Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Disadari atau tidak perkembangan teknologi informasi telah menciptakan
berbagai kesempatan dibidang keuangan. Perkembangan lembaga pembiayaan akhir-
akhir ini sudah begitu pesat. Leasing sebagai salah satu bentuk pembiayaan telah
menjangkau berbagai objek seperti apartemen, perkantoran, telepon, mobil, komputer
dan bahkan bangunan dan peralatan pabrik. Leasing adalah suatu kontrak antara
pemilik aktiva yang di sebut dengan Lessor dan pihak lain yang memanfaatkan aktiva
tersebut yang di sebut Lessee untuk jangka waktu tertentu. Salah satu manfaat leasing
adalah bahwa Lessee dapat memanfaatkan aktiva tersebut tanpa harus memiliki
aktiva tersebut. Sebagai kompensasi manfaat yang dinikmati, maka Lessee
mempunyai kewajiban untuk membayar secara periodik sebagai sewa aktiva yang
digunakan. Manfaat lain adalah bahwa Lessee tidak perlu menanggung biaya
perawatan, pajak dan asuransi.
Leasing pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1974, yang bertujuan
untuk membiayai penyediaan barang-barang modal, dengan beberapa perjanjian
antara pihak perusahaan dengan pihak penerima barang dengan jumlah biaya-biaya
yang dikeluarkan atau dibebankan oleh pihak lesse.1
Leasing atau sewa-guna-usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan
dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu
perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara
berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-
barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa uang yang telah disepakati bersama.
Dengan melakukan leasing perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan
jalan sewa beli untuk dapat langsung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur
setiap bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak lessor.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Leasing (Sewa Guna Usaha)


Perusahaan sewa guna usaha di Indonesia lebih dikenal dengan nama Leasing.
Kegiatan utamanya adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk keperluan barang-
barang modal yang diinginkan oleh nasabah. Pembiayaan yang dimaksud jika
seorang nasabah membutuhkan barang-barang modal seperti peralatan kantor atau
mobil dengan cara disewa atau dibeli secara kredit dapat diperoleh diperusahaan
leasing. Pihak Leasing dapat membiayai keinginan nasabah dengan perjanjian yang
telah disepakati kedua pihak. Perusahaan Leasing dapat diselenggarakan oleh atau
badan usaha yang berdiri sendiri. Keterbatasan perusahaan leasing adalah tidak
boleh melakukan kegiatan yang dilakukan oleh bank seperti memberikan simpanan
dan kredit dalam bentuk uang.
Pengertian sewa guna usaha secara umum adalah perjanjian antara lessor
(perusahaan leasing) dengan lessee (nasabah) di mana pihak lessor memyediakan
barang dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk
jangka waktu tertentu. Sedangkan pengertian sewa guna usaha sesuai dengan
keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1 991 adalah “kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak
opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk
digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala”.
Finance lease adalah kegiatan sewa guna usaha dimana lessee pada akhir masa
kontrak mempunyai hak opsi untukmembeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai
sisa yang disepakati. Sebaliknya, operating lease tidak mempunyai hak opsi untuk
membeli objek sewa guna usaha.
a. Ketentuan Leasing
Kegiatan Leasing secara remi diperbolehkan beroperasi di indonesia setelah
keluar surat keputusan bersama antara Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan
Menteri Perdagangan Nomor Kep. 122/MK/IV/2/1974, Nomor32/M/SK/2/74 dan
Nomor 30/Kpb/I/74 Tanggal 7 Februari 1974 Tentang Perizinan Usaha Leasing di
Indonesia. Wewenang untuk memberikan usaha Leasing di keluarkan oleh Menteri
Keuangan berdasarkan Surat keputusan Nomor 649/MK/IV/5/1974 Tanggal 6 Mei
1974 yang mengatur mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha
leasing di Indonesia.
Lembaga Pembiayaan Menurut ketentuan ini dimungkinkan untuk melakukan
salah satu dari kegiatan pembiayaan seperti :
1. Sewa guna usaha (Leasing).
2. Modal ventura (venture capital).
3. Anjak Piutang (factoring)`
4. Pembiayaan konsumen (consumer finance)
5. Kartu Kredit (credit card)
Pemberian izin untuk melakukan usaha-usaha pembiayaan seperti di atas, terlebih
dulu harus memperoleh izin dari Menteri Keuangan.
b. Pihak-pihak yang terlibat
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberian fasilitas leasing adalah sebagai
berikut :
1. Lessor merupakan perusahan leasing yang membiayai keinginan
paranasabahnya untuk memperoleh barang-barang modal.
2. Lessee adalah nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada
lessoruntuk memperoleh barang modal yang di inginkan.
3. Supplier yaitu pedagang yang menyediakan barang yang akan di leasing
sesuai perjanjian antara lessor dengan lessee dan dalam hal ini suplier juga
dapat bertindak sebagai lessor.
4. Asuransi merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhadap
perjanjian antara lessor dengan lessee. Dalam hal ini lessee dikenakan biaya
asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka perusahaan akan menanggung
resikosebesar sesuai dengan perjanjian terhadap barang yang di leasingnya.

2.2. Jenis-Jenis Perusahaan Leasing


Jenis-jenis perusahaan leasing dalam menjalankan kegiatannya dibagikedalam 3
(tiga) kelompok yaitu :
a. Independent Leasing
Independent leasing merupakan perusahaan leasing yang berdiri sendiri dapat
sekaligus sebagai supplier atau membeli barang-barang modal dari supplier lain untuk
dileasekan.
b. Captive Lessor
Produsen dan supplier mendirikan perusahaan leasing dan yang mereka leasekan
adalah barang-barang milik mereka sendiri. Tujuan utamanya adalah untuk dapat
meningkatkan penjualan, sehingga mengurangi penumpukan barang di gudang/toko.
c. Lease Broken
Perusahaan jenis ini kerjanya hanyalah mempertemukan keinginan lesseeuntuk
memperoleh barang modal kepada pihak lessor untuk dileasekan.Jadi,dalam hal ini
lease broken hanya sebagai perantara antara pihak lessordengan pihak lessee.

2.3. Mekanisme Transaksi Leasing


Mekanisme penggunaan leasing dapat dikertahui sebagai berikut:
a. Lesee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan
penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksud.
b. Setelah lesse mengisi formulir permohonan lesse, mengirimkan kepada lessor
disertai dokumen pelengkap.
c. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan
fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang di setujui lesse (lama kontrak
pembayaran sewa lease), maka kontrak lease dapat ditanda tangani.
d. Pada saat yang sama, lesse dapat menandatangani kontrak asuransi yang disetujui
lessor, seperti yang tercantum pada kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan
asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
e. Kontrak pembelian peralatan akan di tandatangani lessor dengan supplier
peralatan tersebut.
f. Supplier dapat mengirim peralatan yang di lease ke lokasi lesse, untuk
mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supllier akan
menandatangani perjanjian pelayanan purna jual.
g. Lease menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada supplier.
h. Supplier menyerahkan surat tanda terima (yang diterima dari lessee), bukti
pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada lessor.
i. Lessor membayar harga peralatan yang di lease kepada supplier.
j. Lesse membayar sewa lease periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang
telah ditentukan kontrak lease.
Berikut adalah gambar dari skema mekanisme transaksi leasing.

2.1 Gambar skema mekanisme transaksi leasing


2.3. Jenis - Jenis Pembiayaan Leasing
Jenis pembiayaan leasing dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu finance lease
dan operating lease.
a. Finance Lease
Dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna (lessor) adalah pihak yang
membiayai penyediaan barang modal. Lessee biasanya memilih barang modal yang
dibutuhkan dan, atas nama perusahaan sewa guna usaha, sebagai pemilik barang
modal tersebut, melakukan pemesanan, pemeriksaan serta pemeliharaan barang
modalyang menjadi objek transaksi sewa guna usaha. Dalam praktinya, finance lease
dapat dibagi dalam beberapa bentuk transaksiantara lain sebagai berikut :
1. Direct finance lease
Dalam transaksi direct finance lease, pihak lessor membeli barang modalatas
permintaan dari lessee dan langsung disewagunausahakan kepada lessee.Lessee dapat
terlibat dalam proses pembelian barang modal dari pemasok.
2. Sale and lease back
Pihak lessee menjual barang modalnya kepada lessor untuk kemudiandilakukan
kontrak sewa guna usaha atas barang tersebut dengan jangka waktuyang disepakati
bersama. Metode transaksi ini membantu lessee yangmengalami kesulitan modal
kerja.
3. Leveraged lease
Dalam proses sewa guna ini, pihak yang terlibat adalah lessor, lessee dan kreditor
jangka panjang dalam membiayai objek leasing. Pihak kreditor inilah yang biasanya
justru memberikan porsi yang besar dalam pembiayaan. Kreditor jangka panjang,
biasanya lembaga keuangan misalnya bank yang akanmenyediakan pembiayaan
sebesar 60% - 80% yang disebutkan leverage debt with out recourse kepada pihak
leassor. Apabila pihak lessee mengalami default dan tidak mampu mengangsur,
lessor tidak ikut bertanggung jawab kepada bank.
4. Syndicated lease
Metode ini terjadi apabila pembiayaan sewa guna usaha dilakukan oleh lebih dari
satu lessor. Kerja sama antara lessor ini didasarkan pada pertimbangan risiko atau
objek leasing yang membutuhkan dana dalam jumlah besar.
5. Vendor Program
Vendor program adalah suatu metode penjualan yang dilakukan olehdealer
kepada konsumen dengan mendapatkan fasilitas leasing. Lessor akanmembayar objek
leasing kepada vendor/dealer dan selanjutnya lessee akanmembayar angsuran secara
periodik langsung kepada lessor atau melalui dealer.6
b. Operating Lease
Teknik operating lesae merupakan pihak pemilik objek leasing atau leasor
membeli barang modal dan disewa guna usahakan kepada lesee. Pembayaran
periodik yang dilakukan oleh lessee tidak mencangkup biaya yang dikeluarkan oleh
lessor untuk mendapatkan barang modal tersebut dan bunganya. Lessor
mengharapkan keuntungan dari penjualan barang modal yang disewa guna usahakan.
Lessor dapat juga memperoleh sumber penghasilan dari perjanjian sewa sewa guna
usaha yang lain.
Operating lease dapat juga disebut leasing biasa yaitu satu perjanjian kontrak
antara leasor dengan lessee, dengan catatan bahwa :
1. Lessor sebagai pemilik objek leasing menyerahkannya kepada pihak
lesseeuntuk digunakan dengan jangka waktu relatif lebih pendek dari umur
ekonomis barang modal tersebut.
2. Lessee atas penggunaan barang modal tersebut, membayar sejumlah
sewasecara berkala kepada leasor yang jumlahnya tidak meliputi jumlah
keseluruhan biaya pemerolehan barang tersebut beserta bunganya. Hal ini
disebut nonfull pay out lease.
3. Lessor menanggung segala risiko ekonomis dan pemeliharaan atas barang-
barang tersebut.
4. Lessee pada ahir kontrak harus mengembalikan objek leasing pada lessor.
5. Lessee dapat membatalkan perjanjian kontrak leasing sewaktu-waktu.

2.4. Efek pajak


Total jumlah pembayaran sewa adalah biaya pajak bagi lessee yang telah
disetujui oleh Internal Revenue Service bahwa kontrak adalah sewa murni dan
bukan pinjaman yang disebut lease. Hal ini menjadikan penting bahwa kontrak
leasing ditulis dalam bentuk yang dapat diterima oleh IRS. Sewa yang sesuai
dengan semua persyaratan IRS disebut panduan, ortax-oriented, sewa, dan
manfaat pajak kepemilikan (depresiasi dan kredit pajak investasi) milik lessor.
Ketentuan utama dari pedoman pajak adalah sebagai berikut:
a) Jangka waktu sewa (termasuk setiap perpanjangan atau perpanjangan dengan
tarif sewa tetap) tidak boleh melebihi 80% dari perkiraan masa manfaat
peralatan pada saat dimulainya transaksi sewa. Dengan demikian, aset
dengan usia 10 tahun dapat disewakan tidak lebih dari 8 tahun. Selanjutnya,
sisa masa manfaat tidak boleh kurang dari 1 tahun. Perhatikan bahwa masa
manfaat aset yang diharapkan biasanya jauh lebih lama daripada usia kelas
depresiasi MACRS.
b) Perkiraan sisa nilai peralatan (dalam dolar konstan tanpa penyesuaian untuk
inflasi) pada waktu berakhirnya sewa harus setidaknya 20% dari nilainya
pada awal sewa. Persyaratan ini dapat memiliki efek membatasi jangka
waktu sewa maksimum.
c) Baik lessee maupun pihak terkait tidak dapat memiliki hak untuk membeli
properti dengan harga tetap yang telah ditentukan. Namun, lessee dapat
diberikan opsi untuk membeli aset tersebut pada nilai pasar wajarnya.
d) Baik lessee maupun pihak terkait tidak dapat membayar atau menjamin
pembayaran dari setiap bagian dari harga peralatan yang disewakan.
Singkatnya, lessee tidak dapat melakukan investasi dalam peralatan selain
melalui pembayaran sewa.
e) Peralatan yang disewa tidak boleh menjadi properti "penggunaan terbatas",
yang didefinisikan sebagai peralatan yang hanya dapat digunakan oleh
penyewa atau pihak terkait di akhir masa sewa.

2.5. Efek Kebijakan Keuangan


Dalam kondisi tertentu, baik aset yang disewa maupun kewajiban dalam
kontrak sewa tidak muncul langsung di neraca perusahaan. Untuk alasan ini,
leasing sering disebut off-balance sheet financing. Poin ini diilustrasikan pada
gambar 2.2 oleh neraca dua perusahaan hipotetis, B (untuk "meminjam") dan L
(untuk "sewa").

Gambar 2.2. Balance Sheet Effect of Leasing

Awalnya, neraca kedua perusahaan identik, dan keduanya memiliki rasio


utang 50%. Selanjutnya, setiap perusahaan memutuskan untuk membeli aset
tetap dengan biaya $ 100. Perusahaan B meminjam $ 100 dan membeli aset, jadi
baik aset dan kewajiban masuk ke neraca, dan rasio utangnya naik dari 50%
menjadi 75%. Perusahaan L menyewa peralatan. Sewa dapat meminta biaya tetap
setinggi atau bahkan lebih tinggi dari pinjaman, dan kewajiban yang diasumsikan
di bawah sewa mungkin sama atau lebih berbahaya dari sudut pandang potensi
kebangkrutan, tetapi rasio utang perusahaan tetap hanya 50%. Untuk
memperbaiki masalah ini, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (FASB)
mengeluarkan Pernyataan FASB 13, yang mensyaratkan bahwa, untuk laporan
audit yang tidak memenuhi syarat, perusahaan yang masuk ke dalam sewa
keuangan (atau modal) harus menyatakan ulang neraca mereka dan melaporkan
aset sewaan sebagai aset tetap dan nilai sekarang dari pembayaran sewa masa
depan sebagai kewajiban. Proses ini disebut mengkapitalisasi sewa, dan efek
bersihnya adalah menyebabkan Perusahaan B dan L memiliki neraca serupa —
keduanya, pada dasarnya, akan menyerupai yang ditunjukkan untuk Perusahaan
B.
Logika di balik Pernyataan 13 adalah sebagai berikut: Jika sebuah
perusahaan menandatangani kontrak sewa keuangan, kewajibannya untuk
melakukan pembayaran sewa sama mengikatnya seperti jika telah
menandatangani perjanjian pinjaman — kegagalan untuk melakukan pembayaran
sewa dapat membuat bank bangkrut sama cepatnya sebagai kegagalan untuk
melakukan pembayaran pokok dan bunga atas pinjaman. Oleh karena itu, untuk
semua maksud dan tujuan, sewa keuangan identik dengan pinjaman. Inilah yang
terjadi, jika suatu perusahaan menandatangani perjanjian sewa keuangan, maka
pengaruhnya adalah menaikkan rasio utang sejatinya, dan karenanya struktur
modal yang sebenarnya berubah. . Oleh karena itu, jika perusahaan sebelumnya
telah menetapkan struktur modal sasaran dan jika tidak ada alasan untuk berpikir
bahwa struktur modal yang optimal telah berubah, maka pembiayaan sewa guna
memerlukan dukungan ekuitas tambahan, seperti halnya pembiayaan utang. Jika
pengungkapan sewa dalam contoh Tabel 18-1 kami tidak dibuat, maka investor
Perusahaan L dapat tertipu untuk berpikir bahwa posisi keuangannya lebih kuat
dari yang sebenarnya. Jadi, bahkan sebelum Pernyataan FASB 13 dikeluarkan,
perusahaan diminta untuk mengungkapkan keberadaan sewa jangka panjang
dalam catatan kaki ke laporan keuangan mereka. Pada saat itu, diperdebatkan
apakah investor benar-benar mengakui dampak sewa dan, pada dasarnya, akan
melihat bahwa Perusahaan B dan L pada dasarnya memiliki posisi keuangan
yang sama. Beberapa orang berpendapat bahwa sewa tidak sepenuhnya diakui,
bahkan oleh investor yang canggih. Jika ini adalah kasusnya, maka leasing dapat
mengubah keputusan struktur modal secara signifikan-perusahaan dapat
meningkatkan leverage yang sebenarnya melalui pengaturan sewa, dan prosedur
ini akan memiliki efek yang lebih kecil pada biaya utang konvensional, rd, dan
pada biaya ekuitas, rs, daripada jika meminjam langsung dan mencerminkan
fakta ini pada neraca. Manfaat leasing ini akan bertambah bagi investor yang ada
dengan mengorbankan investor baru, yang akan ditipu karena neraca keuangan
perusahaan tidak mencerminkan leverage keuangan sebenarnya. Pertanyaan
apakah investor benar-benar tertipu diperdebatkan tetapi tidak pernah
terpecahkan. Mereka yang sangat percaya pada pasar yang efisien berpikir bahwa
para investor tidak tertipu dan catatan kaki itu cukup, sementara mereka yang
mempertanyakan efisiensi pasar berpikir semua sewa harus dikapitalisasi.
Pernyataan 13 merupakan kompromi antara dua posisi ini, meskipun salah satu
yang sangat condong ke arah mereka yang menyukai kapitalisasi.
Suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa modal — dan karenanya harus
dikapitalisasi dan ditunjukkan langsung pada neraca — jika satu atau lebih dari
kondisi-kondisi berikut ini ada.
a) Berdasarkan ketentuan sewa, kepemilikan properti secara efektif ditransfer
dari lessor kepada lessee.
b) Penyewa dapat membeli properti kurang dari nilai pasar sebenarnya ketika
sewa berakhir.
c) Sewa berjalan untuk jangka waktu yang sama dengan atau lebih besar dari
75% dari kehidupan aset. Jadi, jika aset memiliki umur 10 tahun dan sewa
tersebut ditulis selama 8 tahun, sewa harus dikapitalisasi.
d) Nilai sekarang dari pembayaran sewa sama dengan atau lebih besar dari 90%
dari nilai awal aset.
Aturan-aturan ini, bersama dengan aturan pengungkapan catatan kaki yang
kuat untuk sewa operasi, seharusnya cukup untuk memastikan bahwa tidak ada
yang akan tertipu oleh pembiayaan sewa. Dengan demikian, sewa harus dianggap
sebagai hutang untuk keperluan struktur modal, dan mereka harus memiliki efek
yang sama seperti utang pada rd dan rs. Oleh karena itu, leasing tidak
memungkinkan perusahaan untuk menggunakan lebih banyak leverage keuangan
daripada yang dapat diperoleh dengan utang konvensional.

2.6. Evaluasi Leasing


2.6.1 Evaluasi Oleh Lessee
Setiap rencana lease harus dievaluasi baik oleh lessee maupun lessor.
Pertimbangan utama lessee adalah apakah leasing lebih murah daripada membeli
sendiri aktiva itu, dari pihak lessor apakah leasing merupakan alternatif pembiayaan
yang memberikan tingkat keuntungan yang reasonable. Pertimbangan pertama adalah
perusahaan telah memutuskan untuk memperoleh aktiva tetap (mesin, gedung, aktiva
lainnya), keputusan yang didasarkan pada keputusan investasi biasa. Pertimbangan
selanjutnya adalah apakah perusahaan memperoleh aktiva tersebut melalui leasing
atau membelinya. Alternatif leasing ini dapat pula dianalisis dengan menggunakan
metode Internal Rate of Return (IRR), Jadi hanya dicari IRR alternatif leasing &
membandingkannya dengan biaya modal setelah pajak, jika IRR lebih tinggi, maka
lebih baik alternatif utang, sebaliknya jika lebih rendah maka alternatif leasing lebih
baik.
2.6.2. Evaluasi Oleh Lessor
Sementara lessor harus memutuskan apakah lease tersebut akan menghasilkan
tingkat pengembalian yang wajar atau tidak. Lessor ingin memeroleh informasi
tentang Kas keluar untuk memperoleh aktiva sebagai objek leasing dikurangi
pembayaran dimuka leasing di tahun pertama, besarnya kas masuk secara periodik
yang diharapkan dari lessee, estimasi residual value setelah pajak aktiva, menentukan
apakah rate of return leasing melebihi opportunity cost of capital atau tidak. Pada
umumnya, terjadinya perjanjian lease mengikuti urutan yang akan diuraikan berikut
ini.
a. Perusahaan memutuskan untuk emperoleh bangunan atau peralatan tertentu.
Keputusanini didasarkan atas prosedur penganggaran modal yang biasa, dan
keputusan untuk memperoleh aktiva tersebut sudah dilaksanakan sebelum
analisis lease dimulai. Karena itu, dalam analisis lease kita hanya
mempertimbangkan apakah akan membiayai mesin itu dengan lease atau
pinjaman.
b. Setelah perusahaan memutuskan memperoleh suatu aktiva, pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana membiayainya. Perusahaan yang dikelola dengan
baik tidak mempunyai banyak uang kas yang menganggur, sehingga aktiva baru
harus dibiayai dengan cara tertentu.
c. Dana untuk membeli aktiva dapat diperoleh dengan meminjam, dengan menahan
laba, atau dengan menerbitkan saham baru. Cara lain adalah dengan melease
aktiva tersebut. Karena adanya ketentuan kapitalisasi/ pengungkapan maka lease
akan mempunyai pengaruh yang sama seperti pinjaman terhadap struktur modal
lessee.
Lease sebanding dengan pinjaman dalam arti bahwa perusahaan diharuskan untuk
melakukan serangkaian pembayaran tertentu, dan kegagalan untuk memenuhi
kewajiban pembayaran tersebut dapat mengakibatkan kebangkrutan. Jadi, sangat
tepat untuk membandingkan biaya lease dengan biaya utang. Analisis ini, harus
membandingkan biaya leasing dengan biaya utang tanpa memeperhatikan bagaimana
sesungguhnya akiva terebut dibiayai. Aktiva itu sebenarnya dapat saja dibeli dengan
uang kas yang ada, tetapi karena leasing merupakan alternative bagi pembiayaan
dengan utang, maka perbandingan diantara kedua cara pembiayaan itu masih layak.
Pembayaran lease dapat dilakukan pada awal atau akhir tahun.
2.7. Alasan Perusahaan Memilih Leasing
1. Leasing meningkatkan arus kas (cash flow)
Leasing dapat memfasilitasi 100% pembiayaan tanpa pembayaran uang muka.
Besarnya cicilan dapat diatur sesuai dengan kemampuan keuangan anda.
2. Leasing mempertahankan sumber pembiayaan yang lain.
Pembelian barang modal melalui leasing tidak mengganggu fasilitas kredit (credit
line) yang perusahaan miliki untuk tetap digunakan untuk keperluan lain. Apabila
perusahaan membeli barang modal menggunakan fasilitas kredit bank, maka plafon
fasilitas kredit bank anda akan berkurang. (contoh: penggunaan kartu kredit).
3. Leasing memudahkan proses upgrade barang modal.
Sekarang fitur mesin-mesin pabrik berganti setiap 2 (dua) tahun, model kendaraan
setiap tahun. Tiap tahun model berkembang dan menerapkan teknologi dan fitur-fitur
yang lebih canggih. Leasing dengan opsi (Operational Lease) memudahkan proses
upgrade barang modal perusahaan, supaya tidak ketinggalan zaman.
4. Leasing menghemat biaya operasional
Leasing memungkinkan perusahaan membayar cicilan sesuai kemampuan dan
tujuan keuangan perusahaan.
5. Leasing menyediakan bunga tetap
Skema bunga tetap memudahkan perusahaan dalam membuat proyeksi anggaran
keuangan.
6. Leasing menyediakan pilihan
Perusahaan dapat memilih barang modal yang ingin dibiayai plus garansi
kerusakan yang berlaku dari manufaktur tetap merupakan hak perusahaan.
Perusahaan Leasing dapat membantu memberikan fasilitas pembiayaan barang modal
tersebut.
7. Leasing membantu mengasuransikan inflasi
Skema bunga rendah dan tetap (low & fixed rate) memberikan proteksi terhadap
kenaikan harga barang modal di masa mendatang.
8. Leasing membantu perusahaan
Dapat membantu perusahaan dalam pembiayaan beberapa barang modal sekaligus
Karena cicilan yang dapat diatur sesuai kemampuan perusahaan, leasing membantu
perusahaan dalam pembelian beberapa barang modal sekaligus.
9. Leasing memberikan flexibilitas
Leasing memberikan flexibilitas kepada perusahaan untuk membeli, refinancing
(sale & lease back), upgrade atau mengembalikan barang modal. Fitur ini dapat
ditemui pada leasing dengan opsi (Operating lease).
10. Leasing memberikan keuntungan pajak
Sesuai hukum pajak, pembayaran cicilan dapat dipotong langsung sebagai biaya
usaha sebagai pengurang penghasilan, dus perusahaan dapat mengurangi pembayaran
pajak tanpa melanggar hukum. Fitur ini dapat ditemui pada leasing dengan opsi
(Operating lease).

2.8.Kaitan Akuntansi, Arus Kas dan Leasing


1. Langkah I
Menghitung NPV (Net Present Value) aktiva. NPV dihitung dengan mempresent-
valuekan seluruh arus kas masuk kemudian diselisihkan dengan present value arus
kas keluar. Pada perhitungan NPV, kita gunakan biaya modal sebagai tingkat
diskonto.
NPV = ∑ CIFᵼ - COF
t=1( 1 + k )ᵗ
Dimana :
CIFᵼ : Cash Inflow pada waktu t yang dihasilkan proyek
K : Biaya Modal
COF : Initial Cash Outflow (diasumsikan terjadi sekarang)
N : Usia proyek
2. Langkah II
Menghitung NAL (Net Advantage to Leasing). NAL adalah penghematan biaya
yang timbul karena kita memilih alternative leasing daripada membeli aktiva tersebut.
NAL = ∑ Ot (1-T) - Rt (1-T) – Dt.T – Vn (1-T) – COF
t=1 ( 1 + rb )ᵗ ( 1 + rb )ᵗ
Dimana :
Ot : Operating Cash Outflow pada waktu t yang terjadi jika aktu dibeli (tidak
leasing). Biasanya terdiri dari Biaya Perawatan dan Asuransi yang pada kontrak lease
akan dibayar oleh lessor.
Rt : Leasing payment tahunan pada waktu t
T : Tingkat pajak pada penghasilan perusahaaan
Dt : Biaya depresiasi aktiva pada waktu t
Vn : Nilai sisa setelah pajak (Salvage Value After Tax) pada waktu n
COF : Harga pembelian aktiva, yang tidak dibayar lessee jika ia mengeluarkan
leasing
Rb : Biaya hutang setelah pajak
Rb = kd( 1 – T )
Kd : Biaya hutang sebelum pajak
3. Langkah III
Membuat keputusan, dimana :
Jika NPV > 0 dan NAL > 0, maka aktiva dapat diperoleh melalui LEASING.
Jika NPV > 0, namun NAL < 0, maka aktiva dapat diperoleh dengan cara
MEMBELI.
Jika NPV < 0 dan NAL > 0, jangan dulu menolak aktiva tersebut sebab akan timbul:
 NPV + NAL > 0, maka aktiva dapat diterima tapi harus diperoleh dengan cara
LEASING.
 NPV + NAL < 0, maka aktiva atau proyek tersebut DITOLAK.
 Jika NPV < 0 dan NAL < 0, maka aktiva atau proyek tersebut DITOLAK.
2.9.Evaluasi Leasing
Setiap rencana lease harus dievaluasi baik oleh lessee maupun lessor. Lessee
harus menentukan apakah me-lease suatu aktiva lebih murah daripada membelinya,
sementara lessor harus memutuskan apakah lease tersebut akan menghasilkan tingkat
pengembalian yang wajar atau tidak. Pada umumnya, terjadinya perjanjian lease
mengikuti urutan yang akan diuraikan berikut ini.
Perusahaan memutuskan untuk emperoleh bangunan atau peralatan tertentu.
Keputusanini didasarkan atas prosedur penganggaran modal yang biasa, dan
keputusan untuk memperoleh aktiva tersebut sudah dilaksanakan sebelum analisis
lease dimulai. Karena itu, dalam analisis lease kita hanya mempertimbangkan apakah
akan membiayai mesin itu dengan lease atau pinjaman.
Setelah perusahaan memutuskan memperoleh suatu aktiva, pertanyaan berikutnya
adalah bagaimana membiayainya. Perusahaan yang dikelola dengan baik tidak
mempunyai banyak uang kas yang menganggur, sehingga aktiva baru harus dibiayai
dengan cara tertentu.
Dana untuk membeli aktiva dapat diperoleh dengan meminjam, dengan menahan
laba, atau dengan menerbitkan saham baru. Cara lain adalah dengan melease aktiva
tersebut. Karena adanya ketentuan kapitalisasi/ pengungkapan dalam FASB #13,
maka lease akan mempunyai pengaruh yang sama seperti pinjamanterhadap struktur
modal lessee.
Lease sebanding dengan pinjaman dalam arti bahwa perusahaan diharuskan untuk
melakukan serangkaian pembayaran tertentu, dan kegagalan untuk memenuhi
kewajiban pembayaran tersebut dapat mengakibatkan kebangkrutan. Jadi, sangat
tepat untuk membandingkan biaya lease dengan biaya utang. Analisis ini, harus
membandingkan biaya leasing dengan biaya utang tanpa memeperhatikan bagaimana
sesungguhnya akiva terebut dibiayai. Aktiva itu sebenarnya dapat saja dibeli dengan
uang kas yang ada, tetapi karena leasing merupakan alternative bagi pembiayaan
dengan utang, maka perbandingan diantara kedua cara pembiayaan itu masih layak.
Pembayaran lease dapat dilakukan pada awal atau akhir tahun.
Kendala-kendala Perkembangan Leasing di Indonesia
Dalam perkembangannya pembiayaan leasing bukan hanya menyangkut
barang-barang industri berat saja tetapi juga masuk kepada kendaraan bermotor dan
perumahan. Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum
maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer
finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya
menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi
objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang
bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian
diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman).
Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara
fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia
kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana dalam
jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan
kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia
terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor
Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat
fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan
fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung
(parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan
hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan
perjanjian pembiayaan mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia, tetapi
ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran
Fidusia untuk mendapat sertifikat. Asas Facta sunt servanda bagi para pihak tidak
dilaksanakan dikarenakan pihak lessor menyembunyikan perjanjian yang
sesungguhnya, yaitu dengan tidak didaftarkan perjanjian fidusia terhadap barang
fidusia di kantor fidusia sehingga I’tikad baik bagi lessor diragukan. Akta semacam
itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan. Pada akhirnya jaminan fidusia
yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang
komplek dan beresiko. Kreditor tidak bisa melakukan hak eksekusinya karena
dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor
terhadap debitor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia
biasanya tidak penuh sesuai dengan nilai barang, atau debitur sudah melaksanakan
kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa
diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor.
Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau
badan pelelangan umum.
Perkembangan leasing yang melalui adanya lembaga pembiayaan, seperti
Asosiasi Leasing Indonesia (ALI) menjadi Asosoasi Perusahaan Pembiayaan
Indonesia (APPI) merupakan keinginan para pelaku bisnis menggapai perkembangan
jenis-jenis pembiayaan, yang satu di antaranya adalah leasing. Timbulnya persoalan-
persoalan antara lessor, supplier dengan lesse dibanyak tempat, seperti yang ditulis
Harian Singgalang pada tanggal 06 November 2010 dengan judul ”Kasus Pengaduan
Konsumen Kasus Leasing Menonjol”, bahwa sebanyak 31 kasus pengaduan
konsumen pada periode Januari-September 2010 sehingga konsumen kembali
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dari 31 kasus
tersebut, dominan kasus leasing mencapai 22 kasus, asuransi 1 kasus karena klaim
konsumen tidak dibayarkan perusahaan terkait sesuai aturan,” kata Kepala Dinas
Perindag Kota Padang, Zabendri, seperti diwartakan Antara.14 Berita ini, paling tidak
menunjukan bahwa leasing perlu diatur secara lebih serius sehingga kepastian hukum
bagi para pihak dapat terjamin.
Penjelasan dalam latar belakang mempertegas bahwa perubahan-perubahan
dalam Buku III KUHPerdata perihal ”Perikatan” khususnya tentang Jual-Beli dan
Sewa-Menyewa dapat saja berubah karena faktor praktek bisnis ditengah-tengah
masyarakat. Permasalahan leasing dimulai ketika perkembangan leasing begitu cepat
tanpa diikuti dengan regulasi yang memadai. Aturan yang ada tentang leasing baru
tahap Surat Keputusan Menteri. Aturan ini menjadi tidak efektif saat terjadi
persoalan-persoalan para pihak yang terlibat dalam perjanjian pembiayaan leasing.
Persoalannya, jika penerima (lessee) tak bisa melunasi pinjamannya, tak ada
jaminan hukum bahwa si pemberi (lessor) bisa mengambil barangnya kembali,
apalagi sekaligus menjatuhkan sanksi. Sebab, KUHPerdata tak mengenal istilah sewa
guna itu. Akibatnya, pada beberapa sengketa leasing yang diperkarakan ke
pengadilan, penyelesaiannya terasa tak tuntas. Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
misalnya, pernah terjadi sengketa antara P.T. Pamor Cipta Inti Leasing Jakarta
dengan C.V. Grapel, pihak pembeli, dan, P.T. Baginda Putra, pihak penjamin. Pada
Juni 1984, C.V. Grapel -- dengan jaminan P.T. Baginda Putra -- membeli secara
leasing satu set mesin cetak seharga Rp 171 juta dari PT Pamor. Dalam perjanjian,
disepakati bahwa C.V. Grapel akan membayar sewa enam juta rupiah per bulan
dalam jangka waktu 3 tahun. Sementara itu, P.T. Baginda Putra sepakat akan
membeli mesin itu kembali jika lessee ingkar janji. Ternyata, tiga bulan kemudian
Grapel menunggak pembayaran sewa. P.T. Baginda, selaku penjamin, lepas tangan.
Karena menemui jalan buntu, P.T. Pamor menggugat kedua perusahaan itu ke
pengadilan. Baik di pengadilan negeri maupun di pengadilan banding PT Pamor
menang. Tapi sengketa belum selesai, karena kedua tergugat kini melanjutkan
perkara ke tingkat kasasi. Hanya saja, pihak P.T. Pamor, pada Oktober 1984, berhasil
menarik kembali mesin-mesin tersebut. "Bagaimanapun juga, dengan berjalannya
waktu, Pamor menanggung kerugian akibat penyusutan nilai ekonomi barang itu,"
kata pengacara P.T. Pamor, Amir Syamsuddin. Tapi Direktur C.V. Grapel, Sunaryo
Djohan, membantah kelalaian pihaknya dengan P.T. Pamor itu. Bagaimana perkara
persisnya, Sunaryo hanya berkata, "Masalah itu sudah kami limpahkan sepenuhnya
kepada pengacara kami, Wiranata." Kerugian P.T. Pamor dalam kasus di atas masih
lebih kecil dibanding yang dialami dengan P.T. Inti Jaya Utama. Seperti juga C.V.
Grapel, P.T. Inti Jaya membeli mesin cetak secara leasing dari Pamor. Belakangan
pembayaran dari Inti Jaya macet. Sengketa berlanjut ke pengadilan. Kendati sudah
pernah ada perintah eksekusi dari pengadilan, sampai kini PT Pamor tak bisa menagih
PT Inti Jaya, dan tak pula menerima kembali barangnya. Agaknya, pihak lessor tetap
akan dirugikan jika pihak lessee mengingkari janjinya. Satu-satunya usaha yang bisa
ditempuh lessor hanyalah melalui gugatan biasa di pengadilan. Tapi upaya itu, selain
memakan waktu biaya, dan tenaga, juga tak bisa menjamin bahwa lessor akan
terhindar dari kerugian. "Beberapa lessee malah menunggu digugat lessor. Sebab,
selama perkara diproses, barang modal tetap berada di tangannya, dan terus
dimanfaatkan tanpa perlu membayar cicilannya," tutur Amir Syamsuddin.
Ketimpangan bisnis sewa guna itu memang akhirnya bersumber pada tiadanya
undang-undang khusus yang mengatur masalah itu. Sebab itu, dalam transaksinya,
perusahaan leasing hanya melakukan kontrak biasa, yang bila terjadi sengketa harus
melalui gugatan perdata di pengadilan. "Kontrak begitu tak punya kekuatan
eksekutorial, tak bisa langsung dieksekusi," kata Amir Syamsuddin. Seharusnya, kata
Amir, kontrak leasing itu bisa disejajarkan dengan hipotek atau pengakuan utang,
yang eksekusinya bisa langsung dilaksanakan pengadilan, tanpa harus melalui proses
gugatan perdata.15
Permasalahan leasing lainnya adalah tentang sumber pendanaan perusahaan
pembiayaan leasing. Persoalan utama yang dihadapi perusahaan leasing adalah
langkanya dana yang tersedia untuk melakukan pembiayaan, termasuk kepada Usaha
Kecil menengah (UKM). Berdasarkan aturan pemerintah, perusahaan leasing hanya
dapat memperoleh dana dari kredit bank, di samping dana yang disetor oleh pemilik
perusahaan. Di samping itu, perusahaan leasing juga tidak memiliki sistem informasi
seperti yang dimiliki bank untuk mengecek calon nasabahnya. Sehingga kepada
setiap calon nasabah yang akan memperoleh pembiayaan, perusahaan leasing
memerlukan pengecekan lebih detail kepada supplier atau competitor. Hal ini perlu
dilakukan karena untuk menyediakan pembiayaan kepada UKM, maka faktor
karakter menjadi persoalan utama. Implikasinya, jika informasi mengenai karakter
UKM sebagai calon nasabah tidak diperoleh, maka perusahaan leasing akan
membatalkan pembiayaan kepada UKM.
BAB III
STUDI KASUS

Anda mungkin juga menyukai