalam Wacana Perkawinan Adat Bali (I Gde Wayan Soken Bandana) Halaman 227 — 240

mengharapkan agar mempelai hidup rukun Kalimat Imperatif Permintaan atau


dan saling setia. Khususnya pada kalimat (6), Permohonan
makna kalimat tersebut sama dengan makna Kalimat imperatif permintaan adalah kalimat
peribahasa dalam bahasa Indonesia, yaitu “di imperatif jika pembicara, demi kepentingannya,
mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung”. minta lawan bicaranya berbuat sesuatu. Kalimat
Artinya, di mana pun berada, kita harus dapat seperti itu ditandai dengan kata minta dan
menyesuaikan diri. Jadi, keenam kalimat mohon (Alwi dkk., 2000, hlm. 356). Kalimat
tersebut dapat dijumpai dalam proses mamadik imperatif jenis ini ditemukan dalam wacana
‘meminang’ dan majauman ’pamitan pihak perkawinan adat Bali sebagai berikut.
perempuan kepada leluhurnya’ dalam wacana
8. Nunas lugra titiang prasangga ngwéntenang
perkawinan adat Bali. atur ring panglingsir sami.
’Maafkan saya karena telah lancang berkata-
Kalimat Imperatif Halus kata kepada para tetua.’
Kalimat imperatif halus adalah kalimat imperatif 9. Sinampura sekirang langkung atur titiang.
yang pembicaranya tidak memerintah lagi, ’Maafkan atas kekurangan dan kelebihan
tetapi mempersilakan lawan bicara agar sudi penyampaian saya.’
berbuat sesuatu (Alwi dkk., 2000, hlm. 353). 10. Titiang nunas pikayun panglingsir iriki
Kalimat imperatif jenis ini dalam wacana lédang ngicén pamargi mangda anaké alit
kekalih prasida alaki rabi.
perkawinan adat Bali hanya ditemukan satu ’Saya mohon ketulusan hati para tetua di
kalimat. Berikut adalah contoh datanya. sini berkenan memberi petunjuk agar kedua
pasangan bisa menjadi suami istri.’
7. Napi manawi wénten sané pacang bawosang?
Inggih, durusang. 11. Titiang nglungsur pikayun panglingsir
’Apakah ada yang akan disampaikan? mangda lédang nagingin pinunas titiang
Baiklah, silakan.’ matemuang anaké alit makakalih.
‘Saya mohon petunjuk para tetua agar berkenan
mengabulkan permohonan saya untuk
Data (7) adalah kalimat imperatif halus mempertemukan kedua anak muda (ini).’
yang merupakan kalimat pendek yang didahului
12. Sané mangkin titiang nunas galah abosbos.
oleh kalimat interogatif. Kalimat tersebut ’Sekarang saya mohon waktu sebentar.’
muncul dalam kedua tahap perkawinan, yaitu
13. Nawegang titiang matur suksma sahantukan
pada awal mamadik dan awal majauman sampun kadagingin pinunas titiang mantuka
yang disampaikan oleh pihak tuan rumah ring anaké alit iriki.
kepada tamunya. Kalimat itu disampaikan ‘Maafkan, saya menyampaikan terima kasih
dengan menggunakan bahasa Bali halus. karena sudah memenuhi permohonan saya
terhadap anak gadis di sini.’
Kata durusang ‘silakan’ menyatakan bahwa
kalimat tersebut termasuk kalimat imperatif 14. Titiang nunas ring panglingsir mangda
mapaica pangajah saparipolah masima
halus. Makna yang terkandung dalam kalimat krama tur mapikuren ring sang kalih.
tersebut adalah makna perintah. Perintah ‘Saya mohon kepada para tetua agar
secara halus tersebut disampaikan oleh wakil berkenan memberikan wejangan tentang tata
pihak keluarga perempuan kepada wakil pihak cara bermasyarakat.’
keluarga laki-laki untuk menyampaikan maksud
Berdasarkan data kalimat (8)—(14)
kedatangannya ke rumah calon mempelai
dapat diketahui bahwa wacana perkawinan
perempuan.
adat Bali juga tersusun atas kalimat imperatif
permohonan atau permintaan. Kalimat (8),

232 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 ISSN 0854-3283


Halaman 227 — 240 (I Gde Wayan Soken Bandana) Imperative Sentences in Balines Marriage DiscourseBorneo

(9), dan (13) termasuk jenis kalimat imperatif semoga Beliau berkenan melimpahkan
permintaan yang ditandai dengan kata nunas keselamatan.’
lugra, sinampura, dan nawegang yang bermakna 16. Dumogi lédang Ida Bathara Kawitan
‘minta maaf’. Kalimat-kalimat tersebut dapat ngicénin wara nugraha mangda sida
nemu karahajengan.
dijumpai pada awal dan akhir dialog wacana
‘Semoga para leluhur berkenan memberi
perkawinan adat Bali. Kalimat (10), (11), anugerah sehingga bisa memperoleh
(12), dan (14) termasuk jenis kalimat imperatif keselamatan’.
permohonan yang ditandai dengan kata nunas 17. Ngiring sareng-sareng ngrestiti mangda
‘mohon’. anaké alit nemu karahayuan.
Makna yang terkandung dalam jenis ’Mari sama-sama memohon supaya kedua
kalimat imperatif tersebut adalah makna mempelai memperoleh keselamatan’.
p e r m o h onan dan permintaan. Makna 18. Swadarmaning sang laki patut ngruruh
pangupa jiwa anggén ngamertanin
permohonan terdapat pada kalimat (10), (11),
raga, somah miwah pianak.
(12) dan (14). Data (12) mengandung makna ‘Kewajiban laki-laki harus mencari nafkah
permohonan untuk menyampaikan sesuatu yang untuk diri sendiri, istri, dan anak’.
disampaikan oleh wakil pihak pengantin laki- 19. Sang laki patut sayaga teken pidabdab
laki kepada wakil pihak pengantin perempuan. masima krama.
Data (10) dan (11) yang ditandai dengan kata ‘Seorang laki-laki harus siap sedia
nunas, lédang, nglungsur mengandung makna dengan tata cara bermasyarakat’.
permohonan dari pihak pengantin laki-laki 20. Sang laki patut bakti ring sang guru
kepada wakil pihak pengantin perempuan agar rupaka miwah matua.
‘Seorang laki-laki harus berbakti kepada
memberikan jalan atau petunjuk kepada kedua orang tua dan mertua’.
mempelai. Pihak keluarga laki-laki memohon
21. Pét pradé wénten wicara, ngiring
agar perkawinan tersebut dapat berlangsung. puputang wicarané punika nganutin
Data (14) mengandung makna permohonan sakadi pamarginé mangkin mapangancan
kepada para pengurus adat yang dihadirkan antuk arsa pada arsa.
dalam prosesi pernikahan agar memberikan ‘Kalau ada masalah, mari selesaikan
masalah itu dengan bercermin pada hari
arahan atau penjelasan tentang cara-cara dan ini yang berlandaskan suka sama suka’.
kewajiban dalam bermasyarakat kepada kedua
mempelai. Makna permintaan dalam kalimat Berdasarkan data (15)—(21), wacana
imperatif tersebut juga terdapat pada kalimat perkawinan adat Bali terbentuk oleh kalimat
(8), (9), dan (13). imperatif ajakan atau harapan. Kalimat-kalimat
imperatif ajakan atau harapan tersebut ditandai
Kalimat Imperatif Ajakan/Harapan dengan kata ngiring ‘marilah’ pada kalimat
Kalimat imperatif ajakan atau harapan adalah (15), (17), dan (21), dumogi, ‘semoga’ pada
kalimat imperatif yang jika pembicara mengajak kalimat (16), dan patut ’harus’ pada kalimat
atau berharap lawan bicaranya berbuat sesuatu (18), (19), dan (20).
(Alwi dkk., 2000, hlm. 353). Kalimat imperatif Kalimat (15), (17), dan (21) mengandung
jenis ini ditemukan dalam wacana perkawinan makna ajakan, sedangkan kalimat (16), (18),
adat Bali. Berikut adalah contoh datanya. (19), dan (20) mengandung makna harapan.
Kalimat (15) mengandung ajakan berdoa
15. Ngiring nunas ica ring Ida Hyang
Widhi dumogi Ida lédang ngicén kepada Tuhan. Kalimat imperatif tersebut
karahayuan. disampaikan oleh juru bicara pada awal acara
’Marilah mohon anugerah Tuhan kepada seluruh yang hadir, baik pada proses

ISSN 0854-3283 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 233


Kalimat Imperatif dalam Wacana Perkawinan Adat Bali (I Gde Wayan Soken Bandana) Halaman 227 — 240

mamadik maupun majauman untuk memohon Gambar 2


keselamatan. Kalimat (16) mengandung makna Dialog antara Kedua Belah Pihak Pengantin
dalam Proses Mamadik dengan Menghadirkan
pengharapan. Harapan disampaikan dengan
Calon Pengantin Perempuan
doa kepada Tuhan agar menganugerahkan
keselamatan. Kalimat (17) mengandung
makna ajakan. Ajakan dalam kalimat tersebut
disampaikan oleh wakil pihak pengantin kepada
seluruh hadirin untuk bersama-sama memohon
keselamatan untuk kedua mempelai. Kalimat
(18), (19), dan (20) mengandung makna
pengharapan. Dalam ketiga kalimat tersebut,
harapan disampaikan kepada pihak pengantin
laki-laki agar tidak pernah lupa dengan
kewajibannya untuk menafkahi keluarga,
selalu siap mengikuti kewajiban seorang Sumber: Foto Pribadi
anggota masyarakat, dan selalu hormat kepada
mertuanya. Kalimat (18) juga mengisyaratkan Kalimat Imperatif Larangan
bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab yang Kalimat imperatif larangan atau perintah negatif
berat terhadap keluarganya. Dalam perkawinan adalah kalimat imperatif yang jika pembicara
adat Bali yang menganut sistem patrilineal, menyuruh lawan bicaranya agar jangan
pihak laki-laki memiliki peranan penting melakukan sesuatu (Alwi dkk., 2000, hlm. 353).
dalam hal tanggung jawab, kewajiban, dan Kalimat imperatif jenis ini ditemukan dalam
garis keturunan, sedangkan pihak perempuan wacana perkawinan adat Bali. Berikut adalah
mengikuti suaminya. Kalimat (21) mengandung contoh datanya.
makna ajakan. Ajakan itu ditujukan kepada
kedua mempelai agar selalu mengedepankan 22. Pangidih Bapa, eda cening ngapus.
‘Harapan Ayah, jangan ananda berbohong.’
cinta dan kasih dalam memecahkan semua
masalah yang mungkin terjadi dalam kehidupan 23. Sampunang melaksana kadi sasenggak Baliné
“nyandat di teba, ‘bungané sumpangang,
berumah tangga. punyané kiladin”.
‘Jangan berbuat seperti peribahasa Bali
Gambar 1 “kenanga di kebun belakang rumah, bunganya
Dialog antara Pihak Pengantin Laki-Laki dan dipakai di telinga, pohonnya digunakan untuk
Perempuan dalam Proses Mamadik cebokan.’
Artinya: anaknya diambil untuk dijadikan istri,
sedangkan orang tuanya tidak dihiraukan.
24. Eda engsap tekén mémé bapa pinaka guru
rupaka nyadiastun pacang ninggal natah.
‘Jangan lupa dengan orang tua walaupun
akan meninggalkan pekarangan.’

Kalimat (22)—(24) tergolong kalimat


imperatif larangan. Kata eda ‘jangan’ pada
kalimat (22) dan (24), serta sampunang ’jangan’
pada kalimat (23) menyatakan bahwa ketiga
Sumber: Foto Pribadi
kalimat itu adalah imperatif larangan. Kata
eda (bahasa biasa) dan sampunang (bahasa
234 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 ISSN 0854-3283
Halaman 227 — 240 (I Gde Wayan Soken Bandana) Imperative Sentences in Balines Marriage DiscourseBorneo

Bali halus) sama-sama bermakna ‘jangan’. saat mamadik maupun saat mejauman. Kalimat
Kalimat (22) biasanya dijumpai pada wacana (25) memiliki makna permohonan/pembiaran.
perkawinan adat Bali pada saat meminang, Pada kalimat (25) pembicara memohon kepada
sedangkan kalimat (23) dan (24) dijumpai hadirin untuk memanjatkan pangastungkara
pada saat majauman. Ketiga kalimat tersebut (doa) “Om Swastyastu”. Om Swastyastu
mengandung makna larangan dan harapan. merupakan sebuah ungkapan kosakata bahasa
Larangan dan harapan itu disampaikan oleh Sanskerta yang terdiri atas tiga kata, yaitu Om,
orang tua kedua belah pihak mempelai kepada swasti, dan astu. Om adalah simbol Tuhan
pasangan pengantin. Kalimat (22) mengandung dalam agama Hindu. Swasti bermakna ‘selamat’
makna larangan agar calon pengantin wanita dan astu bermakna ‘semoga’. Jadi, ungkapan
tidak berbohong, artinya menyatakan isi hati Om Swastyastu adalah sebuah ungkapan atau
yang sebenarnya. Kalimat (23) mengandung doa yang disampaikan kepada Tuhan agar
makna pengharapan yang ditujukan kepada pertemuan dapat berjalan dengan lancar atau
mempelai laki-laki agar tidak hanya mencintai tidak mendapat halangan. Kalimat imperatif
calon istrinya, tetapi juga seluruh anggota (26) memiliki makna permohonan oleh wakil
keluarga barunya. Harapan pada kalimat (24) pihak pengantin laki-laki kepada wakil pihak
ditujukan kepada calon pengantin perempuan pengantin perempuan untuk menyampaikan
agar tidak pernah melupakan orang tua setelah rencana pernikahan kedua mempelai.
ia meninggalkan rumahnya.
Bentuk dan Penanda Kalimat Imperatif
Kalimat Imperatif Pembiaran Wacana Perkawinan Adat Bali
Kalimat imperatif pembiaran adalah kalimat Bentuk dan Penanda Kalimat Imperatif
imperatif yang pembicaranya meminta agar dengan Prefiks N-
jangan dilarang berbuat sesuatu (Alwi dkk., Prefiks N- disebut juga prefiks nasal atau dalam
2000, hlm. 353). Kalimat imperatif jenis ini bahasa Bali disebut anunasika. Prefiks ini
ditemukan dalam wacana perkawinan adat Bali. mempunyai lima bentuk alomorf, yaitu ng-,
Berikut adalah contoh datanya. ny-, n-, m- dan nga-/ngé/. Dalam bahasa Bali,
prefiks N- berfungsi membentuk verba aktif.
25. L u g r a y a n g t i t i a n g n g a t u r a n g
Verba berprefiks N- dapat berupa verba aktif
pangastungkara.
‘Ijinkan (lah) saya menyampaikan ucapan berpelengkap atau verba aktif tak berpelengkap
selamat.’ (Sulaga dkk., 1996, hlm. 130—132). Prefiks
26. Mangkin, lugrayang titiang pacang matur N- sebagai penanda kalimat imperatif dalam
indik pangambilan anaké alit. wacana perkawinan adat Bali terdapat pada
‘Sekarang, izinkan saya akan menyampaikan data berikut.
masalah terkait dengan penjemputan si
gadis.’ 27. Titiang nglungsur pikayun panglingsir
mangda lédang nagingin pinunas titiang
Data (25) dan (26) menunjukkan bahwa matemuang anake alit makakalih.
kalimat tersebut berjenis kalimat imperatif ‘Saya memohon petunjuk para tetua agar
berkenan mengabulkan permohonan saya
pembiaran yang ditandai dengan kata lugrayang.
untuk mempertemukan kedua anak muda
Lugrayang adalah kosakata bahasa Bali halus (ini).’
yang bermakna ‘izinkan(lah)’. Kedua kalimat
28. Ngiring nunas ica ring Ida Hyang Widhi
tersebut dapat dijumpai pada awal dialog di dumogi Ida lédang ngicén Karahayuan.
antara kedua belah pihak pengantin, baik pada ’Marilah mohon anugerah Tuhan semoga
Beliau berkenan melimpahkan rahmat-Nya.’

ISSN 0854-3283 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 235


Kalimat Imperatif dalam Wacana Perkawinan Adat Bali (I Gde Wayan Soken Bandana) Halaman 227 — 240

29. Ngiring sareng-sareng ngrestiti mangda Infiks -in- dalam wacana perkawinan adat
anaké alit nemu karahayuan. Bali seperti contoh (30) berfungsi membentuk
’Mari sama-sama memohon supaya kedua
verba tanggap. Kata sinampura ‘maafkan’ tidak
mempelai memperoleh keselamatan.’
ditemukan dalam kamus bahasa Bali. Yang ada
Kata nglungsur ‘memohon’ pada data hanya kata ampura ‘maaf’. Kata sinampura be-
(27) adalah kata jadian. Kata dasarnya adalah rasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu sampura ’ke-
lungsur ‘mohon’. Kata lungsur ‘mohon’ murahan hati, ampun, ampunan’. Kata tersebut
mendapat prefiks N- (ng) menjadi nglungsur mendapat infiks -in- menjadi sinampura ’mem-
‘memohon’. Kata ngiring pada data (28) dan beri rahmat, menerima dengan kemurahan hati,
(29) berasal dari kata iring ’mari’. Setelah mengampuni’ (Zoetmulder, 2006, hlm. 108).
mendapat prefiks N- (ng) mengalami perubahan Infiks -in- pada kata sinampura dalam kalimat
makna menjadi ngiring ’marilah/ayolah’. itu berfungsi sebagai penanda imperatif.

N- + lungsur ---> nglungsur Bentuk Kalimat Imperatif dengan sufiks


N- + iring ---> ngiring –ang
Sufiks –ang tidak mengalami perubahan
Prefiks N- dalam wacana perkawinan adat bentuk jika dibubuhkan pada bentuk dasar
Bali hadir sebagai verba berpelengkap, yaitu: yang berakhiran dengan konsonan. Apabila

lungsur--->nglungsur pikayun panglingsir dibubuhkan pada bentuk dasar yang berakhiran


‘mohon petunjuk para tetua.’ dengan vokal, kerap kali terjadi alomorf -nang
iring--->ngiring nunas ica ring Ida Hyang dan –yang (Sulaga dkk., 1996, hlm. 148).
Widhi ‘mari mohon anugerah Tuhan.’
31. Nah, jani édéngang isin keneh ceniné ané
iring--->ngiring sareng-sareng ngrestiti sujati.
‘mari sama-sama memohon.’ ‘Nah, sekarang katakan isi hatimu yang
sebenarnya.’
Prefiks N- (ng-) pada kata-kata nglungsur 32. Dini orahang yéning mula cening tresna tur
dan ngiring adalah penanda imperatif. ada keneh ngantén.
‘Di sini sampaikan kalau memang ananda
Bentuk dan Penanda Kalimat Imperatif cinta dan ingin menikah.’
dengan infiks -in- 33. Limbakang tresnan ceningé mantuk ring
Menurut Sulaga dkk., (1996, hlm.156), matua, ipah, saha sané tiosan.
infiks -in- tidak mengalami perubahan dalam ‘Teruskan/kembangkan kasih sayangmu
kepada mertua, ipar, dan yang lainnya.’
membentuk suatu kata. Apabila bentuk dasarnya
berawal dengan konsonan, infiks ­-in- diselipkan 34. Inggih, durusang.
‘Baiklah, silakan.’
pada suku awal bentuk dasarnya, yaitu antara
konsonan awal dan vokal yang mengikutinya. 35. Majeng para manggala, lédangang nerima
belog ipun pacang misarengin pidabdab ring
Apabila bentuk dasarnya berawal dengan vokal,
banjar.
infiks -in- langsung dibubuhkan pada awal ‘Kepada para pemimpin, semoga berkenan
bentuk dasarnya. menerima kekurangan mempelai yang akan
mengikuti kegiatan bermasyarakat.’
30. Sinampura sekirang langkung atur titiang.
36. Mangkin, lugrayang titiang pacang matur
’Maafkan atas kekurangan dan kelebihan
indik pangambilan anaké alit.
penyampaian saya.’
‘Sekarang, izinkan saya akan menyam­
paikan masalah terkait dengan penjemputan
si gadis.’

236 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 ISSN 0854-3283


Halaman 227 — 240 (I Gde Wayan Soken Bandana) Imperative Sentences in Balines Marriage DiscourseBorneo

Data (31)—(35) yang ditandai dengan 37. Dulurin tresnan ceningé antuk patibarata,
kata-kata édéngang, orahang, limbakang, ‘satia lan jujur ring suami’.
‘Tambahkan kasih sayangmu dengan
durusang, dan lédangang adalah unsur-unsur
patibrata, setia dan jujur kepada suami.’
pembentuk kalimat imperatif dengan sufiks
38. Kelidin gegodané sané mawit saking
-ang yang verbanya berakhir dengan konsonan padéwékan apan ngranayang pakurenané
sehingga tidak mengalami perubahan bentuk. tan rahayu.
‘Hindari godaan yang berasal dari dalam
edeng + -ang ---> edengang diri sendiri karena menyebabkan retaknya
orah + -ang---> orahang hubungan rumah tangga.’
limbak + -ang --->limbakang 39. Sulubin langite, langkahin tanahé dija ja
durus + -ang ---> durusang cening magenah.
lédang + -ang ---> ledangang ‘Junjunglah langit, pijaklah tanah di mana
pun ananda berada.’
Kata édéngang ’perlihatkan’ berasal
dari kata édéng dan orahang ‘katakan’ berasal Data (37), (38), dan (39) adalah kalimat
dari kata orah. Dalam pemakaiannya kata- imperatif yang dibentuk dengan verba bersufiks
kata tersebut selalu dalam bentuk verba atau -in yang berakhir dengan konsonan tidak
nomina, yaitu édéngang, édéngin ‘perlihatkan/ mengalami perubahan bentuk.
katakan’, médéng ‘memperlihatkan’, édéngina
‘diperlihatkan’; orahang ‘sampaikan’, orahin dulur + -in ---> dulurin’tambahkan’
‘beritahukan’, dan ngorahin ‘memberitahukan’. kelid + -in ---> kelidin’hindari’
sulub + -in --->sulubin ‘junjunglah’
Selanjutnya, kata-kata limbakang ‘luaskan’, langkah + -in ---> langkahin ‘pijaklah’
durusang ‘silakan’, dan lédangang ‘ihklaskan’
berasal dari kata-kata limbak ‘luas’, durus Kata dulur (37), kelid (38), sulub (39),
‘silakan’ dan, lédang ‘rela, senang’. Pada data dan langkah (39) termasuk morfem pangkal.
(36) kalimat imperatif ditandai dengan kata Kata tersebut baru akan bermakna ketika
lugrayang. Kata lugra berakhir dengan vokal mendapat sufiks –in. Kata dulurin, kelidin,
bila mendapat sufiks -ang akan menjadi alomorf sulubin, dan langkahin dalam data tersebut
–yang sehingga menjadi lugrayang. adalah penanda kalimat imperatif yang dibentuk
dengan sufiks ­-in.
lugra + -ang ---> lugrayang
Bentuk Kalimat imperatif dengan Kata
Kata-kata yang becetak tebal pada
Kalimat imperatif dalam wacana perkawinan
kalimat (31)—(36) berfungsi sebagai penanda
adat Bali selain dibentuk oleh afiks, juga ada
imperatif.
yang dibentuk oleh kata. Kelas kata dalam
bahasa Bali dapat dibedakan menjadi lima kelas
Bentuk Kalimat Imperatif dengan sufiks
–in kata, yaitu verba, nomina, adjektiva, adverbia,
Sufiks –in jika dibubuhkan pada bentuk dan kata tugas (Sulaga dkk., 1996, hlm. 28).
dasar yang berakhir dengan konsonan, tidak Berikut adalah data yang dimaksud.
mengalami perubahan bentuk. Apabila 40. Titiang nunas pikayun panglingsir iriki
dibubuhkan pada bentuk dasar yang berakhir ledang ngicén pamargi mangda anaké alit
dengan vokal, terjadi alomorf –nin (Sulaga kekalih prasida alaki rabi.
dkk., 1996, hlm.152). ’Saya mohon ketulusan hati para tetua di
sini berkenan memberi petunjuk agar kedua
pasangan bisa menjadi suami istri.’

ISSN 0854-3283 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 237


Kalimat Imperatif dalam Wacana Perkawinan Adat Bali (I Gde Wayan Soken Bandana) Halaman 227 — 240

41. Sane mangkin titiang nunas galah SIMPULAN


abosbos. Kalimat imperatif dalam wacana perkawinan
’Sekarang saya mohon waktu sebentar.’
adat Bali dibedakan atas enam jenis, yaitu (1)
42. Ngiring nunas ica ring Ida Hyang Widhi kalimat imperatif biasa, (2) kalimat imperatif
dumogi Ida lédang ngicén karahayuan.
halus, (3) kalimat imperatif permohonan atau
’Marilah mohon anugerah Tuhan semoga
Beliau berkenan melimpahkan rahmat- permintaan, (4) kalimat imperatif ajakan/
Nya.’ harapan, (5) kalimat imperatif larangan, dan (6)
43. Ngiring sareng-sareng ngrestiti mangda kalimat imperatif pembiaran. Keenam kalimat
anaké alit nemu karahayuan. imperatif tersebut digunakan secara berimbang.
’Mari sama-sama memohon supaya kedua Makna yang terkandung dalam kalimat
mempelai memperoleh keselamatan.’
imperatif tersebut adalah makna perintah,
44. Swadarmaning sang laki patut ngruruh permohonan atau permintaan, ajakan atau
pangupa jiwa anggén ngamertanin raga,
harapan, larangan, dan pembiaran. Berdasarkan
somah miwah pianak.
‘Kewajiban laki-laki harus mencari nafkah bentuk dan penandanya, kalimat imperatif
untuk diri sendiri, istri, dan anak.’ dibentuk oleh afiks dan kata. Kelas kata sebagai
45. Sang laki patut sayaga tekén pidabdab pembentuk kalimat imperatif berupa adverbia,
masima krama. adjektiva, dan verba.
‘Seorang laki-laki harus siap sedia dengan
tata cara bermasyarakat.’
DAFTAR PUSTAKA
46. Sang laki patut bakti ring sang guru rupaka
miwah matuwa. Alwi, H. (2000). Tata Bahasa Baku Bahasa
‘Seorang laki-laki harus berbakti kepada Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
orang tua dan mertua.’
Pustaka.
47. Pangidih Bapa, eda cening ngapus.
‘Harapan Ayah, jangan ananda berbohong.’ Alwi, H. dan D. Sugono (Eds.). (2011). Politik
48. Eda engsap tekén mémé bapa pinaka guru Bahasa: Rumusan Seminar Politik
rupaka nyadiastun pacang ninggal natah. Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan
‘Jangan lupa dengan orang tua walaupun dan Pembinaan Bahasa.
akan meninggalkan halaman.’
Chaer A. (2007). Linguistik Umum. Jakarta:
Kata-kata yang bercetak tebal pada data Rineka Cipta.
(40)—(48), yaitu nunas ‘mohon’, ngiring
‘mari’, patut ‘harus’, dan eda ‘jangan’ adalah Djajasudarma, T.F. (1999). Semantik 2:
Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT
kata-kata yang berfungsi sebagai penanda
Refika Aditama.
imperatif dalam wacana perkawinan adat
Bali. Berdasarkan jenis katanya, kata-kata Fairclough dan Wodak. (1997). “Critical
tersebut tergolong adverbia, adjektiva, dan Discourse Analysis”. Dalam Teun A.
verba. Kata nunas ‘mohon’ dalam kalimat Van Dijk (Eds.), Discourse an Social
(40) dan (41) tergolong verba/kata kerja. Kata Interaction: Discourse Studies a
ngiring ‘mari(lah)’ dalam kalimat (42) dan (43) Multidicliplinary Introduction. Vol. 2.
London: Sage Publication.
tergolong verba/kata kerja. Kata patut ‘harus’
dalam kalimat (44), (45), dan (46) tergolong Foley, W.A. (1997). Anthropological linguistics:
adjektiva/kata sifat. Kata eda ‘jangan’ dalam An Introduction. Oxford: Blackwell
kalimat (47) dan (48) tergolong adverbia/ Published.
keterangan.

238 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 ISSN 0854-3283


Halaman 227 — 240 (I Gde Wayan Soken Bandana) Imperative Sentences in Balines Marriage DiscourseBorneo

Halliday, M.A.K. (1978). Language and Social dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Semiotic: The Social Interpretation of Pendidikan dan Kebudayaan.
Language and Meaning. London: Edward
Arnold. Sibarani, R. (2004). Antropolinguistik:
Antropologi Lingusitik, Linguistik
Palmer, F.R. (1976). Semantics: A New Out Antropologi. Medan: Poda.
Line. Cambridge:Cambridge University
Press. Sudaryanto. (1982). Metode Linguistik,
Kedudukan, Aneka Jenisnya, dan Faktor
Kridalaksana, H. (2001). Kamus Linguistik Penentu Wujudnya. Yogyakarta: Fakultas
Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Sastra Universitas Gadjah Mada.
Pustaka Utama.
Sudaryanto. (2015). Metode dan Aneka
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tetang Teknik Analisis Bahasa:Pengantar Pe-
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 nelitian Wahana Kebudayaan secara
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Linguistis.Yogyakarta: Sanata Dharma
University Press.
Putrayasa, I.B. (2010). Analisis Kalimat:
Fungsi, Kategori, dan Peran. Bandung: Sulaga, I N. dkk. (1996). Tata Bahasa Baku
PT Refika Aditama. Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah
Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Ruddyanto, C. dkk. (2008). Kamus Bali-
Indonesia. Edisi ke-2. Yogyakarta: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang
Yayasan Pustaka Nusatama. Perkawinan.

Sasangka, S.S.T.W. (2013). Gapura Bahasa Windia, W.P. dkk. (2011). Perkawinan Pada
Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Gelahang di Bali. Denpasar: Udayana
Publishing. University Press.

Sasangka, S.S.T.W. (2016). Seri Penyuluhan Zoetmulder, P.J. (2006). Kamus Jawa Kuna
Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta: Indonesia. Cetakan ke lima. Jakarta: PT
Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan Gramedia Pustaka Utama.

ISSN 0854-3283 , Vol. 28, No. 2, Desember 2016 239

Anda mungkin juga menyukai