Anda di halaman 1dari 3

Rukun shalat:

1- Niat di dalam hati. Tidak dipersyaratkan niat tersebut dilafazhkan. Dalam


hadits disebutkan,

ِ ‫ِإنَّ َما األ َ ْع َما ُل ِبالنِيَّا‬


‫ت‬
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan
Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob)

2- Berdiri bagi yang mampu (untuk shalat wajib). Sedangkan shalat sunnah boleh
dikerjakan dalam keadaan duduk meskipun mampu.

Untuk shalat sunnah disunnahkan untuk berdiri, tidak wajib. Namun keadaan
berdiri lebih utama daripada duduk saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ف أَجْ ِر القَائِ ِم َو َم ْن‬ ْ ِ‫صلَّى قَا ِعدًا فَلَهُ ن‬


ُ ‫ص‬ َ ‫ض ُل َو َم ْن‬ َ ‫صلَّى قَائِ ًما فَ ُه َو أ َ ْف‬ َ ‫َم ْن‬
‫ف أَجْ ِر القَا ِع ِد‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫صلَّى نَائِ ًما فَلَهُ ن‬
َ
“Siapa yang mengerjakan shalat sambil berdiri, maka itu lebih afdhal. Siapa yang
shalat sambil duduk akan mendapatkan pahala separuh dari shalat sambil berdiri.
Siapa yang shalat sambil berbaring akan mendapat pahala separuh dari shalat
sambil duduk.” (HR. Bukhari no. 1065)

3- Takbiratul ihram (ucapan ‘Allahu Akbar’ di awal shalat).

4- Membaca Al Fatihah (bagi imam dan orang yang shalat sendirian).

5- Ruku’ dan thuma’ninah (tidak tergesa-gesa).

6- I’tidal dan thuma’ninah.

7- Sujud dua kali dalam satu raka’at, disertai thuma’ninah.

8- Duduk di antara dua sujud, disertai thuma’ninah.

9- Duduk tahiyat akhir.

10- Membaca bacaan tasyahud di tahiyat akhir.

11- Membaca bacaan shalawat setelah bacaan tasyahud akhir.

12- Salam pertama, minimalnya ‘Assalamu ‘alaikum’, lengkapnya ‘Assalamu


‘alaikum wa rahmatullah’.
13- Berurutan dalam mengerjakan rukun yang tadi disebutkan.

Diharuskan berurutan dalam mengerjakan rukun karena dalam hadits musii’


sholatuhu terdapat kata “tsumma” ketika menjelaskan urutan rukun. Tsumma
sendiri berarti kemudian yang menunjukkan makna berurutan. Perhatikan
haditsnya,

‫ار َك ْع‬ ِ ‫س َر َمعَ َك ِمنَ ْالقُ ْر‬


ْ ‫ ث ُ َّم‬، ‫آن‬ َّ َ‫ ث ُ َّم ا ْق َرأْ َما تَي‬، ‫صالَةِ فَ َك ِب ْر‬ َّ ‫ت ِإلَى ال‬ َ ‫ِإذَا قُ ْم‬
‫ط َمئِ َّن‬ْ َ ‫ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت‬، ‫ارفَ ْع َحتَّى ت َ ْعت َ ِد َل قَائِ ًما‬ ْ ‫ ث ُ َّم‬، ‫ط َمئِ َّن َرا ِكعًا‬ ْ َ ‫َحتَّى ت‬
‫ ث ُ َّم‬، ‫اجدًا‬ ْ َ ‫ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت‬، ‫سا‬
َ ‫ط َمئِ َّن‬
ِ ‫س‬ ْ َ ‫ارفَ ْع َحتَّى ت‬
ً ‫ط َمئِ َّن َجا ِل‬ ْ ‫ ث ُ َّم‬، ‫اجدًا‬ ِ ‫س‬َ
‫صالَتِ َك ُك ِل َها‬ َ ‫ا ْفعَ ْل ذَ ِل َك فِى‬
“Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al
Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’.
Lalu bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai
thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud
sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika
sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan
Muslim no. 397).

Dimensi Ritual Shalat

Dimensi ritual shalat adalah tata cara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya


berapa rakaat dan kapan waktu masing-masing shalat (shubuh, zhuhur, ashar,
maghrib, isya’) yang harus ditegakkan. Dalam hal ini tidak ada seorang pun dari
sahabat Rasulullah saw., apa lagi ulama, yang mencoba-coba berusaha merevisi
atau menginovasi. Umpamnya yang empat rakaat dikurangi menjadi tiga, yang
tiga ditambah menjadi lima, yang dua ditambah menjadi empat dan lain
sebagainya.

Dalam segi waktu pun tidak ada seorang ulama yang berani menggeser.
Katakanlah waktu shalat Zhuhur digeser ke waktu dhuha, waktu shalat Maghrib
digeser ke Ashar dan sebagainya (perhatikan: An-Nisa’: 103). Artinya shalat
seorang tidak dianggap sah bila dilakukan sebelum waktunya atau kurang dari
jumlah rakakat yang telah ditentukan. Dalam konteks ini tentu tidak bisa beralasan
dengan shalat qashar (memendekkan jumlah rakaat) atau jama’ taqdim dan
ta’khir (menggabung dua shalat seperti dzhuhur dengan ashar: diawalkan atau
diakhirkan) karena masing-masing dari cara ini ada nashnya (baca: tuntunan dari
Alquran dan sunnah Rasullah saw.; An-Nisa’: 101), dan itupun tidak setiap saat,
melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kondisi yang
tercantum dalam nash.

Apa yang dibaca dalam shalat juga tercakup dalam tata cara ini dan harus
mengikuti tuntunan Rasulullah. Jadi tidak bisa membaca apa saja seenaknya. Bila
Rasullah memerintahkan agar kita harus shalat seperti beliau shalat, maka tidak
ada alasan lagi bagi kita untuk menambah-nambah. Termasuk dalam hal
menambah adalah membaca terjemahan secara terang-terangan dalam setiap
bacaan yang dibaca dalam shalat. Karena sepanjang pengetahuan penulis tidak ada
nash yang memerintahkan untuk juga membaca terjemahan bacaan dalam shalat,
melainkan hanya perintah bahwa kita harus mengikuti Rasullah secara ta’abbudi
dalam melakukan shalat ini.

Anda mungkin juga menyukai