Oleh :
Preseptor :
dr. Fachrurrazi, Sp.An-KIC
BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulispanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “General Anestesi Pada Laparatomi Eksplorasi
General Peritonitis” sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan Klinik
Senior (KKS) di bagian Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh
Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
dr.Fachrurrazi, Sp.An-KIC sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di bagian/SMF
Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
empedu. Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau
ruptur ovarium.
Laparotomi eksplorasi adalah laparotomi dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi yang tidak tersedia melalui metode diagnostik klinis. Hal ini
biasanya dilakukan pada pasien dengan nyeri akut abdomen, pada pasien yang telah
mengalami trauma abdomen, dan kadang-kadang pada pasien dengan keganasan.
Indikasi dilakukannya laparotomy adalah nyeri akut abdomen dan temuan klinis
yang menunjukkan patologi intraabdominal yang membutuhkanoperasi darurat,
trauma abdomen dengan hemoperitoneum dan hemodinamik yang tidak stabil yaitu
nyeri abdomen kronik, perdarahan gastrointestinal yang kontraindikasi
dilakukannya laparotomy adalah ketidak sempurnaan untuk anestesi umum.
Peritonitis dengan sepsis berat, dan kondisi komorbiditas lainnya dapat membuat
pasien tidak layak untuk anestesi umum.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada seluruh lapisan perut
Keluhan tambahan
Mual, muntah dan sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia dengan keluhan nyeri pada seluruh
bagian perut sejak dan memberat 4 hari terakhir. Nyeri perut sangat hebat yang
menyebabkan perut menjadi kaku dan mengeras. Keluhan ini mengganggu aktivitas
pasien sehari-hari.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan mual, muntah dan sesak napas. Pasien
mengaku terjatuh di balai pengajian dengan jarak ± 3 meter dan mengalami
benturan pada dinding perut.
3
4
tengah berada diatas bilah. Dorong pelan-pelan dan hati-hati lebih kedalam
hingga ujung bilah tepat dipangkal lidah. Keseluruhan lidah sudah diatas bilah.
Angkat gagang dan bilah kearah depan (jangan diungkit) sehingga seluruh lidah
epiglotis terangkat dan daerah rima glotidis terlihat jelas, serta terihat pita suara.
8. Ambil pipa ET (arah lengkungan ke depan), arahkan ujung pipa ET menuju
rima glotidis. Pada saat pita suara terbuka, masukkan pipa hingga seluruh cuff
masuk tepat dibawah pita suara.
9. Hubungkan dengan mesin nafas atau mesin anestesi. Berikan oksigen dan
lakukan penilaian apakah pipa ET sudah tepat kedudukannya. Amati
pengembangan dada, apakah simetris dan mengembang besar, serta dengarkan
suara nafas apakah sama antara paru kanan dan paru kiri. Bila terlalu dalam,
tarik pelan-pelan.
10. Setelah semuanya tepat, pasang pipa orofaring, lakukan fiksasi pipa ET dengan
plester dengan kuat.
11. Dipasang selang O2 dengan menggunakan O2 sebanyak 4 liter/menit
12. Pukul 17.55 tindakan anestesi telah selesai
POST OPERATIF
Pukul 21.15 WIB
Pasien masuk ke ruang pemulihan. Dilakukan penilaian terhadap tingkat
kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
80x/menit, respirasi 20 x/menit dan saturasi O2 100%. Kemudian pasien di bawa ke
ruang ICU.
INSTRUKSI POST OP
- Pantau TD, HR, RR dan saturasi oksigen
- Cek darah rutin, elektrolit, albumin
- IVFD KAEN 3B 1500cc/24 jam
- IVFD Clinimix + Linolef 1 fls/hari
- Inj. Meropenem 50 mg/8 jam
- Inj. Metronidazole 250 mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam
Laporan Anestesi
Ahli Anestesiologi : dr. Anna Millizia, M.Ked(An) Sp.An
Ahli Bedah : dr. Muhammad Sayuti, Sp.B (K) BD
Operator : dr. Hendra Kastiaji, Sp.B
Diagnosis prabedah : General Peritonitis
Jenis Operasi : Laparatomi explorasi
Jenis Anestesi : General anastesi – Intubasi Endotracheal Tube
Lama Operasi : 3 jam
Lama Anestesi : 3 jam 15 menit
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
12
13
Appendisitis
Ulkus gaster
Infeksi kandung empedu
Colitis ulseratif/chron’s disease
Trauma
CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
Pankreatitis
3.1.4 Patofisiologi
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-
organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa,
kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis
lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme
pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum
dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus,
kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ
intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya
perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul
ileusparalitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis,
akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.
Demam : Temperatur lebih dari 38ºC, pada kondisi sepsis berat dapat
hipotermia
Mual dan muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera
atau akibat iritasi peritoneum
Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.
Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar
bising usus
Rigiditas abdomen atau sering disebut’perut papan’, terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi
terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai
respon terhadap iritasi peritoneum
Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
Tidak dapat BAB/buang angin.
Distensi perut
2. palpasi
nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler positif
3. Auskultasi
Suara bising usus berkurang sampai hilang
4. Perkusi
Nyeri ketok positif
Hipertimpani akibat dari perut yang kembung
Redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara sehingga
udara akan mengisi rongga peritoneal, pada perkusi hepar terjadi perubahan
suara redup menjadi timpani
3.1.7 Diagnosa
Anamnesa yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostik
tambahan sangat diperlukan untuk membuat suatu diagnosis yang tepat sehingga
pasien dapat di terapi dengan benar.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapat:
Lekositosis (lebih dari 11.000 sel/...L) dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis. Pada pasien dengan sepsis berat, pasien imunokompromais
dapat terjasi lekopenia.
Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.Pada foto polos abdomen
didapatkan:
Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang
Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, berbeda
dengan gambaran ileus obstruksi
Penebalan dinding usus akibat edema
Tampak gambaran udara bebas
16
3.1.8 Terapi
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang
memerlukan pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi
intra abdomen adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi
5. Terapi terbagi menjadi:
a. Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk
mengontrol infeksi, perawatan intensif mempertahankan hemodinamik
tubuh misalnya pemberian cairan intravena untuk mencegah dehidrasi,
pengawasan nutrisi dan ikkeadaan metabolik, pengobatan terhadap
komplikasi dari peritonitis (misalnya insufisiensi respiratorik atau ginjal),
serta terapi terhadap inflamasi yang terjadi.
b. Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses
percutaneus dan percutaneus and endoscopic stent placement.
c. Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi sumber
infeksi, misalnya apendisitis, ruptur organ intra-abomen.
3.2 General Anestesi
3.2.1 Definisi anestesi umum
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien. 2
17
3. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji
laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien diatas 40 tahun ada anjuran EKG dan foto thoraks.
Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan mamfaat minimal uji-uji semacam ini. 19
4. Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan tidak
perlu harus dihindari. 19
5. Klasifikasi Status Anestesia
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseoran
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi
fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping anestesia
tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.22
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi atau mengkonsumsi
alkohol secara minimal
ASA II Pasien dengan gangguan Gangguan sistemik ringan tanpa Batasan
sistemik ringan aktifitas fungsional. Contohnya:
perokok, peminum alcohol social,
wanita hamil, obesitas, well controlled
DM/Hipertensi
ASA III Pasien dengan gangguan Gangguan sistemik berat, dengan
sistemik berat keterbatasan fungsional. Satu/> penyakit
moderat/ sedang hingga berat.
Contohnya: DM tidak terkontrol atau
hipertensi, PPOK, obesitas, hepatitis
aktif, dll
21
3.2.7 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan; Memperlancar induksi anestesi; Mengurangi
sekresi kelenjar ludah dan bronkus; Meminimalkan jumlah obat anestetik;
Mengurangi mual muntah pasca bedah; Menciptakan amnesia; Mengurangi isi
cairan lambung; dan Mengurangi refleks yang membahayakan.20
Obat Golongan Antikholinergik
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat
menekan/menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis. Obat golongan
22
Opioid
Opioid telah digunakkan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Opium
mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids.Morphine, meperidine, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, dan remifentanil merupakan golongan opioid yang sering
digunakan dalam general anestesi. Efek utamanya adalah analgetik.
Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan
lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol.
Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak
menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya
yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia
dalam larutan dengan PH 3,5.
2. Induksi Inhalasi
Nitrous oksida (N2O), kloroform, dan eter adalah agen pembiusan umum
pertama yang diterima secara universal. Etil klorida, etilen, dan siklopropan
kemudian menyusul, dengan zat yang terakhir cukup digemari pada saat itu karena
induksinya yang singkat dan pemulihannya yang cepat tanpa disertai delirium.
Sayang sekali sebagian besar agen-agen anestetik yang telah disebutkan tadi telah
ditarik dari pasaran. 20
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat dari
udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan dengan
zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan dalam
bentuk cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen
anestetik inhalasi lain.
Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat
tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan berbentuk
cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan pengawet timol
berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan. Halotan merupakan
25
anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi dan tahapan anestesia
dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik
dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling murah, dan karena
keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia.
Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur kimia
yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan
enfluran. Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman
anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta
peningkatan frekuensi denyut jantung.
Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya saja
atom klorin pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga kelarutan
desfluran lebih rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih rendah
sehingga memberikan induksi dan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan
isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan, pasien sudah respons terhadap
rangsang verbal). Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat atau
bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme
laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat ¼
kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten
dibanding N2O.
Obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan
pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas
intubasi. Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot
26
b. Atracurium
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam
darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang
c. Vekuronium
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih
besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi
pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler
yang bermakna.
d. Rocuronium
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya
adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama.
o Pemilihan Pelumpuh Otot
Karakteristik pelumpuh otot ideal:Nondepolarisasi, Onset cepat, Duration of
action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan dengan
obat tertentu, Tidak menginduksi pengeluaran histamine, Potensi, dan Sifat tidak
berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki aksi
farmakologi.21
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
c. Setelah ekstubasi
1) Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea),
sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
2)
Laringospasme. 2
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan nyeri pada seluruh
bagian perut sejak dan memberat 4 hari terakhir. Nyeri perut sangat hebat yang
menyebabkan perut menjadi kaku dan mengeras. Keluhan ini mengganggu aktivitas
pasien sehari-hari.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan mual, muntah dan sesak nafas. Pasien
mengaku terjatuh di balai pengajian dengan jarak ± 3 meter dan mengalami
benturan pada dinding perut.
Status pasien ASA III karena pasien bedah, seorang pasien dengan penyakit
sistemik berat yang belum mengancam jiwa. Pada pasien dipilih untuk dilakukan
tindakan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal napas terkendali dengan
pertimbangan keuntungan yang didapat dari tindakan anestesia tersebut.
Keuntungan dari tindakan ini antara lain:
Jalan nafas yang aman dan terjamin karena terpasang ETT
Pasien akan merasa lebih nyaman karena dalam keadaan tertidur, serta terhindar
dari trauma terhadap operasi.
Kondisi pasien lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan operasi.
Waktu pulih sadar lebih cepat dengan kondisi nafas spontan.
Akan tetapi, alasan yang paling utama dipilihnya tehnik anestesi ini ialah karena
jenis operasi yang hendak dilakukan antara lain laparatomi eksplorasi yang
dilakukan di area abdomen dengan anestesi umum sehingga dapat mempengaruhi
airway, oleh karena itu diperlukan adanya intubasi endotrakeal tube agar airway
pasien tetap clear selama operasi. Tujuan utama dilakukannya tindakan operatif ini
yaitu untuk memperbaiki lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen dan organ-
organ abdomen di dalamnya.2,4,5
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca
bedah, sehingga dapat dirancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik. Sebelum
35
36
pasien masuk ke OK, ada beberapa hal yang harus diperiksa antara lain: Surat
persetujuan operasi yang merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga pasien
yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan dilakukan sehingga
bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien tidak akan mengajukan
tuntutan. Pasien mengaku puasa dipuasakan untuk memastikan bahwa lambung
pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan membahayakan pasien.19 Bila
ada gigi palsu sebaiknya dilepaskan. Memakai pakaian operasi yang telah
disediakan di ruang persiapan.
Pasien masuk ke OK 4 dilakukan premedikasi sulfas atrophine 0,25 mg dan
fentanyl 50 mcg. Premedikasi adalah tindakan awal anesthesia dengan memberikan
obat-obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik,
sedasi/trankuilizer, dan analegetik. Dengan tujuan meredakan kecemasan dan
ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan
bronkus, mengurangi rasa mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi reflex yang membahayakan.20,22
Anti emetic yang digunakan adalah ondancentron 4 mg/2 ml untuk
mencegah muntah, jika terjadi muntah akan menyebabkan aspirasi sehingga
menganggu pernapasan. Jadi lebih baik muntah dicegah sebelum timbul. Analgetik
post op Ketorolac 30 mg/ml.
Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan
karena operasi atau pengaruh anestesinya. 2,20
BAB 5
KESIMPULAN
37
DAFTAR PUSTAKA
38
39
5. 2015:407173.
14. Sanei B, Mahmoudieh M, Talebzadeh H, Shahabi Shahmiri S, Aghaei Z. Do patie
nts with penetrating abdominal stab wounds require laparotomy?.Arch Trauma Re
s. 2013 Spring. 2 (1):21-5.
15. O'Malley E, Boyle E, O'Callaghan A, Coffey JC, Walsh SR. Role of laparoscopy i
n penetrating abdominal trauma: a systematic review.World J Surg. 2013 Jan. 37(1
):113-22.
16. Stanley, MonkhouseMA, MB, BChir, PhD (2006).Cranial Nerve Functional Anato
my. Cambridge University Press. ISBN-13 978-0-511-13272-8.
17. Miller’s Anesthesia. Ronald D Milller, International Edition, Volume 2. 2010. p(2
364-66)