Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN TUTORIAL MINGGU 5

BLOK 3.1

KELOMPOK : 1A

NADIA FATHIKA ALYSSA RACHMAN 1510312097


YELIA NADA SALSABILA 1710312001
LARASATI 1710313026
RANIA ANINDYA MUHAMMAD 1710312029
F. CYNTHIA SAMARATUL 1710313030
HAFIDZ ARYAN ABDILLAH 1710311027
ATIKA PUTRI H 1710311009
YOURI GAVRIEL SIMBOLON 1710313062
KHAIRUNNISA’ ARIIBAH 1710312010
AHMAD ZAKI 1710312055
STEP 1

1. Pemeriksaan IVA : inspeksi visual asam asetat dimana diusapkan asam asetat ke leher
rahim
2. Dokter layanan primer : dokter yang mendapatkan pendidikan taraf spesialis yang
menerapkan prinsip ilmu kedokteran keluarga
3. Duh : cairan yang keluar dari organ genitalia selain urin dan darah, ada yang fisiologis
dan patologis
4. Tumor jinak payudara : adanya massa atau benjolan pada payudara dimana berkapsul
dan batas tegas, serta tidak invasif maupun bermetastasis
5. Sanggama : melakukan hubungan kelamin, bersetubuh
6. Pemeriksaan inspekulo genitalia : pemeriksaan menggunakan spekulum untuk
mengetahui apakah ada perdarahan, kelainan serviks dan vagina, serta trauma
7. Squamous cell carcinoma : salah satu jenis kanker kulit yang menyerang sel skuamosa
8. Biopsi : Proses penghapusan dari jaringan tubuh yang hidup untuk menegakkan
diagnosis
9. Metastasis : penyebaran suatu kanker ke organ atau jaringan lainnya

STEP 2 & 3

1. Mengapa pasien mengeluhkan keluar darah dari kemaluan pasca sanggama dan kadang-
kadang keluar duh yang berbau diserta nyeri saat BAK?
● keluar darah : infeksi kronis atau keganasan. Keganasan pada serviks gampang untuk
infeksi dikarenakan serviks dindingnya rapuh. Wanita pasca menopause vagina nya
kering sehingga mudah berdarah. Bisa karna atrofi vagina pada ibu-ibu menopause
karena kekurangan estrogen, jika kurang bisa vaginanya kering dan waktu bersenggama
mudah berdarah.
● Duh berbau : Infeksi, terjadi ketidakseimbangan pH pada vagina akibat dari servisitis
●Nyeri saat BAK : massa sudah menekan dari uretra

2. Apa hubungan ia menikah usia 14 th dengan keluhan?


Kanker serviks banyak faktor risikonya, salah satunya pernikahan dini (usia <20 th),
risiko untuk mengidap kanker serviks meningkat 105 kali. Sistem reproduksi maturitas
pada umur dibawah 20 th yakni terjadi metaplasia sehingga nanti diatas 20 th sudah
siap, ketika first intercourse pada usia 20 th kebawah maka akan mengganggu proses
metaplasia-> bisa jadi neoplasia yang merupakan sel pra kanker.
Biasanya menyerang pasien HPV tipe 16, ketika melakukan sanggama akan tertular
ke pasangan. Viru HPV ada dimana mana kebanyakan pada Pria, jika wanita usia dini
karna organ reproduksi belum cukup matur mudah terjadi perlukaan sehingga HPV
mudah tertular.
3. Hubungan usia saat ini dengan keluhan?
Kejadian karsinoma serviks puncaknya terjadi umur reproduktif 30 – 50 th, tapi
bisa terjadi pada semua usia

4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan IVA + tetapi tidak ada keluhan?


Untuk melihat apakah ada lesi prakanker
-IVA - : tidak ada perubahan warna
-IVA + : ditemukan bercak putih, bisa disebuk sudah lesi prakanker, masih
asimptomatik
Lesi prakanker belum ada ggejala karna pada serviks tidak ada saraf nyeri.
Kalo IVA + , perlu dilakukan biopsi.
Syarat dilakukan pemeriksaan IVA:
1. Sudah pernah melakukan intim
2. Tidak melakukan intim < 24 jam
3. Tidak sedang haid

IVA Test lebih mudah dilakukaan daripada pap smear, tidak harus orang ginekologi
melakukannya
IVA + bukan berarti langsung sel prakanker tetapi maksudnya ada sel abnormal bisa
jadi polip dan lain-lain
Krioterapi dilakukan untuk membunuh sel-sel abnormal

5. Adakah hubungan tumor jinak payudara 2 tahun yang lalu yang telah di Operasi dengan
keluhan?
Tidak ada hubungannya. Karna tumor jinak tidak bisa bermetastasis,kalo dulu tumor
ganas baru ada hubungannya tetapi kalau menurut penyebaran tidak ada
hubungannya juga. Asal sel nya juga berbeda, kalo payudara adalnya dari kelenjar
sedangkan kanker serviks dari scc.

6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik oleh dokter?


Vital sign normal : keadaan umum baik
Konjungtiva anemis : sudah lama mengalami perdarahan

7. Kenapa pasien dirujuk dan apa tatalaksana lanjutan?


Untuk melakukan pemeriksaan yang lebih akurat seperti biopsi.
Tatalaksana bisa dilakukan bedah laser, angkat serviks bagian atas, radioterapi
eksternal, radioterapi internal (dilakukan implan radioaktif)
Early stage 1B : lakukan histerektomi
Late stage 1B : masih histerektomi
2B : radioterap dan kemoterapi
Dirujuk untuk menegakkan diagnosis.
Karsinoma in situ : pasien bisa lakukan radikal histerektomi atau ablasi lesi
Karsinoma invasif (stadium 1& 2) : histerektomi radikal, limfadenektomi pelvik
Stadium 3&4 : radiasi dan kemoterapi
Edukasi pasien agar makan makanan mengandung serat, minum banyak, bisa mudah
terjadi fraktur karna metastasis ke tulang

8. Bagaimana tatalaksana penyakit pasien?


Sudah diatas

9. Bagaimanakah hasil interpretasi hasil pemeriksaan PA?


Derajat differensiasi
Grade 1 :well differentiated
Grade 2 : moderatly
Grade 3 : poorly
Grade 4: anaplastik

CA serviks ada dua tioe yaitu scc (yang paling banyak) dan adenocarcinoma

10. Apa pemeriksaan lagi yang dilakukan untuk mengetahui adanya metastasis?
Bisa dilakukan biopsi kgb, lakukan ct scan atau bone survey, MRI, pemeriksaan
kandung kemih (sistoskopi), lihat apakah ada metastasis ke rektum (protoskopi)

11. Setelah diketahui metastasis, apa tatalaksana yang dilakukan?


Biasaya kemoterapi dan radioterapi.
Ke ginjal -> dg ckd

12. Apakah pasien bisa disembuhkan?


Prognosis: semakin dini datang makan semakin bagus prognosis
Stadium 1&2 : 80%
Stadium 3: 50%
Stadium 4: 20 %

13. Mengapa bisa terjadi squamous cell carcinoma serviks?


Faktor resiko SCC: ekstrinsik, hubungan seskual usia dini, wanita melahirkan lebih dari
3 kali, jarak persalinan dekat, infeksi HPV.
HPV resiko tinggi tipe 16 dan 18 berupa onkogen-> instabilitas kromosom-> lesi
prakanker
-Infeksi HSV
-Wanita perokok: menurunkan daya tahan tubuh
- obesitas
-riwayat kanker serviks di keluarga
- Hamil usia muda mudah gugur sehingga konsumsi obat-obatan

14. Mengapa dilakukan biopsi? Apa indikasi dan kontraindikasinya?

-indikasi: gold standar ca serviks,

STEP 4

STEP 5

1. POLIP SERVIKS
2. KANKER SERVIKS
3. KANKER OVARIUM
4. KISTA OVARIUM
5. TUMOR VULVA
6. FIBROADENOMA MAMMAE

STEP 6

1. POLIP SEVIKS

a. Definisi
Keadaan dimana terdapat tumor jinak yang tumbul menonjol ke arah lumen serviks,
bertangkai, serta berasal dari mukosa serviks

b. Epidemiologi
- 2-5% pada wanita
- banyak pada wanita usia reproduksi dan wanita premenopause

c. Etiologi
- Belum diketahui
- Infeksi yang tidak ditangani dengan baik
- Kadar esterogen yang meningkat
- Obstruksi pembuluh darah

d. Faktor risiko
- Meningkat pada wanita dengan diabetes mellitus
- Infeksi serviks berulang
- Usia reproduksi
- Usia 40-50 tahun

e. Klasifikasi
1. Polip Ektoserviks
- Sering pada wanita pasca menopause
- Dominasi oleh sel squamosal

2. Polip Endoserviks
- Banyak pada wanita usia premenopause
- Dominasi oleh sel kolumnar

f. Patofisiologi
- Kadar esterogen meningkat  hiperplasia sel pada mukosa serviks 
pertumbuhan tumor jinak yang bertangkai kearah lumen  ujung tumor
nekrosis  tumor mudah berdarah
g. Gejala klinis
- Perdarahan abnormal diluar menstruasi
- Post coital bleeding
- Perdarahan setelah menopause
- Darah berwarna terang
- Terdapat fluor albus jika polip mengalami infeksi
- Rasa tidak nyaman dalam vagina

h. Diagnosis
1. Anamnesis
- Keluhan utama
- usia
- Factor risiko yang berhubungan  riwayat infeksi berulang, DM, dan lain-lain
- Siklus menstruasi

2. Pemeriksaan fisik
- Darah berwarna terang keluar dari vagina
- Nyeri tekan pada perut bawah
- Pada pemeriksaan speculum  jaringan yang menonjol bertangkai, mudah
berdarah

3. Pemeriksaan penunjang
 Radiologi  histerosalfingografi/sonohisterografi dengan pemberian infus
salin, usg  menyingkirkan kemungkinan massa di uterus
 Laboratorium  sitologi vagina
 Pemeriksaan khusus  histeroskopi

i. Tatalaksana
- Pencegahan  penggunaan celana dalam brbahan katun, pemakaian kondom
saat berhubungan seks
- Konservatif  jika ukuran polip kecil, tidak mengganggu, tidak menimbulkan
keluhan
- Kuretase  jika polip besar, mengganggu aktivitas, menimbulkan keluhan
- Pemberian obat anti radang pervaginam

j. Komplikasi
- Infeksi pada polip

k. Prognosis
 99% polip tetap jinak
 1% menjadi ganas
2. KANKER SEVIKS
A. Definisi

Kanker serviks adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada jaringan leher rahim
(serviks). Kanker serviks merupakan kanker primer yang berasal dari serviks (kanalis
servikalis dan atau porsio). Serviks adalah bagian ujung depan rahim yang menjulur
ke vagina

B. Epidemiologi

Kanker leher rahim (serviks) atau karsinoma serviks uteri merupakan kanker
pembunuh wanita nomor dua di dunia setelah kanker payudara. Setiap tahunnya,
terdapat kurang lebih 500.000 kasus baru kanker leher rahim (cervical cancer),
sebanyak 80% terjadi pada wanita yang hidup di negara berkembang. Sedikitnya
231.000 wanita di seluruh dunia meninggal akibat kanker leher rahim. Dari jumlah
itu, 50% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Hal tersebut terjadi karena pasien
datang dalam stadium lanjut.

Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini
menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini di Indonesia ada
sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Kanker serviks
yang sudah masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif
cepat. Selain itu, lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan
stadium lanjut. Selama kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30 – 60 tahun, terbanyak
antara 45- 50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu
sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia dibawah 35 tahun menunjukkan kanker serviks
yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS (karsinoma in-situ) terdapat pada
wanita diatas usia 35 tahun.

C. Etiologi

Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model


karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis awal
sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker invasif. Studi-studi
epidemiologi menunjukkan lebih dari 90% kanker serviks dihubungkan dengan jenis
human papiloma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan kanker dengan HPV
negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang
buruk. HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang
berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein
E6 akan mengikat p53 sehingga TSG (Tumor Supressor Gene) p53 akan kehilangan
fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini
menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel
berjalan tanpa kontrol.

D. Faktor Risiko
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker
serviks, antara lain adalah:

a. Usia reproduksi

Usia pasien sangat menentukan kesehatan maternal dan berkaitan erat dengan
kondisi kehamilan, persalinan, dan nifas. Proses reproduksi sebaiknya berlangsung
pada saat ibu berumur 20–35 tahun, sebab pada saat itu penyulit kehamilan jarang
terjadi. Usia rata-rata dari pasien karsinoma kanker serviks dari penelitian retrospektif
yang dilakukan oleh Schellekens dan Ranti di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin
Bandung untuk periode januari tahun 2000 sampai juli 2001 dengan interval usia
mulai 21 sampai 85 tahun (N=307) mendapatkan penderita kanker serviks rata-rata
berusia 32 tahun. Di tempat yang sama S. Van Loon melakukan penelitian terhadap
58 pasien dengan kanker serviks pada tahun 1996, dan mendapatkan pasien mayoritas
yaitu 20,3% berusia 40-44 tahun dan usia rata-rata 46 tahun.

Sumber lain menerangkan usia pasien rata-rata antara 30-60 tahun, terbanyak
antara 45-50 tahun. Hal ini dikarenakan periode laten dari fase prainvasif untuk
menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% wanita berusia kurang
dari 35 tahun menunjukan kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosa,
sedangkan 53% dari KIS (Karsinoma In Situ) terdapat pada wanita dibawah usia 35
tahun. Menurut Benson KL, 2% dari wanita yang berusai 40 tahun akan menderita
kanker serviks dalam hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan penyakit ini
memerlukan waktu 7 sampai 10 tahun untuk terjadinya kanker invasif sehingga
sebagian besar terjadinya atau diketahuinya setelah berusia lanjut.

b. Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda

Telah lama diketahui bahwa umur sangat berpengaruh terhadap proses


reproduksi. Usia yang dianggap optimal untuk reproduksi antara 20-35 tahun.
Pada usia 20-40 tahun, disebut sebagai masa dewasa dini yang disebut juga
usia reproduktif. Sehingga pada masa ini diharapkan orang telah mampu untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan tenang secara emosional,
perkembangan fisiknya, maupun kemampuannya dalam hal kehamilan baik kelahiran
bayinya.

Usia kawin muda menurut Rotkin, Chistoperson dan Parker serta Barron dan
Richart jelas berpengaruh. Rotkin menghubungkan terjadinya karsinoma serviks
dengan usia saat seorang wanita mulai aktif berhubungan seksual, dikatakan pula
olehnya karsinoma serviks cenderung timbul bila saat mulai aktif berhubungan
seksual pada saat usia kurang dari 17 tahun. Lebih dijelaskan bahwa umur antara 15-
20 tahun merupakan periode yang rentan. Pada periode laten antara coitus pertama
dan terjadinya kanker serviks kurang lebih dari 30 tahun.
Periode rentan ini berhubungan dengan kiatnya proses metaplasia pada usia
pubertas, sehingga bila ada yang mengganggu proses metaplasia tersebut misalnya
infeksi akan memudahkan beralihnya proses menjadi displasia yang lebih berpotensi
untuk terjadinya keganasan. Christoperson dan parker menemukan perbedaan statistik
yang bermakna antara wanita yang menikah usia 15-19 tahun dibandingkan wanita yang
menikah usia 20-24 tahun, pada golongan pertama cenderung untuk terkena
kanker serviks. Barron dan Richat pada penelitian dengan mengambil sampel 7.000
wanita di Barbara Hindia Barat, cenderung menduga epitel serviks wanita remaja
sangat rentan terhadap bahan-bahan karsinogenik yang ditularkan melalui hubungan
seksual dibanding epitel serviks wanita dewasa.
c. Jumlah paritas

Kehamilan yang optimal adalah kehamilan anak lebih dari tiga. Kehamilan
setelah tiga mempunyai risiko yang meningkat.21 Pada primigravida umumnya belum
mempunyai gambaran mengenai kejadian-kejadian yang akan dialami saat
melahirkan dan merawat bayinya. Oleh sebab itu penting sekali mempersiapkan ibu
dengan memberikan penjelasan yang diperlukan mengenai kelahiran dan perawatan
bayinya. Sedangkan pada ibu yang sudah pernah mempunyai anak akan mempunyai
gambaran dan pengalaman dalam merawat bayinya, sehingga akan lebih siap dan
tahu merawat bayinya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mubasir dkk, Pada tahun 1993
menemukan lebih tinggi frekuensi kejadian kanker serviks pada pasien yang pernah
melahirkan dari pada yang belum melahirkan. Multiparitas terutama dihubungkan
dengan kemungkinan menikah pada usia muda, disamping itu dihubungkan pula
dengan sosial ekonomi yang rendah dan higiene yang buruk.

d. tingkat pendidikan

Tingkat pengetahuan yang tinggi pada seseorang akan menjadikannya lebih


kritis dalam menghadapi berbagai masalah. Sehingga pada wanita yang mempunyai
tingkat pendidikan yang baik akan membangkitkan partisipasinya dalam memelihara
dan merawat kesehatannya. Wanita yang berpendidikan tinggi cenderung akan
memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Pendidikan dan pendapatan keluarga
dihubungkan dengan nutrisi yang dikonsumsi sehari-hari, higiene serta kepatuhan untuk
melakukan pemeriksaan secara teratur. Pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang tidak
mengenal bahaya yang mungkin terjadi. Walaupun ada sarana yang baik belum tentu mereka
tahu menggunakannya. Dengan pendidikan yang tinggi maka semakin banyak seseorang
mengetahui tentang permasalahan yang menyangkut perbaikan lingkungan dan
hidupnya.

Selain itu peningkatan pendidikan formal wanita akan mendewasakan usia


perkawinan. Hal ini membuat rentang usia subur yang dijalani dalam ikatan
perkawinan semakin pendek. Tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan
kemungkinan bagi wanita untuk tidak menikah sama sekali selama hidupnya. Hal ini
terjadi terutama karena tingkat pendidikan yang tinggi mampu membuka kesempatan
yang lebih luas bagi wanita untuk bekerja, berorganisasi, dan mengembangkan
kariernya di luar rumah.

e. Penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang (lebih dari 5 tahun)

Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan


dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten
dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol
pengaruh kegiatan seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan beberapa
hubungan dari salah satu studi, bahkan melaporkan proteksi terhadap penyakit yang
invasif. Hubungan yang terakhir ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya
bias karena peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa studi
yang lebih lanjut kemudian memerlukan konfirmasi atau menyangkal observasi ini
mengenai kontrasepsi oral.
f. Riwayat kanker serviks pada keluarga

Bila seorang wanita mempunyai saudara kandung atau ibu yang mempunyai
kanker serviks, maka ia mempunyai kemungkinan 2-3 kali lebih besar untuk juga
mempunyai kanker serviks dibandingkan dengan orang normal. Beberapa peneliti
menduga hal ini berhubungan dengan berkurangnya kemampuan untuk melawan infeksi HPV.

g. Berganti-ganti pasangan seksual

Perilaku seksual berupa berganti pasangan seks akan meningkatkan penularan


penyakit kelamin. Penyakit yang ditularkan seperti infeksi human papilloma virus
(HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker serviks, penis dan vulva.
Risiko terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat pada wanita yang mempunyai
partner seksual 6 orang atau lebih. Di samping itu, virus herpes simpleks tipe-2 dapat
menjadi faktor pendamping.

h. Merokok

Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks
dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir
serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok.
Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping
merupakan ko-karsinogen infeksi virus.
i. Defisiensi zat gizi
Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat
dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang, serta mungkin juga
meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang makanannya rendah
beta karoten dan retinol (vitamin A).

E. Patogenesis dan Patofisiologi

Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-columnar


junction (SCJ) atau sambungan skuamo-kolumnar (SSK), yaitu batas antara epitel
yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks, dimana secara
histologik terjadi perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis
dengan epitel endoserviks yaitu epitel kuboid/kolumnar pendek selapis bersilia. Letak
SSK dipengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda
SSK berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di atas 35 tahun SSK
berada di dalam kanalis serviks.24 Oleh karena itu pada wanita muda,
SSK yang berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan terhadap faktor luar berupa
mutagen yang akan memicu displasia dari SSK tersebut. Pada wanita dengan aktivitas
seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh
prostaglandin.
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks;
epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari
cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel
skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang
rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat
proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan
SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel
kolumnar. Daerah di antara kedua SSK ini disebut daerah transformasi.

Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu faktor
penyebab yang penting, terutama virus DNA. Pada proses karsinogenesis asam
nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan DNA sel host sehingga
menyebabkan terjadinya mutasi sel. Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat
berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut
displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat dan
karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat
displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.

Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi epitel skuamosa


yang secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi tidak
memenuhi persyaratan sel karsinoma.25 Perbedaan derajat displasia didasarkan atas
tebal epitel yang mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel.
Sedangkan karsinoma in-situ adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang
menyerupai karsinoma invasif tetapi membrana basalis masih utuh.

Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS)


untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari : 1) NIS 1, untuk displasia
ringan; 2) NIS 2, untuk displasia sedang; 3) NIS 3, untuk displasia berat dan
karsinoma in-situ. Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spekrum penyakit yang dimulai
dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat dan karsinoma
in-situ (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Beberapa
peneliti menemukan bahwa 30-35% NIS mengalami regresi, yang terbanyak berasal
dari NIS 1/NIS 2.26 Karena tidak dapat ditentukan lesi mana yang akan berkembang
menjadi progesif dan mana yang tidak, maka semua tingkat NIS dianggap potensial
menjadi ganas sehingga harus ditatalaksanai sebagaimana mestinya.

F. Klasifikasi dan Staging

a. Sistem Klasifikasi Lesi Prakanker

Ada beberapa sistem klasifikasi lesi prakanker yang digunakan saat ini, dibedakan berdasarkan
pemeriksaan histologi dan sitologinya. Berikut table klasifikasi lesi prakanker:

Klasifikasi Sitologi (untuk skrining) Klasifikasi Histologi (untuk diagnosis)


NIS (Neoplasia Klasifikasi
Pap Sistem Bethesda
Intraepitelial Serviks) Deskriptif WHO
Kelas I Normal Normal Normal
ASC-US
Kelas II Atipik Atipik
ASC-H
NIS 1 termasuk
Kelas III LSIL Koilositosis
kondiloma
Kelas III HSIL NIS 2 Displasia sedang
Kelas III HSIL NIS 3 Displasia berat
Kelas IV HSIL NIS 3 Karsinoma in situ
Karsinoma
Kelas V Karsinoma invasif Karsinoma invasif
invasive

ASC-US : atypical squamous cell of undetermined significance


ASC-H : atypical squamous cell: cannot exclude a high grade squamous epithelial lesion
LSIL : Low-grade squamous intraepithelial lesion
HSIL : High-grade squamous intraepithelial lesion

b. Sistem Staging Kanker

International Federation of Gynecologists and Obstetricians Staging System for Cervical


Cancer (FIGO) pada tahun 2000 menetapkan suatu sistem stadium kanker sebagai berikut:

Stadium Karakteristik
0 Lesi belum menembus membrana basalis
I Lesi tumor masih terbatas di serviks
Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan
IA1
diameter permukaan tumor <7mm
Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi <5mm dengan
IA2
diameter permukaan tumor <7mm
IB1 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer <4cm
IB2 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer >4cm
Lesi telah keluar dari serviks (meluas ke parametrium dan sepertiga
II
proksimal vagina)
IIA Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina
IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding panggul
Lesi telah keluar dari serviks (menyebar ke parametrium dan atau sepertiga
III
vagina distal)
IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal
IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul
IV Lesi menyebar keluar organ genitalia
Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika
IVA
urinaria
IVB Lesi meluas ke mukosa rektum dan atau meluas ke organ jauh

G. Diagnosis
a. Gejala dan Tanda

Lesi pra-kanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan bahwa sebanyak 76%
kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali. Jika sudah
terjadi kanker akan timbul gejala yang sesuai dengan penyakitnya, yaitu dapat lokal
atau tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca-sanggama atau dapat
juga terjadi perdarahan di luar masa haid dan pasca menopause. Jika tumornya besar,
dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan (duh) berbau yang mengalir keluar dari
vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan timbul nyeri panggul, gejala yang
berkaitan dengan kandung kemih dan usus besar. Gejala lain yang timbul dapat
berupa gangguan organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan
kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut
kanan atas, kuning, atau pembengkakan), dan lain-lain.

b. Penegakan Diagnosis

Diagnosis definitif harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi dari hasil


biopsi lesi sebelum sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan :

Skrining

Sejak 2 dekade terakhir terdapat kemajuan dalam pemahaman tentang riwayat alamiah
dan terapi lanjutan dari kanker serviks. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) sekarang telah
dikenal sebagai penyebab utama kanker serviks, selain itu sebuah laporan sitologi baru telah
mengembangkan diagnosis, penanganan lesi prakanker dan protokol terapi spesifik peningkatan
ketahanan pasien dengan penyakit dini dan lanjut. Penelitian terbaru sekarang ini terfokus pada
penentuan infeksi menurut tipe HPV onkogenik, penilaian profilaksis dan terapi vaksin serta
pengembangan strategi skrining yang berkesinambungan dengan tes HPV dan metode lain
berdasarkan sitologi. Hal ini merupakan batu loncatan untuk
mengimplementasikan deteksi dini kanker serviks dengan beberapa macam pemeriksaan seperti
tes Pap (Pap Smear), Pap net, servikografi, Inspeksi Visual
Asam Asetat (IVA), tes HPV, kolposkopi dan sitologi berbasis cairan (Thin-Layer Pap Smear
Preparation).

Namun metode yang sekarang ini sering digunakan diantaranya adalah Tes
Pap dan Inspeksi Visual Asetat(IVA). Tes Pap memiliki sensitivitas 51% dan
spesifisitas 98%. Selain itu pemeriksaan Pap Smear masih memerlukan penunjang
laboratorium sitologi dan dokter ahli patologi yang relatif memerlukan waktu dan
biaya besar. Sedangkan IVA memiliki sensitivitas sampai 96% dan spesifisitas 97%
untuk program yang dilaksanakan oleh tenaga medis yang terlatih. Hal ini
menunjukkan bahwa IVA memiliki sensitivitas yang hampir sama dengan sitologi
serviks (Pap smear) sehingga dapat menjadi metode skrining yang efektif pada
negara berkembang seperti di Indonesia.
Klasifikasi IVA sesuai temuan klinis

Klasifikasi IVA Temuan Klinis


Plak putih yang tebal atau epitel acetowhite, biasanya dekat
Hasil Tes-Positif
SSK
Permukaan polos dan halus, berwarna merah jambu,
Hasil Tes-Negatif
ektropion, polip, servisitis, inflamasi, Nabothian cysts.
Kanker Massa mirip kembang kol atau bisul

H. Prognosis

Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5- years survival
rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan
untuk stadium IV kurang dari 30%.

a. Stadium 0
100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh.
b. Stadium 1
Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi 2, IA dan IB. dari semua wanita yang
terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-
years survival rate sebesar 70 sampai 90%.
c. Stadium 2
Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. dari semua wanita yang terdiagnosis
pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70 - 90%. Untuk stadium 2B 5-years
survival rate sebesar 60 sampai 65%

3. KANKER OVARIUM

A. Epidemiologi
Kanker ovarium jarang ditemukan pada usia dibawah 40 tahun. Angka kejadian
meningkat dengan makin tua, yaitu 15-16 per 100.000 pada usia 40-44 tahun, dan paling tinggi
yaitu 57 per 100.000 pada usia 70-74 tahun. Usia median saat diagnosis adalah 63 tahun dan
48% penderita berusia diatas 65 tahun. Belum ada metode skrining yang efektif untuk kanker
ovarium, sehingga 70% kasus ditemukan pada stadium lanjut.

B. Etiologi
Ada beberapa teori tentang etiologi kanker ovarium yaitu:
1. Hipotesis Incessant Ovulation
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Fathalla pada tahun 1972, yang
menyatakan bahwa pada saat terjadi ovulasi, terjadi kerusakan pada sel-sel ovarium.
Untuk penyembuhan luka yang sempurna diperlukan waktu. Jika sebelum penyembuhan
tercapai terjadi lagi ovulasi atau trauma baru, proses penyembuhan akan terganggu dan
kacau sehingga dapat menimbulkan transformasi menjadi sel-sel tumor.
2. Hipotesis androgen
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Rish pada tahun 1998 yang mengatakan
bahwa androgen mempunyai peran penting dalam terbentuknya kanker ovarium. Teori ini
didasarkan pada bukti bahwa epitel ovarium mengandung reseptor androgen. Epitel
ovarium selalu terpapar pada androgenic steroid yang berasal dari ovarium itu sendiri dan
kelenjar adrenal, seperti androstenedion, dehidroepiandrosteron, dan testosterone. Dalam
percobaan invitro androgen dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan
juga sel-sel kanker ovarium epitel dalam kultur sel.
3. Hipotesis progesteron
Berbeda dengan efek peningkatan resiko kanker ovarium oleh androgen ,
progesteron ternyata mempunyai peranan protektif terhadap terjadinya kanker ovarium.
Epitel normal ovarium mengandung reseptor progesteron.
Pemberian pil yang mengandung estrogen saja pada wanita pasca menopause
akan meningkatkan resiko terjadinya kanker ovarium, sedangkan pemberian kombinasi
dengan pemberian progesteron akan menurunkan resikonya. Kehamilan, dimana kadar
progesteron tinggi, menurunkan resiko kanker ovarium. Pil kontrasepsi kombinasi
menurunkan resiko terjadinya kanker ovarium.
4. Pil kontrasepsi
Penelitian dari center for disease control menemukan penurunan resiko terjadinya
kanker ovarium sebesar 40% pada wanita usia 20-54 tahun yang memakai pil kontasepsi,
yaitu dengan resiko relative 0,6.
C. Gejala Klinis
Pada stadium dini gejala-gejala kanker ovarium tidak khas, lebih dari 70% penderita
kanker ovarium ditemukan pada stadium lanjut.
Mayoritas pemderita kanker ovarium jenis epithelial tidak menunjukkan gejala sampai
periode waktu tertentu. Pada stadium awal kanker ovarium ini muncul dengan gejala-gejala tidak
khas. Bila penderita dalam usia perimenopause, keluhan adalah haid yang tidak teratur. Bila
massa tumor telah menekan kandung kemih atau rectum, keluhan sering berkemih dan konstipasi
akan muncul. Kadang-kadang gejala seperti distensi perut sebelah bawah, rasa tertekan, dan
nyeri dapat pula ditemukan.
Pada stadium lanjut ini gejala-gejala yang ditemukan umumnya berkaitan dengan adanya
asites, metastasis ke omentum, atau metastasis ke usus.
Tanda Tanda Kanker Ovarium
Tanda paling penting adanya kanker ovarium adalah ditemukannya massa tumor di
pelvis. Bila tumor tersebut padat, bentuknya irregular dan terfiksir ke dinding panggul,
keganasan perlu dicurigai. Bila di bagian atas abdomen ditemukan juga massa dan disertai asites,
keganasan hampir dapat dipastikan.
Menurut Piver perhatian khusus harus diberikan jika ditemukan kista ovarium
berdiameter > 5 cm karena pada 95% kasus kanker ovarium, tumornya berdiameter > 5 cm.
Dengan demikian, bila tumor sebesar ini ditemukan pada pemeriksaan pelvis, evaluasi lebih
lanjut perlu dilakukan untuk menyingkirkan keganasan, khususnya pada wanita yang berusia >
40 tahun. Jika ditemukan massa kistik berukuran 5-7 cm pada usia reproduksi kemungkinan kista
tersebut suatu kista fungsional yang akan mengalami regresi dalam masa 4-6 minggu kemudian.
Bilateralitas pada kista jinak hanya ditemukan pada 5% kasus, sedangkan pada kista ganas
ditemukan pada 26% kasus. Oleh karena itu, jika ditemukan kista ovarium bilateral harus
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menyingkirkan keganasan termasuk pada penderita
yang masih berusia muda. Berek mengambil batasan ukuran kista 8 cm. jika kista tersebut
berukuran > 8 cm, sangat mungkin kista tersebut neoplasma, bukan kista fungsional. Kista yang
berukuran < 8 cm, dapat dianggap kista fungsional jika pada pemeriksaan ginekologi ditemukan
kista yang mudah digerakkan, kistik, unilateral dan permukaan rata.
Pada penderita pramenopause dengan massa kistik berukuran diameter lebih dari 8-10
cm, besar kemungkinan bahwa kista itu suatu neoplasma, kecuali jika penderita sebelum
pemeriksaaan ini telah meminum klomifen sitrat atau obat-obat lain untuk induksi ovulasi. Pada
penderita pramenopause, pengamatan untuk waktu tertentu dapat dilakukan asalkan kista
tersebut tidak dicurigai ganas. Pengamatan dilakukan tidak lebih dari 2 bulan. Jika massa
tersebut bukan neoplasma, massa tersebut akan menetap atau mengecil pada pemeriksaan
panggul dan USG. Jika makin besar, massa tersebut harus dicurigai sebagai neoplasma dan harus
dilakukan pengangkatan secara operasi.
Penyebaran Kanker Ovarium
Kanker ovarium dapat menyebar dengan cara sebagai berikut :
1. Penyebaran limfatik
Penyebaran kanker ovarium dapat juga melalui pembuluh getah bening yang berasal dari
ovarium. Melalui pembuluh getah bening yang mengikuti pembuluh darah di ligamentum
infundibulo pelvikum, sel-sel kanker dapat menyebar mencapai KGB disekitar aorta dan
KGB interkavoaortik sampai setinggi a/v renalis. Melalaui pembuluh getah bening yang
mengikuti pembuluh darah diligamentum latum dan parametrium, sel-sel kanker dapat
pula mencapai KGB di dinding panggul seperti KGB iliaca eksterna, KGB obturatoria,
dan KGB disekitar pembuluh darah hipogastrika
2. Penyebaran hematogen
Penyebaran hematogen kanker ovarium jarang terjadi. Bila terjadi, penyebaran tersebut
dapat ditemukan di parenkim paru dan hepar pada 2-3% kasus.
Penyebaran jauh biasanya terjadi pada penderita dengan asites yang banyak, dan
karsinomatosis peritonel, telah ada metastasis di intraabdomen dan KGB retroperitoneal.

Stadium Kanker Ovarium


Stadium kanker ovarium disusun menutut keadaan yang ditemukan pada operasi
eksplorasi. Stadium tersebut menurut International Federation of Gynecologist and Obstenricians
(FIGO) 1987 sebagai beriku:
Stadium I
Pertumbuhan terbatas pada ovarium
Stadium Ia : pertumbuhan terbatas pada satu ovarium, kapsul tumor utuh, tidak ada pertumbuhan
di permukaan ovarium, tidak ada sel tumor cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga
peritonium
Stadium Ib : pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium, tidak ada pertumbuhan di permukaan
ovarium, tidak ada sel tumor cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga peritonium
Stadium Ic : tumor terbatas pada satu atau dua dengan salah satu factor dari kapsul tumor pecah,
pertumbuhan tumor pada permukaan kapsul, ditemukan sel tumor ganas pada cairan asite
maupun bilasan rongga peritoneum.
Stadium II
Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke panggul
Stadium IIa : perluasan dan/atau metastasis ke uterus dan/atau tuba
Stadium IIb : perluasan ke jaringan pelvis lainnya
Stadium IIc : tumor stadium IIa dan IIb tetapi dengan tumor pada permukaan satu atau kedua
ovarium, kapsul pecah, atau dengan asites yang mengandung sel ganas atau bilasan peritoneum
positif.
Stadium III
Tumor mengennai satu atau kedua ovarium dengan implant di peritoneum di luar pelvis dan/atau
KGB retroperitoneal atau ingunal positif. Metastasis permukaan liver masuk stadium III. Tumor
terbatas dalam pelvis kecil, tetapi secara histologik terbukti meluas ke usus besar atau omentum.
Stadium IIIa : tumor terbatas di ppelvisl kecil dengan kelenjar getah bening negative tetapi
secara histologik dan dikonfirmasi secara mikroskopik adanya pertumbuhan di permukaan
peritoneum abdominal.
Stadium IIIb : tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implant di permukaan
peritoneum dan terbukti secara mikroskopik, diameter tidak melebihi 2 cm, dan kelenjar getah
bening negatif.
Stadium IIIc : implan di abdomen >2 cm dan/atau kelenjar detah bening retroperitoneal atau
inguinal positif.
Stadium IV
Pertumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium dengan metastasis jauh. Bila efusi pleura dan
hasil sitologinya positif dimasukkan dalam stadium IV. Begitu juga metastasis parenkim hati.

D. Penatalaksanaan
Penatalaksaan kanker ovarium sangat ditentukan oleh stadium, derajat diferensiasi,
fertilitas, dan keadaan umum penderita. Pengobatan utama adalah pengankatan tumor primer dan
metastasisnya, dan bila perlu diberikan terapi adjuvant seperti keoterapi, radioterapi, imunoterapi
dan terapi hormon.
Penatalaksanaan Kanker Ovarium stadium I
Penatalaksanaannya adalah terdiri dari histerektomi totalis perabdominam,
salpingoooforektomi bialteralis, apendektomi, dan surgical staging. Surgical staging adalah
suatu tindakan bedah laparatomi eksplorasi yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
perluasan suatu kanker ovarium dengan melakukan evaluasi daerah-daerah yang potensial akan
dikenai perluasan atau penyebaran kanker ovarium. Temuan pada surgical staging akan
menetukan stadium penyakit dan pengobatan adjuvant yang perlu diberikan. Bila pada eksplorasi
secara visual dan palpasi tidak ditemukan penyebarana makroskopis dari kanker, penyebaran
mikroskopis harus dicari dengan melakukan pemerikasaan mikroskopis cairan peritoneum,
biopsy peritoneum, omentektomi, dan linfadenoktomi kelenjar getah bening pelvis dan para
aorta.
Teknik Surgical Staging
Pada penderita tumor ovarium yang dicurigai ganas insisi abdomen hendaklah insisi mediana
atau paramedian yang cukup luas agar memudahkan melakukan eksplorasi rongga perut bagian
atas. Prosedur standar yang harus dilakukan adalah:
1. Insisi mediana melewati umbilicus sampai diperoleh kemudahan untuk melakukan
eksplorasi rongga abdomen atas.
2. Contoh asites atau cairan di cavum dauglas, fosa parakolika kanan dan kiri dan
subdiafragmadiambil sebanyak 20-50 cc untuk pemeriksaan sitologi. Dapat diakukan
dengan alat suntik 20 cc atau 50 cc yang ujungnya telah disambung dengan kateter.
3. Bila tidak ada asites atau cairan di cavum dauglas,pembilasan peritoneum harus
dilakukan dengan memasukkan 50-100 cc larutan faal. Dilakukan pada lokasi Cul de sac,
palakolika kanan dan kiri, hemi difragma kanan dan kiri. Kemudian cairan itu diambil
kembali dengan lat suntik tadi.
4. Penatalaksanaan Kanker Ovarium Stadium Lanjut

Pendekatan terapi pada stadium lanjut mirip dengan stadium I dengan sedikit modifikasi
bergantung pada penyeabran metastasis dan keadaan umum penderita. tindakan operasi
pengankatan tumor primer dan metastasisnya di omentum, usus, dan peritoneum disebut operasi
debulking atau sitoreduksi. Tindakan operasi ini tidak kuratif sehingga diperlukan terapi adjuvant
untuk mencapai kesembuhan.
Kebanyakan penderita mendapat kemoterapi adjuvant kombinasi sementara sebagian
penderita yang tumornya berhasil direseksi dengan sempurna mendapat radiasi. Pada penderita
yang telah selesai mendapat kemoterapi tetapi tidak menunjukkan gejal klinis dan radiologis
serta serum CA-125 normal, dilakukan relaparatomi untuk menilai hasil pengobatan. Tindakan
ini disebut second-look laparatomy. Jika masih ditemukan penyakit, second line terapy dapat
diberikan.
Kemoterapi
Sejak tahun 1980 kemoterapi dengan cysplatin-based telah dipakai untuk pengobatan
kanker ovarium stadium lanjut. Kemudian, karboplatin, generasi kedua golongan platinum, yang
mempunyai pengaruh sama terhadap kanker ovarium tetapi kurang toksis terhadap system saraf
dan ginjal, kurang menimbulkan nausea, dipakai pula untuk kemoterapi adjuvant, meskipun lebih
toksis terhadap sum-sum tulang. Untuk stadium I atau lanjut dapat diberikan kemoterapi tunggal
atay kombinasi.
Penelitian GOG III oleh McGuire dan kawan-kawan pada kasus dengan suboptimal
debulking memperlihat bahwa pemberian 6 siklus kombinasi sisplatin (75 mg/m2) dan
paklitaksel (135 mg/m2) memberikan hasil yang lebih baik daripada kombinasi sisplatin (75
mg/m2) dan siklofosfamid (600 mg/m2). Kemoterapi kombinasi yang mengandung paklitaksel
mengurangi mortalitas sebanyak 36%. Data dari penelitian GOG III ini diperkuat oleh penelitian
gabungan dari EORTC (European Organization for the Reseach and Treatment of Cancer),
NOCOVA (Nordic Ovarian Cancer Study Group) dan NCIC ( National Cancer Institute of
Canada) pada penderita dengan optimal debulking dan suboptimal debulking. Pada penelitian ini
kelompok yang mendapat terapi kombinasi dengan paklitaksel, memberikan perbaikan yang
signifikan pada progression free survival dan overall survival, baik pada kelompok penderita
dengan optimal debulking maupun pada kelompok penderita dengan suboptimal debulking.
Radioterapi
Radiasi seluruh abdomen atau intaperitoneal radiokoloid dapat menjadi terapi alternatif
pengganti kemoterapi kombinasi pada kasus-kasus tertentu kanker ovarium stadium rendah. Dari
beberapa penelitian oleh GOG dan penelitian multisenter di Italia disimpulkan bahwa pemberian
32
kemoterapi intraperitoneal radiokoloid P bila dibandingkan dengan kemoterapi melfalan,
memberikan survival yang tidak berbeda. Akan tetapi, platimun based chemotherapy
32
memberikan 84% disease free survival, sedangkan intraperitoneal radiokoloid P memberikan
disease free survival 16% (p<0,01). Oleh karena itu, disimpulkan bahwa platimun based
chemotherapy dianjurkan untuk digunakan pada terapi kanker ovarium stadium tendah. Radiasi
seluruh abdomen juga tidak bermanfaat pada kanker ovarium stadium rendah sehingga
dianjurkan untuk tidak digunakan lagi.
Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Kanker Ovarium
Respon pengobatan terhadap kanker ovarium dapat dievaluasi dalam hubungannya
dengan faktor-faktor prognostic. Faktor-faktor prognostic tersebut dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Faktor histopatologi
 Jenis histopatologi
Jenis histopatologi tumor sekarang dianggap mempengaruhi prognosis suatu kanker
ovarium. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa karsinoma ovarium jenis clear
cell mempunyai prognosis yang sangat buruk jika dibandingkan dengan kanker
ovarium jenis yang lain.
 Diferensiasi tomor
Diferensiasi tumor ternya juga mempengaruhi prognosis. Derajat keganasan kanker
ovarium mempunyai korelasi yang erat dengan derajat diferensiasi jaringan tumornya.
Jika dibandingkan dengan histopatologinya, derajat diferensiasi suatu tumor sangat
mempengaruhi prognosisnya. Penderita kanker ovarium stadium II dengan derajat
diferensiasi tumor baik, prognosisnya lebih baik daripada karsinoma ovarium stadium
I dengan derajat diferensasi tumor buruk. Demikian juga kanker ovarium stadium III
dengan derajat difensiasi baik, prognosisnya lebih baik dari kanker ovarium stadium
II dengan derajat diferensiasi buruk.

2. Faktor biologi
Dengan pemeriksaan flow cytometri dapat diketahui bahwa kanker ovarium umumnya
aneuploid. Terdapat pula hubungan antara ploidi dan stadium sebagai berikut : kanker
stadium rendah cenderung diploid, sedangkan kanker stadium tinggi cenderung
aneuploid. Kanker dengan tumor diploid mempunyai median survival yang lebih panjang
dari kanker dengan tumor aneuploid.

4. KISTA OVARIUM
A. Definisi
Kista adalah suatu bentukan yang kurang lebih bulat dengan dinding tipis, berisi cairan
atau bahan setengah cair. Kista adalah pembesaran suatu organ yang di dalam berisi
cairan seperti balon yang berisi air. Pada wanita organ yang paling sering terjadi Kista
adalah indung telur. Tidak ada keterkaitan apakah indung telur kiri atau kanan. Pada
kebanyakan kasus justru tak memerlukan operasiKista ovarium merupakan suatu
pengumpulan cairan yang terjadi pada indung telur atau ovarium. Cairan yang
terkumpul ini dibungkus oleh semacam selaput yang terbentuk dari lapisan terluar dari
ovarium. (Sjamsuhidajat, 1998).

B. Epidemiologi
Kista ovarium fungsional ditemukan pada setiap usia dan terbanyak ditemukan pada
wanita dalam masa reproduksi dan jarang pada wanita yang telah menopause. Di
Amerika Serikat kista ovarium ditemukan pada hampir seluruh wanita premenopause
dengan sonogram transvaginal dan pada 14,8% wanita postmenopause. Sebagian besar
kista ini jinak. Kista teratoma atau dermoid ditemukam pada lebih dari 10% dari seluruh
neoplasma ovarium. Insidens karsinoma ovarium diperkirakan 15 kasus per 100.000
wanita per tahun.
Setiap tahun di Amerika Serikat, karsinoma ovarium didiagnosa pada 22.000 wanita, dan
menimbulkan kematian pada 16.000 wanita. Tumor ovarium yang cenderung ganas
sebagian besar adalah kista adenokarsinoma epitel ovarium, paling sering mengenai
wanita Eropa dan Amerika Utara, sedangkan wanita dari Asia dan Afrika lebih jarang.
20%-nya adalah tumor malignan potensi rendah, tumor sel garminosa pada kurang dari
5%, dan kurang lebih 2% tumor sel granulosa.
C. Faktor Risiko
Faktor yang menyebabkan gajala kista meliputi;
a. Konsumsi makanan yang tinggi lemak dan kurang serat
b. Zat tambahan pada makanan
c. Kurang olah raga
d. Merokok dan konsumsi alcohol
e. Terpapar denga polusi dan agen infeksius
f. Sering stress
g. Riwayat kista ovarium terdahulu
h. Siklus haid tidak teratur
i. Menstruasi di usia dini (11 tahun atau lebih muda)
j. Penderita Hipotiroid
k. Penderita kanker payudara yang pernah menjalani kemoterapi.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis kista ovarium antara lain:
a. Sering tanpa gejala.
b. Nyeri saat menstruasi.
c. Nyeri di perut bagian bawah.
d. Nyeri pada saat berhubungan badan.
e. Nyeri pada punggung terkadang menjalar sampai ke kaki.
f. Terkadang disertai nyeri saat buang air kecil dan/atau buang air besar.
g. Siklus menstruasi tidak teratur; bisa juga jumlah darah yang keluar banyak
h. Jika sudah menekan rectum atau VU mungkin terjadi konstipasi atau sering berkemih.

Pada stadium lanjut;


a. Asites
b. Penyebaran ke omentum (lemak perut) serta oran organ di dalam rongga perut (usus
dan hati)
c. Perut membuncit, kembung, mual, gangguan nafsu makan,
d. Gangguan buang air besar dan kecil.
e. Sesak nafas akibat penumpukan cairan di rongga dada.
E. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Tidak ada tes laboratorium diagnostik untuk kista ovarium. Cancer antigen 125
(CA 125) adalah protein yang dihasilkan oleh membran sel ovarium normal dan
karsinoma ovarium. Level serum kurang dari 35 U/ml adalah kadar CA 125
ditemukan meningkat pada 85% pasien dengan karsinoma epitel ovarium.
Terkadang CA ditemukan meningkat pada kasus jinak dan pada 6% pasien sehat.
b. Laparoskopi
Mengetahui asal tumor dari ovarium atau tidak, dan menentukan sifatsifat
tumor.
c. Ultasonografi
menentukan letak dan batas tumor kistik atau solid, cairan dalam rongga perut
yang bebas dan tidak. USG adalah alat diagnostik imaging yang utama untuk
kista ovarium. Kista simpleks bentuknya unilokular, dindingnya tipis, satu cavitas
yang didalamnya tidak terdapat internal echo. Biasanya jenis kista seperti ini
tidak ganas, dan merupakan kista fungsioal, kista luteal atau mungkln juga
kistadenoma serosa atau kista inklusi. Kista kompleks multilokular, dindingnya
menebal terdapat papul ke dalam lumen. Kista seperti ini biasanya maligna atau
mungkin juga kista neoplasma benigna. USG sulit membedakan kista ovarium
dengan hidrosalfing, paraovarian dan kista tuba. USG endovaginal dapat
memberikan pemeriksaan morfologi yang jelas dari struktur pelvis.
Pemeriksaana ini tidak memerlukan kandung kemih yang penuh. USG
transabdominal lebih baik dari endovaginal untuk mengevaluasi massa yang
besar dan organ intrabdomen lain, seperti ginjal, hati dan ascites. Ini
memerlukan kandung kemih yang penuh.
d. MRI
MRI memberikan gambaran jaringan lunak lebih baik dari CT scan, dapat
memberikan gambaran massa ginekologik yang lebih baik. MRI ini biasanya tidak
diperlukan
e. CT Scan
Untuk mengidentifikasi kista ovarium dan massa pelvik, CT Scan kurang baik bila
dibanding dengan MRI. CT Scan dapat dipakai untukmengidentifikasi organ
intraabdomen dan retroperitoneum dalam kasus keganasan ovarium.
f. Foto Rontgen
Menentukan adanya hidrotoraks. Pada kista dermoid kadang dapat terlihat gigi.
g. Parasentesis
Pungsi pada asites berguna untuk menentukan sebab asites.
h. Tes kehamilan
Dan HCG negatif, kecuali bila teijadi kehamilan.
F. Penatalaksanaan
Dapat dipakai prinsip bahwa tumor ovarium neoplastik memerlukan operasi dan tumor
non neoplastik tidak. Tumor non neoplastik biasanya besarnya tidak melebihi 5 cm.
Tidak jarang tumor-tumor tersebut mengalami pengecilan secara spontan dan
menghilang. Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas adalah
pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang
mengandung tumor. Tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi perlu dilakukan
pengangkatan ovarium, disertai dengan pengangkatan tuba. Seluruh jaringan hasil
pembedahan perlu dikirim ke bagian patologi anatomi untuk diperikasa.
Pasien dengan kista ovarium simpleks biasanya tidak membutuhkan terapi. Penelitian
menunjukkan bahwa pada wanita postmenopause, kista yang berukuran kurang dari 5
cm dan kadar CA 125 dalam batas normal, aman untuk tidak dilakukan terapi, namun
harus dimonitor dengan pemeriksaan USG serial. Sedangkan untuk wanita
premenopause, kista berukuran kurang dari 8 cm dianggap aman untuk tidak dilakukan
terapi. Terapi bedah diperlukan pada kista ovarium simpleks persisten yang lebih besar
10 cm dan kista ovarium kompleks. Laparoskopi digunaknan pada pasien dengan kista
benigna, kista fungsional atau simpleks yang memberikan keluhan. Laparotomi harus
dikerjakan pada pasien dengan resiko keganasan dan panda pasien dengan kista
benigna yang tidak dapat diangkat dengan laparaskopi.
kista dengan konservasi ovarium dikerjakan pada pasien yang menginginkan ovarium
tidak diangkat untuk fertilitas di masa mendatang. Pengangkatan ovarium sebelahnya
harus dipertimbangkan pada wanita postmenopause, perimenopause, dan wanita
premenopasue yang lebih tua dari 35 tahun yang tidak menginginkan anak lagi serta
yang beresiko menyebabkan karsinoma ovarium. Diperlukan konsultasi dengan ahli
endokrin reproduksi dan infertilitas untuk endometrioma dan sindrom ovarium
polikistik. Konsultasi dengan onkologi ginekologi diperlukan untuk kista ovarium
kompleks dengan serum CA 125 lebih dari 35 U/ml dan pada pasien dengan riwayat
karsinoma ovarium pada keluarga. Jika keadaan meragukan, perlu pada waktu operasi
dilakukan penteriksaan sediaan yang dibekukan (frozen section) oleh seorang ahli
patologi anatomik untuk mendapat kepastian tumor ganas atau tidak.
Untuk tumor ganas ovarium, pembedahan merupakan pilihan utama. Prosedurnya
adalah total abdominal histerektomi, bilateral salfingo-ooforektomi, dan appendiktomi
(optional). Tindakan hanya mengangkat tumornya saja (ooforektomi atau
ooforokistektomi) masih dapat dibenarkan jika stadiumnya ia masih muda, belum
menpunyai anak, derajat keganasan tumor rendah seperti pada fow potential
malignancy (borderline). Radioterapi hanya efektif untuk jenis tumor yang peka
terhadap radisi, disgerminoma dan tumor sel granulosa. Kemoterapi menggunakan obat
sitostatika seperti agens alkylating (cyclophosphamide, chlorambucyl) dan antimetabolit
(adriamycin). FoIlow up tumor ganas sampai 1 tahun setelah penanganan setiap 2 bulan,
kemudian 4 bulan selama 3 tahun setiap 6 bulan sampai 5 tahun dan seterusnya setiap
tahun sekali.

5. NEOPLASMA VULVA
1. KISTA BARTOLIN
Kista Bartholin terbentuk ketika terjadi penyumbatan pada saluran kelenjar Bartholin. Kista bisa
berukuran kecil dan tidak menimbulkan rasa sakit, namun bisa juga sebaliknya.

Bartholin adalah kelenjar yang terletak pada kedua sisi bibir vagina pada alat kelamin
perempuan. Kelenjar Bartholin mengeluarkan cairan yang berperan sebagai pelumas saat
berhubungan seksual. Kelenjar ini kecil sehingga tidak mudah terdeteksi oleh tangan maupun
mata.

Penyebab Kista Bartholin

Cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar Bartholin mengalir melewati saluran langsung menuju
vagina. Saluran yang tersumbat akan menampung kelebihan cairan kemudian berkembang
menjadi kista. Kista Bartholin dapat makin membesar setelah berhubungan seksual karena
penambahan cairan yang diproduksi kelenjar Bartholin saat terjadi hubungan seksual.

Penyumbatan kelenjar Bartholin disebabkan oleh beberapa faktor, seperti infeksi bakteri, iritasi
jangka panjang, atau peradangan. Infeksi kista Bartholin dapat disebabkan oleh bakteri penyebab
infeksi menular seksual (IMS), yaitu bakteri Neisseria gonorrhoeae yang menyebabkan penyakit
gonore atau kencing nanah, dan bakteri Chlamydia trachomatis yang menyebabkan penyakit
Chlamydia. Bakteri lainnya adalah Escherichia coli atau E. coli yang sering menjadi penyebab
diare dan keracunan makanan.

Gejala Kista Bartholin

Berikut ini sejumlah gejala kista Bartholin:

 Keberadaan kista Bartholin yang tidak terinfeksi berbentuk benjolan tanpa rasa sakit dan
teraba lunak. Kista biasanya ditemukan tanpa sengaja pada waktu dilakukan pemeriksaan
rutin pada daerah panggul.
 Bila terjadi infeksi, ukuran kista Bartholin bias membesar dalam kurun waktu beberapa
jam atau hari. Infeksi menyebabkan pembengkakan pada kista disertai dengan
munculnya nanah (abses) dan terasa sakit. Hal tersebut menyebabkan penderita kesulitan
untuk duduk, berjalan, atau berhubungan seksual.
 Gejala juga dapat disertai demam.

Diagnosis Kista Bartholin

Pada tahap awal, dokter akan bertanya mengenai riwayat kesehatan pasien. Kemudian, dokter
akan melakukan pemeriksaan fisik. Umumnya kista Bartholin hanya terjadi pada satu sisi,
sementara sisi lainnya tetap berukuran normal.

Penting untuk melakukan pemeriksaan rutin pada daerah panggul, terutama bila ditemukan
benjolan untuk mengetahui diagnosis penyakit. Selain pemeriksaan pada daerah panggul, dokter
juga akan mengambil contoh cairan dari vagina untuk mengetahui apakah ada infeksi menular
seksual.
Pengambilan sampel jaringan (biopsi) kelenjar Bartholin untuk diperiksa akan direkomendasikan
pada pasien pascamenopause atau yang berusia lebih dari 40 tahun untuk mendeteksi sel kanker.

Penanganan Kista Bartholin

Kista Bartholin ditangani dengan cara yang berbeda-beda. Kista kecil yang tidak terinfeksi dapat
dirawat di rumah dan tidak memerlukan prosedur serta obat-obatan spesifik.

Sebaliknya, kista membutuhkan membutuhkan penanganan lebih lanjut bila ukurannya besar,
membuat penderita tidak nyaman, atau terjadi infeksi. Penanganan kista Bartholin meliputi obat-
obatan, pengeluaran abses, dan pengangkatan kista.

 Duduk berendam di air hangat. Duduk berendam di dalam air hangat setinggi panggul
dapat menjadi pilihan pada kasus kista terinfeksi yang berukuran kecil. Lakukan beberapa
kali sehari selama empat hari hingga kista pecah dan cairan keluar. Handuk hangat juga
bisa digunakan untuk mengompres area di mana kista terletak.
 Obat pereda nyeri. Paracetamol dan ibuprofen dapat dikonsumsi sebagai pereda rasa
sakit. Selalu perhatikan keterangan serta dosis penggunaan saat mengonsumsi obat-
obatan bebas. Hubungi dokter atau kunjungi fasilitas kesehatan terdekat jika benjolan
bertambah besar dan sakit.
 Obat antibiotik. Penggunaan antibiotik berfungsi menghilangkan infeksi penyebab
timbulnya abses pada kista yang terinfeksi, juga pada kasus di mana penderita mengalami
infeksi menular seksual.
 Prosedur pemasangan kateter. Dokter dapat memasang kateter untuk mengeluarkan
abses. Pada prosedur ini, sayatan kecil dibuat untuk memasukkan kateter (selang) dengan
ujungnya terdapat balon yang dapat mengembang. Balon ini berfungsi untuk menjaga
agar kateter tidak lepas dan dapat bertahan selama 2-6 minggu.
 Marsupialisasi kista. Suatu prosedur yang mana cairan dikeluarkan dengan cara
mengiris kista, lalu menjahit ujung pada kulit sekitarnya agar kista tetap terbuka untuk
mencegah terbentuknya kista baru. Prosedur ini dapat dikombinasikan dengan
pemasangan kateter.
 Prosedur pengangkatan kelenjar Bartholin. Prosedur ini dilakukan saat prosedur lain
tidak berhasil. Operasi pengangkatan ini membutuhkan bius umum sebelum dilakukan
pengangkatan kelenjar Bartholin.

Sebaiknya hindari aktivitas seksual selama proses penyembuhan atau sesuai dengan anjuran
dokter. Gunakan pembalut selama kateter masih terpasang, karena nanah akan terus mengalir
seiring dengan hilangnya infeksi.

Komplikasi Kista Bartholin

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah timbulnya kista atau infeksi berulang serta infeksi yang
menyebar ke darah dan seluruh tubuh (sepsis).

Pencegahan Kista Bartholin


Kista Bartholin bisa dicegah dengan memulai kebiasaan menjaga kebersihan area sekitar alat
kelamin dengan baik. Juga dengan penggunaan kondom saat berhubungan seksual untuk
menghindari infeksi menular seksual dan kista Bartholin terinfeksi.

2. KARSINOMA VULVA

Kanker vulva adalah kanker yang menyerang permukaan luar daerah kemaluan wanita.Vulva
adalah bagian organ seksual eksternal wanita yang merupakan area yang mengelilingi lubang
kencing (urethra opening) dan vagina. Organ seksual eksternal wanita lainnya meliputi labia
minora dan majora (“bibir” dalam dan luar yang menutupi vagina), klitoris, dan kelenjar
Bartholin yang ada di kedua sisi vagina.

Kanker vulva muncul dalam bentuk benjolan atau luka di area vulva. Kanker ini lebih sering
menyerang wanita yang lebih tua, umumnya yang telah mengalami menopause.

Terdapat dua jenis kanker vulva berdasarkan jenis sel yang terkena dampaknya. Jenis kanker ini
juga berguna bagi dokter untuk menentukan jenis langkah pengobatan yang akan diambil.

 Vulva melanoma, yaitu sel kanker yang terbentuk di sel penghasil pigmen yang terdapat
pada kulit vulva.
 Vulva karsinoma sel skuamus (vulvar squamous cell carcinoma), yaitu sel kanker yang
terbentuk pada sel tipis, berpermukaan datar yang melapisi permukaan vulva. Sebagian
besar kasus kanker vulva berasal dari jenis ini.

Beberapa tipe lainnya, yaitu:

 Sel basal karsinoma, yaitu luka pada labia majora atau pada area lain di vulva, yang
lama-lama berkembang menjadi kanker. Jika tidak segera diobati, luka ini dapat dengan
mudah muncul kembali.
 Karsinoma kelenjar Bartholin, yaitu tumor langka pada kelenjar Bartholin yang biasa
menyerang wanita di usia pertengahan 60-an.
 Tipe kanker lainnya pada vulva, misalnya adenocarcinoma dan sarcoma.

Penyebab Kanker Vulva

Penyebab kanker secara umum masih belum diketahui dengan jelas, demikian juga dengan
kanker vulva. Para ahli masih mencari tahu pemicu sel-sel bermutasi menjadi sel kanker dan
berkembang dengan begitu cepat. Sel yang membelah diri akan terus bertambah dengan melipat-
gandakan jumlah hingga membentuk tumor, kemudian menyebar ke bagian tubuh yang lain. Sel
kanker dan tumor akan terus tumbuh dan membelah diri sementara sel yang sehat akan mati.

Walau belum diketahui penyebabnya, beberapa faktor berikut adalah kondisi yang dapat
meningkatkan timbulnya kanker vulva, yaitu:

 Merokok.
 Pertambahan usia. Risiko kanker vulva umumnya meningkat pada usia 65 tahun ke atas
dan mereka yang berada pada masa menopause. Kasus ini jarang ditemui pada wanita
berusia di bawah 50 tahun yang belum mengalami menopause.
 Terpapar infeksi HPV (human papillomavirus), salah satu penyakit menular seksual yang
banyak ditemui pada wanita yang aktif secara seksual. Umumnya infeksi HPV dapat
mereda dengan sendirinya. Pada sebagian kasus lainnya penyakit ini, sel yang terinfeksi
dapat bermutasi dan berkembang menjadi sel kanker.
 Terinfeksi HIV (human immunodeficiency virus) yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh dan menjadikan penderita rentan terhadap infeksi HPV.
 Menderita gangguan pada kulit di area vulva, misalnya penyakit Lichen Sclerosus.
 Pernah berada dalam kondisi prakanker vulva, atau vulvar intraepithelial neoplasia
(VIN), yang bisa berkembang menjadi kanker vulva. VIN adalah kondisi ketika sel
mengalami perubahan yang tidak menjurus kepada kanker. Meski pada kebanyakan kasus
yang pernah terjadi, kondisi ini dapat menghilang dengan sendirinya, namun pada
kenyataannya dapat juga berkembang menjadi sel kanker.

Gejala Kanker Vulva

Kanker vulva bisa menyebabkan gatal-gatal yang sangat mengganggu di area vulva. Berikut ini
adalah gejala-gejala lain dari kanker vulva.

 Perdarahan yang bukan berasal dari menstruasi.


 Perubahan pada kondisi kulit, seperti warna dan ketebalan kulit. Kulit dapat berwarna
merah, putih, atau menggelap.
 Terdapat tahi lalat di area vulva yang berubah bentuk atau warna.
 Benjolan yang menyerupai jerawat, bisul, atau luka terbuka.
 Nyeri atau sensitif terhadap rasa sakit di area panggul, terutama ketika berhubungan
seksual.
 Terasa perih, khususnya ketika sedang kencing.

Sebanyak 50 persen kasus kanker vulva menyerang labia mayor (“bibir” bagian luar dari alat
kemaluan perempuan), diikuti dengan labia minor (“bibir” bagian dalam). Segera temui dokter
jika Anda merasakan gejala-gejala seperti di atas.

Diagnosis Kanker Vulva

Selain untuk memastikan keberadaan sel kanker pada vulva, diagnosis kanker vulva juga
dilakukan untuk mengetahui sejauh mana sel kanker telah berkembang atau menyebar. Setelah
informasi berupa gejala, riwayat medis pribadi dan keluarga dikumpulkan, dokter akan
melakukan pemeriksaan fisik penderita. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada kelainan di
area vulva.

Beberapa tes dan prosedur yang digunakan untuk mendiagnosis kanker vulva, antara lain:

 Pemeriksaan lebih mendetail pada vulva menggunakan alat kaca pembesar untuk mencari
tanda-tanda kanker vulva pada area ini. Pemeriksaan ini disebut kolposkopi.
 Pemeriksaan sistoskopi yang dilakukan menggunakan sebuah tabung kecil disertai
kamera dan lampu yang dimasukkan ke kandung kemih.
 Melakukan biopsi kemudian memeriksa sampel yang telah diambil dari vulva, atau
kelenjar getah bening, untuk mencari tanda-tanda kanker. Penderita biasanya diberikan
bius lokal di daerah yang akan dibiopsi. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan atau tanpa
jahitan, tergantung dari ukuran sampel yang diambil.
 Pemeriksaan pada area panggul, untuk mengetahui apakah kanker telah menyebar ke area
ini.
 Pemeriksaan dengan menggunakan X-ray, CT scan, MRI scan, dan PET scan, pada area
dada, paru-paru, kelenjar getah bening, perut atau organ lain, untuk mengetahui
penyebaran kanker di area ini.

Setelah diagnosis didapatkan, dokter akan menentukan stadium kanker yang akan membantu
dalam pemilihan langkah pengobatan. Tingkatan stadium kanker vulva meliputi:

 Stadium 1 – Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening atau area tubuh lainnya.
Terdapat tumor kecil pada vulva atau kulit di antara area vagina dan anus (perineum).
 Stadium 2 – Berbeda dengan stadium 1, pada tingkatan ini, tumor telah merambat ke area
sekitarnya. Area-area yang dimaksud adalah pada bagian bawah saluran kencing
(urethra), vagina, dan anus.

 Stadium 3 – Penyebaran kanker pada stadium ini secara spesifik telah menjalar ke
kelenjar getah bening.
 Stadium 4A – Kanker telah menyebar ke area yang lebih luas di kelenjar getah bening,
atau ke bagian atas urethra atau vagina, atau ke kandung kemih, dan rektum/dubur. Selain
itu, area tulang panggul telah terkena dampak penyebaran sel kanker.
 Stadium 4B – Kanker telah menyebar atau bermestastase ke anggota tubuh lain yang
tidak hanya berada di dekat vulva.

Pengobatan Kanker Vulva

Salah satu langkah pengobatan kanker vulva adalah prosedur pengangkatan kanker dan sejumlah
jaringan sehat di sekitar vulva (biasanya sekitar 1 sentimeter) atau bedah radial eksisi luas.
Namun ada juga kasus kanker vulva yang mengharuskan vulva diangkat seluruhnya, termasuk
klitoris dan jaringan di bawahnya yang bernama vulvektomi radikal.

Prosedur pengangkatan vulva memiliki risiko mengalami infeksi hingga kemunculan rasa tidak
nyaman saat duduk untuk waktu yang lama. Anda mungkin tidak akan bisa merasakan area
kemaluan dan tidak bisa mencapai orgasme ketika melakukan hubungan seksual.

Makin awal kanker vulva bisa terdiagnosis, makin kecil juga kemungkinan diperlukannya
prosedur ini. Berikut adalah beberapa prosedur pengangkatan kanker vulva lainnya.

 Vulvektomi parsial. Pada prosedur ini, hanya sebagian vulva dan jaringan di bawahnya
yang diangkat.
 Prosedur pelvic exenteration untuk kanker stadium lanjut. Prosedur ini dilakukan jika
kanker telah menyebar ke luar dari vulva kepada organ lainnya, dengan cara mengangkat
seluruh bagian vulva dan organ yang terkait, misalnya usus besar. Sebuah lubang akan
dibuat di perut (stoma) agar kotoran atau urine bisa dimasukkan ke dalam kantong
ostomi. Tindakan ini termasuk ke dalam operasi besar yang saat ini sudah tidak banyak
dilakukan lagi.
 Prosedur rekonstruksi. Prosedur pengangkatan kanker pada area yang lebih luas
biasanya meninggalkan luka lebar yang tidak bisa menutup dengan sendirinya. Hal ini
terjadi pada kanker yang telah menyebar hingga jaringan di sekitarnya. Pada kasus ini,
dokter akan melakukan bedah rekonstruksi dengan mengambil kulit dari bagian tubuh
lain untuk menutup area tersebut.

Selain pengangkatan vulva, prosedur pengangkatan kelenjar getah bening juga dapat dilakukan
pada saat yang sama jika kanker telah menyebar ke area ini. Proses ini menyebabkan cairan
tertahan dan terjadi pembengkakan pada kaki yang disebut limfedema.

Kelenjar getah bening juga bisa diangkat melalui operasi kelenjar getah bening sentinel (sentinel
node biopsy) dengan cara mengambil contoh kelenjar getah bening yang mudah terinfeksi, lalu
mengetesnya atas keberadaan sel kanker. Jika tidak ada sel kanker yang ditemukan, maka ada
kemungkinan kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening lainnya.

Seperti pengobatan kanker lainnya, kanker vulva juga bisa ditangani dengan kemoterapi, terapi
radiasi, atau gabungan dari keduanya.

Kemoterapi. Penderita kanker vulva dengan penyebaran sel kanker di area tubuh lain dapat
memilih langkah ini untuk membantu membunuh sel kanker. Obat-obatan bisa dikonsumsi atau
dimasukkan melalui pembuluh darah di lengan. Kemoterapi yang dikombinasikan dengan terapi
radiasi umumnya bertujuan memperkecil kanker demi mempermudah prosedur pembedahan.

Terapi radiasi. Selain mengecilkan sel kanker, terapi radiasi juga digunakan pada kasus sel
kanker yang telah menyebar ke kelenjar getah bening setelah menjalani operasi. Terapi
dilakukan dengan cara memaparkan energi berkekuatan tinggi, seperti X-ray, ke area yang telah
ditentukan di permukaan kulit.

Pemeriksaan kesehatan rutin setelah penanganan kanker vulva akan tetap diperlukan untuk
memantau kondisi pasien dan memastikan sel kanker tidak terbentuk kembali. Oleh karena itu
sangat penting untuk memeriksakan diri secara teratur pasca pengobatan.

Pencegahan Kanker Vulva

Melakukan pemeriksaan kesehatan rutin (medical check-up) dapat membantu Anda memonitor
kesehatan sekaligus mendeteksi penyakit yang tidak diketahui sebelumnya. Diskusikan bersama
dokter mengenai rentang waktu yang ideal untuk melakukan medical check-up secara rutin.
Anda juga bisa berkonsultasi tentang jadwal pemeriksaan panggul. Prosedur pemeriksaan
panggul akan memberikan informasi mengenai kondisi organ reproduksi dalam Anda.
Beberapa langkah pencegahan yang juga bisa dilakukan untuk mengurangi risiko kanker vulva
maupun penyakit menular seksual seperti HPV atau HIV adalah:

 Menggunakan kondom tiap melakukan hubungan seksual.


 Membatasi jumlah atau tidak bergonta-ganti pasangan seksual.
 Memperoleh vaksin HPV. Vaksin ini dapat mengurangi risiko perkembangan kanker
vulva dan direkomendasikan bagi anak perempuan yang berusia 12-13 tahun.

6. FIBROADENOMA MAMMAE

A. Definisi
Fibroadenoma adalah suatu tumor jinak yang merupakan pertumbuhan yang
meliputi kelenjar dan stroma jaringan ikat (Brunner & Suddath, 2001)
Fibroadenoma mammae adalah tumor jinak pada payudara yang bersimpai jelas,
berbatas jelas, soliter, berbentuk benjolan yang dapat digerakkan. Fibroadenoma
mammae umumnya dikenal dengan tumor mammae.
Ketika sejumlah sel di dalam payudara tumbuh dan berkembang dengan tidak
terkendali, inilah yang disebut kanker payudara. Sel-sel tersebut dapat menyerang
jaringan sekitar dan menyebar ke seluruh tubuh. Kumpulan besar dari jaringan yang tidak
terkontrol ini disebut tumor atau benjolan. Akan tetapi, tidak semua tumor merupakan
kanker karena sifatnya yang tidak menyebar atau mengancam nyawa. Tumor ini disebut
tumor jinak. Tumor yang dapat menyebar ke seluruh tubuh atau menyerang jaringan
sekitar disebut kanker atau tumor ganas. Teorinya, setiap jenis jaringan pada payudara
dapat membentuk kanker, biasanya timbul pada saluran atau kelenjar susu.

B. Etiologi
Belum ada penyebab spesifik, namun factor predisposisi terjadinya fibroadenoma
mammae adalah siklus menstruasi yang tidak teratur. Selain itu ada beberapa faktor
resiko diantaranya :
a. Anak perempuan dari ibu dengan kanker payudara (herediter)
b. Menarke dini. Resiko Tumor payudara meningkat pada wanita yang mengalami
menstruasi sebelum usia 12 tahun.
c. Nulipara dan usia maternal. Lanjut saat kelahiran anak pertama. Wanita yang
melahirkan setelah usia 30 tahun lebih berisiko mengalami Tumor payudara.
d. Menopause pada usia lanjut. Menopause setelah usia 50 tahun.
e. Pernah mengalami radiasi didaerah dada.

C. Patofisiologi
Sampai saat ini penyebab dari tumor jinak payudara belum diketahui (idiopatik).
Namun, ada faktor predisposisi yang mendukung terjadinya tumor pada payudara adalah
siklus menstruasi yang tidak teratur. Hal itu disebabkan karena pada fase luteal dalam
siklus menstruasi terjadi peningkatan kadar hormon estrogen dan penurunan kadar
hormon progesteron.
Sedangkan secara fisiologisnya pada saat menstruasi hormon estrogen dan
progesteron meningkat dan dua hari sebelum menstruasi berakhir hormon estrogen dan
progesteron menurun. Secara normalnya, fungsi estrogen untuk perkembangan jaringan
stroma pada payudara, pertumbuhan sistem duktus yang luas, dan untuk deposit lemak
pada payudara. Sedangkan progesteron berfungsi untuk peningkatan perkembangan dari
lobulus dan alveoli payudara, menyebabkan sel-sel alveolar berproliferasi, membesar dan
bersifat sekretorik.
Pembesaran jaringan payudara terjadi akibat meningkatnya kadar estrogen dan
defisiensi kadar hormon progesteron dari ketidakteraturan siklus menstruasi. Sehingga
terjadi peningkatan deposit lemak dan perkembangan jaringan payudara. Dan juga
penurunan pembentukan lobulus dan alveoli. Apabila kejadian ini berlangsung secara
terus-menerus dapat mengakibatkan tumor payudara (Guyten & Hall, 1997).
Tumor dapat terjadi karena mutasi dalam DNA sel. Penimbunan mutasi
merupakan pemicu munculnya tumor. Penimbunan mutasi di jaringan fibrosa dan
jaringan epitel dapat menyebabkan proliferasi sel yang abnormal sehingga akan tampak
tumor yang membentuk lobus- lobus hal ini dikarenakan terjadi gangguan pada nukleus
sel yang menyebabkan sel kehilangan fungsi deferensiasi yang disebut anaplasia. Dengan
rangsangan estrogen fibroadenoma mamae ukurannya akan lebih meningkat.

D. Manifestasi Klinis
a. Secara makroskopik : tumor bersimpai, berwarna putih keabu-abuan, pada
penampang tampak jaringan ikat berwarna putih, kenyal
b. Nyeri terkadang dirasakan
c. Ada bagian yang menonjol ke permukaan
d. Ada penekanan pada jaringan sekitar
e. Ada batas yang tegas
f. Bila diameter mencapai 10 – 15 cm muncul Fibroadenoma raksasa ( Giant
Fibroadenoma)
g. Memiliki kapsul dan soliter
h. Benjolan dapat digerakkan
i. Pertumbuhannya lambat
j. Mudah diangkat dengan lokal surgery
k. Bila segera ditangani tidak menyebabkan kematian

E. Pemeriksaan Penunjang
a. SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri)
b. Pemeriksaan laboratorium : darah rutin, gula daeah, enzim (alkali fosfotose, LDH),
sitologi pada cairan putting susu
c. Mammografi
Mamografi adalah suatu pemeriksaan untuk mammae (payudara) dengan
menggunakan sinar x-ray dosis rendah. Dipakai untuk mendeteksi dini tumor
payudara pada wanita, tanpa disertai keluhan atau yang disertai keluhan. Keluhan
seperti adanya benjolan pada payudara, cairan yang tidak normal keluar dari puting
payudara atau adanya nyeri pada payudara (sebelum atau sesudah menstruasi - untuk
menyingkirkan bahwa nyeri yang ditimbulkan bukan dikarenakan sindroma pre
menstrual).
d. Biopsi
Biopsi bedah dilakukan dibawah anastesi lokal. Biopsi mencakup eksisi lesi dan
mengirimkannya ke laboraturium untuk dilakukan pemeriksaan patologis.
Bila ukuran tumor tidak terlalu besar, maka semua benjolan diangkat dengan cara
operasi yang dilakukan dalam pembiusan total, disebut biopsi eksisi. Bila tumor
ukurannya besar, biasanya diambil sampel dari benjolan yang ada, disebut biopsi
insisi. Setelah dilakukan biopsi, jaringan tumor dikirim untuk pemeriksaan patologi
anatomi (PA) untuk penentuan tumor jinak atau ganas (kanker). Bila hasil PA jinak
maka dengan pengangkatan tumor berarti pengobatan sudah selesai. Namun bila
hasilnya adalah kanker , harus dilanjutkan oleh operasi kedua yaitu dengan tindakan
bedah kuratif yaitu mastektomi radikal (pengangkatan payudara dengan sebagian
besar kulitnya, m.pektoralis mayor dan minor, serta semua kelenjar ketiak sekaligus).

F. Penatalaksanaan Medis
a. Insisi permukaan, dilakukan pada tumor dengan ukuran lebih besar dari 5 cm.
b. Eksisi tumor dengan anastesi lokal ataupun umum. Ini dilakukan untuk tumor yang
berukuran < 5 cm. selanjutnya specimen operasi periksa potologis. Bila penderitanya
muda dengan lesi kecil, diagnosa dapat dibuat dengan aspurasi jarum halus bila
penderita tidak menginginkan biopsi dengan eksisi. Fibroadenoma yang lebih besar
dari 3 cm harus diangkat karena dapat menyebabkan nyeri dan tumbuh terus.

G. Komplikasi
Tumor mammae bisa berkembang menjadi kanker mammae jika tidak
mendapatkan penanganan yang baik. Kemudian Ca mammae dapat bermetastase ke
jaringan sekitar melalui saluran limfe (limfogen) menuju ke paru, pleura, tulang dan hati.

H. Prognosis
Tumor payudara memiliki prognosis yang baik jika ditangani dengan pengobatan
yang sesuai dan ditangani secepat mungkin tetapi prognosisnya akan buruk jika tidak
ditangani dengan tepat dan cepat.

Anda mungkin juga menyukai