Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus

GENERAL ANESTESI PADA LAPARATOMI


EKSPLORASI GENERAL PERITONITIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Anjas Wira Sukma Alviawan Supandi, S.Ked


150611002

Preseptor :
dr. Fachrurrazi, Sp.An-KIC

BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulispanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “General Anestesi Pada Laparatomi Eksplorasi
General Peritonitis” sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepanitraan Klinik
Senior (KKS) di bagian Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh
Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
dr.Fachrurrazi, Sp.An-KIC sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di bagian/SMF
Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
pihak.

Lhokseumawe, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS ................................. Error! Bookmark not defined.
2.1 Identitas Pasien ........................................ Error! Bookmark not defined.
2.2 Anamnesis ............................................... Error! Bookmark not defined.
2.3 Pemeriksaan Fisik.................................... Error! Bookmark not defined.
2.4 Pemeriksaan Penunjang ........................... Error! Bookmark not defined.
2.5 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA .................................... 5
2.6 Rencana Pembedahan ............................................................................... 5
2.7 Rencana Anestesi ..................................................................................... 5
2.8 Laporan Anestesi ...................................................................................... 5
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 12
3.1 General Peritonitis .................................................................................... 1
3.2 General Anestesi ....................................................................................... 1
3.3 Intubasi Endotrakeal Tube ...................................................................... 30
BAB 4 PEMBAHASAN ........................................................................................ 1
BAB 5 KESIMPULAN ......................................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 1

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi berasal dari bahasa Yunani, an- yang berarti “tanpa” dan aisthēsi,
yaitu sensasi, secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh.1 Terdapat beberapa tipe anestesi, yaitu anestesi umum, regional,
dan lokal. Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,
analgesia dan relaksasi otot.2
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum dideskripsikan secara
klasik sebagai empat keadaan, yaitu hypnosis (biasa diartikan tidur dan hilangnya
kesadaran), amnesia, analgesia, dan relaksasi otot. Anestesi umum juga termasuk
mengendalikan pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh
selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi,
maintenance, dan pemulihan. Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah
Endotrakea Tube (ETT) dan Laringeal Mask Airway (LMA).2,3
Bedah atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan
carainvasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani.
Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan.Setelah bagian
yang akan ditanganiditampilkan dilakukan tindakan perbaikan yang akan diakhiri
dengan penutupan dan penjahitan luka. Operasi merupakan tindakan pembedahan
pada suatu bagiantubuh.Pembedahan merupakan suatu tindakan yang dilakukan di
ruang operasi rumah sakitdengan prosedur yang sudah ditetapkan.
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi
rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit
akut, dan merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun
umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks
atau divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam
lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung

1
2

empedu. Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau
ruptur ovarium.
Laparotomi eksplorasi adalah laparotomi dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi yang tidak tersedia melalui metode diagnostik klinis. Hal ini
biasanya dilakukan pada pasien dengan nyeri akut abdomen, pada pasien yang telah
mengalami trauma abdomen, dan kadang-kadang pada pasien dengan keganasan.
Indikasi dilakukannya laparotomy adalah nyeri akut abdomen dan temuan klinis
yang menunjukkan patologi intraabdominal yang membutuhkanoperasi darurat,
trauma abdomen dengan hemoperitoneum dan hemodinamik yang tidak stabil yaitu
nyeri abdomen kronik, perdarahan gastrointestinal yang kontraindikasi
dilakukannya laparotomy adalah ketidak sempurnaan untuk anestesi umum.
Peritonitis dengan sepsis berat, dan kondisi komorbiditas lainnya dapat membuat
pasien tidak layak untuk anestesi umum.
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. DA
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
MR : 13.17.20
Alamat : Ds. Cot Bada Kec. Bireun
Pekerjaan : Siswa
Perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
Suku : Aceh
Ruangan : Vip Melati
Tgl Masuk Rumah sakit : 15 Oktober 2019
Tanggal Operasi : 15 Oktober 2019

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri pada seluruh lapisan perut
Keluhan tambahan
Mual, muntah dan sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia dengan keluhan nyeri pada seluruh
bagian perut sejak dan memberat 4 hari terakhir. Nyeri perut sangat hebat yang
menyebabkan perut menjadi kaku dan mengeras. Keluhan ini mengganggu aktivitas
pasien sehari-hari.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan mual, muntah dan sesak napas. Pasien
mengaku terjatuh di balai pengajian dengan jarak ± 3 meter dan mengalami
benturan pada dinding perut.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

3
4

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada
Riwayat pribadi dan kebiasaan
Tidak ada
Riwayat sosial ekonomi
Pasien menggunakan BPJS
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis / E4M6V5
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Frekuansi Nadi : 140x/menit
Frekuensi Napas : 40x/menit
Suhu : 37,8°C
Status Generalis
Kepala Normosefali, edema (-), scar (-) rambut tidak mudah dicabut
Mata Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga Normotia (+/+)
Hidung Bentuk normal, tidak ada deviasi septum
Mulut Bibir edema (-), sianosis (-)
Tenggorokan Pembesaran tonsil (-/-)
Leher Pembesaran KGB (-), trakea ditengah tidak deviasi.
Paru
Inspeksi: Pergerakan dan bentuk dada simetris kanan dan kiri,
jejas (-), scar (-)
Palpasi : stem fremitus (+/+) kanan = kiri
Perkusi: sonor (+/+)
Thoraks Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Tidak ada thrill
Perkusi: Redup, batas jantung normal
Auskultasi: BJI>BII reguler
5

Inspeksi : distensi abdomen


Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, terdapat defans
Abdomen muskuler. Nyeri tekan di seluruh regio abdomen
Perkusi : Tympani.
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas atas: edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas
Ekstremitas bawah: edema (-/-) sianosis (-/-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium tgl 15 Oktober 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 13.6 g/dL 12-16
3
Eritrosit 4.80 jt/mm 3.8-5.8
3
Leukosit 3.98 rb/mm 4-11
Hematokrit 39.5 % 37-47
MCV 82.1 fl 79-99
MCH 28.3 pg 27-32
MCHC 34.4 g% 33-37
RDW-CV 12.3 % 11,5-14,5
3
Trombosit 287 rb/mm 150-450
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 74 mg/dL 110-200

2.5 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA


Status fisik ASA 3 emergency
2.6 Rencana Pembedahan
Laparatomy explorasi
2.7 Rencana Anestesi
General Anestesi – Intubasi Endotracheal Tube
2.8 Laporan Anestesi
PRA ANESTESI
Persiapan pasien
Di ruang IGD
Pasien dirujuk ke Rumah Sakit Umum Cut Meutia dan dikonsultasikan ke dr.
Anna Millizia, M.Ked(An) Sp.An, pada tanggal 15 Oktober 2019 untuk persetujuan
6

dilakukan tindakan operasi. Setelah mendapatkan persetujuan, pasien disiapkan


untuk tindakan laparotomy explorasi emergency. Diberikan juga informasi kepada
keluarga pasien, antara lain:
 Informed consent: bertujuan untuk memberitahukan kepada keluarga pasien
tindakan medis akan apa yang akan dilakukan kepada pasien, bagaimana
pelaksanaanya, kemungkinan hasilnya, risiko tindakan yang akan dilakukan.
 Surat persetujuan operasi: merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan
dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien
tidak akan mengajukan tuntutan.
Persiapan operasi yang dianjurkan kepada pasien adalah:
 Pasien tidak diperbolehkan makan dan minum terlebih dahulu.
 Rencana post-op pasien adalah pasien di rawat di ICU beberapa hari sampai
keadaan umum pasien membaik.
Di Ruang Persiapan
 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan dan sudah
terpasang infus RL.
Persiapan alat anestesi :
ETT Connector Orotracheal airway
Monitor Sphygmomanometer Pulse Oxymetri
Suction Guedel Balon pernafasan
Stetoskop Laringoskop Sungkup muka
Mesin Anestesi Gel Spuit
Infus set+abocath Kasa steril
Persiapan obat-obatan anestesi
a. Analgetik : Fentanyl, Ketorolac
b. Hipnotik Sedatif : Propofol
c. Maintanance anastesi : Isoflurane , N2O, O2
d. Obat emergency : Sulfas atropine
e. Obat reserve : Sulfas atropine
f. Obat tambahan lainnya : Ondansetron, ceftriaxone, dexamethasone
7

Rencana terapi cairan intraoperatif


Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.
M (Maintenance)
2 cc/ kgBB/ jam = 2 cc/ 24 kg/ jam 48 cc / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi besar, maka kebutuhan cairannya adalah:
4 ml x kgBB  8 ml x 24 kg  192 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 4 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M  4 x 48 ml  192 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P  (48 + 192 + 96) ml = 336 ml
Jam kedua  M + O + ⅟4 P  (48 + 192 + 48) ml = 288 ml
Jam ketiga  M + O + ⅟4 P  (48 + 192 + 48) ml = 288 ml
INTRA ANESTESI
15 Oktober 2019 pukul 12.00 WIB
1. Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian
dilakukan pemasangan manset dan oksimeter.
2. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di awal
atau penilaian pra induksi (Pukul 11.50 WIB) :
Kesadaran: Compos Mentis, TD= 140/80 mmHg, nadi= 90 x/menit, saturasi
O2: 99%.
3. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.
4. Posisikan pasien dalam kondisi normal. Pada pasien berikan bantal setebal
dibawah kepala (air sniffing position).
5. Posisi kepala pasien netral, pandangan tegak lurus keatas.
6. Buka mulut pasien, masukkan laringoskop yang sudah siap dengan cara pegang
gagang dengan tangan kiri, masukkan bilah kedalam mulut secara miring dan
serong kearah mukosa pipi kanan.
7. Masukkan hati-hati hingga ujung bilah mendekati pangkal lidah, geser pelan-
pelan arahkan bilah kebagian tengah lidah, sehingga lidah bagian depan dan
8

tengah berada diatas bilah. Dorong pelan-pelan dan hati-hati lebih kedalam
hingga ujung bilah tepat dipangkal lidah. Keseluruhan lidah sudah diatas bilah.
Angkat gagang dan bilah kearah depan (jangan diungkit) sehingga seluruh lidah
epiglotis terangkat dan daerah rima glotidis terlihat jelas, serta terihat pita suara.
8. Ambil pipa ET (arah lengkungan ke depan), arahkan ujung pipa ET menuju
rima glotidis. Pada saat pita suara terbuka, masukkan pipa hingga seluruh cuff
masuk tepat dibawah pita suara.
9. Hubungkan dengan mesin nafas atau mesin anestesi. Berikan oksigen dan
lakukan penilaian apakah pipa ET sudah tepat kedudukannya. Amati
pengembangan dada, apakah simetris dan mengembang besar, serta dengarkan
suara nafas apakah sama antara paru kanan dan paru kiri. Bila terlalu dalam,
tarik pelan-pelan.
10. Setelah semuanya tepat, pasang pipa orofaring, lakukan fiksasi pipa ET dengan
plester dengan kuat.
11. Dipasang selang O2 dengan menggunakan O2 sebanyak 4 liter/menit
12. Pukul 17.55 tindakan anestesi telah selesai

Pukul 17.45 WIB


 Tindakan anestesi dimulai
 Injeksi Sulfas atropine 0,25 mg, Fentanyl 2cc dan Propofol 10 cc
 TD : 140/80mmHg, HR : 89x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
9

Pukul 17.50 WIB

 Pemasangan intubasi endotracheal tube

Pukul 17.55 WIB


 Tindakan anestesi selesai dilakukan
 TD : 142/80mmHg, HR : 90x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 18.00 WIB


 Tindakan pembedahan dimulai
 TD : 148/80mmHg, HR : 90x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 18.05 WIB

 Injeksi ceftriaxone 2 g (2vial =10cc)


 Injeksi sulfas atrophine 0,25 mg (1 amp)

Pukul 18.10 WIB

 Injeksi fentanyl 0.05mg/ml (50mcg/ml) sebanyak ½ cc

Pukul 18.15 WIB


 TD : 120/80mmHg, HR : 92x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
 Injeksi Ondansetron 4 mg

Pukul 18.25 WIB

 Injeksi Ketorolac 30 mg (1amp)

Pukul 18.30 WIB


 TD : 130/80mmHg, HR : 92x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
 Cairan infus Ringer Laktat 1telah habis sebanyak 500 ml, digantikan dengan
infus Ringer Laktat 2
 Injeksi dexamethasone 5mg (1 amp)
Pukul 18.45 WIB
 TD : 130/60mmHg, HR : 90x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
10

Pukul 19.00 WIB


 TD : 132/60mmHg, HR : 100x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 19.15 WIB


 TD : 100/60mmHg, HR : 100/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 19.30 WIB


 TD : 110/60mmHg, HR : 110x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 19.45 WIB


 TD : 110/60mmHg, HR : 110x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 20.00 WIB


 TD : 110/70mmHg, HR : 110x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 20.15 WIB


 TD : 110/70mmHg, HR : 110x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 20.30 WIB


 TD : 120/70mmHg, HR : 100x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 20.45 WIB


 TD : 120/70mmHg, HR : 100x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 21.00 WIB


 TD : 120/70mmHg, HR : 70x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%
 Pembedahan selesai
 Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan
 Pasien dibangunkan
 Manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.
 Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang pemulihan
atau recovery room (RR).
11

POST OPERATIF
Pukul 21.15 WIB
Pasien masuk ke ruang pemulihan. Dilakukan penilaian terhadap tingkat
kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
80x/menit, respirasi 20 x/menit dan saturasi O2 100%. Kemudian pasien di bawa ke
ruang ICU.
INSTRUKSI POST OP
- Pantau TD, HR, RR dan saturasi oksigen
- Cek darah rutin, elektrolit, albumin
- IVFD KAEN 3B 1500cc/24 jam
- IVFD Clinimix + Linolef 1 fls/hari
- Inj. Meropenem 50 mg/8 jam
- Inj. Metronidazole 250 mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam
Laporan Anestesi
 Ahli Anestesiologi : dr. Anna Millizia, M.Ked(An) Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Muhammad Sayuti, Sp.B (K) BD
 Operator : dr. Hendra Kastiaji, Sp.B
 Diagnosis prabedah : General Peritonitis
 Jenis Operasi : Laparatomi explorasi
 Jenis Anestesi : General anastesi – Intubasi Endotracheal Tube
 Lama Operasi : 3 jam
 Lama Anestesi : 3 jam 15 menit
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 General Peritonitis


3.1.1 Definisi
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi
rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit
akut,danmerupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum,
melalui proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau
divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung
pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu.
Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur
ovarium.

3.1.2 Klasifikasi dan etiologi


Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:
1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan ektopik
terganggu
2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab
obstruksi vena porta pada sirosis hati, malignitas.
3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus
alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi, radang,
trauma
4. Radang, yaitu pada peritonitis

3.1.3 Faktor risiko


Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian peritonitis, yaitu:
 Penyakit hati dengan ascites
 Kerusakan ginjal
 Compromised immune system
 Pelvic inflammatory disease

12
13

 Appendisitis
 Ulkus gaster
 Infeksi kandung empedu
 Colitis ulseratif/chron’s disease
 Trauma
 CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis)
 Pankreatitis

3.1.4 Patofisiologi
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-
organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa,
kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis
lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme
pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum
dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus,
kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ
intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya
perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul
ileusparalitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis,
akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.

3.1.5 Gejala klinis


Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri
dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya disatu tempat
ataupun tersebar di seluruh abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan
saat penderita bergerak.Gejala lainnya meliputi:
14

 Demam : Temperatur lebih dari 38ºC, pada kondisi sepsis berat dapat
hipotermia
 Mual dan muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera
atau akibat iritasi peritoneum
 Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.
 Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar
bising usus
 Rigiditas abdomen atau sering disebut’perut papan’, terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi
terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai
respon terhadap iritasi peritoneum
 Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
 Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
 Tidak dapat BAB/buang angin.

3.1.6 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik pada peritonitis dilakukan dengan cara yang sama
seperti pemeriksaan fisik lainnya yaitu dengan:
1. Inspeksi
 Pasien tampak dalam mimik menderita
 Tulang pipi tampak menonjol dengan pipi yang cekung, mata cekung
 Lidah sering tampak kotor tertutup kerak putih, kadang putih
kecoklatan
 Pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal tidak
tampak karena dengan pernafasan abdominal akan terasa nyeri akibat
perangsangan peritoneum
15

 Distensi perut
2. palpasi
 nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler positif
3. Auskultasi
 Suara bising usus berkurang sampai hilang
4. Perkusi
 Nyeri ketok positif
 Hipertimpani akibat dari perut yang kembung
 Redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara sehingga
udara akan mengisi rongga peritoneal, pada perkusi hepar terjadi perubahan
suara redup menjadi timpani

3.1.7 Diagnosa
Anamnesa yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostik
tambahan sangat diperlukan untuk membuat suatu diagnosis yang tepat sehingga
pasien dapat di terapi dengan benar.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapat:
 Lekositosis (lebih dari 11.000 sel/...L) dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis. Pada pasien dengan sepsis berat, pasien imunokompromais
dapat terjasi lekopenia.
 Asidosis metabolik dengan alkalosis respiratorik.Pada foto polos abdomen
didapatkan:
 Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang
 Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, berbeda
dengan gambaran ileus obstruksi
 Penebalan dinding usus akibat edema
 Tampak gambaran udara bebas
16

 Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga pasien


perludikoreksi cairan, elektrolit, dan asam basanya agar tidak
terjadi syok hipovolemik
 Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah dengan USG
abdomen, CT scan, dan MRI

3.1.8 Terapi
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang
memerlukan pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi
intra abdomen adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi
5. Terapi terbagi menjadi:
a. Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk
mengontrol infeksi, perawatan intensif mempertahankan hemodinamik
tubuh misalnya pemberian cairan intravena untuk mencegah dehidrasi,
pengawasan nutrisi dan ikkeadaan metabolik, pengobatan terhadap
komplikasi dari peritonitis (misalnya insufisiensi respiratorik atau ginjal),
serta terapi terhadap inflamasi yang terjadi.
b. Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses
percutaneus dan percutaneus and endoscopic stent placement.
c. Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi sumber
infeksi, misalnya apendisitis, ruptur organ intra-abomen.
3.2 General Anestesi
3.2.1 Definisi anestesi umum
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien. 2
17

3.2.2 Teori anestesi umum


Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum, diantaranya
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid
Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya berhubungan
langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut di dalam
lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi
(volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect).
Potensi analgesia gas – gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap
tekanan gas – gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi
tergantung dari konsentrasi molekul – molekul bebas aktif.
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-
crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi
molekul – molekul obatnya dengan molekul – molekul di otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan
interaksi dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu
membran).3

3.2.3 Tujuan anestesi umum


Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi
otonom.2,3

3.2.4 Keuntungan dan kerugian anestesi umum


Keuntungan dari penggunaan anestesi ini adalah dapat mencegah terjadinya
kesadaran intraoperasi; efek relaksasi otot yang tepat dalam jangka waktu yang
lama; memungkinkan untuk pengontrolan jalan, sistem, dan sirkulasi penapasan;
dapat digunakan pada kasus pasien hipersensitif terhadap zat anestesi lokal; dapat
diberikan tanpa mengubah posisi supinasi pasien; dapat disesuaikan secara mudah
apabila waktu operasi perlu diperpanjang; dan dapat diberikan secara cepat dan
reversibel. Anestesi umum juga memiliki kerugian, yaitu membutuhkan perawatan
yang lebih rumit; membutuhkan persiapan pasien pra operasi; dapat menyebabkan
18

fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi aktif; berhubungan dengan


beberapa komplikasi seperti mual muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala,
menggigil, dan terlambatnya pengembalian fungsi mental normal; serta
berhubungan dengan hipertermia maligna, kondisi otot yang jarang dan bersifat
keturunan apabila terpapar oleh anestesi umum dapat menyebabkan peningkatan
suhu tubuh akut dan berpotensi letal, hiperkarbia, asidosis metabolik dan
hiperkalemia.2

3.2.5 Syarat, kontraindikasi dan komplikasi anestesi umum


Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang
cukup untuk tindakan operasi
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus, cepat dan tidak menimbulkan
ESO yang berlangsung lama
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis
derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi
Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol,
infeksi akut, sepsis, GNA.
Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan.
Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang
bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat – obatan yang
mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya
diturunkan. Pasien dengan gangguan ginjal, obat – obatan yang diekskresikan
melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi
paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula
darah, obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes
basedow karena dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
19

Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan


anestesi telah dilakukan dengan sebaik – baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan
oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul
pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular
berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 %
dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode
induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya
pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan – kebutuhan
miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila
tidak tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi,
tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.2

3.2.6 Penilaian anestesi


1. Anamnesis
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca
bedah, sehingga dapat dirancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.2
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Penyulit pada
saat intubasi dapat dilihat pada tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal
dan lidah dijulurkan maksimal. Menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi: 2
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
20

3. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji
laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien diatas 40 tahun ada anjuran EKG dan foto thoraks.
Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan mamfaat minimal uji-uji semacam ini. 19
4. Kebugaran untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan tidak
perlu harus dihindari. 19
5. Klasifikasi Status Anestesia
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseoran
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi
fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping anestesia
tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.22
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi atau mengkonsumsi
alkohol secara minimal
ASA II Pasien dengan gangguan Gangguan sistemik ringan tanpa Batasan
sistemik ringan aktifitas fungsional. Contohnya:
perokok, peminum alcohol social,
wanita hamil, obesitas, well controlled
DM/Hipertensi
ASA III Pasien dengan gangguan Gangguan sistemik berat, dengan
sistemik berat keterbatasan fungsional. Satu/> penyakit
moderat/ sedang hingga berat.
Contohnya: DM tidak terkontrol atau
hipertensi, PPOK, obesitas, hepatitis
aktif, dll
21

ASA IV Pasien dengan penyakit Contohnya termasuk: (<3bulan) MI,


sistemik berat yangiskemia jantung yang sedang
mengancam jiwa
berlangsung atau disfungsi katup berat,
kehidupan setiap saat. penurunan berat fraksi ejeksi,sepsis,
DIC, ESRD yang tidak menjalani
dialisiss secara teratur
ASA V Pasien sakit berat yang Kemungkinan tidak bertahan hidup >24
kemungkinan tidak jam tanpa tindakan operasi,
selamat tanpa operasi kemungkinan meninggal dalam waktu
dekat (kegagalan multiorgan, sepsis
dengan hemodinamik tidak stabil,
hipotermia, koagulopati tida terkontrol
ASA VI Pasien dengan brain dead
yang organnya akan
diambil untuk didonorkan
6. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada
pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan resiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anesthesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesia.Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas diperbolehkan 1 jam sebelum
induksi anesthesia. 19

3.2.7 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan; Memperlancar induksi anestesi; Mengurangi
sekresi kelenjar ludah dan bronkus; Meminimalkan jumlah obat anestetik;
Mengurangi mual muntah pasca bedah; Menciptakan amnesia; Mengurangi isi
cairan lambung; dan Mengurangi refleks yang membahayakan.20
 Obat Golongan Antikholinergik
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat
menekan/menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis. Obat golongan
22

antikholinergik yang digunakan dalam praktik anesthesia adalah preparat Alkaloid


Belladona, yang turunannya adalah Sulfas atropine, Skopolamin.
 Obat Golongan Sedatif/Trankuilizer
Obat golongan sedatif adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan
menimbulkan rasa kantuk.Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk
memberikan suasana nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan
takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan lingkunganny.Untuk keperluan
ini, obat golongan sedatif/trankuilizer yang sering digunakan adalah:
1. Derivate fenothiazin
2. Derivate benzodiazepine
3. Derivate butirofenon
4. Derivate barbiturate
5. Antihistamin
 Golongan Analgetik Narkotik atau Opioid
Berdasarkan struktur kimia, anelgetik narkotik atau opioid dibedakan menjadi
3 kelompok:
1. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein
2. Derivat semisintetik: diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon,
hidrokodon dan oksikodon.
3. Derivat sintetik
 Fenilpiperidine : petidin, fentanil,sulfafentanil dan alfentanil
 Benzmorfans : pentazosin, fenazosin dan siklazosin
 Morfinans : lavorvanol
 Propionanilides : metadon
 Tramadol

3.2.8 Induksi anestesi


Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, intramuscular atau rektal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan
23

pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai


induksi anestesia selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan,
sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan
lebih baik. 20
1. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, pelahan-lahan, lembut dan terkendali. Selama induksi
anestesia, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selau
diberikan oksigen. Induksi ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
 Teknik Anestesi
Teknik anestesia merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan
obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut
digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. induksi
anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan
juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional.
 Jenis Obat Anestesi
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat
anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti,
Tiopenton, Diazepam , Degidrobenzperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
Berikut ini akan dijelaskan lebih jauh mengenai obat – obat anestesi intravena
tersebut.
 Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan
lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml=10 mg).
 Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki
struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya
disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti
anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.
24

 Opioid
Opioid telah digunakkan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Opium
mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids.Morphine, meperidine, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, dan remifentanil merupakan golongan opioid yang sering
digunakan dalam general anestesi. Efek utamanya adalah analgetik.
 Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan
lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol.
Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak
menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya
yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia
dalam larutan dengan PH 3,5.
2. Induksi Inhalasi
Nitrous oksida (N2O), kloroform, dan eter adalah agen pembiusan umum
pertama yang diterima secara universal. Etil klorida, etilen, dan siklopropan
kemudian menyusul, dengan zat yang terakhir cukup digemari pada saat itu karena
induksinya yang singkat dan pemulihannya yang cepat tanpa disertai delirium.
Sayang sekali sebagian besar agen-agen anestetik yang telah disebutkan tadi telah
ditarik dari pasaran. 20
 Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat dari
udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan dengan
zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan dalam
bentuk cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen
anestetik inhalasi lain.
 Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat
tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan berbentuk
cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan pengawet timol
berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan. Halotan merupakan
25

anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi dan tahapan anestesia
dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik
dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling murah, dan karena
keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia.
 Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur kimia
yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan
enfluran. Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman
anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta
peningkatan frekuensi denyut jantung.
 Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya saja
atom klorin pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga kelarutan
desfluran lebih rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih rendah
sehingga memberikan induksi dan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan
isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan, pasien sudah respons terhadap
rangsang verbal). Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat atau
bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme
laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat ¼
kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten
dibanding N2O.
 Obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan
pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas
intubasi. Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot
26

depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif,


takikurare). 21
o Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps
tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti
relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan
dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar
dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini
sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang
mencapai neuromuscular junction. Duration of actionakan memanjang pada dosis
besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada
kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa
orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan
blokade yang memanjang.
o Pelumpuh otot non depolarisasi
a. Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja pada menit
kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi pada pemberian
berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selamg waktu diperpanjang.
Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis
rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena.
Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
27

b. Atracurium
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam
darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek
akumulasi pada pemberian berulang
c. Vekuronium
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih
besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi
pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler
yang bermakna.
d. Rocuronium
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya
adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama.
o Pemilihan Pelumpuh Otot
Karakteristik pelumpuh otot ideal:Nondepolarisasi, Onset cepat, Duration of
action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan dengan
obat tertentu, Tidak menginduksi pengeluaran histamine, Potensi, dan Sifat tidak
berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki aksi
farmakologi.21

3.2.9 Teknik anestesi umum


a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
 Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
 Keadaan umum baik (ASA I – II)
 Lambung harus kosong
Prosedur :
 Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
 Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
28

 Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat


penenang)efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non
opioid, dll
 Induksi
 Pemeliharaan
b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal.
Indikasi : operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan
kepala)
Prosedur :
 Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
 Intubasi setelah induksi dan suksinil
 Pemeliharaan
Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong
kepala sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi
sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok)
atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas
(alat resusitasi )
29

c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)


Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi
selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek
anestesinya.
 Teknik sama dengan diatas
 Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
 Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya

3.2.10 Skor pemulihan pasca anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama
yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih
dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau
masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
A. Aldrete Score
Nilai Warna
 Merah muda, 2
 Pucat, 1
 Sianosis, 0
Pernapasan
 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
 Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi, 2
 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
30

 Tidak berespons, 0
Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
 Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

B. Steward Score (anak-anak)


Pergerakan
 Gerak bertujuan 2
 Gerak tak bertujuan 1
 Tidak bergerak 0
Pernafasan
 Batuk, menangis 2
 Pertahankan jalan nafas 1
 Perlu bantuan 0
Kesadaran
 Menangis 2
 Bereaksi terhadap rangsangan 1
 Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

3.3 Intubasi Endotrakeal Tube


3.3.1 Definisi
Intubasi trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam trakhea
melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief, 2007). Tindakan intubasi
trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap
melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. 2
31

3.3.2 Ukuran ETT


Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang
mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan
nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya.
Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan
nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan
balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa
digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan
perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007). Untuk intubasi oral panjang pipa yang
masuk 20 – 23 cm. 2
Pada anak-anak dipakai rumus:2
 Diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)
 Rumus lain: (umur + 2)/2
 Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar
dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan
melihat besarnya jari kelingkingnya.

3.3.3 Indikasi intubasi trakhea


Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut (Latief, 2007): 2
1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. 2
32

3.3.4 Kotraindikasi ETT


Ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan pada
saat dilakukan intubasi, antara lain: 2
a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher,
atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
d. Benda asing
e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
f. Obesitas
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi
moncong.

3.3.5 Pemasangan intubasi endotrakheal


Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut: 2
a. Persiapan Alat (STATICS)
b. Pelaksanaan
1) Mesin siap pakai
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
6) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis, dorong
blade sampai pangkal epiglotis
33

12) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%


13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan kanan
14) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan nafas
kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak terdengar
16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

3.3.6 Komplikasi intubasi


Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan nafas,
salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang biasa terjadi
adalah:
a. Saat Intubasi
1) Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon
dilaring.
2) Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah,
dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
3) Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra
okuler, laringospasme
4) Kebocoran balon.

b. Saat ETT di tempatkan


1) Malposisi (kesalahan letak)
2) Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa
hidung.
3) Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.
34

c. Setelah ekstubasi
1) Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea),
sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
2)
Laringospasme. 2
BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan nyeri pada seluruh
bagian perut sejak dan memberat 4 hari terakhir. Nyeri perut sangat hebat yang
menyebabkan perut menjadi kaku dan mengeras. Keluhan ini mengganggu aktivitas
pasien sehari-hari.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan mual, muntah dan sesak nafas. Pasien
mengaku terjatuh di balai pengajian dengan jarak ± 3 meter dan mengalami
benturan pada dinding perut.
Status pasien ASA III karena pasien bedah, seorang pasien dengan penyakit
sistemik berat yang belum mengancam jiwa. Pada pasien dipilih untuk dilakukan
tindakan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal napas terkendali dengan
pertimbangan keuntungan yang didapat dari tindakan anestesia tersebut.
Keuntungan dari tindakan ini antara lain:
 Jalan nafas yang aman dan terjamin karena terpasang ETT
 Pasien akan merasa lebih nyaman karena dalam keadaan tertidur, serta terhindar
dari trauma terhadap operasi.
 Kondisi pasien lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan operasi.
 Waktu pulih sadar lebih cepat dengan kondisi nafas spontan.
Akan tetapi, alasan yang paling utama dipilihnya tehnik anestesi ini ialah karena
jenis operasi yang hendak dilakukan antara lain laparatomi eksplorasi yang
dilakukan di area abdomen dengan anestesi umum sehingga dapat mempengaruhi
airway, oleh karena itu diperlukan adanya intubasi endotrakeal tube agar airway
pasien tetap clear selama operasi. Tujuan utama dilakukannya tindakan operatif ini
yaitu untuk memperbaiki lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen dan organ-
organ abdomen di dalamnya.2,4,5
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca
bedah, sehingga dapat dirancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik. Sebelum

35
36

pasien masuk ke OK, ada beberapa hal yang harus diperiksa antara lain: Surat
persetujuan operasi yang merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga pasien
yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan dilakukan sehingga
bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien tidak akan mengajukan
tuntutan. Pasien mengaku puasa dipuasakan untuk memastikan bahwa lambung
pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan membahayakan pasien.19 Bila
ada gigi palsu sebaiknya dilepaskan. Memakai pakaian operasi yang telah
disediakan di ruang persiapan.
Pasien masuk ke OK 4 dilakukan premedikasi sulfas atrophine 0,25 mg dan
fentanyl 50 mcg. Premedikasi adalah tindakan awal anesthesia dengan memberikan
obat-obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikolinergik,
sedasi/trankuilizer, dan analegetik. Dengan tujuan meredakan kecemasan dan
ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan
bronkus, mengurangi rasa mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi reflex yang membahayakan.20,22
Anti emetic yang digunakan adalah ondancentron 4 mg/2 ml untuk
mencegah muntah, jika terjadi muntah akan menyebabkan aspirasi sehingga
menganggu pernapasan. Jadi lebih baik muntah dicegah sebelum timbul. Analgetik
post op Ketorolac 30 mg/ml.
Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan
karena operasi atau pengaruh anestesinya. 2,20
BAB 5
KESIMPULAN

Sebelum melakukan pembedahan elektif, pasien harus disiapkan supaya


berada dalam keaadaan bugar. Pasien tergolong ASA 3 berdasarkan status fisik. Hal
ini dikarenakan seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang belum
mengancam jiwa.
Pada operasi ini, digunakan anastesi umum dengan pemasangan ETT nafas
terkendali supaya memastikan bahwa jalan nafas yang selalu berada dalam kondisi
terbuka dan mendapatkan ventilasi yang adekuat selama operasi, serta mencegah
terjadinya aspirasi atau regurgitasi yang dapat menjadi penyulit semasa operasi.
Tehnik anestesi ini dapat juga digunakan untuk operasi dengan durasi yang lama
dan pada kondisi-kondisi yang sulit untuk mempertahankan jalan nafas bebas
dengan sungkup muka.
Sejak tindakan pembedahan pertama hingga terakhir telah tercapai trias
anestesia dengan pemberian obat-obatan anestesi seperti : fentanyl sebagai
analgesik, atracurium sebagai relaksan, propofol sebagai induksi, dan isofluran
sebagai obat anestesi inhalasi dan juga sebagai maintanance anastesia bekerja
dengan baik.
Setelah operasi selesai, pasien segera dipindahkan ke ruang recovery room.
Pasien segera diperiksa nilai kesadarannya, tekanan darah, respiratory rate, heart
rate dan keadaan umum. Hasil tindakan anestesi yang baik didapatkan dengan
persiapan yang baik dan tepat dengan dimulainya praanestesi, premedikasi,
pemilihan teknik anestesi, pemilihan obat-obatan anestesi serta melakukan
pengawasan tanda-tanda vital selama operasi dan tindakan pasca operasi.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Robinson, DH., Toledo, AH., 2012. Historical development of modern anesthesia.


J Invest Surg. 25 (3): 141-9.
2. Latief, A.S., Petunjuk Praktis Anesthesiologi Edisi Kedua, Bagian Anesthesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2007
3. Laurance, L. Brunton., 2006. Goodman, Gilman’s The Pharmacological Basic of T
herapeutics eleventh edition. McGraw-Hill Companies. Boston. Pp: 33-47
4. Olutoyin, OA., George. 2014. Anesthesia for ear, nose, and throat (ENT) surgery C
hapter 17: Anesthesia Care of Pediatric Patient. Pp 469-470
5. Donlon, JV., 2000. Anesthesia for eye, ear, nose, and throat surgery. In: Miller RD
, ed. Anesthesia 5th edition. New York: Churchill Livingston. Pp: 2173-98.
6. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks. 20
10.
7. Hirvonen EA, Niskanen LK, Niskanen MM. Thyroid storm prior to induction of a
naesthesia. Anaesthesia. 2014 Oct. 59(10):1020-2.
8. ASA, 2014. ASA Classification, (Diakses pada tanggal 04 Sepetembar 2019) diak
ses dari https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/asa-physical-status-classi
fication-system
9. Pratiwi, Komang. 2009. Premedikasi Sebelum Pembedahan. (Diakses pada tangga
l 04 September 2019) diakses dari http://www.balipost.com
10. Mangku Gd, Senapathi TGA, Ilmu anestesia dan reanimasi. 2010. p(1-2, 180-1)
11. Kevric J, Aguirre V, Martin K, Varma D, Fitzgerald M, Pilgrim C. Peritoneal Brea
ch as an Indication for Exploratory Laparotomyin Penetrating Abdominal Stab Inj
ury: Operative Findings in Haemodynamically Stable Patients.Emerg Med Int. 201
5. 2015:407173)
12. Jaffe, R. A., Schmiesing, C., & Golianu, B.Anesthesiologist's manual of surgical p
rocedures(5th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2013.
13. Kevric J, Aguirre V, Martin K, Varma D, Fitzgerald M, Pilgrim C. Peritoneal Brea
ch as an Indication for Exploratory Laparotomy in Penetrating Abdominal Stab Inj
ury: Operative Findings in Haemodynamically Stable Patients.Emerg Med Int. 201

38
39

5. 2015:407173.
14. Sanei B, Mahmoudieh M, Talebzadeh H, Shahabi Shahmiri S, Aghaei Z. Do patie
nts with penetrating abdominal stab wounds require laparotomy?.Arch Trauma Re
s. 2013 Spring. 2 (1):21-5.
15. O'Malley E, Boyle E, O'Callaghan A, Coffey JC, Walsh SR. Role of laparoscopy i
n penetrating abdominal trauma: a systematic review.World J Surg. 2013 Jan. 37(1
):113-22.
16. Stanley, MonkhouseMA, MB, BChir, PhD (2006).Cranial Nerve Functional Anato
my. Cambridge University Press. ISBN-13 978-0-511-13272-8.
17. Miller’s Anesthesia. Ronald D Milller, International Edition, Volume 2. 2010. p(2
364-66)

Anda mungkin juga menyukai