2- Berdiri bagi yang mampu (untuk shalat wajib). Sedangkan shalat sunnah boleh
dikerjakan dalam keadaan duduk meskipun mampu.
Untuk shalat sunnah disunnahkan untuk berdiri, tidak wajib. Namun keadaan
berdiri lebih utama daripada duduk saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
Dalam segi waktu pun tidak ada seorang ulama yang berani menggeser.
Katakanlah waktu shalat Zhuhur digeser ke waktu dhuha, waktu shalat Maghrib
digeser ke Ashar dan sebagainya (perhatikan: An-Nisa’: 103). Artinya shalat
seorang tidak dianggap sah bila dilakukan sebelum waktunya atau kurang dari
jumlah rakakat yang telah ditentukan. Dalam konteks ini tentu tidak bisa beralasan
dengan shalat qashar (memendekkan jumlah rakaat) atau jama’ taqdim dan
ta’khir (menggabung dua shalat seperti dzhuhur dengan ashar: diawalkan atau
diakhirkan) karena masing-masing dari cara ini ada nashnya (baca: tuntunan dari
Alquran dan sunnah Rasullah saw.; An-Nisa’: 101), dan itupun tidak setiap saat,
melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kondisi yang
tercantum dalam nash.
Apa yang dibaca dalam shalat juga tercakup dalam tata cara ini dan harus
mengikuti tuntunan Rasulullah. Jadi tidak bisa membaca apa saja seenaknya. Bila
Rasullah memerintahkan agar kita harus shalat seperti beliau shalat, maka tidak
ada alasan lagi bagi kita untuk menambah-nambah. Termasuk dalam hal
menambah adalah membaca terjemahan secara terang-terangan dalam setiap
bacaan yang dibaca dalam shalat. Karena sepanjang pengetahuan penulis tidak ada
nash yang memerintahkan untuk juga membaca terjemahan bacaan dalam shalat,
melainkan hanya perintah bahwa kita harus mengikuti Rasullah secara ta’abbudi
dalam melakukan shalat ini.