Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

* Pendidikan Profesi Dokter / G1A217116 / Oktober 2019


** Preseptor

DERMATITIS KONTAK IRITAN


*Tanissa Rizky Alya
**dr. Elvi Roza, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS PAAL X
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Oleh:

Tanissa Rizky Alya


G1A217116

Sebagai salah satu tugas program pendidikan profesi dokter


Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
2019

Jambi, Oktober 2019

Preseptor,

dr. Elvi Roza, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Dermatitis Kontak Iritan” sebagai kelengkapan
persyaratan dalam mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Elvi Roza, M.Kes yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah
ilmu bagi para pembaca.

Jambi, Oktober 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iii
BAB I STATUS PASIEN ....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 8
BAB III ANALISA KASUS ................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 26

iv
BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Ny. E/Perempuan/33 tahun
b. Pekerjaan/Pendidikan : Ibu Rumah Tangga/SMA
c. Alamat : RT 30 Kenali Asam Bawah
II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga
a. Status perkawinan : Menikah
b. Jumlah anak : 2 orang
c. Status ekonomi keluarga : Keadaan sosial ekonomi cukup
d. Kondisi rumah : Pasien tinggal bersama suami dan 2 orang
anaknya di sebuah rumah semi permanen berukuran 7x10m2, dengan atap
seng, dinding terbuat dari batu bata yang diplester dan lantai dari semen yang
dilapisi lantai keramik. Rumah pasien terdiri dari 3 kamar tidur, 1 dapur, dan
2 kamar mandi. Pencahayaan dan ventilasi dirumah pasien cukup baik. Kamar
mandi menggunakan kloset leher angsa. Sumber air bersih berasal dari PDAM
dan listrik dari PLN.

1
e. Kondisi lingkungan sekitar rumah : Pasien tinggal di daerah pemukiman yang
lumayan padat. Jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya cukup dekat.
Lingkungan rumah pasien cukup bersih

III. Aspek Perilaku dan Psikologis di Keluarga


Hubungan pasien dengan keluarganya baik.

IV. Keluhan Utama :


Bercak kemerahan yang terasa gatal pada sela jari tengah bagian kanan sejak
3 hari yang lalu.

V. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Puskesmas dengan keluhan muncul bercak kemerahan yang
terasa gatal pada sela jari tengah bagian kanan sejak 3 hari yang lalu sebelum datang
ke Puskesmas. Gatal dirasakan sepanjang hari sehingga mengganggu aktivitas pasien.
Pasien mengaku keluhan timbul setelah pasien mengganti sabun colek yang biasa ia
gunakan (“Sunlight”) menjadi sabun colek yang baru (“Ekonomi”) sekitar 4 hari yang
lalu. Selain gatal pasien juga mengatakan terasa perih pada tempat muncul keluhan
tersebut.
Pasien juga mengeluhkan kulit mengelupas pada sela jari tengah kanan nya
tersebut. Keluhan kulit terasa tebal disangkal. Keluhan muncul setelah terkena debu
disangkal, muncul setelah memakan sesuatu disangkal, muncul setalah penggunaan zat
kimia pestisida disangkal. Pasien belum mengonsumsi obat-obatan untuk mengurangi
keluhannya tersebut. BAB dan BAK normal tidak ada keluhan.

VI. Riwayat Penyakit Dahulu


- Keluhan serupa (-)
- Riwayat asma (-)
- Riwayat alergi (-)
2
- Riwayat penyakit kulit lainnya (-)

VII. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga yang mengalami keluhan serupa (-)
Riwayat alergi dalam keluarga (-)

VIII. Riwayat makan, alergi, obat obatan, perilaku kesehatan dll yang relevan
 Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun

obat-obatan tertentu. Pasien mencuci pakaian dengan menggunakan kedua

tangannya tanpa menggunakan sarung tangan.

IX. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 78x/menit
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36,7°C
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 162 cm
IMT : 20,95 (Normoweight)
Status Generalisata
1. Kepala : Normocephal
2. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), skelera ikterik (-/-), pupil
bulat, isokor, diameter 3mm, refleks cahaya (+/+)
3. THT : Serumen (-/-)
4. Leher : Pembesaran KGB (-) , pembesaran tyroid (-)
5. Thorax :

3
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo

 Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada bagian yang tertinggal


 Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi: Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
6. Abdomen :
 Inspeksi: datar, venektasi (-), sikatriks (-)
 Palpasi: Supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba, ballotement (-)
 Perkusi: Timpani (+)
 Auskultasi: Bising usus (+) normal
7. Ekstremitas :
Superior: akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik, lesi kulit +/-
Inferior: akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik, lesi kulit -/-

Status Dermatologis

4
Efloresensi : Makula eritema ditutupi skuama selapis
Lokasi : sela jari kanan
Bentuk : irreguler
Ukuran : ± 2 x 0,5 cm
Jumlah : soliter
Batas : sirkumskripta
Distribusi : regional
Permukaan : rata
Daerah sekitar lesi : tidak ada kelainan

X. Usulan Pemeriksaan Penunjang


 Tes tempel (Patch Test) dengan bahan iritan yang dicurigai

XI. Diagnosis Kerja


Dermatitis kontak iritan (ICD X L.24)

XII. Diagnosis Banding


1. Dermatitis Kontak Alergi (ICD X L.23)
2. Dermatitis Atopik (ICD X L.20)

XIII. Manajemen
a. Promotif :
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan pengobatannya
- Menjelaskan kepada pasien tentang cara menghindari faktor pencetus
penyakit dan mengurangi berulangnya gejala tersebut
b. Preventif :
- Menggunakan alat pelindung saat melakukan pekerjaan rumah tangga
terutama mencuci (sarung tangan)

5
- Menghindari bahan yang menyebabkan iritasi
- Menggunakan pelembab kulit atau emolien untuk mengatasi kulit kering
c. Kuratif :
Non Farmakologi
Bila gatal sebaiknya jangan menggaruk terlalu keras karena dapat
menyebabkan luka dan berisiko terjadinya infeksi.
Farmakologi
 Cetirizine 1x10 mg
 Salep hidrokortison 2,5% dioleskan tipis pada daerah yang iritasi 3x
sehari
Obat Tradisional
Kunyit
 Dosis: 1 kepal rimpang
 Cara penggunaan: bahan dihaluskan, lalu ditempel/digosok pada bagian
kulit yang eksim.
d. Rehabilitatif
 Menjelaskan pada pasien penggunaan obat dan menjelaskan agar teratur
dalam pengunaannya
 Menghindari kontak dengan bahan iritan
 Pasien disarankan untuk kontrol ulang ke puskesmas atau rumah sakit bila
keluhan tidak berkurang atau semakin memberat.

6
Resep Puskesmas Resep Ilmiah 1
Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Paal X Puskesmas Paal X
dr. Tanissa Rizky dr. Tanissa Rizky
SIP. G1A217116 SIP. G1A217116
Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
BB : BB :
Alamat : Alamat :

Resep Ilmiah 2 Resep Ilmiah 3


Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Paal X Puskesmas Paal X
dr. Tanissa Rizky dr. Tanissa Rizky
SIP. G1A217116 SIP. G1A217116
Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
BB : BB :
Alamat : Alamat :
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis Kontak Iritan (DKI) merupakan reaksi perandangan kulit non-
imunologis yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului oleh proses
pengenalan / sensitisasi.1

2.2 Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan
umur, ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis kontak iritan sulit
didapat. Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun
sulit untuk diketahui jumlahnya. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita
yang tidak datang berobat dengan kelainan ringan.2,3
Sebuah kusioner penelitian diantara 20.000 orang yang dipilih secara acak di
Sweden melaporkan bahwa 25% memiliki perkembangan gejala selama tahun
sebelumnya. Orang yang bekerja pada industri berat, mereka yang bekerja bersentuhan
dengan bahan kimia keras yang memiliki potensial merusak kulit dan mereka yang
diterima untuk mengerjakan pekerjaan basah secara rutin memiliki faktor resiko.
Mereka termasuk : muda, kuat, laki-laki yang dipekerjakan sebagai pekerja metal,
pekerja karet, terapist kecantikan, dan tukang roti.7,8

2.3 Etiologi
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen
(iritan dan lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.1,9
a. Faktor Eksogen
Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk memprediksi potensial
iritan sebuah bahan kimia berdasarkan struktur molekulnya. Potensial iritan bentuk

8
senyawa mungkin lebih sulit untuk diprediksi. Faktor-faktor yang dimaksudkan
termasuk : (1) Sifat kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul,
jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan ; (2) Sifat dari pajanan: jumlah,
konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan serentak dengan bahan iritan
lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya ; (3) Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh
yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik seperti tekanan, gesekan atau goresan.
Kelembapan lingkunan yang rendah dan suhu dingin menurunkan kadar air pada
stratum korneum yang menyebabkan kulit lebih rentan pada bahn iritan.1
b. Faktor Endogen
1) Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu untuk
mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzym antioksidan, dan
kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock protein semuanya
dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga menentukan keberagaman respon
tubuh terhadap bahan-bahan ititan. Selain itu, predisposisi genetik terhadap
kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap bahan iritan.1 Pada penelitian,
diduga bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi kerentanan terhadap
bahan iritan. TNF-α polimorfis telah dinyatakan sebagai marker untuk
kerentanan terhadap kontak iritan.
2) Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan
wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara jenis
kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan oleh
bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada laki-laki. Tidak ada
pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis kontak iritan yang ditetapkan
berdasarkan penelitian.1,9
3) Umur

9
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-bahan
kimia dan bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang menunjukkan bahwa
tidak ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan kulit dengan meningkatnya
umur. Data pengaruh umur pada percobaan iritasi kulit sangat berlawanan.
Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada orang tua sementara iritasi
kulit yang tidak kelihatan (kerusakan pertahanan) meningkat pada orang muda.1
Reaksi terhadap beberapa bahan iritan berkurang pada usia lanjut. Terdapat
penurunan respon inflamasi dan TEWL, dimana menunjukkan penurunan
potensial penetrasi perkutaneus.
4) Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi
berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema sulit
diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema sebagai satu-
satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin sudah sampai pada
kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten terhadap bahan iritan
daripada kulit putih.1
5) Lokasi kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan, sehingga
kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan terhadap
dermatitis kontak iritan. Telapak tangan dan kaki jika dibandingkan lebih
resisten.
6) Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis
iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan
peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang
iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan, dan lambatnya proses penyembuhan.1
Pada pasien dengan dermatitis atopi misalnya, menunjukkan peningkatan
reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.9

10
2.4 Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis. Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai
respon imunologis yang dapat didemonstrasikan dengan jelas, dimana hal tersebut
ditandai oleh pelepasan mediator radang, khususnya sitokin dari sel kulit yang non-
imun (keratinosit) yang mendapat rangsangan kimia. Proses ini tidaklah membutuhkan
sensitasi sebelumnya. Kerusakan sawar kulit menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin
seperti Interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, tumor necrosis factor- α (TNF- α). Pada
dermatitis kontak iritan, diamati peningkatan TNF-α hingga sepuluh kali lipat dan
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-2 hingga tiga
kali lipat. TNF- α adalah salah satu sitokin utama yang berperan dalam dermatitis iritan,
yang menyebabkan peningkatan ekspresi Major Histocompatibility Complex (MHC)
kelas II dan intracelluler adhesin molecul-I pada keratinosit.1
Pada dermatitis kontak iritan akut, mekanisme imunologisnya mirip dengan
dermatitis kontal alergi akut. Namun, perbedaan yang mendasar dari keduanya adalah
keterlibatan dari spesisif sel-T pada dermatitis kontak alergi akut.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan peradangan klasik di tempat terjadinya
kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, dan nyeri bila iritan kuat. Ada dua jenis
bahan iritan yaitu iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menyebabkan kelainan
kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang, sedangkan iritan lemah akan
menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan
stratum korneum oleh karena depilasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan
fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.6

V. GAMBARAN KLINIS

Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat memberikan
gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak hal yang
11
mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Berdasarkan penyebab
tersebut dan pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak iritan dibagi menjadi sepuluh
macam, yaitu:

1. Dermatitis Kontak Iritan Akut


Pada DKI, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel atau bulla. Luas
kelainanya sebatas daerah yang terkena dan berbatas tegas. Pada beberapa
individu, gejala subyektif (rasa terbakar, rasa tersengat) mungkin hanya satu-
satunya manifestasi. Rasa sakit dapat terjadi dalam beberapa detik dari pajanan.
Spektrum perubahan kulit berupa eritma hingga vesikel dan bahan pajanan
bahan yang dapat membakar kulit dapat menyebabkan nekrosis. Secara klasik,
pembentukan dermatitis akut biasanya sembuh segera setelah pajanan, dengan
asumsi tidak ada pajanan ulang – hal ini dikenal sebagai “decrescendo
phenomenon”. Pada beberapa kasus tidak biasa, dermatitis kontak iritan dapat
timbul beberapa bulan setelah pajanan, diikuti dengan resolusi lengkap. Bentuk
DKI Akut seringkali menyerupai luka bakar akibat bahan kimia, bulla besar
atau lepuhan. DKI ini jarang timbul dengan gambaran eksematousa yang sering
timbul pada dermatitis kontak.

Gambar 2 : DKI akut akibat penggunaan pelarut industri.

12
2. Dermatitis Kontak Iritan Lambat (Delayed ICD)
Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala obyektif tidak muncul
hingga 8-24 jam atau lebih setelah pajanan. Sebaliknya, gambaran kliniknya
mirip dengan dermatitis kontak iritan akut. Contohnya adalah dermatitis yang
disebabkan oleh serangga yang terbang pada malam hari, dimana gejalanya
muncul keesokan harinya berupa eritema yang kemudian dapat menjadi vesikel
atau bahkan nekrosis.

3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)


Juga disebut dermatitis kontak iritan kumulatif. Disebabkan oleh iritan
lemah (seperti air, sabun, detergen, dll) dengan pajanan yang berulang-ulang,
biasanya lebih sering terkena pada tangan. Kelainan kulit baru muncul setelah
beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Sehingga waktu dan rentetan
pajanan merupakan faktor yang paling penting. Dermatitis kontak iritan kronis
ini merupakan dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan. Gejala
berupa kulit kering, eritema, skuama, dan lambat laun akan menjadi
hiperkertosis dan dapat terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung.

Gambar 3 : DKI kronis akibat efek korosif dari semen

13
Distirbusi penyakit ini biasanya pada tangan. Pada dermatitis kontak
iritan kumulatif, biasanya dimulai dari sela jari tangan dan kemudian menyebar
ke bagian dorsal dan telapak tangan. Pada ibu rumah tangga, biasanya dimulai
dari ujung jari (pulpitis). DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan,
oleh karena itu lebih banyak ditemukan pada tangan dibandingkan dengan
bagian lain dari tubuh (contohnya: tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel,
juru masak, tukang kebun, penata rambut).

4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi di
dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada orang yang terpajan
dengan pekerjaan basah. Reaksi iritasi dapat sembuh, menimbulkan penebalan
kulit atau dapat menjadi DKI kumulatif.

Gambar 4 : Reaksi Iritan.

5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)


Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah tauma akut pada kulit seperti
panas atau laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan penyembuhan sekitar 6
minggu atau lebih lama. Pada proses penyembuhan, akan terjadi eritema,
skuama, papul dan vesikel. Secara klinik gejala mirip dengan dermatitis
numular.

14
6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous
Juga disebut reaksi suberitematous. Pada tingkat awal dari iritasi kulit,
kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit terlihat
secara histologi. Gejala umum yang dirasakan penderita adalah rasa terbakar,
gatal, atau rasa tersengat. Iritasi suberitematous ini dihubungkan dengan
penggunaan produk dengan jumlah surfaktan yang tinggi. Penyakit ini ditandai
dengan perubahan sawar stratum korneum tanpa tanda klinis (DKI subklinis).

7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)


Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa
tersengat, rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan.
Biasanya terjadi di daerah wajah, kepala dan leher. Asam laktat biasanya
menjadi iritan yang paling sering menyebabkan penyakit ini.

8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)


Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau
gesekan yang berulang. DKI Gesekan berkembang dari respon pada gesekan
yang lemah, dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura, dan
gatal pada daerah yang terkena gesekan DKI Gesekan dapat hanya mengenai
telapak tangan dan seringkali terlihat menyerupai psoriasis dengan plakat
merah menebal dan bersisik, tetapi tidak gatal. Secara klinis, DKI Gesekan
dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran dan ujung jemari tergantung oleh
tekanan mekanik yang terjadi.

9. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform


Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform. Biasanya dilihat
setelah pajanan okupasional, seperti oli, metal, halogen, serta setelah
penggunaan beberapa kosmetik. Reaksi ini memiliki lesi pustular yang steril

15
dan transien, dan dapat berkembang beberapa hari setelah pajanan. Tipe ini
dapat dilihat pada pasien dermatitis atopy maupun pasien dermatitis seboroik.

Gambar 6: DKI Akneiform

10. Dermatitis Asteatotik


Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi tanpa
menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan skuama
ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini.

Gambar 7: DKI Asteatotik.


2.5 Diagnosis
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah diketahui karena
munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat penyebab
terjadinya. DKI kronis timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas,

16
sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Selain anamnesis, juga perlu dilakukan
beberapa pemeriksaan untuk lebih memastikan diagnosis DKI.6

A. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung
pada anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien. Anamnesis yang dapat
mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala subyektif) adalah:
- Pasien mengklain adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus
- Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut.
DKI lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti benzalkonium
klorida (biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya
terjadi 8-24 jam setelah pajanan.

17
- Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada DKI
kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang dari
suatu bahan iritan yang merusak kulit.
- Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman
akibat pruritus yang terjadi.

Faktor Risiko:
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan iritan
2. Riwayat kontak dengan bahan iritan pada waktu tertentu
3. Pasien bekerja sebagai tukang cuci, juru masak, kuli bangunan, montir,
penata rambut
4. Riwayat dermatitis atopik

B. Pemeriksaan Fisis
Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI sebagai berikut:
- Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah terbentuk
vesikel
- Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh
- Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
- Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan

Tanda patognomonis
Tanda yang dapat diobservasi sama seperti dermatitis pada umumnya, tergantung
pada kondisi akut atau kronis. Selengkapnya dapat dilihat pada bagian klasifikasi.

Faktor Predisposisi
Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap suatu bahan yang bersifat iritan.

Klasifikasi
18
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tertentu, DKI dibagi menjadi:
1. DKI akut:
a. Bahan iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida (HCl),
termasuk luka bakar oleh bahan kimia.
b. Lesi berupa: eritema, edema, bula, kadang disertai nekrosis.
c. Tepi kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya asimetris.
2. DKI akut lambat:
a. Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24 jam atau lebih setelah kontak.
b. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI tipe ini diantaranya adalah podofilin,
antralin, tretionin, etilen oksida, benzalkonium klorida, dan asam hidrofluorat.
c. Kadang-kadang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari
(dermatitis venenata), penderita baru merasa pedih keesokan harinya, pada awalnya
terlihat eritema, dan pada sore harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
3. DKI kumulatif/ DKI kronis:
a. Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisis
misalnya gesekan, trauma minor, kelembaban rendah, panas atau dingin, faktor
kimia seperti deterjen, sabun, pelarut, tanah dan bahkan air).
b. Umumnya predileksi ditemukan di tanganterutama pada pekerja.
c. Kelainan baru muncul setelah kontak dengan bahan iritan berminggu-minggu atau
bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian sehingga waktu dan rentetan kontak
merupakan faktor penting.
d. Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci
yang mengalami kontak terus-menerus dengan deterjen. Keluhan penderita
umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan
hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh
penderita.
4. Reaksi iritan:

19
a. Merupakan dermatitis subklinis pada seseorang yang terpajan dengan pekerjaan
basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam dalam beberapa bulan pertama,
kelainan kulit monomorfik (efloresensi tunggal) dapat berupa eritema, skuama,
vesikel, pustul, dan erosi.
b. Umumnya dapat sembuh sendiri, namun menimbulkan penebalan kulit, dan
kadang-kadang berlanjut menjadi DKI kumulatif.
5. DKI traumatik:
a. Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi.
b. Gejala seperti dermatitis numularis (lesi akut dan basah).
c. Penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu.
d. Lokasi predileksi paling sering terjadi di tangan.
6. DKI non eritematosa:
Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai dengan perubahan fungsi sawar stratum
korneum, hanya ditandai oleh skuamasi ringan tanpa disertai kelainan klinis lain.
7. DKI subyektif/ DKI sensori:
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat (pedih) atau
terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.
c. Pemeriksaan Penunjang.
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak iritan.
Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat beberapa
tes yang dapat memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi menyebabkan
DKI. Tidak ada spesifik tes yang dapat memperlihatkan efek yang didapatkan dari
setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan. Dermatitis kontak iritan dalam
beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek berbagai iritans.
1. Patch Test
Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang menyebabkan kontak
dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi yang
digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil negatif palsu

20
oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat terinterpretasi
sebagai alergi (positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat
dan reaksi positif dicatat. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali
dilakukan pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam
kulit yang membaik, maka dapat didiagnosis sebagai DKI,1,7 Pemeriksaan patch
tes digunakan untuk pasien kronis, dengan dermatitis kontak yang rekuren.
2. Kultur Bakteri
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi sekunder
bakteri.
3. Pemeriksaan KOH
Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikology pada infeksi
jamur superficial infeksi candida, pemeriksaan ini tergantung tempat dan
morfologi dari lesi.
4. Pemeriksaan IgE
Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong adanya diathetis atopic atau
riwayat atopi.
d. Diagnosa Banding
1. Dermatitis Kontak Alergi
Berbeda dengan DKI, pada DKA, terdapat sensitasi dari pajanan/iritan.
Gambaran lesi secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah
interpretasi ulang dari antigen oleh sel T (memori), dan keluhan utama pada
penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena pajanan. Pada patch tes,
didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan, dan sensitifitasnya
berkisar antara 70 – 80%.
2. Dermatitis Atopi
Merupakan keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai dengan gatal yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga

21
penderita.6 Oleh karena itu, pemeriksaan IgE pada penderita dengan suspek
DKI dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan diagnosis dermatitis
atopi.

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan dengan melakukan
dengan memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan. Selain itu, prinsip
pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari bahan iritan, melakukan proteksi
(seperti penggunaan sarung tangan), dan melakukan substitusi dalam hal ini, mengganti
bahan-bahan iritan dengan bahan lain.1,4,5,6,9
Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita
dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut:
1. Keluhan dapat diatasi dengan pemberian farmakoterapi, berupa:
a. Topikal (2 kali sehari)
 Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
 Kortikosteroid: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat
digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%).
 Pada kasus DKI kumulatif dengan manifestasi klinis likenifikasi dan
hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan betametason valerat krim 0,1% atau
mometason furoat krim 0,1%).
 Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik
topikal.
b. Oral sistemik
 Antihistamin hidroksizin 2 x 25 mg per hari selama maksimal 2 minggu, atau
Loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.
2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan-bahan yang bersifat
iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai sabun dengan pH netral

22
dan mengandung pelembab, serta memakai alat pelindung diri untuk menghindari
kontak iritan saat bekerja.

Konseling dan Edukasi


 Konseling untuk menghindari bahan iritan di rumah saat mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
 Edukasi untuk menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan
sepatu boot.
 Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.

Kriteria Rujukan
 Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch test
 Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan standar dan sudah
menghindari kontak.

2.10.Prognosis
Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak
dapat disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang
penyebabnya multifaktor, juga pada penderita atopi.1,6

23
BAB III
ANALISA KASUS SECARA HOLISTIK

a. Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar


Pada kasus ini tidak ada hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan
lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan dermatitis kontak iritan bukan merupakan
penyakit yang menular.
b. Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan dalam
keluarga
Pasien tinggal bersama suami dan anak - anaknya. Hubungan antar anggota
keluarga baik. Tidak ada hubungan antara diagnosa penyakit dengan keadaan
keluarga dan hubungan keluarga.
c. Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan
lingkungan sekitar
Pasien sehari-hari mencuci piring tanpa menggunakan alat pelindung seperti
sarung tangan, sehingga terjadi kontak secara langsung deterjen ke badan pasien.
Pemaparan dan sensitisasi dari host yang mudah terpengaruh terhadap bahan iritan
menimbulkan reaksi inflamasi kompleks. Yang akhirnya menyebabkan eritema,
vesikel dan hiperkeratosis yang distribusinya sesuai dengan kontak iritan dengan
eritem dan hiperkeratosis sebagai gejala yang mayor. Ada hubungan antara
diagnosis pasien dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan
sekitar.
d. Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada
pasien ini
Yang menjadi faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien ini adalah kebiasaan
pasien dalam mencuci yang tidak menggunakan alat pelindung sehingga
menyebabkan pasien sering kontak secara langsung terhadap deterjen yang di duga
sebagai bahan iritan.

24
e. Analisis untuk mengurangi paparan atau memutus rantai penularan dengan
faktor risiko atau etiologi pada pasien ini.
- Menghindari kontak dengan bahan iritan.
- Menggunakan pakaian panjang dan sarung tangan saat sedang mencuci.
- Menggunakan pelembab kulit atau emolien untuk mengatasi kulit kering.
- Jangan menggaruk luka karena bisa menjadi tempat infeksi baru dan dapat
meninggalkan bekas garukan yang permanen.
f. Edukasi yang diberikan pada pasien atau keluarga
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya, perjalanan penyakit,
tatalaksana yang dapat mengurangi keluhan pasien.
- Menghindari kontak dengan bahan iritan sebisa mungkin atau memakai alat
pelindung saat sedang mencuci.
- Menjaga kebersihan diri perorangan maupun keluarga.
- Senantiasa menjaga kesehatan serta meningkatkan konsumsi makanan bergizi
untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
- Menjelaskan ke pasien bahwa keluhan dapat muncul kembali atau berulang jika
pasien masih kontak dengan bahan iritan.
- Menjelaskan kepada pasien untuk segera datang berobat apabila keluhan tidak
membaik atau keluhan pada kulit bertambah parah.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Castanedo-Tardan MP & Zug KA. Allergic Contact Dermatitis. In: Goldsmith,


L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K.
(eds.)Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 8th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc; 2012. p(152-164)
2. Sularsito, S.A., Djuanda, S. Dermatitis. In: Djuanda, A., Hamzah, M., & Aisah,
S., editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. 6., Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. p. 130-138
3. English J.:Current concept in contact dermatitis. Br J Dermatol 145: 527 (2001)
4. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolff, K., Johnson, R.A., Saavedra,
A.P.(eds.)Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 7th
ed. New York: McGraw-Hill Education, LCC; 2013. p(24-31)
5. Arnold HL., Odom RB., James WD., Andrew’s Dissease of Skin, 8th ed,
London : WB Sauders Co., 1990, 89-114
6. Pigatto P. Martelli A. Marsili C. Fiocchi A. Contact dermatitis in children.
Italian Journal of Pediatrics. 2010; 36:2
7. Widman, T.J., Oostman, H., Storrs, F.J. Allergic Contact Dermatitis from
Medical Adhesive Bandages in Patients Who Report Having a Reaction to
Medical Bandages. Dermatitis.2008;19(1):(32-37)
8. Ference, J.D. and Last, A.R. (2009) Choosing Topical
Corticosteroids, Available at:http://www.aafp.org/afp/2009/0115/p135.html .
9. Hogan, D. J. (2014) Allergic Contact Dermatitis Treatment &
Management, Available at:http://emedicine.medscape.com/article/1049216-
treatment#aw2aab6b6b3 .
10. Panduan Praktis Klinis bagi Dokter di Fasilitas Layanan Primer. Edisi 1. 2017.
Jakarta: IDI

26

Anda mungkin juga menyukai